Salah satu “masalah” jurnalis saat ini adalah sering kali “mengaku-ngaku” mewawancarai narasumber, padahal cuma mengutip dari siaran pers. Ini sering terjadi dan sudah jadi kebiasaan. Mengapa? Karena si editornya pun tidak peduli. Padahal, yang seperti ini termasuk pembohongan.
Loh, kok pembohongan? Iya dong, mengeklaim sesuatu yang tidak dilakukan itu berarti kan pembohongan sekalipun “tidak langsung”.
Coba perhatikan, kalau kita menuliskan “kata”, “ucap”, “komentar”, dsb., setelah kutipan langsung, itu berarti kita mewawancarai langsung si narasumber. Tidak harus bertemu langsung, bisa jadi lewat saluran telekomunikasi. Yang jelas, tidak melalui perantara.
Sementara itu, informasi yang didapatkan @kompascom dan @tempodotco ini BERASAL dari siaran pers. Si penulis sama sekali TIDAK bertemu langsung dengan Kepala Biro Humas UI Amelita Lusia.
Oleh karena itu, jurnalis TIDAK seharusnya menuliskan ungkapan-ungkapan, seperti “kata” atau “ucap” seolah-olah mereka mewawancarai langsung narasumber.
Seharusnya bagaimana?
Ya, buatlah seperti ini:
… demikian disampaikan Kepala Biro Humas dan Keterbukaan Informasi Publik Amelita melalui siaran pers yang diterima KOMPAS.com, Senin (19/4).
Atau
… demikian menurut siaran pers yang diterima KOMPAS.com, Senin (19/4).
Terkesan sepele, tetapi jurnalisme BUKAN perkara sepele. Kalau mau sepele, ada tempatnya: blog.
Jurnalisme bukan perkara sepele. Tiap kata yang dituliskan harus dipertanggungjawabkan secara profesional.
Lagi pula, hanya karena nama Amelita Lusia tercantum dalam informasi narahubung siaran pers tersebut, itu TIDAK BERARTI bahwa Amelitalah yang “mengatakan” informasi tersebut. Sebetulnya, yang mengeluarkan informasi tersebut Biro Humas dan KIP UI, BUKAN Amelita secara pribadi.
Nama Amelita muncul sebagai informasi narahubung dan KEBETULAN beliau menjabat sebagai kepala Biro Humas dan KIP UI, tetapi itu TIDAK BERARTI informasi tersebut datang atau diutarakan langsung oleh yang bersangkutan.
Hal yang sama pun dilakukan @tempodotco. Khusus media yang satu ini, saya juga mau menyoroti penulisan nama yang tidak profesional: Amel.
Halo, @tempodotco, situ “ngerasa” akrab sama Amel? Memang sudah yakin panggilan Amelita pasti Amel? Bagaimana kalau ternyata bukan?
Jadi, lagi-lagi, ini perkara sederhana, tetapi sering kali pemikiran jurnalis dan editor media-media kita di Tanah Air tidak (mampu) sampai sana.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Mana yang disebut nama sekolah? SD 05 Sukamaju, misalnya. Itu NAMA sekolah, tetapi SD itu sendiri bukan nama. Karena itu kepanjangan-nya tidak ditulis dengan huruf kapital.
Apakah KTP itu nama kartu? Bukan, itu CUMA JENIS kartu. KTP hanyalah jenis dokumen penanda identitas berbentuk kartu. Karena itu, kartu tanda penduduk hanyalah JENIS kartu.
Tidak biasanya saya “mencolek” @tempodotco, tetapi kali ini saya merasa perlu sedikit mencolek, apalagi ini berhubungan dengan akurasi pemberitaan.
1. Pelajaran pertama, konjungsi dan preposisi TIDAK ditulis kapital dalam judul. Ini aturan paling standar.
2. Sebentar! ADA perbedaan makna antara “tidak” dan “tidak lagi”. Sederhana saja, kalimat “saya tidak mau makan” dan “saya tidak lagi mau makan”, misalnya, tentu berbeda maknanya. Ketika saya bilang bahwa “saya TIDAK mau makan” konteksnya pada saat itu.
Namun, kalau saya bilang “saya TIDAK LAGI mau makan, artinya mungkin untuk selamanya atau, setidaknya untuk waktu yang lama.
Soal bocoran. Pertama, soal UTBK ini termasuk rahasia negara, tetapi (sepemahaman saya), sebuah set soal bersifat rahasia hanya sampai soal itu selesai dikerjakan. Setelah itu, ya ... bukan rahasia lagi namanya. Itu pertama.
Jadi, jika ada oknum-oknum yang menyebarkan soal UTBK yang sudah dikerjakan, itu bukan “bocoran”, melainkan soal UTBK yang sudah dikerjakan saja. Apakah rahasia? Tidak. Apakah ada larangan menyebarluaskan soal tersebut? Saya enggak yakin, hanya saja, ini lebih ke masalah etika.
Definisi “bocoran” (dalam pemahaman saya) adalah sesuatu yang belum diungkapkan (atau dalam konteks UTBK, belum dikerjakan sejak hari pertama), tetapi kemudian disebarluaskan oleh pihak tertentu. Itu namanya “bocoran”.
Tahun lalu itu berat. Bukan karena angkatan 2020 enggak bisa. Saya mengikuti angkatan 2020, segala “drama” di media sosial, “drama Ambisverse”, saya kenal banyak anak 2020 (sekalipun belum pernah bertemu langsung), mereka luar biasa “ambis”.
Belum lagi, catatan bertebaran di mana-mana, timeline Twitter saya tiba-tiba penuh dengan catatan matematika dan bahasa Indonesia. Angkatan 2020 itu semangat juangnya luar biasa.
Namun, tahun lalu memang enggak mudah, ditambah ujiannya pun enggak mudah. Tiap hari, “laporan” yang saya terima itu hampir sebagian besar laporan kesedihan, enggak ada yang seperti tahun ini.