مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُم
“Barangsiapa menyerupai satu kaum, maka ia bagian dari kaum itu.”
-Utas
Hadis ini sangat populer. Tidak sedikit muslim yang menjadikannya sebagai dalil untuk “mengkafirkan” orang lain yang menyerupai kegiatan atau tradisi orang-orang non-muslim.
Cara pandang seperti ini jelas mewakili konservatifisme dan ekstimisme (tatharruf) pandangan keagamaan. Islam mengajarkan umatnya untuk menjadi bagian tak terpisahkan dari umat manusia. Tidak ada larangan umat Islam menyerupai atau menampakkan kesamaan dengan umat-umat lainnya .
Umat Islam adalah anak-anak zaman, bukan manusia-manusia yang hidup terpisah dari umat manusia lainnya dalam tempat dan masa. Bahkan, umat Islam harus menjadi motor penggerak hidup berkeadaban dan berkemanusiaan di dunia ini.
Dalam sejarah, Nabi Muhammad Saw. pernah memakai Jubah dari Syam. Nabi juga pernah meniru puasa Asyura dari orang-orang Yahudi yang berpuasa pada hari Asyura.
Melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura, Nabi bersabda, “Kami lebih berhak terhadap Nabi Musa daripada kalian (orang-orang Yahudi).” Beliau lantas melakukan puasa pada hari Asyura dan mengajak kaum muslim untuk berpuasa.
Begitu pula halnya dengan para sahabat. Dalam sejarah, Umar ibn Khattab tidak segan mengambil aturan (sistem hukum) yang ada pada umat lain. Selama ada manfaatnya, maka boleh menyontek kebiasaan atau apapun dari umat di luar Islam.
Dalam Islam, selain ilmu, ada hikmah. Hikmah adalah kebaikan atau kearifan yang ada pada masyarakat mana pun. Umat Islam boleh meniru/mengambil kebaikan dan kearifan itu di mana pun ditemukan.
Hikmah adalah barang hilangnya orang beriman. Di manapun ia temukan, maka ia berhak mengambilnya.
Begitu pula dengan tradisi. Tidak ada larangan mengambil/meniru tradisi dari umat mana pun selama tradisi tidak mengandung mudarat.
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ
“Pilihlah memaafkan dan perintahkanlah menjalankan tradisi (yang baik).” (Al-A’raf: 199).
Menjadikan hadis di atas sebagai dalil mengkafirkan hanya karena penyerupaan pada orang-orang non-muslim adalah tanda kejumudan dan konservatifisme.
Ingatlah: definisi iman adalah mengakui dengan lisan, meyakini dengan hati dan melakukan kewajiban yang menjadi konsekwensi dari pengakuan dan keyakinan.
Jadi sungguh sangat gegabah jika hadis di atas dijadikan dalil untuk mengkafirkan orang muslim hanya karena ia masuk gereja.
Dalam menyerupai, yang dilarang adalah meyerupai dalam ibadah dan perbuatan yang diharamkan dalam Islam.
Muslim tentu tidak boleh beribadah dengan cara ibadah non-muslim. Setiap umat beragama memiliki cara-cara khusus dalam beribadah, dan berbeda-beda. Ini sangat jelas.
Begitu pula, muslim tidak boleh menyerupai perbuatan non-muslim yang diharamkan oleh Islam, seperti makan daging babi dll.
Jadilah orang-orang beriman yang serius. Iman yang sesuai dengan definisinya, bukan iman yang dikarang-karang sendiri.
Jika ada orang yang ragu dengan imannya, hingga ia merasa takut imannya berubah karena hal-hal tertentu, maka ia tidak boleh memandang kadar iman orang lain seperti kadar imannya.
Saya pribadi selalu memandang orang lain memiliki iman yang kuat dan baik. Saya tidak berani meremehkannya. Karena iman seseorang adalah urusan dirinya dan Allah saja. Kamu tidak boleh memonten iman orang lain. Wallahu a’lam.
Selamat malam...
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam as-silmi secara utuh, dan janganlah kalian turuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah: 208).
Ayat di atas selalu dijadikan rujukan oleh sekelompok muslim untuk mengkampanyekan istilah “Islam Kaffah” atau “Islam utuh”.
Dalam pandangan mereka, ayat ini merupakan ajakan wajib bahwa setiap muslim harus menjalankan ajaran Islam secara utuh, dari ujung rambut sampai ujung kaki; dari bangun tidur sampai tidur kembali.
Manusia pasti tidak suka pada segala sesuatu yang menyakitkan, merugikan dan mengecewakan. Sakit, kemiskinan, dan kebodohan pasti tidak diinginkan oleh semua orang. Tapi, di balik semua itu jelas ada hikmahnya.
Adanya sakit membuat manusia memahami arti kesehatan. Adanya kemiskinan membuat manusia memahami nilai harta. Adanya kebodohan membuat manusia memahami nilai penting ilmu pengetahuan.
Bayangkan jika semua orang selalu sehat, kaya dan pintar: semuanya itu menjadi tidak ada nilainya sama sekali.
Di tengah perjalanan dari Mekah ke Madinah, Khalifah Umar ibn Khatab bertemu dengan seorang pengembala domba yang jumlahnya banyak sekali. Umar memandanginya, dan terbersit ingin menguji pengembala tersebut.
Umar mendekatinya, berbincang, kemudian menawar satu ekor domba untuk dibelinya. Penggembala itu menolak keinginan Umar.
“Kenapa kamu tidak mau menjual seekor domba saja?” tanya Umar.
Penggembala, “Saya ini hanya seorang budak. Domba-domba ini bukan milik saya. Saya hanya bertugas merawatnya.” jawab penggembala.
Anas ibn Malik meriwayatkan hadis tentang sahabat yang bertubuh cebol bernama Zahir ibn Haram. Zahir tinggal di desa, bukan di kota bersama Rasulullah dan sahabat lainnya. Zahir rajin mengunjungi Rasulullah dan selalu membawakan buah tangan dari desanya.
Sebaliknya, jika Zahir hendak pulang, Rasulullah selalu membekalinya dengan oleh-oleh. Karena proses interaksi yang baik ini, Rasulullah pernah berkata, “Zahir adalah orang desa bagi kita, dan kita orang kota bagi Zahir.”
Pernah terjadi kisah menarik antara Rasulullah dan Zahir, tepatnya kisah humor. Suatu hari Zahir sedang berdagang di pasar dan berteriak menjajakan barang dagangannya. Ketika itu Rasulullah datang dari arah belakang Zahir.
Dalam kitab Mukâsyafatu al-Qulûb Imam Al-Ghazali bercerita:
Ada seseorang yang melaksanakan shalat. Ketika ia sampai pada bacaan “hanya kepada-Mu aku menyembah (iyyâka na’budu)", terdengar suara lirih yang mengatakan kepadanya, “tidak.
Engkau tidak menyembah Sang Khalik, tapi engkau menyembah makhluk!” Seketika itu ia menghentikan shalatnya dan mulai menjalani hidup menyendiri (uzlah).
Ia shalat lagi, dan ketika sampai pada bacaan “hanya kepada-Mu aku menyembah (iyyâka na’budu)", terdengar suara lirih, “tidak. Engkau tidak menyembah Tuhanmu, tapi engkau menyembah hartamu!” Ia lantas menyedekahkan semua hartanya.
Pemuda itu selalu tenggelam dalam perasaan rindu. Ia rindu akan kebenaran. Ia seberangi lautan dan ia daki gunung untuk menemukan kebenaran. Bertahun-tahun mengembara untuk menemukan kebenaran sampai usia menua.
Banyak penderitaan dan kesengsaraan yang ia alami selama masa pengembaraan.
Wajahnya tampak sedih. Di usianya yang sudah uzur itu, ia belum berhasil menemukan kebenaran. Dengan perasaan duka, ia memutuskan untuk kembali ke rumahnya.
Butuh waktu yang lama untuk dapat pulang ke rumah karena pengembaraannya telah sedemikian jauh.