Twit ini, dan semua responsnya, adalah alasan #1 kenapa berbagai upaya duplikasi Silicon Valley akan gagal di Indonesia.
Bukan internet lambat, bukan investor kurang, bukan tanah rawan-gempa, bukan umur negara; penghalang utamanya tentu saja "budaya untuk berhenti bercita-cita".
Bayangkan dua budaya ini digabungkan: 1) "nggak ada perayaan dan penghargaan atas cita-cita yang tinggi" 2) "pendefinisian rasa-bangga dan rasa-malu berbasis jumlah harta"
Apa hasilnya? Masyarakat yang mau kelihatan punya banyak pengeluaran, tanpa peduli uangnya dapat dari mana.
Gue kagum sekaligus iri melihat orang-orang yang mencipta lukisan megah, yang sedang fokus memikirkan integrasi chip yang lebih efisien, yang sedang merancang koreografi yang lebih indah.
Bahkan, gue dapat inspirasi dari mahasiswa yang sungguh-sungguh berdedikasi kepada skripsi.
Gue kagum dan iri sama petani yang memakai waktu luang buat mengawin-silangkan bibit demi mencari varian yang lebih bermutu—tanpa diminta atau disuruh oleh siapa pun.
Juga sama anak SD yang habisin kertas, bolak-balik cari cara melipat pesawat-kertas yang terbangnya paling jauh.
Seluruh produk-peradaban yang sedang kita gunakan dihasilkan oleh para pemikir, penemu, dan pencipta dari berbagai disiplin ilmu. Orang-orang yang selalu nanya, "Apa yang dibutuhkan oleh dunia, tapi belum ada? Gimana cara bikinnya? Di mana cari bahannya? Kayak apa cara kerjanya?"
Lihat barang-barang sederhana yang dipakai sehari-hari. Lampu, tisu, botol parfum, dispenser, kasur, kunci-pintu, monitor, kertas dan tinta, kartu debit.
Mereka adalah berbagai mahakarya yang 5000 tahun lalu belum ada, tapi saat ini berwujud karena adanya imajinasi dan dedikasi.
When you look at a "thing"—a human invention—have you ever thought of "how hard it is to come up with this idea"? I doubt so. Probably you take it for granted.
Kamu mikirnya, "Barang ini tiba-tiba muncul di toko. Dijual. Gue punya duit. Gue beli. Jadi punya gue. Lalu gue pakai."
Nasi goreng yang kamu makan minggu lalu, kemungkinan besar kamu nggak mikirin:
- berasnya itu varian apa,
- butuh berapa tahun risetnya,
- butuh berapa puluh ilmuwan buat bikinnya,
- butuh berapa ratus-ribu percobaan kawin-silang.
Kamu palingan mikirnya: "Semua beras sama aja."
Apps belanja online yang kemarin kamu install update-nya, kamu pake aja.
Kamu nggak mikirin, di belakangnya, ada puluhan orang diskusi berhari-hari, "Gimana cara nampilin layar komen-produk yang paling nyaman dibaca user? A/B testnya apa? Pipeline CI/CD biar nggak crash gimana?"
Bayangkan, kamu ada di masa lampau, berabad lalu, ketika barang-barang itu belum ada bentuknya—dan bahkan orang-orang nggak kebayang barang itu suatu hari akan ada.
Bisakah kamu menciptakan barang-barang itu lagi? Kemungkinan besar, kamu bahkan nggak kepikiran cara bikin kertas.
Penemuan-penemuan itu, mahakarya-mahakarya kecil yang dinikmati umat manusia, tidak akan pernah terwujud oleh orang-orang yang puas dengan "hidup tidak istimewa".
Those achievements, those masterpieces, came from people who believe, "I want to make something special in my life!"
Apakah cukup dengan punya cita-cita tinggi plus menunjukkan dedikasi, yang kamu impikan akan tercapai? Enggak. Bahkan percobaan-pertama hampir-pasti gagal.
Tapi ya bodo amat. Kalaupun gagal dalam percobaan mewujudkan impian, itu jenis kegagalan yang patut dikenang dan dirayakan.
Bahkan, "tercapainya cita-cita kamu" itu tidak lebih penting dibanding "perkembangan-diri yang terjadi dalam diri kamu di sepanjang proses mencapai cita-cita".
It's not about the goal; it's about becoming someone who can accomplish the goal. It's about your own, personal growth.
Kalau niat awal dalam bercita-cita adalah "membuktikan-diri ke orang lain supaya disanjung dan dipuji", jelas kamu akan capek.
Dalam bercita-cita, yang perlu ditanyakan itu dua: 1. Apakah diri-kamu di masa lalu akan bangga? 2. Apakah diri-kamu di masa depan akan berterima kasih?
Bercita-cita dan punya-impian-buat-berkembang itu soal "janji ke diri sendiri". Soal "menghargai potensi yang dimiliki". Bukan soal nurutin-omongan-dan-nyinyiran-orang yang nggak ada habisnya.
Coba diingat, pas masih kecil kenapa bisa punya banyak ambisi, tapi sekarang berhenti?
Kemungkinan besar, ya karena takut mengecewakan diri sendiri. Logikanya sederhana: Kamu takut berharap soalnya takut kecewa.
Selain itu, kemungkinan karena takut malu. Takut 2 tahun lagi diketawain, "Hahaha mana katanya mau jadi X, udah usaha sana-sini, tapi belum kecapai juga."
Dari anak yang penuh semangat "mau-jadi-ini mau-bikin-itu", kamu akhirnya menyerah, terus jadi mikirnya "ya udahlah jadi medioker aja". Kenapa?
Karena dikelilingi orang-orang yang tidak menghargai proses, yang nggak merayakan cita-cita, yang sinis waktu pencapaian kamu tertunda.
Karena terus-terusan mendengar opini orang-orang putus asa, lama-lama kamu percaya bahwa:
- "ya udahlah hidupku udah mentok",
- "ya udahlah potensiku udah habis",
- "ya udahlah aku mah bisa apa",
- "ya udahlah udah telat juga udah umur segini",
- "ya udahlah biar orang lain aja".
Opini dan sentimen putus asa ini menular, lalu menyebar. Bikin orang-orang jadi lebih mudah menyerah. Lama-lama, jadi budaya.
Semua cita-cita untuk mengembangkan diri—sekaligus seluruh potensi untuk menciptakan hal-hal mengagumkan—akhirnya dikubur hidup-hidup dan dibiarkan mati.
Buat yang mau menyerah, yang mau melepaskan semangat dan cita-cita yang pernah dimiliki, silakan.
Buat yang percaya bahwa manusia itu istimewa, selalu punya ruang untuk berkembang, bisa menciptakan hal-hal menakjubkan tanpa dibatasi usia, pesannya ya: "Nyalakan api pertempuran."
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Punten banget lho Mas saya ngomong ini pas Ramadan: Saya sih yakinnya Qur'an itu ciptaan Muhammad.
Tidak ada satu pun informasi dalam Qur'an yang di luar pengetahuan atau khayalan manusia pada zaman itu. Cuma biasanya pengajar-Islam tidak menceritakan pencapaian-sains pra-Islam.
Ratusan—bahkan ribuan—tahun sebelum Qur'an rilis, pengetahuan—termasuk matematika, astronomi, fisika, biologi, dan kedokteran—itu sudah beredar, tertulis, dan terkumpul.
Kalaupun ada sains nyelip di Qur'an, itu nggak ada seujung-kukunya informasi yang sudah beredar di zaman itu.
Ada satu lagi langkah-nyata yang mudah dan sederhana: Mendesak dewan/pengurus masjid terdekat untuk meminta khatib membawakan materi anti-terorisme di khutbah Jum'at.
Selama ini khatib yang secara satu-arah menyetir arah-pikir jamaah. Saatnya jamaah yang gantian menyetir khatib.
Tapi, spesifik untuk konteks anak-anak MIT yang sedang ngetren, apakah itu bentuk terorisme? Apakah anak-anak MIT itu tahu/percaya mereka sedang melakukan terorisme?
Enggak. Justru, bagi mereka, yang mereka lakukan itu perjuangan yang sah untuk menjadikan Indonesia negara-Islam.
Selama ada yang menyebarkan paham bahwa "adalah sah dan halal untuk berusaha mengubah Indonesia menjadi negara Islam", selama itu juga anak-anak MIT akan "merasa benar".
Khusus konteks ini, salah satu usaha-lebih adalah dengan menghadiahkan buku ini untuk kenalan yang ekstremis.
Sebenernya, Omnibus Law ini tragis. Menginjak-injak Pancasila (atau setidaknya elemen "Sosialisme" dari Pancasila).
Tapi, sikap menolak Omnibus Law (atau UU pro-Pasar-Bebas pada umumnya) itu mirip sikap menolak GoJek/Grab dengan alasan "mengurangi rezeki ojek pangkalan/offline".
Awal 2000-an—waktu awal-awal Indomaret jadi waralaba dan gencar ekspansi gerai di Indonesia, gerai-gerai Indomaret itu dilemparin batu sama para preman utusan pemilik toko-eceran-tradisional.
Alasannya ya karena barang di Indomaret lebih murah. Toko-eceran lain jadi kalah saing.
2015–2017, awal ojek online masuk pasar Indonesia, para ojek pangkalan juga ngusir, mukulin, dan ngerampok pengemudi ojol yang mereka temui.
Kenapa? Karena ojek online itu berani "banting harga". Penumpang bayar 4000 per kilometer. Kalau ke opang, penumpang bayar 10.000+ per km.
Gue percaya konsep Vigilantisme. Gue percaya bahwa—dalam kasus perkosaan—korban punya hak-moral untuk menangani pelaku tanpa campur-tangan Negara—jika Negara dianggap lalai.
Korban punya hak-moral untuk menculik, menyekap, meracun, menyiksa, membunuh tanpa perlu merasa bersalah.
Kenapa sering banget keulang? Salah satunya, karena cowok-cowok kayak gitu dibiarin hidup. Mereka pamer ke temennya yang lain, terus temen-temen mereka juga ikutan tertarik merkosa cewek.
Coba kalau dibunuhin satu-satu. Minimal nggak ada korban selanjutnya dari pelaku yang sama.
Menkeu Sri Mulyani mengeluhkan: "Anggaran pendidikan Indonesia itu habis buat menggaji guru-guru yang nggak kompeten."
Kalau definisi "korupsi" adalah "habisin uang pajak-rakyat tanpa ngasih timbal-balik yang sepadan kepada rakyat", korupsi terbesar itu dilakukan oleh kaum guru.
Kenapa skor PISA murid Indonesia rendah? Salah satunya, karena gurunya bukanlah orang-orang yang kompeten dalam mengajar.
Salah satu ukuran-formal kualitas guru adalah hasil tes UKG. Berapa nilai rata-rata guru Indonesia? Cuma ~50 dari 100. Emang yang kayak gitu layak jadi guru?
70% guru Indonesia tidak kompeten. Nggak jelas kemampuannya apa. Nggak jelas kenapa belum dipecat.
Anggaran Pendidikan Indonesia itu 20%. Tahun 2020, nilainya 500 T. Secara umum, anggaran ini dibelanjakan 2/3 lewat pemda dan 1/3 lewat pemerintah pusat. Kenapa gagal mencerdaskan?
Pas kelas 3 SMA, gue peringkat 1 try-out Ujian Nasional se-Kabupaten Nganjuk.
Habis try-out, guru SMA ngumpulin anak-anak skor-tinggi buat jadi "sumber contekan satu sekolah" pas hari-H UN, terus bagi-bagi tugas sesuai spesialisasi—gue dapet yang Bahasa Inggris sama Matematika.
Gimana mekanisme nyontek-massalnya? Intinya, pas hari-H gue [dan beberapa Chosen Children yang lain—sesuai mata pelajaran] ngerjain dengan cepat dan fokus, lalu jawabannya dikasih ke teman sekelas yang udah ditugasin buat bawa ponsel.
Yang bawa ponsel ngirim SMS ke kelas lain.
Jadi, dalam praktiknya, di berbagai sekolah negeri, murid-murid yang skornya tinggi "nggak bisa nggak nyontekin".
Apalagi murid-murid yang masuk kontingen Olimpiade Sains Nasional—mereka hampir pasti dipepet guru sama anak-anak OSIS buat "mengamankan nilai teman-teman satu SMA".