Beberapa tahun belakangan, istilah “gerakan literasi” cukup marak digaungkan di Indonesia. Nyaris setiap orang yang gemar membaca atau menulis pernah mengucapkan “literasi”. Tapi, apa sih “literasi” sebenernya?
Kali ini Logos akan membahas apa itu literasi.
A Thread!
“Literasi” (Inggris: “literacy”) berasal dari kata “litera” yang bermakna “huruf”. Penggunaan istilah “literasi” merujuk pada kecakapan dalam membaca dan menulis.
Kecakapan untuk ‘membaca’ dan ‘menulis’ mengindikasikan adanya masyarakat yang telah dan sedang menggunakan huruf. Dengan kata lain, beraksara. Jadi, tidak mungkin ada gerakan literasi tanpa menitikberatkan pada persoalan aksara.
Keberaksaraan tersebut dapat dikontraskan dengan kelisanan. Tentu saja, dalam masyarakat lisan, tindak membaca dan menulis tidak ditemukan.
Dalam tradisi aksara, komunikasi dilakukan dengan media tulisan. Dengan demikian, tulisan berfungsi sebagai penyimpan pesan. Tulisan adalah teknologi memori.
Sedangkan, dalam tradisi lisan, komunikasi dilakukan dari mulut ke mulut. Dengan demikian, tidak ada yang dapat diandalkan untuk menyimpan pesan selain hafalan. Jadi, masyarakat lisan selalu identik dengan tindak menghafal.
Dengan menghafal, maka otak manusia memiliki dua peran, yaitu berpikir (prosesor) dan merekam pikiran (fungsi memori).
Hal itu berbeda dengan masyarakat aksara yang berkomunikasi dengan tulisan. Dengan menulis, fungsi memori telah didelegasikan pada tulisan. Maka dari itu, dalam masyarakat aksara, otak manusia cenderung berfungsi sebagai prosesor pikiran.
Untuk bisa menghafal, maka manusia perlu mengulang-ulang apa yang hendak dihafalnya. Tidak jarang, pengulangan itu dilakukan dengan melisankannya atau mendengarkan pelisanan berkali-kali.
Tindak mengulang-ulang itu disebut dengan “resitasi” (recitation). Kemudian, tindak melisankan dalam rangka menanamkannya dalam otak disebut sebagai “mnemonik”.
Hal ini tampak dalam aktivitas menghafal Al-Quran yang dilakukan dengan mengulang-ulang teks serta mendengar murottal.
Hal semacam itu tidak ditemukan dalam masyarakat aksara. Untuk mengabadikan suatu produk pikiran, masyarakat aksara tidak menggunakan resitasi dan mnemonik, melainkan dengan menulis.
Apa yang dimaksud dengan produk pikiran adalah hasil dari proses perumusan masalah, pengajuan proposisi, pembangunan argumen, dan penarikan kesimpulan.
Jika proses berpikir yang baik dimulai dengan pengajuan masalah, proposisi, argumentasi, serta konklusi, maka tulisan yang baik juga mesti menggambarkan produk dari proses tersebut.
Dalam masyarakat lisan, hafalan yang buruk akan berdampak buruk pada masyarakatnya. Misalnya, ketika kita disuruh Ibu secara lisan untuk membeli bawang putih, tapi kita lupa dan mengatakan membeli bawang merah. Hal itu tentu tidak baik.
Contoh lainnya: Hafalan Al-Quran yang buruk tentu akan berdampak buruk pada masyarakatnya.
Begitu pula, dalam masyarakat aksara, tulisan yang tidak merekam atau tidak mampu merekam proses berpikir dengan sahih akan berdampak buruk pada pembacanya.
Misalnya, ketika kita menjadi bendahara, kita harus mencatat dana sebesar 2000000 (2 juta). Akan tetapi, karena kita tidak tahu cara menggunakan Ms. Excel, maka yang tercatat adalah 200000 (2 ratus ribu). Ini tentu bukan masalah yang sepele.
Jadi, sebagai generasi yang seringkali menggunakan istilah literasi, sudahkah tulisan kita menampilkan proses berpikir yang sahih?
Kalau sudah, selamat karena kamu adalah sebenar-benarnya masyarakat literasi.
Manusia memiliki 3 aspek universal kehidupan yang menjadi bagian penting dalam human experiences: labor, work, dan action.
Mari kita mengupas buku legendaris Hannah Arendt yang berjudul Human Condition dalam 5 menit!
- a thread!
Dalam buku Human Condition, Arendt membahas 2 topik besar. Pertama adalah aktivitas manusia yang selanjutnya akan disebut Vita Activa. Kedua adalah kehidupan manusia di ranah privat dan publik.
Kita akan mulai dari Vita Activa yang terdiri dari 3 bagian penting, yakni labor, work, dan action.
Labor itu, dijelaskan Arendt, sebagai aktivitas manusia yang memungkinkan manusia untuk memenuhi kebutuhan fisiknya (aktivitas cyclical manusia untuk bertahan hidup).
Cara lain memandang Islam ala Ali Syariati: tokoh religius humanistik yang rela dimusuhin ulama sampai dipenjara. Yuk simak ceritanya!
-a thread-
(1/2)
Kepercayaan yang dibatasi taqlid (penerimaan buta), ritual, ibadah keagamaan, dan dogma teologis menciptakan kondisi yang menyebabkan kita kesulitan melihat titik temu tauhid dengan pembebasan.
(2/2)
Tauhid sebagai fondasi Islam malah sering digunakan sebagai pembenaran ketidakadilan (hal yang sebenarnya paling ditentang dalam Islam).
You’ll find Rosamund Pike nailed her character (again) in this movie! Tapi, apakah filmnya sebagus Pike memainkan karakter Marla Grayson juga? Langsung kita cari tau aja bareng-bareng yuk!
Secara garis besar, I Care A Lot menonjolkan konsep ‘capitalism at its finest’. Hal itu bisa dilihat dari premis film ini, yaitu Marla Grayson memilih dan memanipulasi klien-klien paruh baya agar ia bisa menjadi a legal guardian bagi mereka atau, gampangnya, ‘wali pengurus’.
Secara keseluruhan, tugas Marla adalah mengambil alih semua aset. Tidak hanya itu, ia bahkan menentukan sendiri konsumsi & kesehatan para kliennya. Berkedok peduli, padahal sebetulnya ia hanya ingin memiliki harta mereka.
Mental health dapat dipahami sebagai sebuah kesadaran akan kondisi diri. Orang dengan mental yang sehat memahami kondisi dirinya dan, dengan demikian, dapat mencari cara untuk mengatasi gangguan-gangguan terhadap mental.