Di tengah perjalanan dari Mekah ke Madinah, Khalifah Umar ibn Khatab bertemu dengan seorang pengembala domba yang jumlahnya banyak sekali. Umar memandanginya, dan terbersit ingin menguji pengembala tersebut.
Umar mendekatinya, berbincang, kemudian menawar satu ekor domba untuk dibelinya. Penggembala itu menolak keinginan Umar.
“Kenapa kamu tidak mau menjual seekor domba saja?” tanya Umar.
Penggembala, “Saya ini hanya seorang budak. Domba-domba ini bukan milik saya. Saya hanya bertugas merawatnya.” jawab penggembala.
Umar, “Tapi domba-domba ini banyak sekali. Majikanmu pasti sangat kaya. Jika kamu jual satu saja, dia tidak akan tahu. Dan, apalah arti seekor domba bagi majikanmu yang kaya raya itu!”…
Penggembala, “Di mana Allah? Ainallah?”
Umar sangat terkejut atas jawaban penggembala itu. Jawaban sederhana, tapi mengandung kesadaran yang sangat dalam. Umar kagum dan penasaran. Lisannya tercekat dan tak bisa berkata-kata.
Penggembala, “Tuan, bertahun-tahun aku mengembara. Saat panas aku kepanasan dan saat dingin aku kedinginan. Dalam kesendirian, aku selalu merenung dan memkirkan keberadaan Allah. Aku menemukan bahwa Dia Maha Melihat dan Maha Mendengar.
Kesadaran ini sangat mahal harganya. Tdk mungkin aku menukar kesadaran ini hanya dengan sejumlah harta yang kau tawarkan. Sungguh jauh berbeda nilainya. Bagaimana mungkin aku menukar mutiara dengan kerikil? Bagaimana mungkin aku menukar intan mutumanikam dengan barang sintetis?”
Umar terdiam dalam, kemudian angkat bicara, “Baiklah kalau begitu. Siapa majikanmu? Antarkan aku kepadanya?”
Penggembala itu lantas mengajak Umar ke rumah majikannya. Sampai di rumah sang majikan, Umar berbincang dan langsung membayar sejumlah uang untuk memerdekakan sang penggembala dari perbudakan.
“Apa yang kamu katakan tadi telah menyelamatkanmu di dunia ini (bebas dari perbudakan). Semoga kalimat-kalimat itu pun akan menyelamatkanmu di akhirat nanti.” kata Umar kepada sang penggembala.
Bulan Ramadhan dan ibadah puasa di dalamnya adalah kesempatan emas untuk kita meraih kesadaran bertuhan. Di akhir bulan Ramadhan ini, jangan sia-siakan kesempatan emas yang ada di depan mata kita.
"Bertuhan itu lebih penting dariapada sekadar beragama..."
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُم
“Barangsiapa menyerupai satu kaum, maka ia bagian dari kaum itu.”
-Utas
Hadis ini sangat populer. Tidak sedikit muslim yang menjadikannya sebagai dalil untuk “mengkafirkan” orang lain yang menyerupai kegiatan atau tradisi orang-orang non-muslim.
Cara pandang seperti ini jelas mewakili konservatifisme dan ekstimisme (tatharruf) pandangan keagamaan. Islam mengajarkan umatnya untuk menjadi bagian tak terpisahkan dari umat manusia. Tidak ada larangan umat Islam menyerupai atau menampakkan kesamaan dengan umat-umat lainnya .
Manusia pasti tidak suka pada segala sesuatu yang menyakitkan, merugikan dan mengecewakan. Sakit, kemiskinan, dan kebodohan pasti tidak diinginkan oleh semua orang. Tapi, di balik semua itu jelas ada hikmahnya.
Adanya sakit membuat manusia memahami arti kesehatan. Adanya kemiskinan membuat manusia memahami nilai harta. Adanya kebodohan membuat manusia memahami nilai penting ilmu pengetahuan.
Bayangkan jika semua orang selalu sehat, kaya dan pintar: semuanya itu menjadi tidak ada nilainya sama sekali.
Anas ibn Malik meriwayatkan hadis tentang sahabat yang bertubuh cebol bernama Zahir ibn Haram. Zahir tinggal di desa, bukan di kota bersama Rasulullah dan sahabat lainnya. Zahir rajin mengunjungi Rasulullah dan selalu membawakan buah tangan dari desanya.
Sebaliknya, jika Zahir hendak pulang, Rasulullah selalu membekalinya dengan oleh-oleh. Karena proses interaksi yang baik ini, Rasulullah pernah berkata, “Zahir adalah orang desa bagi kita, dan kita orang kota bagi Zahir.”
Pernah terjadi kisah menarik antara Rasulullah dan Zahir, tepatnya kisah humor. Suatu hari Zahir sedang berdagang di pasar dan berteriak menjajakan barang dagangannya. Ketika itu Rasulullah datang dari arah belakang Zahir.
Dalam kitab Mukâsyafatu al-Qulûb Imam Al-Ghazali bercerita:
Ada seseorang yang melaksanakan shalat. Ketika ia sampai pada bacaan “hanya kepada-Mu aku menyembah (iyyâka na’budu)", terdengar suara lirih yang mengatakan kepadanya, “tidak.
Engkau tidak menyembah Sang Khalik, tapi engkau menyembah makhluk!” Seketika itu ia menghentikan shalatnya dan mulai menjalani hidup menyendiri (uzlah).
Ia shalat lagi, dan ketika sampai pada bacaan “hanya kepada-Mu aku menyembah (iyyâka na’budu)", terdengar suara lirih, “tidak. Engkau tidak menyembah Tuhanmu, tapi engkau menyembah hartamu!” Ia lantas menyedekahkan semua hartanya.
Pemuda itu selalu tenggelam dalam perasaan rindu. Ia rindu akan kebenaran. Ia seberangi lautan dan ia daki gunung untuk menemukan kebenaran. Bertahun-tahun mengembara untuk menemukan kebenaran sampai usia menua.
Banyak penderitaan dan kesengsaraan yang ia alami selama masa pengembaraan.
Wajahnya tampak sedih. Di usianya yang sudah uzur itu, ia belum berhasil menemukan kebenaran. Dengan perasaan duka, ia memutuskan untuk kembali ke rumahnya.
Butuh waktu yang lama untuk dapat pulang ke rumah karena pengembaraannya telah sedemikian jauh.
Dalam bahasa Arab hati disebut qalbu yang juga sering diartikan sebagai sebongkah daging dalam dada manusia. Tapi, bukan hati dalam pengertian seperti ini yang ingin saya jelaskan, melainkan hati sebagai kesadaran bathin manusia.
Hati sebagai kesadaran bathin memiliki lima lapisan. Lapisan pertama disebut BASHIRAH yang berarti mata hati. Tugas bashirah adalah membedakan baik-buruk, benar-salah, hak-batil.
Pengetahuan dr bashirah kemudian dikirim kpd lapisan hati kedua yg disebut DHOMIR. Dhomir adalah sumber moralitas yang tugasnya hanya satu dari dua: lakukan atau jangan lakukan. Yg baik, yang benar, dan yang hak, lakukanlah. Yang buruk, yang salah, dan yang batil, jangan lakukan.