DI kalangan pemeluk Agama Buhun, Engkus Ruswana dikenal sebagai ketua umum Budi Daya, organisasi kemasyarakatan yang mengurusi para pemeluk ajaran Mei Kartawinata. Budi Daya hanyalah salah satu di antara tiga organisasi yang melayani para penghayat dari komunitas yang sama. Dua
lainnya Aji Dipa dan Aliran Kepercayaan Perjalanan (AKP).
Ruswana punya definisi tentang agama. Muasal kosakata “agama” menurutnya adalah hagama, dari bahasa Kawi. Ha untuk “ada” dan gamana untuk “aturan atau jalan”. Dari sana, Ruswana mengartikan agama sebagai “ada aturan atau
jalan (lebih baik)” dan ke sanalah sebenarnya tujuan ajaran-ajaran Mei Kartawinata bermuara.
Untuk membangun jalan dalam mencapai tatanan sosial yang lebih baik, Agama Buhun berpijak pada tiga elemen utama. Spiritualitas individu berdasar ketuhanan. Kemanusiaan berdasar
persamaan. Kebangsaan berdasar karakter dan nation building.
Apa boleh buat, negara melarang apa yang diyakini Ruswana sebagai agama. Larangan ini ada aturan yuridisnya: UU No. 1/1965, yang kemudian diikuti Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.1/
1969. Kombinasi aturan ini dipagari Ketetapan MPR No IV/1978 yang menggariskan bahwa “kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama.” Sebuah frasa aneh, dan nyaris tak memiliki logika. Pertanyaannya, apakah ketidakpercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan
Apapun, demi aturan main dan loyalitas pada negara, para pemeluk ajaran Mei Kartawinata menamai agama mereka Aliran Kepercayaan Perjalanan, biasa disingkat AKP, sebuah nama yang kemudian dijadikan nama organisasi bagi salah satu sekte penghayat ajaran Mei Kartawinata. Siapa
Kartawinata?
Nama itu pernah dikenal dalam jagat politik Indonesia tahun 1950-an. Dia pendiri Partai Permai (Persatuan Rakyat Marhaenis). Pada pemilihan umum 1955, Permai mendapatkan dua kursi di konstituante. Kartawinata juga pernah menjadi nama penting dalam jagat seni. Dia
menjadi figur sentral di balik pendirian Pebadi (Paguyuban Dalang Indonesia). Kartawinata suka wayang. Melalui wayang, dia memompakan ajaran-ajarannya.
Peneliti Abdul Rozak – sehari-harinya menjabat dekan Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Sunan Gunung Djati, Bandung –
banyak memberikan informasi seputar riwayat hidup Mei Kartawina melalui bukunya itu. Di luar pendekatannya terhadap teologi Agama Buhun, Engkus Ruswana mengafirmasi kebenaran fakta di dalam buku itu. Tokoh-tokoh Agama Buhun lainnya seperti Aa Suara Adinegara, Usup Sudarsa,
Suparman, atau Endang Rasidi, menyatakan sependapat.
“Ajaran Mama Mei tidak berbeda dengan Sunda Wiwitan,” kata Engkus Ruswana. Sunda Wiwitan yang diacunya adalah kepercayaan paling asal di kalangan komunitas Sunda, yang kini dilestarikan oleh orang-orang Baduy di Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten, sumber dari semua sekte Sunda
Wiwitan yang berkembang di tanah Sunda.
Satu contoh, jika Agama Sunda Wiwitan menyebut Yang Mahakuasa sebagai Sanghiang Keresa, Agama Buhun menyebutnya Maha Kersa.
Baik Agama Sunda Wiwitan maupun Agama Buhun sangat menghormati alam, suatu heroisme yang tak ditemukan dalam Hindu
dan Budha. Robert Wessing, peneliti dari Universitas Western Kentucky, Amerika, dalam Cosmology and Social Behavior in West Java Settlement, menguatkan pendapat itu. Tesisnya, dalam masyarakat Sunda, alam adalah pusat kosmologi adat dan kepercayaan paling signifikan.
ADA tanda strip di Kartu Tanda Penduduk (KTP) milik Engkus Ruswana. Atheiskah orang ini? Kesalahan komputer di catatan sipil? Atau lebih serius lagi: dia sedang dalam kontrol negara?
Hampir tak bisa dibantah, KTP bisa menjadi celah kecil negara untuk mengintip gerak-gerik
rakyatnya, terutama mereka yang dianggap berbahaya. Lihat apa yang terjadi pada eks tahanan politik (tapol) Partai Komunis Indonesia. Mereka dianggap bahaya laten, bisa bangkit kapan waktu dan kembali ke gelanggang politik. Negara merasa perlu untuk terus memonitor mereka.
Ekornya, sebuah kebijakan sarkastis diberlakukan: KTP berlabel ET, singkatan dari “eks tapol”.
Hasilnya cespleng. Mereka kini tak punya kemampuan untuk leluasa bergerak. Paralel dengan ini, langkah mereka untuk memasuki pintu politik pun mandeg sama sekali. Mereka malahan tak
Contoh paling terkenal adalah Dewi Kanti, seorang penganut Agama Sunda Wiwitan, aliran kepercayaan yang dikembangkan kakeknya, Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan. ADS (Agama Djawa Sunda), inilah cap buruk yang diberikan kolonial Belanda untuk ajaran Madrais. Si empunya lakon
belakangan ditangkap, lalu dibuang ke Ternate dan baru kembali ke kampung halamannya sekitar tahun 1920 untuk melanjutkan pengembangan ajarannya, terutama di sekitar kampung halamannya. Agama Sunda Wiwitan versi Madrais, akhirnya dikenal juga sebagai Agama Cigugur.
“Saya sudah
mendapatkan KTP sekarang,” kata Dewi Kanti, awal Maret lalu. Tengah malam sebentar lagi tiba, Dewi Kanti masih bersemangat menceritakan pengalamannya untuk memiliki KTP. Katanya, selama bertahun-tahun dia tak pernah berhenti mendata kasus-kasus KTP para penghayat untuk meyakinkan
Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo (kiri) bersama pegiat isu pluralisme Imdadun Rahmat memberi keterangan di Kantor Dewan Pers Jakarta, Rabu (12/12). Dewan Pers memberi keterangan terkait pemenang Yap Thiam Hien Award 2018. (Liputan6.com/JohanTallo)
Sekilas Samin Surosentiko
Samin Surosentiko sendiri diceritakan berasal dari keturunan keraton, kemudian keluar dari lingkungan keluarganya dengan berbaur dengan masyarakat biasa untuk mengadakan perlawanan terhadap penjajah, Belanda.
"Intinya, leluhur kami menentang penjajahan Belanda. Karena tidak
boleh membunuh karena ajarannya semua manusia yang ada di bumi merupakan saudara sehingga agar bisa tetap hidup harus menjalin bekerja sama," ujarnya dalam bahasa jawa.
Adapun perlawanan terhadap penjajahan, yakni dengan cara membangkang dengan tidak membayar pajak, menolak
dikenali dengan sebutan komunitas Samin yang bermukim di Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, menyatakan dukungannya terhadap usulan terhadap Samin Surosentiko sebagai pahlawan nasional.
"Sebetulnya usulan tokoh Samin Surosentiko menjadi pahlawan nasional sudah lama
muncul. Kalaupun saat ini kembali digaungkan, kami warga Sedulur Sikep yang berada di Desa Larikrejo, Kecamatan Undaan, Kudus, sangat mendukung," kata Tokoh Sedulur Sikep Desa Larikrejo Budi Santoso yang juga dianggap sebagai tokoh penghayat kepercayaan, ketika dimintai
Di tahun 1950-an saat pecah pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar, Bissu merupakan salah satu pihak yang paling menderita. Kahar Muzakkar menganggap kegiatan para Bissu ini adalah menyembah berhala, tidak sesuai dengan ajaran Islam dan membangkitkan feodalisme. Karena itu kegiatan,
alat-alat upacara, serta para pelakunya diberantas. Ratusan perlengkapan upacara dibakar atau di tenggelamkan ke laut. Banyak sanro (dukun) dan Bissu di bunuh atau dipaksa menjadi pria yang harus bekerja keras.
Penderitaan para Sanro dan Bissu masih berlanjut ketika Orde Lama
(Orla) ditumbangkan oleh rejim Orde Baru (Orba) pada tahun 1965. Keributan yang menyoroti arajang dan pelaksanaan upacara mappalili terjadi di Segeri. Arajang hampir diganyang oleh salah satu ormas pemuda yang berkuasa ketika itu. Para Bissu dan mereka yang percaya akan kesaktian