Spiritualisme atau laku kebatinan berkaitan dengan pemahaman manusia akan hakekat hidupnya.
Hal ini berkaitan langsung dengan sistem religi yang dipahami dan dianut. Pada sistem religi, mitologi, dan hakekat hidup Jawa, maka laku kebatinan Jawa juga sejalan dengan ketiga hal tersebut. Laku kebatinan jawa terbagi dalam tiga golongan, antara lain:
1. Laku kebatinan sebagai bagian dari ritual manembah kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai sistem religi Jawa.
2. Laku kebatinan yang berhubungan dengan menjaga panunggalan semesta yang berkaitan dengan mitologi Jawa.
3. Laku kebatinan yang berhubungan dengan upaya mencapai tingkatan titah utama.
Spiritualisme keberadaban manusia, selanjutnya merupakan laku kebatinan untuk mencapai derajat manusia utama yang disebut kesempurnaan hidup yang sejati.
Laku kebatinan ini lebih mengutamakan kepada pendidikan moral yang disebut Piwulang Kautaman. Isi ajarannya tentang budi pekerti luhur yang harus dipenuhi setiap insan yang bercita-cita menjadi titah utama.
Cukup luas cakupan laku spiritualisme keberadaban manusia, namun intinya adalah upaya menyelenggarakan hidup bersama yang tata tentrem kerta raharja. Termasuk dalam hal ini laku kebatinan untuk kepentingan mendapatkan berbagai daya linuwih untuk menunjang kehidupan di duniawi.
Laku kebatinan juga digunakan untuk mencari pesugihan, aji-aji, gendam, jimat, pusaka, dan sebagainya. Ilmu kebatinan jenis ini dalam Wedhatama dianggap kurang baik, karena dianggap melakukan persekutuan (kekarangan) dengan bangsa gaib,
sebagaimana tercantum dalam pupuh Pangkur Wedhatama bait 9 berikut:
“Kekerane ngelmu karang, kekarangan saking bangsaning gaib, iku boreh paminipun, tan rumasuk ing jasad, amung aneng sajabaning dagng kulup, yen kapengok pancabaya, ubayane mbalenjani”.
(Pengaruh itu berteman atau menadakan perjanjian (minta pertolongan) kepada bangsa gaib. Yang seperti itu ibaratnya hanya bedak yang tidak masuk ke jiwa raga. Tempatnya masih di luar daging. Ketika digunakan untuk menghadapi bahaya, biasanya malah jadi hambar, tidak berdaya guna)
Laku kebatinan lain yang juga dipercaya dalam spiritualitas Kejawen terdiri atas tiga tingkatan, yaitu seperti Maneges, Semedi, dan Wiridan.
[Maneges] adalah perilaku kebatinan yang diwujudkan dalam kegiatan bertapa di tempat-tempat sepi yang bertujuan untuk meminta petunjuk Tuhan. Ada yang menyebutnya sebagai Sembah Jiwa kepada Tuhan.
[Semedi] yang istilah populernya adalah meditasi, yaitu suatu kediatan kebatinan yang memiliki tujuan untuk mencapai ketenteraman batin dan menatadayaning urip (prana jati) agar dapat diberdayakan dalam menjalani hidup.
[Wiridan] yaitu kegiatan batin dengan membaca atau melafalkan rapal (japa mantra) yang isinya untuk berserah diri kepada Tuhan. Umumnya dilakukan dengan rutin, dengan hitungan-hitungan tertentu.
Ada banyak tatacara maneges, semadi, dan wiridan. Setiap penekunan kebatinan Jawa memiliki tatacara sendiri. Ada yang mudah dijalankan, ada yang sangat sulit, bahkan mustahil. Ada yang hanya dilakukan begitu saja tanpa syarat dan dgn sarana apa-apa, tergantung masing-masing orang
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Banyak yang mengatakan, “Wong Jowo Ora Njawani” yang artinya orang Jawa tidak menunjukkan tabiat orang Jawa yang sesungguhnya. Tingkah laku, moral dan kepribadiannya sudah bukan orang Jawa yang sesungguhnya.
Banyak yg beranggapan, bahwa ajaran moral dan filosofi hidup orang Jawa itu sudah tidak relevan lagi dgn kehidupan skrg yg serba canggih. Sehingga bukan hal yg mustahil kalau ajaran moral dan filosofi hidup orang Jawa yg diturunkan oleh nenek moyang kita itu bakalan lenyap.
Padahal, ajaran moral dan filosofi hidup orang Jawa tersebut memiliki makna yang sangat mendalam yang mengarah ke kebahagiaan hidup. Selain itu, jika dicocokkan dengan ajaran agama apa saja juga tidak ada penyimpangan.
Alam akan memberikan kabar. Nenek moyang kita bangsa nusantara ini khususnya Jawa selalu gemar lelaku mendekatkan diri atau menyatu dengan alam guna mendapatkan kabar apa yang akan bakal terjadi di muka bumi sebelum ilmu teknologi seperti sekarang ini ada.
Lelaku lelana laladan sepi menghisap energi-energi alam semesta entah itu energi matahari, bulan bintang angin, atau air lautan dll semua ini bisa sangat bermanfaat apabila si pelaku spiritual tadi sudah bisa sambung rasa.
Sambung rasa atau selaras dengan alam bumi jawa tentunya harus sama gelombang energi elektromagnetik kita dengan si alam bumi jawa yang sudah di pasang dan di rancang oleh leluhur tanah jawa.
Percaya tidak percaya. Kita harus kembali pada diri kita masing-masing. "Ingat ngger Leluhur sudah turun gunung". Persiapkan dirimu, leluhur sedang mencari wadah untuk singgah. Wadah itu ya diri kita ini. Yang jelas leluhur tidak asal pilih wadah.
Apabila leluhur sudah mengikutimu, membimbingmu. Hidupmu akan ayem tentrem. Beliau adalah guru spiritual/ghaibmu yang akan menuntunmu ke jalan Tuhan jalan kebenaran.
Pernahkah kamu merasa kalau dunia ini sudah tua? Leluhur turun gunung itu bukan asal turun, tapi beliau sayang terhadap kita anak cucunya, beliau nangis melihat tingkah-tingkah konyol kita yang serakah, sombong, merasa paling hebat, merusak tatanan alam, adu domba dll.
Jiwa yang tak terkendali vs Jiwa yang tak terkontrol.
Jiwa yang tak terkendali:
akan terus-menerus berubah-ubah, dari pikiran yang satu ke pikiran yang lain. Jiwa bahkan tak mau tinggal diam barang sedetik pun. Tak lama setelah muncul suatu pikiran, pikiran lain datang, dan ini tidak pernah berakhir.
Sekalipun sedang tertidur, jiwa yang tidak beristirahat ini membuat susah kita dalam mimpi. Ia berteriak, melompat, memberi dan menerima pukulan sepanjang waktu.
1.Mbok Parawan sangga wang duhkiteng kalbu
Jaka Lodang nabda malih
Nanging ana marmanipun
Ing waca kang wus pinesthi
Estinen murih kelakon
Mendengar segalanya itu Mbok Perawan merasa sedih.
Kemudian Joko Lodang berkata lagi:
“Tetapi ketahuilah bahwa ada hukum sebab musabab,
di dalam ramalan yang sudah ditentukan haruslah diusahakan supaya segera dan dapat terjadi “.
2.Sangkalane maksih nunggal jamanipun
Neng sajroning madya akir
Wiku Sapta ngesthi Ratu
Adil parimarmeng dasih
Ing kono kersaning Manon
1. Pangeran iku siji, ana ing ngendi papan langgeng, sing nganakake jagad iki saisine dadi sesembahane wong sak alam kabeh, nganggo carane dhewe-dhewe.
2. Pangeran iku ana ing ngendi papan, aneng siro uga ana pangeran, nanging aja siro wani ngaku pangeran.
3. Pangeran iku adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan.
4. Pangeran iku langgeng, tan kena kinaya ngapa, sangkan paraning dumadi.
5. Pangeran iku bisa mawujud, nanging wewujudan iku dudu Pangeran.
6. Pangeran iku kuwasa tanpa piranti, akarya alam saisine, kang katon lan kang ora kasat mata.