1. Saya bilang begini kepada teman secara langsung. Jika saya meminta Anda berjalan kaki dari Magelang ke Surabaya kira-kira Anda merasa susah tidak? Teman saya menjawab,"Susah, Bib."
2. Lalu saya bertanya lagi, Apakah Anda pernah berumur 7 bulan. Teman saya menjawab,"Pernah, Bib." Nah, ketika Anda berumur 7 bulan, ibu Anda meletakkan bubur di samping Anda. Ibu Anda meminta Anda makan sendiri. Kira-kira susah mana berjalan ke Surabaya atau makan sendiri?
3. Teman saya menjawab,"Susah makan sendiri, Bib." Kemudian saya jelaskan di mana letak kesusahannya saat teman saya berjalan kaki dari Magelang ke Surabaya. Ternyata ia sadar berjalan kaki dari Magelang ke Surabaya tidak susah karena ia memiliki kemampuan.
4. Jika begitu makan sendiri adalah kesusahan karena Anda tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya. Saya bilang kepada teman saya,"Ketahuilah bahwa beban berat dalam hidup Anda telah ditanggung oleh kedua orang tua Anda. Kini, Anda hanya menanggung sisanya saja.
5. Dan sisa itu adalah beban hidup yang ringan karena Anda telah memiliki kemampuan untuk menjalaninya. Sebab itu, Anda tidak perlu lagi mengeluh. Teman saya hanya bisa berkata,"Nggih, Bib." Terima kasih.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Penjelasan itu mengingatkan saya mengenai Imam Alghazali yang banyak merujuk hadis-hadis daif dalam karya-karyanya terutama kitab Ihya. Selain itu, Yusuf al-Qardawi juga menulis الغزالي بين مادحيه وناقضيه. Dlm buku itu dibahas persoalan hadis di kalang ulama hadis dan para sufi.
Pernah saya berfantasi lalu membayangkan berdialog dengan Imam Alghazali mengenai penggunaan hadis-hadis daif dalam kitab-kitabnya. Saya mengajukan satu pertanyaan kepada Imam Alghazali : Wahai Imam, mengapa Anda menggunakan hadis-hadis daif dalam karya-karya Anda?
1. Pertama-tama, kita memahami manusia terlebih dahulu. Seperti dijelaskan oleh Imam Alghazali dalam Kimiya as-Sa'adah bahwa manusia terdiri dari sesuatu yang berasal dari alam penciptaan (عالم الخلق) dan sesuatu yang berasal dari alam kekuasaan (عالم الأمر).
2. Bagian manusia yg berasal dari alam penciptaan disebut tubuh. Sedangkan bagian manusia yg berasal dari alam kekuasaan disebut ruh. Dalam pandangan Alghazali, kata ruh, akal, hati dan jiwa merupakan kata-kata yg mengacu pada bagian manusia yg berasal dari alam kekuasaan.
Sebuah pertanyaan nakal terlontar dari seseorang kepada saya : Mengapa salat lebih baik daripada tidur? Orang itu ingin memberikan jawaban yang bisa diterima oleh akal.
Mengapa tidak dikatakan salat lebih baik daripada zakat atau lainnya tapi salat lebih baik daripada tidur? Lalu apa yang menerik dari tidur itu?
Sesungguhnya jiwa dan raga berada dalam genggaman Allah pada saat manusia melakukan salat. Sementara itu, jiwa berada dalam genggaman Allah pada saat manusia tidur. Sebab itu, salat lebih baik daripada tidur.
1. Sambil rebahan, saya ingin membahas tentang tidur karena secara umum manusia membutuhkan delapan jam untuk tidur. Padahal delapan jam itu sepertiga umur dalam sehari (dua puluh empat jam). Seandainya umur manusia enam puluh tahun maka sepertiganya digunakan untuk tidur.
2. Sebab itu, membahas tidur sangat penting karena menghabiskan sepertiga umur manusia. Jika umur seseorang enam puluh tahun maka sepertiga itu dua puluh tahun. Tentu waktu dua puluh tahun itu banyak sekali.
1.دعاء العامة بالأقوال ودعاء الزهاد بالأفعال ودعاء العارفين بالأحوال (الرسالة القشيرية)
Doa orang-orang awam dengan perkataan-perkataan, doa orang-orang zuhud dengan perbuatan-perbuatan dan doa orang-orang arif dengan suasana-suasana hati. (ar-Risalah al-Qusyairiyyah)
2. Sekarang, saya akan menjelaskan maksud dari doa orang-orang awam. Misal, mereka berdoa kepada Allah di malam hari agar diberi banyak rezeki. Namun mereka tidak bekerja sama sekali di pagi harinya. Jadi, mereka berdoa hanya dengan perkataan-perkataan saja.
Misal, jika orang ditanya apakah Anda percaya bila Allah memberikan pertolongan kepada Anda saat mencari rezeki? Orang itu menjawab, "Saya percaya bila Allah memberikan pertolongan pada saat saya mencari rezeki."
Kemudian orang itu ditanya lagi, Apakah Anda merasakan susah pada saat mencari rezeki? Seandainya orang itu menjawab," Saya merasakan susah dalam mencari rezeki." Sekarang direnungkan Allah memberikan pertologan kepada orang itu tapi ia masih saja merasakan susah dalam hatim
Bukankah perasaan susah dalam hati merupakan bukti nyata bahwa orang itu tidak mengakui pertolongan Allah pada saat mencari rezeki?