Ketika teriak kita bersama dan diksi "LAWAN" kita ramaikan, aparat bertindak. Apa yang terjadi dalam ruang sempit tak terlihat aparat menjadi benderang dan negara bertindak.
Sepuluh orang ditangkap dan 6 diantaranya telah memenuhi unsur. Mereka adalah ormas yang membubarkan acara kuda kepang di Medan.
"Untuk melampiaskan kekesalannya serta jangan sampai terjadi pemukulan, maka dia pilih dengan cara tindakan ringan yaitu meludahi. Tapi intinya pembubaran itu karena tidak ada izin dan melanggar prokes COVID-19" demikian ungkap salah seorang pimpinan ormas itu.
Design dalam pikiran orang itu sudah kacau balau. Entah karena dia memiliki seragam atau rasa bahwa dirinya adalah bagian dari sebuah sistem sehingga merasa berhak mengambil alih sebuah peristiwa yang dianggap tak pada tempatnya
dan dia langsung menempatkan dirinya sebagai bagian dari aparat dan maka bertindak.
.
.
Itu bukan terjadi begitu saja. Itu sudah terpola dalam benar pikirannya sejak lama dan sejak pernah merasa diijinkan.
Itu mereka identifikasikan dengan seragam yang menempel pada tubuhnya. Doreng dan berbaret, tegap langkahnya dan garang sikapnya hanya kamuflase kepengecutan dalam rasa. Keroyokan dan bergerak dengan cara bergerombol tetap merupakan caranya bertindak.
Budaya itu milik kita. Tradisi itu juga tentang jejak siapa kita di masa lampau. Mereka yang datang sebagai tamu tak pantas berkata ini baik dan itu tak benar. Bukan ranah mereka berbicara apalagi bertindak sebagai polisi.
Satu kata kita bila itu terjadi adalah LAWAN..!!
Itu tentang kita sebagai pemilik rumah berikut halamannya. Di sana, apa saja perabotan di dalam rumah dan tanaman jenis apa kita ingin tanam adalah tentang merdeka kita sebagai pemilik. Demikian pula siapa yang boleh dan akan tinggal di sana.
Tak ada tempat bagi tamu tak tahu diri dan ingin mengatur. Itu harus kita mulai ikrarkan bersama dalam satu tekad bila kita tak ingin rumah dan halaman kita mereka rampok.
.
.
.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Ketika anda petani, dan anda tahu bahwa 5 bulan lagi kopi di kebun seluas 11 hektar milik anda siap panen, adakah persiapan khusus harus dilakukan?
Yang jelas, Itu panenan besar. Itu bisa dan sebaiknya harus dilihat dari sisi pandang sebagai pintu masuk bagi langkah lebih besar ingin kita capai. Itu juga moment strategis bagi masa depan harus mendapat pijakan.
Sama sekali tak boleh kita lewatkan dan maka segala persiapan, perhitungan hingga hal-hal detil terkait masa panen itu menjadi concern kita. Itu hal logis atas pandangan kaum yang peduli dengan masa depan.
SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA
.
.
.
Menang atas apakah 1 Syawal kita maknai? Ramadan adalah jembatan itu.
Kita tak perlu tersinggung apalagi marah karena sebab kritik sebagian saudara kita bahwa di masa Ramadan ini kita lebih boros padahal secara logika seharusnya tidak.
Bukan mereka mencibir karena tanpa sebab, itu memang benar terjadi pada kita. Itu fakta yang dengan mudah terlihat pada statistik pasar. Dan pasar, tak pernah bohong.
Menjemput kemenangan 1 Syawal bukan tentang tangan kanan berpedang, tangan kiri bertameng dan tubuh terbungkus zirah kita maju merebutnya, hati terbuka dalam belas kasih pada sesamalah asa kita berbisik ingin itu didengar.
B U K I T A L G O R I T M A
.
.
.
.
Dimana Asa Kita Mulai Disemai
.
.
Belum lama ini bu Sri Mulyani berujar betapa sulit negeri ini keluar dari jebakan sebagai negara berpenghasilan menengah. Bahasa kerennya middle income country.
Seperti kutukan, predikat itu tetap melekat pada kita seumur hidup.
"Apa susahnya sih menjadi negara kaya?"
Mudah bagi kita mendirikan toko kelontong sepanjang ada modal dan tempat.
Menjadikan dia besar, butuh effort. Saat toko kelontong itu hanya mampu memberi kita hasil cukup bagi sekedar makan, kita masih dianggap dalam klasifikasi miskin.
Sepertinya Isu soal pelanggaran HAM pada proyek Mandalika oleh pakar PBB untuk Hak Asasi Manusia yang mendesak Pemerintah Indonesia menghormati HAM dan hukum yang berlaku terlalu hiperbola. Berlebih-lebihan sebagai sebuah fakta.
Bukankah bila benar pemerintahan Jokowi terindikasi melanggar HAM, FZ, NP hingga barisan ondel - ondel tanpa rem sudah heboh kebakaran jenggot bukan?
Cerita itu memang pernah mencuat pada Oktober 2020 saat 15 orang pengadu dengan 17 bidang lahan mempermasalahkannya. Itu terkait tumpang tindih dan klaim lahan yang seharusnya wilayah perdata.
Bila anda percaya bahwa pohon yang baik juga akan memberikan kita buah yang baik, Gibran pantas kita anggap buah itu.
Namun apakah buah yang baik pasti akan memberi kita hasil maksimal, itu tergantung bagaimana cara kita merawatnya.
Petani tahu cara kerjanya. Mata petani tahu sejak buah itu masih berupa bunga dan maka dia tahu pula bagaimana mengelola perkara itu sehingga hasil maksimal dia dapat.
Sebagai anak dari pasangan keluarga yang baik, Gibran adalah aset.
Aset itu kini ingin dipanen, ingin diambil manfaat baik atas seharusnya baik yang sama telah dibuat oleh kedua orang tuanya. Dan maka dia diminta menjadi Walikota Solo seperti dulu bapaknya pernah.
Bila 70% halaman rumah kita adalah air, seharusnya kita pasti lebih mengerti tentang apa itu konsep air. Kaki dan badan kita senang dengan basah-basah dan kita pandai berenang.
Kita mencari sekaligus mendapati banyak keuntungan atas air melimpah kita miliki.
Ikan dan segala jenis makhluk hidup di sana adalah makanan kita, mata pencaharian kita. Kita berperahu dan memanennya sebagai berkah.
Di sana, kita pun mengenal apa itu perahu dengan segala perniknya. Termasuk ilmu navigasi di dalamnya.
"Adakah alasan logis sehingga kita tak lagi mengenalnya? Tak mengambil manfaat atas itu?"