Thread by @logos_id

Digelari dengan “Hujjatul Islam”, al-Ghazali menjadi “Bukti Islam” atau pembela Islam pada masanya. Ia memiliki kepiawaian dalam berargumen dengan lisan yang indah dan fasih.

Kali ini, Logos membahas perjalanan hidup dan beberapa pemikiran al-Ghazali.

A Thread!

Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali merupakan seorang ulama besar, mistikus, sufi, ahli hukum, filsuf dan pendidik. Ia mewariskan banyak ilmu yang berpengaruh pada budaya, sejarah agama, dan pendidikan di seluruh dunia.

Sama halnya dengan Konfusius dan Plato, al-Ghazali juga berkontribusi besar dalam bidang pendidikan. Ia telah menulis sebanyak sekian ratus buku, dimana 78 diantaranya masih ada hingga sekarang.

Al-Ghazali lahir pada tahun 1058 di Thus, Khurasan (sebelah selatan Iran) dari keluarga sederhana dengan tradisi tasawuf yang kuat. Ayahnya seorang penenun dan wafat saat Al-Ghazali dan saudara laki-lakinya (Ahmad) masih sangat muda.

Sang ayah mempercayakan salah satu teman sufinya untuk mendidik keduanya. Di usia 7 tahun, al-Ghazali sudah mempelajari bahasa Arab, Persia, al-Qur’an dan prinsip-prinsip Islam. Ia juga belajar fiqih, tafsir al-Qur’an, dan hadits di bawah bimbingan Ahmad bin Muhammad al-Radhkan.

Menjelang usia 15, ia pindah ke Jurjan untuk mendalami fiqih dengan Imam Abu Nasr al-Isma’ili.

Setahun setelahnya, ketika dalam perjalanan ke Tus, beberapa perampok mencuri tas miliknya yang berisikan catatan-catatan penting, namun akhirnya dikembalikan pada al-Ghazali.

Karena kejadian itu, ia menetap di Tus selama 3 tahun dalam rangka menghafalkan dan memahami ilmu-ilmu yang telah dicatat pun dipelajarinya.

Di umur 23 tahun, ia melanjutkan studi fiqih, kalam (teologi skolastik), dialektika, logika, dan filsafat di Nishapur selama 5 tahun.

Studi tersebut ia lakukan di bawah ajaran Imam al-Haramyn al-Juwayni, seorang faqih (ahli hukum Islam) dari Mazhab Syafi’i. Al-Ghazali juga menulis dan mempelajari tasawuf di bawah bimbingan syeikh al-Farmadhi. Ia mengajar dan tinggal di Nishapur sampai al-Juwayni wafat.

Sekitar usia 28 tahun, al-Ghazali terlibat dalam politik dan berbaur dengan lingkaran penguasa. Ia pergi menemui Nizam al-Mulk yang merupakan perdana menteri Dinasti Seljuk dan menjadi ‘ahli hukum pengadilan’ selama 6 tahun di ‘kamp’nya.

Al-Ghazali dipilih menjadi profesor di Madrasah Nizamiyah di Baghdad saat usianya 33 tahun. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai langkah awalnya menjadi salah satu sosok dengan posisi penting di dunia Islam.

Ia bekerja selama 4 tahun sekaligus menyusun sejumlah karya tentang fiqih bersamaan dengan logika dan kalam. Karya-karyanya yang paling penting diantaranya; Al-Mustazhiri dan Al-Iqtisad fi-I’tiqad.

Al-Ghazali terlibat dalam tiga kontroversi politik dan intelektual yang sengit di dalam dunia Islam pada saat itu, yaitu pergulatan antara filsafat dan agama (budaya Islam dan Yunani), dimana ia memihak agama dan melawan filsafat.

Lalu, antara Sunni dan Syi’ah, dimana ia membela Kekhalifahan Abbasiyah dan melawan aliran Bathiniyyah (Syi’ah Ismailiyah). Dan juga pergulatan antara wahyu dan akal, fiqih dan mistisisme sufi (tasawuf).

Ia menulis studi menyeluruh tentang filsafat Yunani, khususnya Aristoteles, Plato dan Plotinus, serta filsafat Islam, berfokus pada Ibnu Sina dan al-Farabi.

Masalah mendasar yang dihadapi al-Ghazali adalah bagaimana mendamaikan filsafat dengan agama.

Ia menyelesaikan konflik ini dengan menyatakan bahwa filsafat itu benar, sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam dan dikatakan cacat jika berbeda.

Terkait hal itu, ia pun menulis buku Maqasid al-Falasifah dan Tahafut al-Falasifah.

Al-Ghazali menyimpulkan penentangannya terhadap para filsuf ke dalam 20 poin utama yang berkaitan dengan Tuhan, alam semesta, dan manusia.

Baginya, dunia adalah ciptaan baru (recent creation), tubuh akan dibangkitkan di akhirat bersamaan dengan jiwa. Dan Tuhan ialah serba tahu baik secara khusus maupun menyeluruh.

Tahafut al-Falasifah memberi pengaruh yang besar, tidak hanya pada dunia intelektual Islam, namun juga Kristen di Eropa. Al-Ghazali dan Tahafutnya berkontribusi pada melemahnya pemikiran filsafat Yunani di dalam dunia Islam.

Meskipun begitu, masih ada upaya untuk mempertahankan filsafat yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd, seorang filsuf yang menonjol dalam linguistik, sastra, kedokteran, hukum, dan filsafat.

Tahafut Al-Tahafut adalah karya sanggahannya terhadap Tahafut al-Falasifah.

Konten oleh @putriiokt

Sumber:
1. Al-Ghazali (Nabil Nofal)
2. Al Ghazali and His Theory of Government (Khoiruddin Nasution)
3. egypttoday.com/Article/4/6967…