Tidak biasanya saya “mencolek” @tempodotco, tetapi kali ini saya merasa perlu sedikit mencolek, apalagi ini berhubungan dengan akurasi pemberitaan.
1. Pelajaran pertama, konjungsi dan preposisi TIDAK ditulis kapital dalam judul. Ini aturan paling standar.
2. Sebentar! ADA perbedaan makna antara “tidak” dan “tidak lagi”. Sederhana saja, kalimat “saya tidak mau makan” dan “saya tidak lagi mau makan”, misalnya, tentu berbeda maknanya. Ketika saya bilang bahwa “saya TIDAK mau makan” konteksnya pada saat itu.
Namun, kalau saya bilang “saya TIDAK LAGI mau makan, artinya mungkin untuk selamanya atau, setidaknya untuk waktu yang lama.
Masalahnya, bagaimana bisa si penulis MENGINTERPRETASIKAN bahwa dosen dan mahasiswa UI TIDAK LAGI mau belajar tatap muka, SEMENTARA survei yang dilakukan pihak kampus adalah survei tentang kesiapan kegiatan belajar mengajar secara tatap muka?
Salah satu kata (kurang atau menambahkan kata tertentu) dapat berakibat pada keakurasian berita. Dalam hal ini, judul berita Tempo.co tersebut sama sekali salah dan bahkan bisa dikatakan hoaks.
Yang jelas, saya bisa pastikan bahwa dosen dan mahasiswa UI untuk sementara waktu memilih untuk tidak melakukan KBM tatap muka, tetapi bukan berarti tidak lagi menginginkannya!
3. Apa kaitan antara foto (gedung rektorat) dengan takarir “MWA UI akan menyelenggarakan webinar dengan tema ‘Covid-19 dan Percepatan Pemulihan Ekonomi 2021: Harapan, Tantangan, dan Strategi Kebijakan’?”
Ngawur!
4. Kesalahan interpretasi ternyata tidak hanya ada pada judul, tetapi juga dituliskan dalam isi berita.
5. Kata “online” harus ditulis miring.
6. Kegiatan belajar mengajar BUKAN nama diri. Jangan ditulis kapital karena itu CUMA jenis kegiatan, BUKAN nama kegiatan.
7. Sama seperti nomor 6. Lagi pula, kalau pada paragraf sebelumnya sudah dibuat singkatannya dalam tanda kurung (KBM), untuk apa dibuat lagi kepanjangannya?
8. Kenapa “mahasiswa” harus ditulis kapital?
9. Kenapa “dosen” harus ditulis kapital?
10. Kenapa “bauran” harus ditulis kapital?
11. Frasa “blended-learning” harus ditulis miring.
12. Kenapa “semester gasal tahun akademik” harus ditulis kapital?
13. Kenapa “bauran” harus ditulis kapital?
14. Harus ada tanda koma sebelum “dan”.
15. Frasa “blended-learning” harus ditulis miring.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Mana yang disebut nama sekolah? SD 05 Sukamaju, misalnya. Itu NAMA sekolah, tetapi SD itu sendiri bukan nama. Karena itu kepanjangan-nya tidak ditulis dengan huruf kapital.
Apakah KTP itu nama kartu? Bukan, itu CUMA JENIS kartu. KTP hanyalah jenis dokumen penanda identitas berbentuk kartu. Karena itu, kartu tanda penduduk hanyalah JENIS kartu.
Salah satu “masalah” jurnalis saat ini adalah sering kali “mengaku-ngaku” mewawancarai narasumber, padahal cuma mengutip dari siaran pers. Ini sering terjadi dan sudah jadi kebiasaan. Mengapa? Karena si editornya pun tidak peduli. Padahal, yang seperti ini termasuk pembohongan.
Loh, kok pembohongan? Iya dong, mengeklaim sesuatu yang tidak dilakukan itu berarti kan pembohongan sekalipun “tidak langsung”.
Coba perhatikan, kalau kita menuliskan “kata”, “ucap”, “komentar”, dsb., setelah kutipan langsung, itu berarti kita mewawancarai langsung si narasumber. Tidak harus bertemu langsung, bisa jadi lewat saluran telekomunikasi. Yang jelas, tidak melalui perantara.
Soal bocoran. Pertama, soal UTBK ini termasuk rahasia negara, tetapi (sepemahaman saya), sebuah set soal bersifat rahasia hanya sampai soal itu selesai dikerjakan. Setelah itu, ya ... bukan rahasia lagi namanya. Itu pertama.
Jadi, jika ada oknum-oknum yang menyebarkan soal UTBK yang sudah dikerjakan, itu bukan “bocoran”, melainkan soal UTBK yang sudah dikerjakan saja. Apakah rahasia? Tidak. Apakah ada larangan menyebarluaskan soal tersebut? Saya enggak yakin, hanya saja, ini lebih ke masalah etika.
Definisi “bocoran” (dalam pemahaman saya) adalah sesuatu yang belum diungkapkan (atau dalam konteks UTBK, belum dikerjakan sejak hari pertama), tetapi kemudian disebarluaskan oleh pihak tertentu. Itu namanya “bocoran”.
Tahun lalu itu berat. Bukan karena angkatan 2020 enggak bisa. Saya mengikuti angkatan 2020, segala “drama” di media sosial, “drama Ambisverse”, saya kenal banyak anak 2020 (sekalipun belum pernah bertemu langsung), mereka luar biasa “ambis”.
Belum lagi, catatan bertebaran di mana-mana, timeline Twitter saya tiba-tiba penuh dengan catatan matematika dan bahasa Indonesia. Angkatan 2020 itu semangat juangnya luar biasa.
Namun, tahun lalu memang enggak mudah, ditambah ujiannya pun enggak mudah. Tiap hari, “laporan” yang saya terima itu hampir sebagian besar laporan kesedihan, enggak ada yang seperti tahun ini.