Iuran BPJS itu ya pada prinsipnya pajak, bukan premi asuransi. Sifatnya wajib, bukan sukarela. WNI nggak boleh opt-out/unsubcribe.
Kenapa nggak digabung pajak-biasa? Supaya pengelolaannya fleksibel—nggak terganggu batasan PTKP, jadwal RAPBN, dan segala tetek bengek sistem pajak.
Program "Saling Jaga" ini ngasih janji manis: Bayar cuma 10 ribu sebulan, pertanggungan hingga 100 juta.
Coba diitung: Butuh 1000 orang taat bayar iuran selama setahun penuh, baru sanggup bantuin satu orang sakit. Baru jalan kalau rasio anggota-sehat:anggota-sakit adalah 1000:1.
Iuran terkumpul dari tiap anggota selama setahun: Rp120.000
Iuran terkumpul dari 1000 anggota selama setahun: Rp120.000.000
Rp20.000.000 buat biaya pengelolaan setahun. Anggap buat bayar infra 8 juta, gaji karyawan admin 1 juta/bulan.
Kunci keberlangsungan program subsidi-silang "universal healthcare" itu satu: Anggota-sehat harus jauh, jauh, jauh lebih banyak ketimbang anggota-sakit.
Kalau prinsip "universal healthcare" dijalankan oleh lembaga swasta, ya nggak ada hak maksa orang ikut. Namanya juga sukarela.
Apa efek sampingnya? Kalau program universal-healthcare dijalankan oleh swasta, yang gabung jadi anggotanya ya orang-orang penyakitan:
Yang ngerokok sehari 20 batang. Yang makan gorengan kayak minum minyak. Yang tiap ngeteh gulanya 3 sendok-makan. Yang olahraganya males-malesan.
Di situsnya, salingjaga.com/tentang-program, tertulis ketentuan paling penting dari program ini: "selama kas bersama tersedia".
Itu adalah versi super-halus dari pernyataan: "Sama sekali tidak ada jaminan kamu akan mendapat bantuan ketika sakit. Kamu rebutan uang-kas sama pasien-lain."
Nah, kalau BPJS itu prinsipnya mirip "pajak". Tiap WNI dipaksa bayar. Iurannya langsung dipotong dari gaji, nggak nunggu kamu transfer ke rekening kas.
Untungnya, WNI saat ini jauh lebih banyak yang sehat ketimbang yang sakit. Jadi, program "universal healthcare" ini bisa jalan.
Tentang "universal healthcare" secara umum, bisakah tercapai? Ya bisa aja, kalau jumlah anggota-sehat jauh, jauh, jauh lebih banyak dibanding anggota sakit.
Kalau banyak yang sakit gimana? Ya masalah supply-demand. Kejomplangan pasokan-permintaan pada-umumnya. Jadinya mirip ini:
Bayangkan "saldo" sekaligus "pengeluaran" BPJS dibuat transparan, dibarukan tiap menit. Semua orang bisa lihat.
2021-04-23:
Hendra (pria, 71 tahun), Rp645.000.000, biaya cuci darah dan ventilator satu tahun
Ami (wanita, 20 tahun), Rp36.000.000,
operasi caesar lahiran anak ke-2
Bersamaan dengan itu, "saldo" dari "dana kas-bersama" BPJS ditunjukkan, tentu saja setelah dikurangi tiap "butir pengeluaran" dari tiap pasien yang ditanggung BPJS.
Lalu di bawah tiap item "pengeluaran", semua WNI bebas berkomentar untuk pengeluaran itu. Ada tombol like-dislike.
Akan muncul komentar panas, "Maaf Pak Hendra, tapi umur manusia itu 70 tahun aja cukup. Daripada kas-bersama defisit buat ngasih umur tambahan ke Bapak, mendingan diterima saja takdirnya."
"Yaelah, si Ami dulu hamil sama pacarnya yang pengangguran. Sekarang udah anak kedua aje."
Twit ini, dan semua responsnya, adalah alasan #1 kenapa berbagai upaya duplikasi Silicon Valley akan gagal di Indonesia.
Bukan internet lambat, bukan investor kurang, bukan tanah rawan-gempa, bukan umur negara; penghalang utamanya tentu saja "budaya untuk berhenti bercita-cita".
Punten banget lho Mas saya ngomong ini pas Ramadan: Saya sih yakinnya Qur'an itu ciptaan Muhammad.
Tidak ada satu pun informasi dalam Qur'an yang di luar pengetahuan atau khayalan manusia pada zaman itu. Cuma biasanya pengajar-Islam tidak menceritakan pencapaian-sains pra-Islam.
Ratusan—bahkan ribuan—tahun sebelum Qur'an rilis, pengetahuan—termasuk matematika, astronomi, fisika, biologi, dan kedokteran—itu sudah beredar, tertulis, dan terkumpul.
Kalaupun ada sains nyelip di Qur'an, itu nggak ada seujung-kukunya informasi yang sudah beredar di zaman itu.
Ada satu lagi langkah-nyata yang mudah dan sederhana: Mendesak dewan/pengurus masjid terdekat untuk meminta khatib membawakan materi anti-terorisme di khutbah Jum'at.
Selama ini khatib yang secara satu-arah menyetir arah-pikir jamaah. Saatnya jamaah yang gantian menyetir khatib.
Tapi, spesifik untuk konteks anak-anak MIT yang sedang ngetren, apakah itu bentuk terorisme? Apakah anak-anak MIT itu tahu/percaya mereka sedang melakukan terorisme?
Enggak. Justru, bagi mereka, yang mereka lakukan itu perjuangan yang sah untuk menjadikan Indonesia negara-Islam.
Selama ada yang menyebarkan paham bahwa "adalah sah dan halal untuk berusaha mengubah Indonesia menjadi negara Islam", selama itu juga anak-anak MIT akan "merasa benar".
Khusus konteks ini, salah satu usaha-lebih adalah dengan menghadiahkan buku ini untuk kenalan yang ekstremis.
Sebenernya, Omnibus Law ini tragis. Menginjak-injak Pancasila (atau setidaknya elemen "Sosialisme" dari Pancasila).
Tapi, sikap menolak Omnibus Law (atau UU pro-Pasar-Bebas pada umumnya) itu mirip sikap menolak GoJek/Grab dengan alasan "mengurangi rezeki ojek pangkalan/offline".
Awal 2000-an—waktu awal-awal Indomaret jadi waralaba dan gencar ekspansi gerai di Indonesia, gerai-gerai Indomaret itu dilemparin batu sama para preman utusan pemilik toko-eceran-tradisional.
Alasannya ya karena barang di Indomaret lebih murah. Toko-eceran lain jadi kalah saing.
2015–2017, awal ojek online masuk pasar Indonesia, para ojek pangkalan juga ngusir, mukulin, dan ngerampok pengemudi ojol yang mereka temui.
Kenapa? Karena ojek online itu berani "banting harga". Penumpang bayar 4000 per kilometer. Kalau ke opang, penumpang bayar 10.000+ per km.
Gue percaya konsep Vigilantisme. Gue percaya bahwa—dalam kasus perkosaan—korban punya hak-moral untuk menangani pelaku tanpa campur-tangan Negara—jika Negara dianggap lalai.
Korban punya hak-moral untuk menculik, menyekap, meracun, menyiksa, membunuh tanpa perlu merasa bersalah.
Kenapa sering banget keulang? Salah satunya, karena cowok-cowok kayak gitu dibiarin hidup. Mereka pamer ke temennya yang lain, terus temen-temen mereka juga ikutan tertarik merkosa cewek.
Coba kalau dibunuhin satu-satu. Minimal nggak ada korban selanjutnya dari pelaku yang sama.