Albadina Profile picture
Feb 25, 2021 206 tweets >60 min read Read on X
Bahkan angin yg kencang dpt menggerakkan kapal. Layakkah nahkoda menghujatnya?

A Thread Horor
#IstriseorangKUYANG. Part 2
#threadhorror #bacahorror
#horrorthread
@bacahorror @BacahorrorCom
@SimpleM81378523 @koreyan666
@cerita_setann @IDN_Horor Image
Senja itu tampak kuning, adat orang kampung kalau sore memiliki aura warna kuning, semua orang tidak boleh berada di luar rumah. Kata orang tua dulu penyakit menular sedang menyebar.
Pesan Almarhum Abah, setiap hari harus menyempatkan membaca Al-Quran dan Pak Dadang membiasakan membaca seusai magrib sembari menunggu waktu Isya tiba.
Dari kecil Pak Dadang sudah memiliki kelebihan, selain telinganya yang berlafaz Allah Ia juga peka. Sewaktu usia lima tahun Pak Dadang pernah dikubur selama semalam karena disangka sudah meninggal setelah menderita sakit yang tidak tau sakit apa.
Pada malam harinya Ummi bermimpi di datangi arwah pak Dadang, bajunya sangat kotor dan minta dimandikan.

Saat dimandikan pak Dadang cerita katanya dia harus berjalan lewat jalan berlumpur untuk mengambil lilin di balik pintu. Dan dia minta tolong sama Ummi untuk dibukakan.
Setelah Umminya memandikan Arwah Pak Dadang kecil, Ia pun berjalan ke arah pintu yang dimaksud arwah Pak Dadang. Setelah pintu itu dibuka, Ummi pun keluar dan tiba-tiba pintu itu tertutup. Ummi menoleh ke belakang dan yang tampak adalah gundukan tanah pemakaman.
Terdengar suara Pak Dadang dari dalam menangis minta tolong untuk dibukakan pintunya. Ummi pun menangis sesenggukan memanggil-manggil nama Pak Dadang.
"Ummi! banguuun ummi," panggil Bapaknya Pak Dadang sambil menggoyang-goyangkan badan Ummi.

Ummi pun bangun, langsung memeluk Abah Pak Dadang. Sambil sesenggukan Ummi menceritakan mimpinya.
Setelah mendengar cerita Ummi dan melihat Ummi sudah agak tenang. Abah pun bergegas berwudhu dan ke ruang Khalwat.
Keesokan harinya, pagi-pagi, Abah dan Ummi serta beberapa orang Santri ke makan Pak Dadang. Seperti tradisi orang di kampung, kalau ada keluarga yang meninggal, selama tujuh hari, setiap pagi, keluarga akan menyiramkan air bacaan Doa ke tanah makam.
Waktu itu setelah membaca Doa yang dipimpin Abah, dan air Doa di siramkan. Tiba-tiba gundukan tanah itu bergerak seperti di gedor dari dalam.
Semua orang yang ada di situ terkejut, Abah buru-buru meminta semua orang untuk segera menggali gundukan itu.

Dan yang lebih mengejutkan, setelah dinding papan itu di buka, Pak Dadang kecil sudah meringkuk kedinginan berselimut kain mori.
Dengan memakai baju warna putih dan celana hitam, sama persis dengan baju yang di pakaikan Ummi saat bermimpi.

Cepat-cepat Pak Dadang di bawa pulang, dan berita itu cepat tersebar ke seluruh daerah sekitarnya.
Semenjak itu pula Pak Dadang dapat melihat mahluk yang tidak bisa dilihat manusia umumnya.

Setelah selesai shalat Isya, Pak Dadang keluar rumah. Dengan membawa segelas kopi kental Pak Dadang duduk di kursi rotan kesayangannya. Beberapakali Ia menyeruput kopi dengan tenang.
Di luar sangat gelap. Angin pantai yang biasanya kencang, kini agak melembut.
Dari kejauhan, tampak kelap kelip lampu kapal nelayan. Mungkin mereka sekedar beradu nasib, karena malam ini bulan muncul agak malam.
Berkali-kali Pak Dadang mengusap tengkuknya yang sedari tadi serasa agak menebal. Tampak di wajahnya sedang memikirkan sesuatu mungkin memikirkan perkataan Aying tadi. Kemudian ia berjalan ke sudut teras sambil melihat rumah Aying.
Tanpa henti pak Dadang menggosok-gosok lengannya bergantian seolah membujuk bulu tangannya yang sedari tadi berdiri untuk tenang dan tidak perlu siaga.
Sekali lagi Pak Dadang menjenguk rumahnya Aying seolah berharap Aying segera keluar, tapi ternyata tidak, bahkan pintu rumahnya tertu
Kembali Pak Dadang hendak duduk di kursi kesayangannya sambil menunggu Aying dan menghabiskan kopinya tapi, belum sampai pantatnya menyentuh kursi rotan itu, tiba-tiba
cahaya kuning kemerahan terpendar terang melewati atap rumah pak Dadang.
Sangat terang sekali. Pak Dadang langsung meloncat dari teras panggung rumahnya. Dengan perasaan gugup dan penasaran tingkat Dewa, Ia mencari tahu cahaya apa yang tadi melintas itu. Namun cahaya itu seolah lenyap begitu saja.
Sekilas ada angin yang lewat sedikit kencang ke arah belakang pak Dadang, dan Ia pun memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat, tampak dari kejauhan dilihatnya Aying keluar dari rumahnya.

"Yiiiing. . Sinii . !!" Teriakku.
Dengan santainya Aying berjalan menuju kearah ku.

Sembari menunggu Aying sampai di rumah mataku nanar mencari kemana hilangnya cahaya terang tadi. Sesekali menengok ke arah Aying yang tak kunjung sampai.
Namun bayangannya yang tertutup pohon pinus, lmasih tampak jelas berjalan kearah semua orang..

Dialihkan pandangannya kearah laut, berusaha mengalihkan rasa yang tak nyaman ini.
Angin laut bergerak merangsak naik semakin dingin, yang biasanya suara ombak terdengar bergemuruh saat itu sangat sunyi. Hanya suara daun kelapa yang tertiup angin laut, seperti suara bersiul. Lirih menyayat hati.
Entah hanya perasaanku saja atau apa. Seketika ku rasakan bulu kuduknya meremang.

Tercium aroma amis yang sangat menyengat dari sebelah kananku.
Pak Dadang pun menoleh. Dan seketika itu juga tubuhnya kaku. Matanya terbelalak tak berkedip. Jantungnya berdetak kencang, seakan nafasnya berhenti.

Tubuhnya mematung dengan mulut menganga.
Tampak jelas didepannya yang hanya berjarak lima meter, sesosok tubuh berbalut kain lusuh berwarna abu, dan banyak bercak-bercak noda hitam.
Lekuk tubuhnya tak nampak, bahkan seperti tidak memiliki bahu.
Namun, dari lubang tangan baju nya menyembul jari-jari runcing dan panjang warna hitam.

Mataku masih tak berkedip...
Perlahan kesadaran pak Dadang mulai muncul, ia berusaha menenangkan diri dengan mengalihkan pandangannya kearah laut yang menghitam, suara kidung ombak laut yang terkadang mirip suara langkah kaki anak kecil yang berlari pelan.
Kemudian disusul dengan suara air laut yang menghantam pasir sangat lembut suaranya, membuat pak Dadang merasa tidak sendiri.

Angin laut bergerak merangsak naik semakin dingin. Di tambah suara daun kelapa yang tertiup angin laut, seperti suara bersiul. Lirih menyayat hati.
Di saat pak Dadang menikmati itu, bulu kuduknya berdiri, seolah memberi tanda ada sesuatu yang tak tampak mata. Dia pun berusaha mengusap-usap tengkuknya sambil di goyang-goyangkannya kepalanya, berusaha mengurangi ketidaknyamanan yang di rasanya.
"Wesstttt..." tiba-tiba tercium aroma amis yang sangat menyengat dari sebelah kanannya. Aroma yang sangat di tolak oleh hidung, hingga rasanya ingin menjebol ubun-ubun. Isi perut pun berontak. Tapi ditahannya.
Pelan diputarnya kepalanya yang diikuti oleh badannya, dengan wajah yang kaku, khawatir dan penasaran, pak Dadang pun menoleh, ke arah sumber bau amis itu.
Dan seketika itu juga tubuhnya kaku. Matanya terbelalak tak berkedip. Jantungnya berdetak kencang, seakan nafasnya berhenti
Tubuhnya mematung dengan mulut menganga.
Tampak jelas didepannya yang hanya berjarak lima meter, tetapi nampak jelas sesosok tubuh berbalut kain lusuh berwarna abu-abu penuh noda berwarna kehitaman.
Tenggorokan paka Dadang serasa kisut berangsur-angsur mengering rasanya, bahkan hendak menelan air liur pun serasa tak ada lagi.

Dengan baju kedodoran sehingga tidak membentuk lekuk tubuhnya, bahkan seperti tidak memiliki bahu
.Namun, dari lubang tangan baju nya menyembul jari-jari panjang warna hitam.

Pak Dadang masih tak berkedip, kesadarannya tiba-tiba hilang.

"Plaaakk...Taaarrrr!!" Suara buah pinus terjatuh mengenai atap rumah pak Dadang, membuat pak Dadang tersadar.

"Astagfirullah..."
Meski masih setengah tersadar, pak Dadang melihat sosok itu berjalan menjauhinya. Terlihat jelas arah kakinya sekalipun tertutup bajunya yang panjang, sedangkan pandangannya masih menatap lurus ke arah pak Dadang.
Meski wajahnya tertutup rambutnya yang panjang dan hitam awut-awutan, tapi terlihat dagunya yang putih pucat menyembul saat rambut itu tersibak karena angin pantai.

Bau anyir itu menjadi sangat pekat menyentuh hidung, hingga rasanya ada yang berontak dari dalam perutnya.
Di saat otak pak Dadang dirundung rasa penasaran, kaget dan respon tubuhnya yang tidak wajar, tiba-tiba ada yang menepuk bahunya tiga kali dari belakang.

Dan saat itu juga, seakan darahnya mengalir kembali. Spontan pak Dadang menoleh ke arah tepukan itu.
Terlihat jelas seseorang lelaki berjubah putih dengan sorban hijau dan tongkat ulin di tangannya. Tersenyum menenangkan.

"Abuya!"

"Berwudhulah!"

Suara serak berat yang selalu di rindukan itu terdengar. Belum sempat pak Dadang menjawabnya, sosok itu menghilang.
Saat itu pak Dadang teringat Aying yang jelas dilihat keluar dari rumahnya, tapi tidak juga kunjung datang. Lehernya bergidik kembali tapi pak Dadang langsung bergegas masuk ke dalam rumah.
Entah berapa lama pak Dadang duduk diatas sajadahnya, tubuhnya bergetar hebat karena tangis yang tertahan. Tiba-tiba pak Dadang merasakan rindu yang sangat hebat. Pak Dadang tidak menyangka Abuya datang menengoknya, meski hanya sesaat.
"Paaak. . Pak Dadang!" terdengar suara Aying memanggilnya, sambil mengetuk pintu berkali-kali.

Pak Dadang tercekat mendengar panggilan itu, ia tidak langsung menjawab, karena dia belum yakin itu suaranya Aying apa bukan.
Suara itu pun menghilang.

Tiba-tiba.
"Brogh...Brogh...Brogh..."

Pak Dadang terkejut, mendengar suara jendela kamarnya di gedor dengan keras, hingga rumahnya serasa ikut bergetar.

"Paaaak. .Pak Dadaaang. ." Suara Anying memanggilnya lagi. Dan akhirnya pak Dadang pun yakin, kalau itu benar-benar suara Aying.
Sambil mengusap sisa air matanya, kemudian bangkit dari tempat duduknya. Ditariknya nafas dalam-dalam, membuang sisa rasa yang dipendamnya.

"Siapa!"

"Saya, Aying!"

"Iya sebentar! "

Perlahan pak Dadang membukakan pintu rumahnya dan tampak di atas laut bulan bulat sempurna.
Dari ujung muara terdengar lamat-lamat suara kentongan dari bambu dipukul bersahutan.

Pak Dadang melongokkan kepalanya keluar, tidak ada siapa pun di luar, bahkan yang tadi suara Aying memanggil itu pun tidak nampak batang hidungnya.
Pak Dadang teringat semua runutan kejadian tadi. Rasa takut itu kembali menyeruak kedalam batin Pak Dadang.

Ketika pak Dadang hendak menutupkan pintu rumahnya kembali, tiba-tiba Aying sudah berdiri di samping kursi rotan tempat duduknya tadi.
Cangkir kopi yang belum habis itu tampak bergoyang pelan.

"Pak, ayo kita kerumah yang di ujung muara itu" ajak Aying.

Matanya pak Dadang menatap kaki Aying, ingin memastikan kalau sosok yang ada di depannya memang benar manusia.
"Tok...Tok...Tok"
"tek...tek...tek"

Suara kentongan terdengar lagi saling bersahutan. Berirama tanpa tempo yang jelas. Membuyarkan semua tanya yang memenuhi otak pak Dadang.
"Pak, kalau Bapak kurang sehat, biar Aying yang pergi sendiri ke sana Pak," kata Aying.
Wajah pak Dadang tampak gugup.

"Oh, iya. Tunggu saya siap-siap dulu," pak Dadang langsung masuk ke dalam dan tidak lama ia keluar, kemudian mengunci pintu rumahnya.
Mereka pun berjalan kearah muara dengan melewati titian kayu. Pak Dadang mengikuti langkah Aying. Jalan itu agak gelap, karena tumbuhan bakau disepanjang jalan itu sangat rimbun dan mereka harus hati-hati. Pikiran pak Dadang melayang layang kembali.
Bagaimana jika Aying yang berjalan di depannya itu ternyata bukan Aying tapi hanya menyerupai?Atau jika pak Dadang di sesatkan ke tempat yang lain yang mirip dengan tempat kampungnya
Berkali-kali pak Dadang menepis bayangan yang tidak-tidak dalam kepalanya.
Di tambah sejak melewati jembatan kecil tadi, ia merasa ada yang mengikuti. Tapi Ia tak memperdulikannya, meski kuduknya merinding. Sepanjang jalan, tak hentinya pak Dadang bersholawat.
Dan saat sampai di dekat rumah yang kami tuju, pak Dadang merasakan ada angin yang berbeda. Ia merasa lega karena bayangan otaknya di sepanjang jalan tidak terjadi.

Tiba-tiba pak Dadang melihat kelebatan bayangan hitam di depannya. Ia tergagap dan langkahnya terhenti seketika.
"Huuu... Huuu... Uuuuu" Terdengar suara tangisan diantara suara-suara gaduh dari dalam rumah.

Pandangan mata pak Dadang menyapu ke seluruh pelataran rumah itu, Terlihat berbagai ekspresi wajah dari para warga yang keluar masuk dari rumah itu.
Ada yang terlihat pasrah, ada juga yang terlihat optimis dan ada yang khawatir. Sementara di luar semakin banyak orang yang datang.

Pak dadang masih memutar pandangannya, mencari-cari bayangan hitam itu sambil, mencari Aying.
Baru beberapa langkah, kaki pak Dadang terhenti saat matanya menangkap sosok besar hitam berada di bawah rumah panggung itu.
Sosok itu menyeringai marah, tampak sinar merah redup tertutup rambutnya yang panjang menunjukkan gigi taringnya yang juga panjang, melewati dagunya yang runcing.
Tubuhnya di penuhi bulu.
Pak Dadang bergidik saat melihatnya, buru-buru dialihkan pandangannya berharap itu hanya halusianasinya saja sambil berusaha mencari, siapa tahu ada orang lain yang juga melihat sosok itu.
Benar saja, ketika pak Dadang melihat ke bawah rumah lagi, sosok itu telah menghilang.
Pak Dadang kembali mencari-cari Aying disetiap kerumunan orang. Namun tak menemukannya.
Tercium aroma bawang putih disela kibasan angin laut.
Pak Dadang berniat untuk masuk ke dalam rumah. Baru saja ia naiki tangga yang ketiga, dari dalam rumah terdengar suara tangis bayi dan orang yang ada di sana semakin gaduh.
Akhirnya pak Dadang mengurungkan niatnya untuk masuk ke rumah itu. Pak Dadang yang masih belum paham dengan apa yang sebenarnya terjadi kala itu, terus mencari-cari Aying yang telah meninggalkannya seorang diri.
Di lihat arlojinya menunjukkan pukul tiga dini hari. Ketika ia menoleh ke arah belakang rumah, tampak cahaya yang sama seperti yang dilihat lihat di atas rumahnya tadi sore sebelum di jemput Aying.
Bayangan itu terbang dari pohon ke pohon lain. Pak Dadang terpaku saat bayangan itu terbang, seperti tidak yakin dengan apa yang di lihat dengan mata kepala sendiri. Dan dia maaih menerka-nerka mahluk apa sebenarnya itu.
"Kuyaaang...! Kuyaaang...!" teriak salah seorang yang berada di sampingnya.

Seketika orang-orang yang tadi hanya duduk ngobrol sambil merokok, langsung berdiri dan menyebar. Mereka mengambil benda apa saja yang ada di sekitar mereka untuk di jadikan senjata.
Semua warga menjadi gaduh, dan wajah mereka terlihat khawatir. Hampir semua orang terkesima mendengar teriakan itu. Kemudian ada beberapa orang yang memberi komando, ada yang mengejar, ada yang tetap di tempat.
"Buruuu!" Teriak salah seorang, yang juga melihat bayangan terbang di balik pepohonan bakau di pinggir tambak.

Sebagian orang berlari mengejar dan berpencar sambil membunyikan kentongan.
"Bunuh kuyang itu!". Teriakan demi teriakan saling menyahut, diiringi suara kentongan.

Pak Dadang tanpa membawa apapun langsung ikut berlari bersama beberapa orang lainnya, melewati jembatan kayu sambil mata mereka mengikuti arah cahaya itu, yang terkadang tertutup dedaunan.
Suara-suara teriakan itu sudah tidak ada, namun suara kentongan masih terdengar walau jarang. Sepertinya mereka kehilangan arah, karena cahaya itu lenyap diantara pepohonan nipah.
Langkah mereka terhenti di jalan setapak, kami semua kehilangan jejak cahaya itu.
Orang-orang saling menggerutu dengan bahasa daerah yang sama sekali tak di mengerti.
Masing-masing dari kami berputar mencari-cari apa saja yang dicurigai.
Pak Dadang pun sudah tak lagi memikirkan keberadaan Aying.
Sayup dari Kampung sebelah terdengar suara pengajian pertanda menjelang subuh. Mereka pun berjalan menuju rumah masing-masing.
Malam itu terasa sangat melelahkan bagi Pak Dadang sekaligus membuat syok, kejadian demi kejadian beruntun ia alami. Dan baru pertama kali dia melihat sosok astral yang berbeda dari sebelumnya.
Sesampainya di rumah, Pak Dadang langsung membersihkan tubuhnya, rasanya lengket sekali keringatnya. Setelah selesai mandi dan berwiudhu, ia lanbsung menyelesaikan salat subuh.
Berkali-kali ia menguap. Matanya sayu karena di serang kantuk yang sangat hebat. Lalu di putuskannya untuk berdoa terlebih dahulu kemudian berzikir sambil merebahkan diri di atas ranjang dipannya, hingga tertidur
Pagi sudah beranjak siang, rupanya Pak Dadang tidak mengunci pintu rumahnya, sehingga saat Anying datang tidak kesulitan harus membangunkan Pak Dadang terlebih dahulu.
Melihat Pak Dadang masih terlelap, Aying langsung ke dapur untuk menyiapkan makan.
Dia memang sudah biasa keluar masuk rumah itu. Jika dilihatnya tak ada makanan, dia masak apa saja yang ada di dapur. Terkadang dia juga ikut makan atau tidur di rumah itu, tanpa ada rasa sungkan.
Melihat wajah Pak Dadang yang tampak letih, Aying tidak tega membangunkannya. Tetapi dibuatkannya kopi kental. Menurut Aying aroma kopi dapat membantu relaksasi bagi siapapun yang kelelahan. Bahkan aroma bangkai pun dapat terusir oleh aroma kopi.
Sepertinya cara Aying berhasil, Pak Dadang mendenguskan hidungnya karena aroma kopi yang tercium. Ia tampak membuka mata dengan malas. Sepertinya langsung menangkap jika Aying sudah di rumahnya.

Praaaak....! suara tasbihnya terjatuh diatas lantai kayu.
Pak Dadang kemudian mengambilnya dengan tangan kanannya. Ia tersadar kalau tadi pagi ketiduran. Seperti menghitung waktu, berapa jam ia tertidur hingga perutnya sudah terasa perih
Pak Dadang tidak tidur di dalam kamarnya tetapi di ranjang dipan yang ada di depan kamarnya. Tempat itu biasa digunakan untuk tidur siang atau jika ada tamu yang menginap di rumahnya.
Rupanya Aying sempat memperhatikan Pak Dadang. Kemudian di sapanya.

"Oooh, Bapak sudah bangun? Maaf Pak, saya langsung masuk. Karena waktu saya panggil, tidak ada jawaban" kata Aying, kemudian berjalan kearah dapur.
"Saya lihat tadi pintunya sedikit terbuka, saya khawatir ada apa-apa Pak. Tapi saya tenang melihat, Bapak sedang tertidur pulas," lanjut Aying, dari arah dapur.

Pak Dadang pun akhirnya bangun dan duduk di kursi dekat meja makan, kemudian menyeruput kopi panas bikinan Aying.
Tercium aroma mie dan telur dadar dari arah dapur, membuat perut Pak Dadang langsung merasa kosong.

"Pak, mau ikut melayat gak?" tanya Aying, sambil menyuguhkan sepiring mie dan telur dadar ke atas meja.
"Siapa yang meninggal?" tanya Pak Dadang sambil mengernyitkan dahi.

"Ibu yang tadi malam melahirkan itu tadi pagi meninggal, kata orang, pendarahan.Tapi anehnya tidak ada darah yang tersisa, baik dimanapun." lanjut Aying, sambil menyerahkan segelas air ke hadapan Pak Dadang
Cepat-cepat Pak Dadang minum air, tenggorokan serasa kering dan perutku tiba-tiba kenyang.

Seribu pertanyaan ada di otaknya, tapi tak satupun yang terlontar dari mulutnya. Pak Dadang masih berpikir dan menerka-nerka kejadian demi kejadian yang sama sekali tidak di mengertinya.
Terlalu banyak yang dikhawatirkan karena ia merasa sebagai orang baru di kampung ini, diantaranya ketakutannya dengan hukum adat yang masih banyak tidak diketahuinya.

"Aku ikut Ying! Tapi aku mandi dulu" kata Pak Dadang, sambil bangkit dari tempat duduk.
Aying pun mengangguk, dan kemudian merapikan meja makan itu.

Setelah Pak Dadang selesai mandi dan berpakaian mereka pun berjalan ke rumah yang tadi malam didatanginya.
Siang itu mereka berjalan lewat pantai yang kebetulan airnya sedang surut. Saat sampai, di rumah Almarhumah itu sudah banyak orang yang berkumpul.
Setelah sampai di sana Pak Dadang langsung disambut Bapak Kepala Desa. Sedangkan Aying entah kemana.

"Gimana Pak? Sehat?" tanya Kepala Desa dengan senyum getirnya.
Beliau mengulurkan tangannya pada pada Pak Dadang, dan Pak Dadang pun membalasnya.

Bapak Kepala Desa sangat supel, meski bukan orang asli kampung itu tetapi Beliau sangat di segani warga. Wajahnya sangat tampan, mirip dengan artis Rey Sahetapi.
"Alhamdulillah sehat Pak." jawab Pak Dadang singkat.

Mendengar jawaban Pak Dadang, Kepala desa itu menganggukan kepalanya. Kemudian mengajak Pak Dadang untuk menuju kursi yang ada mejanya.
"Mari Pak, kita ke sana!" ajak pak Kades.

Pak Dadang pun mengikuti langkah lelaki separuh baya itu, untuk mendekati warga yang lain. Semua warga menyambut Pak Dadang dan Pak Kades dengan ramah.
Selagi Pak Dadang masih menyambut jabat tangan warga yang lain, Pak Kades memberikan perintah agar dilakukan ronda malam.

"Tolong, malam ini sampai 40 malam kedepan di bikin jadwal untuk berjaga seperti biasa ya!" kata Pak Kades memberi perintah.
Tidak lama, ada lelaki tua berusia kurang lebih 70 tahun yang keluar dari rumah.
Sepertinya beliau adalah tetua adat. Tapi bukan orang asli kampung sini.
Lelaki tua yang berbadan kecil dengan songkok khas bugis dikepalanya itu memberi isyarat, kalau jenazahnya siap diantarkan ke pemakaman. Warga pun langsung berkumpul.

Keranda itu digotong beberapa orang menuruni rumah panggung. Dan prosesi adat melepaskan Almarhumah dimulai.
Pak Dadang hanya terdiam dan sesekali mengangguk mengikuti yang lain, hanya sebagai simbol jika dia sudah berusaha menyatu dengan adat yang berlaku di situ. Meskipun dia tidak paham dengan bahasa yang di sampaikan tetua adat.
Karena Posisi Pak Dadang terlalu dekat dengan orang yang membawa pedupaan dan aroma asap dari minyak kayu yang dibakar itu sangat tajam, ia pun beringsut kebelakang.
Saat perwakilan keluarga menyampaikan permintaan maaf atas kesalahan almarhumah dan berpesan jika ada hal ihwal piutang untuk menghubungi keluarga. Saat itu pula beberapa kali seluruh keluarga berputar mengelilingi orang yang mengangkat keranda itu.
Sambil mendengarkan petuah tetua adat dan sesekali memperhatikan orang sekelilingnya,
mata Pak Dadang tiba-tiba menangkap sosok perempuan yang berbeda dengan yang lain.
Perempuan itu berbaju putih dengan wajah pucat dan rambut tergerai panjang tertutup selendang tipis berwarna putih. Wajah itu tampak sedih. Pandangannya kosong.
Telinga Pak Dadang seakan menuli, dia tidak lagi mendengar dan memperhatikan runutan proses pelepasan Almarhumah.
Hingga tiba-tiba. . .

"Ooeeek. . Ooeeek"
Terdengar suara tangis bayi mengagetkan Pak Dadang dan semua pelayat, hampir semua ibu-ibu menangis.

"Cuup cup sayang" ucap ibu yang menggendong bayi itu, Berusaha untuk menenangkan. Sembari menggoyang-nggoyangkan badan. Tapi bayi itu tangisnya semakin melengking.
Selanjutnya, beliau mengambil sedikit air liurnya dan digosokkan di dahi bayi itu.
Dan diakhiri dengan mengusap wajah bayi tersebut. Seketika bayi itu pun tenang.
Pak Dadang memperhatikan dengan seksama yang dilakukan orang tua itu hingga melupakan sosok itu.
Dan setelahnya Pak Dadang mencari sosok wanita yang lihat tadi dengan ke seluruh tempat itu. Tapi tidak di temukannya.
Upacara pelepasan sudah selesai.

Seluruh pelayat pun berjalan kearah pemakaman di bukit yang berada di tengah-tengah kampung. Kecuali bayi dan beberapa keluarga Almarhumah.
Selama perjalanan menuju makam, ada keluarga almarhum yang menaburkan beras kuning bercampur uang logam dan bunga.
Pak Dadang ingin bertanya maksud dari simbol beras kuning, uang logam dan bunga itu apa, tetapi dirasa kurang tepat waktunya. Pak Dadang pun hanya berjalan mengikuti warga yang lainnya.
Sesampainya di makam rupanya semua sudah siap. Dan saat jasad hendak dimasukkan kedalam liang lahat, tiba-tiba awan berarak mendung. Angin pun seperti turut serta membantu perubahan cuaca itu seketika.
Sesampainya di makam rupanya semua sudah siap. Dan saat jasad hendak dimasukkan kedalam liang lahat, tiba-tiba awan berarak mendung. Angin pun seperti turut serta membantu perubahan cuaca itu seketika.
Semua bahasa yang digunakan tidak ada yang dimengerti Pak Dadang. Baru setengah ritual, hujan pun turun yang disertai angin. Pak Tua itu memanggil suami Almarhum. Dan diberi pertanyaan, lelaki itu pun hanya mengangguk lesu. Diusapnya air mata yang menetes di pipinya.
Semua pelayat tidak ada yang luput dari hujan. karena tidak ada yang menduga akan turun hujan, walau sedari tadi teduh.

Ada suara gerutuan beberapa pelayat dan berhasil di tangkap bahasanya oleh Pak Dadang yang menganggap bahwa, hujan karena suaminya tidak ikhlas.
Bukankah itu rahasia Tuhan," batin Pak Dadang.

Setelah selesai semua, pelayat pun kembali untuk turun bukit dengan pelan, karena jalanan berbatu itu semakin licin. Pak Dadang termasuk orang terakhir yang beranjak pergi. Dia pandangi pemakaman itu seolah mengingat makam abahnya.
Dan sebelum memutar tubuhnya, ia melihat kelebatan sosok berpakaian putih. Tapi kemudian menghilang begitu saja.

Hari itu lumayan berat bagi Pak Dadang. Setelah mandi dan Sholat zuhur, Pak Dadang rebahan diatar ranjang dipan kesayangannya hingga tertidur, padahal belum makan.
Setiap malam diadakan pembacaan tahlil dan yasin di rumah almarhum. Setelah itu, bagi yang dapat giliran berjaga mereka akan bertahan untuk tidak langsung pulang. Dan bertukar dengan yang sedari sore berjaga di makam.
Malam itu Pak Dadang diajak Aying untuk ikut berjaga di makam saja, selagi masih sore. Pak Dadang pun membawa tasbihnya. Dia berencana untuk mengirim tahlil dan yasin sambil berjaga. Usai salat magrib mereka pun berangkat ke bukit.
Dan baru disitu Pak Dadang tahu ternyata tidak semua kematian penduduk kampung itu harus dijaga bergantian. Hanya jika yang meninggal itu wanita yang masih perawan, meninggal karena melahirkan, dan yang meninggal dalam keadaan hamil.
Menurut cerita, dulu pernah terjadi kematian seorang gadis. Dimana gadis itu saat menstruasi merasa badannya lemah, setiap malam saat tidur seperti darahnya tersedot. Wajahnya kian pucat, dan selalu mengeluh pusing. Hingga akhirnya meninggal.
Dan sehari sebelum meninggal, gadis itu bercerita kalau setiap malam diatas kamarnya itu ada sosok berambut panjang, dengan gigi taringnya yang panjang. Tidak memiliki badan, dan hanya kepala saja. Sebagian wajahnya tertutup rambut, seperti takut dikenali wajahnya.
Gadis itu tidak bisa bercerita dengan detil, karena cahaya dalam kamar itu tidak terlalu terang. Tapi dia sempat melihat ada sesuatu yang basah menetes dari sudut bibirnya.
Tak lama lidahnya menjilat tetesan itu di lantai. Lidah berwarna merah darah yang panjang, terjulur dari atas kamarnya sampai kelantai. Rasanya seperti mimpi, karena hampir tak melihat kejadian tersebut karena terlalu cepat.
Keesokan hari, adiknya ribut karena melihat beberapa tetesan darah ditempat sosok bayangan hitam itu terlihat malam itu.

Setiap pagi, keluarga gadis itu menengok ke makam untuk menyiramkan air do'a yang sudah fibacakan yasin dan tahlil pada malam harinya.
Malam itu adik gadis itu bermimpi, kalau kakaknya minta tolong, Katanya kedinginan. Dan malu karena kerudungnya tidak ada talinya.
Lalu mimpinya itu di ceritakan ke ibunya, tapi diabaikan, karena masih dianggap belum ikhlas saja. Berbeda sang Bapak memperhatikan dengan seksama.
Sebenarnya bapaknya juga mengalami hal yang ganjil juga, saat hendak mengantarkan jaring ke kapal, malam seusai tahlilan, ia seperti mendengar suara anaknya yang sudah meninggal itu minta tolong. Tapi demi ketenangan keluarganya, dipendamnya cerita itu.
Dan pada hari ketiga, keluarga gadis itu dibuat terkejut. Karena kuburan itu terlihat seperti di bongkar.

Tanah gundukan itu berlubang dan kayu nisannya sudah tidak tertancap lagi.
Warga pun dibuat geger.
Ditambah lagi, ada seorang nelayan yang bercerita. Dia ditemui gadis itu dan diminta untuk mengembalikan tali kepalanya. Nelayan itu seperti dibuat lupa, kalau gadis itu telah tiada.
Akhirnya kuburan itu pun dibongkar atas persetujuan keluarga. Dan benar, tali pocong gadis itu hilang.

Sejak saat itu, setiap ada kematian warga yang dianggap ganjil selalu dijaga makamnya.
Saat sampai di makam almarhum itu, Pak Dadang langsung mencari tempat duduk yang enak. Sementara Aying menyalakan perapian dari getah damar yang diletakkan diatas batu ceper untuk mengusir binatang sekaligus memberi penerangan.
Baru mereka berdua yang datang. TetapiTidak berapa lama dua orang lagi telah datang.

Dan mereka pun duduk di sekitar Pak Dadang untuk membaca tahlil sedangkan saat membaca Yasin, berhubung yang hapal hanya Pak Dadang, jadi yang membaca hanya Pak Dadang.
Hingga malam ke 29 hari setelah ibu yang melahirkan itu meninggal.
Sudah dua kali Pak Dadang ikut berjaga, dengan niat untuk berbaur dengan masyarakat kampung setempat.
Hampir sebulan berlalu, kehidupan masyarakat pesisir berjalan seperti sediakala. Tampak normal sebagaimana mestinya. Setelah kejadian yang menghebohkan itu, tidak pernah lagi ada kejadian yang ganjil.
Meskipun sudah berlalu tetapi warga masih banyak yang kasak kusuk membicarakan kejadian itu. Tapi Pak Dadang belum juga memahami apa yang mereka bicarakan karena terkrndala bahasa.
Mau bertanya juga masih takut menyinggung. Jadi dibiarkannya rasa ingin taunya itu mengendap di kepalanya. Hingga entah kapan akan terjawab.
Beruntung rumah Pak Dadang berada dekat pantai dan menghadap laut langsung. Hahany deretan pohon pinhs yang tersusun rapi yang jadi pengahalang, tetapi justru sebagai benteng pertama terjangan angin laut secara langsung.
Seperti biasa hampir setiap selesai sholat isya, Pak Dadang duduk di kursi rotan di teras rumahnya, sambil menikmati segelas kopi panas.
Pandangannya lurus melihat kearah lautan yang luas nan indah. Tampak dari kejauhan kelap kelip lampu kapal, nelayan yang nekat mencari ikan, walau terang bulan.

Rembulan bulat penuh dengan warna kemerahan, mengintip dibalik awan di atas laut.
Malam ini, Pak Dadang janjian dengan Aying untuk ikut berjaga di makam. Namun masih terlalu sore untuk berangkat kesana. Biasanya Pak Dadang dan Aying mengambil waktu sesudah magrib tapi kali ini yang malam hingga subuh.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan lewat. Seketika Pak Dadang ingat kalau malam itu adalah malam Jumat. Sambil menunggu Aying, ia membaca surat Yasin yang sudah melekat diingatan.

Pak Dadang membaca Surah Yasin dengan suara mengalun merdu diantara deru ombak dari kejauhan.
Tepat saat mengucap "Kaulamirrobbi rohim". Tiba-tiba matanya menangkap bayangan hitam seperti rambut berkibar, terbang diatas pantai dan tampak menjuntai seperti dalaman perut manusia. Di sela-sela juntaian itu terdapat cahaya merah menyala.
Pak Dadang terkesima, antara sadar dan tidak.
Logikaku berputar, menerka makhluk apa yang baru saja dilihanya lihat. Sepintas mirip dengan sosok yang mereka kejar bulan lalu saat kematian ibu yang melahirkan itu.

"Kuyang...." gumamnya menerka.
Tanpa sadar Pak Dadang sudah di pinggir pantai. Entah kapan kakinya melangkah. Pandangannya masih mengikuti mahluk itu, walaupun tersisa hanya bayangan rambutnya, berkibar warna hitam.
Meski hanya cahaya rembulan yang menerangi, masih cukup bagi matanya untuk menangkap bayangan mahluk itu.

Tok...Tok... Tok....

Terdengar kentongan berbunyi saling bersahutan dari arah ujung desa, dekat dengan menara pantai, searah yang dilewati makhluk itu.
Bisa dipastikan masyarakat di ujung pesisir sana juga melihat apa yang dilihat Pak Dadang. Menurut orang-orang, jika ada mahluk seperti itu sampai terlihat orang secara ramai, dia mengalami kepanikan dan kesialan. Sehingga diharapkan akan mengurungkan perbuatan jahatnya.
Semakin banyak suara-suara yang dibunyikan. Sepertinya, apa yang di temui orang, itulah yang menjadi penyebabnya.
Bayangan itu mengecil terbang entah ke mana. Dan suara yang tadinya ramai semakin sedikit.
Sebelum membalikkan badan, Pak Dadang memandangi rembulan yang bersinar kemerahan berpadu dengan warna silver. Pantulannya cahayanya diatas air laut sangat cantik namun sedikit mengerikan.
Saat bulan purnama tiba, jarang sekali nelayan mendapatkan ikan. Mungkin dengan bantuan cahaya bulan itu menyebabkan ikannya sedikit lebih pintar. Sehingga tidak mudah terjebak dan tertipu oleh jaring atau umpan.
Setelah puas memandang laut dengan angin yang dingin kian menusuk tulang.
Tanpa disadarinya, air laut sudah menyentuh kakinya, tandanya pasang mulai tinggi. Rupanya dia lumayan jauh berlari ke bibir pantai.
Pak Dadang lalu berniat untuk kembali ke rumah. Tapi saat di balikkan tubuhnya, ia terkejut. Dilihatnya ada bayangan putih berdiri tegak di depan rumahnya, meski agak jauh, bayangan itu tampak jelas. Hanya saja bentuknya tidak begitu diperhatikannya.
"Aah, Aying ngagetin saja," gumam Pak Dadang sambil bergegas jalan.

Pak Dadang berjalan menunduk, khawatir kakiku menginjak sesuatu. Karena banyak duri dan pecahan botol yang kadang sengaja di buang masyarakat disitu.
Saat Pak Dadang merasa sudah dekat didongakkan wajahnya dengan tenang, lagi-lagi dia dibuat tegang. Bayangan putih itu menghilang.

"Aying, ini apa-apaan, gak lucu sekali," batinnya. Pak Dadang masih mengira bayangan itu adalah Aying.
Pak Dadang pun pun berhenti, kepalanya tengok sana sini mencari bayangan tadi. Namun tak ditemukan. Kembali diputar badannya berkali-kali, tapi tetap saja ia tak melihat bayangan itu lagi.
Suara pohon pinus yang tertiup angin laksana orang bersiul, membuat suasana itu semakin mencekam. Seolah ada yang mengawasi Pak Dadang membuatnya merinding. Terendus aroma busuk entah dari mana adaanya tetapi kemudian hilang.
Pak Dadang kemudian mempercepat langkahnya, dan bergegas naik ke dalam rumah. Tak diperdulikannya lagi kopi yang tadi masih belum habis diminumnya,
Pak Dadang langsung mengunci pintu rumahnya. Lama ia terdiam, duduk dikursi dekat meja makan. Diminumnya air putih sisa makan tadi yang tinggal sedikit. Nafasnya masih tersengal dan diaturnya, pikirannya kacau penuh tanya.
Pak Dadang tidak habis pikir. Kampung yang begitu tenang, nyaman dan aman selama dia tinggali, mengapa akhir-akhir ini jadi sangat ganjil.

"Siapa sebenarnya bayangan putih itu? Dan apa maksudnya? Kalau itu memang Aying, bener-bener gak lucu," gumamnya.
Selama Pak Dadang tinggal di sini, memang sering mendengar dan bahkan Aying sendiri sering cerita, tentang betapa usil dan jahilnya dia. Tapi selama ini, Aying tidak pernah usil atau jahil padanya. Bahkan kadang bercandanya pun tampak kaku, terlihat seperti ditahan.
"Kuyang...kuyang... Mahluk apa lagi itu?" gumamnya berulang-ulang sambil mengernyitkan dahi dan mengusap jenggot tipis didagunya.

Tiba-tiba kepalanya serasa berat. Entah apa karena efek terkejut atau memikirkan kejadian demi kejadian yang tidak juga terjawab.
Sebenarnya jika mahluk itu pun tampak, mungkin efek penasarannya tidak akan sampai membuatnya sakit kepala, karena Pak Dadang juga sering melihat penampakan berbagai rupa.

Akhirnya Pak Dadang pun tertidur. Dan tidak lagi memperdulikan apa-apa, hingga pagi.
Entah apakah Aying mendatanginya atau tidak, Pak Dadang tidak mendengar apapun.

Pak Dadang masih enggan bangun, kepalanya masih terasa berat dan tangan kanannya serasa kesemutan. Rupanya posisi tidurnya semalaman tidak berubah, miring ke kanan dan tangannya yang dijadikan alas.
Sayup suara di luar sana seperti orang sedang membicarakan sesuatu sambil beraktifitas diatas kapal yang sandar.

Pak Dadang mencoba mengangkat kepala, tapi masih terasa berat dan tangannya masih terasa kebas, pelan-pelan dielusnya sambil ditekan berharap darahnya segera lancar.
Ia pun berusaha untuk tidur kembali. Walaupun sangat sulit tetapi ia tetap berusaha untuk tenang hingga akhirnya tertidur juga.

Saat tidur ia bermimpi anak. Mimpi anak adalah mimpi yang terjadi saat tidur disambung.
Dalam mimpinya, Pak Dadang sedang hendak ke surau tiba-tiba ada yang memanggilnya di balik bambu dekat surau. Langkahnya pun terhenti. Dan ia hanya diam mematung, meyakinkan memang benar ada yang memanggil.
"Dadang...! Dadang....!" suara itu kembali terdengar. Suaranya sangat khas dan jelas.

Pak Dadang menoleh, memperhatikan kearah sumber suara itu. Mencari-cari sang pemilik suara itu diantara sela-sela pohon bambu yang rimbun dan sangat teduh.
Jantungnya berdegup keras, ada perasaan tidak enak, tetapi dorongan untuk mendekati suara itu sangat kuat. Seperti kakinya punya mata untuk berjalan sendiri.

"Daang..., kadie hela!" suara itu memintanya untuk datang.
Pelan-pelan ia melangkah dan di sibaknya dedaunan bambu itu, Sesekali ia harus merundukkan badannya karena rimbunnya daun bambu itu. Terkadang daun bambu itu menyayat wajahnya tanpa sengaja. Perih.
Langkahnya kadang terhenti sambil mengira-ngira arah datangnya suara tadi. Hingga dari sela-sela pohon bambu yang rapat itu tampak bayangan putih sedang duduk bersila.
Agak jauh Pak Dadang berdiri sambil mengawasi sosok itu. Jantungnya semakin tidak karuan. Tetapi tidak punya kemampuan untuk lari atau membalikkan badan sekalipun.
Suasana di bawah pohon bambu itu sangat sejuk, terdengar gemericik air di bawah saung dekat surau. Pak Dadang merasakan hawa yang berbeda tapi selalu diabaikan.

Entah kekuatan dari mana kaki Pak Dadang melangkah kian mendekat.
Detak Jantungnya semakin cepat, hatinya berdebar kencang saat matanya menangkap sosok cantik di depan kakek berjubah putih.

Wanita itu berambut panjang sepinggang, mata lentik, pandangannya teduh dengan bola mata lebih banyak hitamnya, senyumnya menawan. Tapi penuh misteri.
Tampak dari samping kakek itu memberikan telur yang ukurannya sebesar ibu jari tangan. Dan wanita itu langsung memasukkannya dalam mulut. Pak Dadang hampir tak berkedip memperhatikan semua itu.
Padahal jarak Pak Dadang dan kakek itu lebih dari lima meter tetapi seperti tau apa yang ia lakukan dan kakek itu menegurnya.

"Tutup mata dan buka hatimu!" Kata kakek itu tanpa menoleh yang membuat Pak Dadang terkejut dan malu.
"Astagfirullah" Ucapnya pelan.

Pak Dadang pun buru-buru menutup mata dan ditarik nafasnya dalam-dalam sambil membaca zikir dan sholawat. Entah mengapa hatinya merasa tenang, pasrah dan tak berdaya.
Saat dia buka mata, kakinya langsung gemetar seperti pohon kangkung yang disiram air panas. Pak Dadang terduduk lemas tak mampu menopang badannya yang tinggi.
Sosok cantik itu hilang, begitu juga dengan kakek itu. Yang ada hanya seekor kucing yang aneh. Tangannya berbulu hitam. Giginya kecil-kecil rapat dan jigongnya yang menjijikkan, sedang gigi taringnya panjang, matanya bulat kecil berwarna merah.
Entah kucing itu tersenyum atau menyeringai yang ada di otaknya hanya mengerikan.

Mahluk itu berjalan mendekati Pak Dadang, ia ingin bangun dari duduk tapi tak mampu. Tapi tetap saja ia berusaha beringsut menjauh. Dia pun berusaha teriak tapi suaranya tertahan di kerongkongan.
Pak Dadang mencari-cari apa saja yang bisa dilemparnya tapi tidak menemukan apapun. Dan tangannya meraba-raba kantong baju, berusaha mencari tasbih yang tidak pernah tertinggal setiap aku pergi ke manapun. Tapi ternyata sia-sia.
Pak Dadang pun pasrah, mahluk itu mengeong sambil tersenyum, entah senyum puas berhasil mempermainkannya atau berusaha membuatnya tenang. Tapi Pak Dadang sudah dihinggapi ketakutan yang amat sangat.
"Jika memang waktunya mati ya Allah, ampuni semua Dosaku dengan segala pengampunanMu ya Allah jangan dengan keadilanMu," otaknya berkecamuk.

Saat jarak mahluk itu tidak terlalu jauh, tangan kucing itu berusaha menggapai bahunya, Ia pun memejamkan mata sambil membaca syahadat.
"Ngeoooonggg!" suara itu terdengar seperti minta tolong.

Mendengar suaranya tetapi tidak merasakan tubuhnya di sentuh, Pak Dadang pun membuka matanya sedikit untuk melihat apa yang terjadi.
Dan diluar dugaan, kucing itu menggelepar. Matanya merah sepeti mengeluarkan darah. Di tutupnya kedua telinganya. Yang kemudian mengeluarkan asap tipis. Bau terbakar pun seketika menyebar.
Melihat kejadian itu, Pak Dadang serasa punya kekuatan untuk bangun. Lalu terdengar ledakan yang luar biasa. Tepat di depannya sebuah mata besar menjijikkan terlontar dari tubuh kucing yang meledak itu. Jantung Pak Dadang serasa lepas dari tempatnya.

Saat yang bersamaan.
"Pak...Pak...Pak Dadang...!" Suara Aying memanggil dari samping jendela.

Pak Dadang terbangun dengan Nafasnya tersengal-sengal. Bajunya basah dan di dahinya masih ada beberapa butir keringat yang masih melekat.
"Astagfirullah..." berkali-kali ia istigfar, sambil berusaha mengatur nafas.

Pak Dadang bergegas berjalan ke meja makan dan mengambil air minum. Lega rasanya. Walaupun jantungnya masih berdegup kencang. Seperti nyata mimpinya tadi.
Pak Dadang merasakan kalau kepalanya yang tadi berat sekali sekarang agak ringan. Begitu juga tangannya, sudah tidak kebas lagi. Tapi perutnya yang pedih. Dilirik jam tangannya yang kebetulan berada di samping dengan posisi yang mudah terlihat.

"Astagfirullah," gumamnya.
"Pantas perutnya, pedih, sudah siang ternyata," gumamnya.

"Paaaak...! Paaaak...!" teriak Aying dari luar terdengar lebih keras dari yang tadi.
"Yaaa...! Apa Yiiiing...!" balasnya agak keras, hingga Pak Dadang merasa perutnya semakin pedih. Setelah menjawab Aying dengan nada yang tinggi energi yang tersisa di pakai untuk teriak.

Tidak berapa lama terdengar suara langkah kaki menaiki tangga di teras rumahnya.
"Mungkin itu Aying," gumamnya

Pak Dadang pun melangkah ke pintu depan dan membukanya. Matanya langsung terpejam karena silau dengan sinar matahari yang sudah beranjak siang.
Dikuceknya kedua matanya bergantian agar cepat beradaptasi dengan cahaya luar. Dilihatnya Aying yang sudah berdiri di depannya. Dengan wajah yang aneh.

"Pak, itu ada kue dari mamak, sedikit," kata Aying menunjukan wadah kecil berwarna hijau di atas meja.
Pak Dadang pun langsung membukanya dan memakan kue basah itu, tanpa berucap apa-apa. Kue itu amat sangat manis, karena masyarakat di situ terbiasa membuat kue atau minuman serba manis.
Bagi Pak Dadang yang penyuka manis jambu, merasakan kue semanis itu sangat tidak suka. Karena setelah makan pasti tenggorokan terasa kering. Tapi dari pada perut kosong, terpaksa kue itu pun dimakan juga.
Pernah sekali Pak Dadang bertamu ke salah satu rumah nelayan yang tambaknya bermasalah. Dan dia disuguhi air teh yang gulanya setengah dari gelasnya. Dan untuk menghargai, akhirnya diminumnya juga.
"Kamu gak makan jajan ini Ying?" tanya Pak Dadang basa-basi. Karena ia tau, Aying tidak mungkin makan jajan yang sudah diberikan ke orang.

"Gak Pak, tadi di rumah sudah makan." jawab Aying sambil membersihkan kukunya.
"Maaf, tadi malam saya kemalaman ke rumah Bapak, soalnya mamak minta diurut kakinya Pak," kata Aying sambil memandang Pak Dadang yang tampak melamun, tapi masih mendengar apa yang disampaikan Aying

"Dan pas saya ke sini sepertinya Bapak sudah tidur," lanjutnya.
"Iya, gak papa. Aku ketiduran habis Sholat Magrib," jawabnya berbohong.

"Tadi malam di ujung Timur sana masyarakatnya geger Pak," kata Aying.

'Ada kejadian apa," tanya Pak Dadang heran.
"Sapi orang Timur yang mau dikawinkan hari ini tiba-tiba mati mendadak," jawab Anying.

"Rupanya sudah sampai sini virus yang mematikan sapi itu ya," kata Pak Dadang
Aying mendongakkan kepalanya dan sambil mengernyitkan dahinya, seperti merasa heran.

"Sapinya mati bukan karena penyakit, tapi duburnya sampai perutnya koyak. Dan tidak ada bagian tubuh yang diambil atau dimakan, hanya saja tidak ada setetes darah pun yang tersisa," jelas Aying.
Pak Dadang terperanjat, ia lebih merasa heran, karean baru kali ini dia mendengar kasus seperti itu. Tapi lagi-lagi perutnya sudah protes. Rasa lapar mengalahkan rasa penasarannya.

Mereka berdua terdiam beberapa saat.
"Ying, tolong masakkan aku ya, di dapur ada udang Lobster susa kemaren, terserah mau dimasak apa!" pintanya memohon dengan wajah yang lelah.

"Iya Pak," jawabnya langsung menuju dapur.
Pikiran Pak Dadang masih teringat dengan mimpi itu. Belum pernah Pak Dadang bermimpi seseram itu kecuali dulu sewaktu SMA.

Ketika itu ada cewek yang mengejar-ngejar Pak Dadang. Sedangkan ia tidak diperbolehkan untuk mendekati cewek dalam arti pacaran.
Bahkan sampai orang tua cewek itu datang untuk melamarnya. Tapi sama Abah ditolak secara halus. Cewek itu tidak terima. Dan cewek itu akhirnya karena emosi dia meminta bantuan orang pintar untuk mengguna-gunainya.
Pak Dadang selalu diajarkan untuk berpikir positif kepada siapa pun. Saat habis turnamen basket, Pak Dadang kelelahan dan tenggorokannya kering. Cewek itu memberinya botol minuman. Pak Dadang langsung meminumnya tanpa berpikir panjang.
Sepulang sekolah biasanya Pak Dadang langsung ke surau untuk mengajar ngaji, hari itu Pak Dadang mengantuk sekali. Akhirnya ia tertidur dan bermimpi bertemu kakek berjubah putih itu.
Kakek itu memberinya buah kecil berwarna coklat tua. Baunya menyengat tidak enak. Begitu diciumnya perutnya langsung mual, ingin muntah tapi ditahannya.
Dalam buah itu berisi daging buah warna putih, ketika di makan seperti menelan air es. Sejuk dan dingin. Dan ketika Pak Dadang bangun, Ia langsung dipeluk Ummi sambil menangis mengucap syukur.
Kata Ummi, Pak Dadang sudah dua hari gak bangun. Badannya panas. Saat tidur Pak Dadang sering mengigau dengan mengatakan "Mau ikut!" dan menyebut nama cewek itu.

Selama Pak Dadang pingsan secara bergiliran anak-anak santri mengaji di kamarnya.
"Semoga cuma kembang mimpi," gumamnya sambil makan kue yang tersisa sedikit di tangannya.

"Tapi kembang naon nya, serem pisan," gumam Pak Dadang menghela nafas panjang dan senyum lucu karena merasa aneh. Dia pun bergegas masuk ke dalam rumahnya.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Albadina

Albadina Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @Fathiyaalbadina

Mar 28, 2021
Cinta dibalik kebencian lebih bahaya daripada cinta dibalik kekaguman.

A Thread Horor
#threadhorror #bacahorror
#bacahoror @koreyan666 @SimpleM81378523 @IDN_Horor

Cerita 𝘽𝙮 : 𝙍𝙮𝙖𝙣 𝙀𝙇-𝙨𝙝𝙖
facebook.com/ryan.hermawan1…
Dan cerita seru lain di fb:Dunia Sebelah Image
True Story

Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un telah bepulang ke rahmatullah H. Abdulah bin Bansir pada jam 03.45 subuh.

Gerimis kecil diiringi tangisan pun pecah di rumah orang tua Sulaiha.
"Yang sabar, Neng. Abang do'akan semoga husnul khatimah.. Segala dosa diampuni," ucap Bang cendol lewat via telpon.

"Iya, bang. Terima kasih do'a nya."

"Maaf Abang nggak bisa ke sana karena jarak yang jauh. Abang hanya mendoakan dari sini saja."
Read 167 tweets
Feb 25, 2021
"Kehidupan seperti kereta yg berjalan mengikuti rellnya. Angan hanya bayangan melayang, siap ditangkap otak. berapa mampu?

A Thread Horor
#IstriseorangKUYANG. Part.1
#threadhorror #bacahorror
@bacahorror @BacahorrorCom @bagihorror @SimpleM81378523 @koreyan666 @cerita_setann Image
Panggilannya Pak Dadang, seorang pemuda berwajah tampan dengan badan yang atletis dengan tinggi 1,78 cm. Bertugas sebagai penyuluh perikanan di desa nelayan.
Sebuah desa yang berada dekat dengan muara laut.Penduduknya tinggal disepanjang pantai. Dan di belakang rumah mereka terhampar tambak yang sangat luas.
Read 36 tweets
Feb 22, 2021
Lanjutan Part 1

Sesaat mereka terdiam, hanyut dengan pikiran mereka masing-masing. Tidak terasa air sudah mulai membelai bagian lutut Pak Dadang, dan Dia pun lalu pindah naik ke punggung kapal yang bocor itu.
"Kalau di sini biasanya setiap bulan purnama bakalan ada pertunjukan yang rame Pak, Bapak mau lihat gak nanti malam?" Tanya Aying sambil senyum aneh.
Read 65 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(