Dalam bahasa Arab hati disebut qalbu yang juga sering diartikan sebagai sebongkah daging dalam dada manusia. Tapi, bukan hati dalam pengertian seperti ini yang ingin saya jelaskan, melainkan hati sebagai kesadaran bathin manusia.
Hati sebagai kesadaran bathin memiliki lima lapisan. Lapisan pertama disebut BASHIRAH yang berarti mata hati. Tugas bashirah adalah membedakan baik-buruk, benar-salah, hak-batil.
Pengetahuan dr bashirah kemudian dikirim kpd lapisan hati kedua yg disebut DHOMIR. Dhomir adalah sumber moralitas yang tugasnya hanya satu dari dua: lakukan atau jangan lakukan. Yg baik, yang benar, dan yang hak, lakukanlah. Yang buruk, yang salah, dan yang batil, jangan lakukan.
Setelah manusia memilih melakukan atau tidak melakukan, selanjtunya dikirim kepada lapisan hati yang ketiga, yaitu FUAD. Fuad ini fungsinya seperti hakim: menentukan benar-salah, baik-buruk, hak-batil atas perbuatan manusia.
Fuad tdk pernah bohong dan tidak pernah mendustakan (QS. An-Najm: 11). Misal ada org melakukan perbuatan baik, Fuad langsung memvonis bahwa ia baik, benar dan hak. Jk org itu melakukan perbuatan salah, jahat atau batil, maka Fuad langsung memvonisnya salah, jahat dan batil.
Sebelum orang lain memberikan penilaian terhadap perbuatan seseorang (positif atau negatif), Fuad sudah langsung memberikan vonis dari dalam diri orang yang melakukan perbuatan tersebut.
Lapisan hati yang keempat disebut SIRR. Sirr memiliki kemampuan menangkap rahasia di balik setiap peristiwa. Sebagian besar orang hanya mampu menjelaskan urusan sebab-akibat. Orang yang memiliki Sirr yang hidup mampu menangkap rahasia di balik terjadinya segala sesuatu.
Misal: ada tsunami; para ilmuwan akan menjelaskan bahwa tsunami terjadi karena ada pergerseran lempeng bumi di dasar laut. Siir mampu menangkap dan mejelaskan rahasia tersembunyi di balik peristiwa itu. Allah yang langsung menjelaskan soal rahasia tersebut kepada Sirr.
Lapisan hati yang kelima (yang paling dalam) disebut LATHIFAH (jamaknya Lathoif). Lathiifah berfungsi seperti software yang terkoneksi dengan apa yang ada di Lauh Mahfuzh. Allah yang membuka Lathifah hingga dia mampu mengakses apa yang sudah tercatat dalam Lauh Mahfuzh.
Oleh sebab itu, orang yang sudah mampu memfungsikan bagian Lathifah dari dirinya, dia dapat mengetahui dan menjelaskan apa yang belum terjadi.
Lathifah telah berfungsi dg baik dlm diri para nabi, wali dan orang2 shaleh. Jiwa mereka sudah langsung terhubung dg Allah Azza wa Jalla. Mereka beribadah kepada Allah sudah menggunakan Lathifah, dan bukan sekadar gerakan lahiriah formal seperti dilakukan oleh kebanyakan manusia.
Ibadah mereka sudah mencapai level tahaqquq (mengenal hakikat), dan bukan sekadar taqarrub, apalagi ta'abbud.
Percaya, silakan. Enggak percaya, ya silakan. Biarkan saya saja yang percaya...
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Anas ibn Malik meriwayatkan hadis tentang sahabat yang bertubuh cebol bernama Zahir ibn Haram. Zahir tinggal di desa, bukan di kota bersama Rasulullah dan sahabat lainnya. Zahir rajin mengunjungi Rasulullah dan selalu membawakan buah tangan dari desanya.
Sebaliknya, jika Zahir hendak pulang, Rasulullah selalu membekalinya dengan oleh-oleh. Karena proses interaksi yang baik ini, Rasulullah pernah berkata, “Zahir adalah orang desa bagi kita, dan kita orang kota bagi Zahir.”
Pernah terjadi kisah menarik antara Rasulullah dan Zahir, tepatnya kisah humor. Suatu hari Zahir sedang berdagang di pasar dan berteriak menjajakan barang dagangannya. Ketika itu Rasulullah datang dari arah belakang Zahir.
Dalam kitab Mukâsyafatu al-Qulûb Imam Al-Ghazali bercerita:
Ada seseorang yang melaksanakan shalat. Ketika ia sampai pada bacaan “hanya kepada-Mu aku menyembah (iyyâka na’budu)", terdengar suara lirih yang mengatakan kepadanya, “tidak.
Engkau tidak menyembah Sang Khalik, tapi engkau menyembah makhluk!” Seketika itu ia menghentikan shalatnya dan mulai menjalani hidup menyendiri (uzlah).
Ia shalat lagi, dan ketika sampai pada bacaan “hanya kepada-Mu aku menyembah (iyyâka na’budu)", terdengar suara lirih, “tidak. Engkau tidak menyembah Tuhanmu, tapi engkau menyembah hartamu!” Ia lantas menyedekahkan semua hartanya.
Pemuda itu selalu tenggelam dalam perasaan rindu. Ia rindu akan kebenaran. Ia seberangi lautan dan ia daki gunung untuk menemukan kebenaran. Bertahun-tahun mengembara untuk menemukan kebenaran sampai usia menua.
Banyak penderitaan dan kesengsaraan yang ia alami selama masa pengembaraan.
Wajahnya tampak sedih. Di usianya yang sudah uzur itu, ia belum berhasil menemukan kebenaran. Dengan perasaan duka, ia memutuskan untuk kembali ke rumahnya.
Butuh waktu yang lama untuk dapat pulang ke rumah karena pengembaraannya telah sedemikian jauh.
Dia guru yang sangat dihormati dan dimuliakan. Setiap hari banyak orang berdatangan kepadanya untuk meminta nasihat dan doa. Namun, ia punya seorang tetangga yang selalu mengecam dan mengkritiknya.
Orang-orang benci pada tetangga guru itu. Orang yang sangat mereka hormati dan muliakan, selalu dicibir dan dicela oleh tetangganya. Di dalam hati, mereka ingin sekali melihat pencela dan pencibir itu celaka atau bahkan mati.
Benar saja; suatu hari sang tetangga itu meninggal dunia. Secara lahiriah orang-orang menunjukkan sikap turut berduka-cita karena kematiannya, tapi dalam hati mereka mensyukurinya. Bagi mereka, tetangga itu adalah begundal atau setan dalam bentuk manusia.
Dalam pengajian online beberapa hari yang lalu, ada jamaah yang tanya: apa tanda-tanda orang yang mendapatkan Lailatul Qadr?
Jawab: sebenarnya kita semua sudah mendapatkan apa yang turun pada Lailatul Qadr, yaitu Al-Quran (Sesungguhnya Kami telah menurunkannya [Al-Qur'an] pada Malam Kemuliaan. (QS. A-Qadr). Malam itu disebut Malam Kemuliaan karena turunnya Al-Qur'an. Apa lagi yang kalian cari?
Kalau mau mendapatkan keagungan yang nilainya lebih dari ibadah seribu bulan, ya silakan anda membaca, memahami dan mengamalkan Al-Quran.
Yulianti Muthmainah, Ketua Komunitas Aisiyah ITB Ahmad Dahlan Jakarta, menyampaikan pendapat bahwa perempuan sedang haid tidak dilarang berpuasa.
Pendapat ini ia sampaikan
dalam diskusi online yang diadakan oleh Pusat Studi Islam, Perempuan dan Pembangunan Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Jakarta bersama Komnas Ulama Perempuan Indonesia (KUPI).
Secara pribadi saya sangat menghargai pendapat Yulianti ini. Ia mendasari pendapatnya dengan argumentasi sebagai berikut. 1. Menurutnya, dalam Al-Quran tidak ada larangan perempuan haid untuk berpuasa.