Dahulu...
Saat masih sekolah dasar (SD) setiap kali nenek selesai masak, beliau menyuruh saya mengantar makanan untuk minimal dua orang tetangga di kanan kiri rumah. Nenek tak pernah memberikan makanan sisa untuk tetangga.
Memang tidak setiap hari beliau memberi makanan, paling seminggu dua atau tiga kali. Setelah saya sekolah SMP, ibu bilang pada saya tentang kebiasaan nenek;
"Ingat ya Nak, kalau niat mau memberi makanan pada tetangga, beri yang baru kita masak, bukan yang sudah sisa dengan alasan dari pada dibuang. Tetangga yang hidupnya susah itu bukan tempat sampah!"
Sampai saat ini pesan nenek & ortu pun msh terngiang di telinga, bahkan terpatri di dlm dada. Seringkali saya melihat kenyaataan yg ada di masyarakat. Ada tetangga yg suka memberi makanan sisa bahkan hampir basi/busuk, padahal perut mereka sendiri tdk mau menerima (memakannya).
Mereka makan makanan segar & enak, jika ada sisanya maka disimpan, dan jika sudah mau busuk/basi maka baru diberikan pada tetangga yang susah. Tentu mereka ambil makanan itu dan berterima kasih pada yang memberi.
Tapi saya kadang salut juga pada mereka yang diberi makanan itu, sebab tak ingin anak-anaknya sakit, maka makanan itu diam-diam dibuangnya. Saya juga melihat dimana saat anak yang besar (kelas 4 SD) protes pada ibunya.
"Bu, kenapa sih mau saja diberi makanan yang sudah mau basi gitu? Aku lebih suka masakan ibu walau sederhana, enak rasanya!" ujar anak itu.
"Sayang, ibu takkan membiarkan kamu makan itu, tapi kita jg hrs hargai tetangga yg memberi, walau itu adlh makanan sisa. Buktinya kamu tahu saat ibu diam2 membuangnya. Ingat, kalau niat memberi makanan sama tetangga, berilah yg baru dimasak! Sesuai yg dilakukan oleh Rasulullah."
Jawaban seperti ini sama seperti apa yg disampaikan oleh nenek saya kpd anak cucunya.
Suatu hari saya mendapat rezeki dari orderan yang lumayan banyak, sayapun ingin agar keluarga memasak agak istimewa. Sayur sup daging sapi dan bebek & ayam bakar.
Setelah selesai masak, ibu menyuruh adik bungsu saya mengantar ke tetangga, tak terkecuali tetangga kaya. Ibu berpesan berikan makanan ini dan bilang terima kasih. Dasar anak-anak sudah dipesan dia masih tidak dengar. Lalu saat pulangnya dia cerita.
"Bu tadi aku bilang gini, bu ini ibuku baru masak sup daging sapi dan bebek & ayam goreng. Ibuku suruh aku antar kesini utk ibu. Terimakasih ya bu!"
Seketika itu tetangga saya yg nan kaya tapi terkenal pelitnya menangis. Entah krn apa, yg pasti skrg dia tdk terkenal pelit lagi.
"Beri makanan yg baru dimasak, bukan makanan sisa yg tak habis kita makan. Tetangga susah bukan tempat sampah" inilah petuah keluarga yg akan selalu ku ingat & jalani.
Jika ada makanan sisa yg kita sendiri sdh tdk mau memakannya, kenapa baru diberikan kpd tetangga yg susah?
Antara sadar atau tidak sadar, banyak dari kita yang suka memberi sesuatu hal yang sudah "SISA". Tidak cuma kepada tetangga, namun juga kepada Bangsa & Negara, serta Agama.
Kita sering habis-habisan mengerahkan tenaga, pikiran, waktu, biaya, hati untuk mencari kesenangan pribadi.
Memikirkan & mengabdi kepada Bangsa & Negara jika ada sisa waktu dan sisa niat saja. Kepada Yang Maha Kuasa pun banyak dari kita yang mempersembahkan sesuatu yang bersifat sisa.
Penguasa semesta alam, yang nyata-nyata sudah menciptakan, menghidupkan, menjamin, mengurus diri kita setiap saat walau DIA menyaksikan kita lupa, lalai dan bahkan mengkhianatiNYA.
Mengapa kepada DIA, kita hanya memberi sisa?
Shalat hanya sisa waktu kesibukan,
Zikir hanya sisa ngobrol.
Menyebut nama-NYA hanya sisa waktu dari menyebut-menyebut harta/manusia.
Baca Al-Qur'an hanya sisa waktu dari membaca koran, sms, bbm, internet.
Sedekah hanya sisa dari belanja/jajan.
Memikirkan akhirat hanya sisa dari memikirkan duniawi.
Hati untuk-NYA hanya sisa dari hati yang dipenuhi cinta kepada duniawi.
Akankah hanya sisa-sisa untuk Tuhan yang amat mengasihi kita?
Mana bukti cinta kita?
Hanya sisa-sisa itukah bukti cinta kita kepada Pencipta kita?
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Istilah2 Sakral Yang Telah Dinodai & Dicuri Oleh Perompak Bertopeng Agama
Hizbut Tahrir Indonesia adlh ormas pemberontak bertopeng agama & pengasong khilafah memang sdh dibubarkan oleh pemerintah. Tetapi gerakan & ideologi mereka msh ada dan terus bergentayangan di sekitar kita.
Mereka lebih mengemas diri dengan simbol-simbol agama untuk menarik simpati dan dukungan masyarakat. Inilah liciknya pemberontak dengan kedok agama untuk membuat keributan di Indonesia yang sudah aman dan damai, negeri nan indah yang diakui dunia internasional.
Keindahan tak melulu hanya melulu penampilan dan rupa yang cantik. Deretan huruf dan rangkaian kata juga merupakan jenis keindahan yang mampu menghadirkan ‘sense of beauty’ yang menyejukkan dan mampu menyihir pembacanya ke alam lain.
Sedari awal, organisasi yg didirikan oleh para kiai pesantren ini berupaya memperkuat substansi & praksis keagamaan dlm membangun bangsa & negara secara bersama-sama. Substansi yang terkandung dalam Pancasila telah sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang perlu diperjuangkan.
Pancasila dirancang sebagai ideologi pemersatu sehingga substansinya harus mampu mengakomodasi seluruh rakyat Indonesia yg terdiri dari berbagai macam suku, agama, etnik, dan lain-lain.
Substansi ini yg perlu digali
sehingga Pancasila dapat diterima sebagai asas.
Nasionalisme itu bukti cinta dan syukur kita kepada Tuhan.
Bagaimana mungkin warga negara yang lahir di Indonesia, KTP pun jelas berpenduduk di wilayah yang berada di NKRI, serta mencari nafkah di Indonesia, namun ia tidak mau mengakui pilar-pilar kebangsaan Indonesia.
Ada yg tak mau mengakui Pancasila & UUD'45.
Ada yg tak mau hormat kpd sang saka merah putih.
Yg terkini ada yg tak mau ikut menyanyikan lagu kebangsaan 'Indonesia Raya' yg dianggap bukan tradisi mereka, dan merasa bahwa itu hak mereka, krn menganggapnya itu mulut mereka sendiri.
Ironisnya, hal itu muncul dari tokoh-tokoh yg memiliki pengikut banyak, dan suaranya bisa mengandung unsur ajakan. Padahal yg namanya tokoh masyarakat dan tokoh agama seharusnya jauh lebih paham dan mengerti betapa pentingnya sebuah nasionalisme.
Guru Ngajiku
Mungkin guru ngajiku seorang ustadz yang sederhana.
Tidak rupawan, tidak ahli ceramah, tidak bergaji.
Tidak punya gelar pendidikan.
Tidak dikenal banyak orang.
Tidak pernah tampil di TV, radio dan koran.
Penampilannya sering dianggap kampungan.
Di mata dunia, beliau tidak diperhitungkan.
Tapi jasa-jasa luar biasa dari guru ngajiku tidak bisa dinilai dengan apapun.
1. Jika iman adalah jalan keselamatan, ketenangan dan kebahagiaan dunia akhirat, guru ngajiku adalah orang yang menanamkannya padaku.
2. Jika isi otak, hati dan jiwa manusia lebih utama daripada isi perut manusia. Guru ngajiku adalah orang yang telah mengisi ilmu dan ruhiyah otak, hati dan jiwaku.