Sedari awal, organisasi yg didirikan oleh para kiai pesantren ini berupaya memperkuat substansi & praksis keagamaan dlm membangun bangsa & negara secara bersama-sama. Substansi yang terkandung dalam Pancasila telah sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang perlu diperjuangkan.
Pancasila dirancang sebagai ideologi pemersatu sehingga substansinya harus mampu mengakomodasi seluruh rakyat Indonesia yg terdiri dari berbagai macam suku, agama, etnik, dan lain-lain.
Substansi ini yg perlu digali
sehingga Pancasila dapat diterima sebagai asas.
Penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi tidak dilakukan NU tanpa dasar dan argumen syar’i dalam pandangan Islam.
Hal ini dilakukan oleh para kiai pesantren pada Munas Alim Ulama di Situbondo tahun 1983, setahun jelang Muktamar ke-27 NU di tempat yg sama.
Para kiai yang digawangi oleh KH Achmad Shiddiq Jember merumuskan hubungan Pancasila dengan Islam.
Pancasila merupakan ideologi dan dasar negara yang menjadi asas bangsa Indonesia.
Deklarasi hubungan Islam & Pancasila dlm pandangan Kiai Achmad Shiddiq bukan berarti menyejajarkan Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi.
Karena hal itu dapat merendahkan
Islam dengan ideologi atau isme-isme tertentu.
Problem ini seiring dgn isu yg berkembang di kalangan umat Islam saat itu.
Mereka beranggapan bahwa menerima Pancasila sebagai asas tunggal berarti mendepak atau melemparkan iman dan menerima asas tunggal Pancasila berarti kafir, sedangkan kalau menerima keduanya berarti musyrik.
Hal ini ditegaskan oleh Kiai Achmad Siddiq sebagai cara berpikir yg keliru. Dengan cara berpikir keliru tersebut, Kiai Achmad Siddiq menegaskan kepada seluruh masyarakat bahwa Islam yg dicantumkan sebagai asas dasar itu adalah Islam dlm arti ideologi, bukan Islam dlm arti agama.
Langkah ini bukan berarti menafikan Islam sebagai agama, tetapi mengontekstualisasikan Islam yg berperan bukan hanya jalan hidup, tetapi juga sebuah ilmu pengetahuan dan pemikiran yg tidak lekang seiring perubahan zaman.
Ideologi adalah ciptaan manusia.
Orang Islam boleh berideologi apa saja asal tidak bertentangan dengan Islam.
Kiai Achmad Siddiq memberikan contoh Pan-Islamismenya Jamaluddin Al-Afghani. Islam ditempatkan oleh Al-Afghani sebagai ideologi utk melawan ideologi lainnya krn saat itu dunia Timur sdg berada dlm penjajahan, dan tdk tergerak utk melawan kolonialisme.
Maka tidak ada jalan lain menurut
Jamaluddin Al-Afghani membangkitkan semangat Islam secara emosional, yaitu dengan mencantumkan Islam sebagai asas gerakan Pan-Islamisme.
Sejak itu Islam mulai diintrodusir sebagai ideologi politik untuk menentang penjajah.
Berbeda dgn ulama2 di Indonesia yg menggunakan Islam sebagai spirit menumbuhkan cinta tanah air & nasionalisme.
Spirit yg ditumbuhkan para kiai untuk melawan penjajah tidak membawa Islam sebagai ideologi politik pergerakan, melainkan aktualisasi Islam dalam wujud cinta tanah air untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah saat itu.
Langkah yg dilakukan para kiai
pesantren berdampak pada pemahaman bahwa umat Islam di Indonesia tdk memahami Islam secara simbolik tetapi substantif.
Sehingga tdk ada upaya2 bughot utk memformalisasikan Islam ke dlm sistem negara, kecuali yg dilakukan oleh kelompok2 kecil saja.
Di titik inilah mengapa ulama NU
perlu menjelaskan hubungan Islam dgn Pancasila agar tdk dipahami secara simbolik, tetapi substantif bahwa Pancasila merupakan wujud dari nilai2 Islam. Karena di dalamnya terkandung tauhid, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial.
Dgn sederhana, dapat disimpulkan bahwa Pancasila merupakan asas kaum beragama di Indonesia dlm merajut kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dari sini prinsip agama tidak bisa dilepaskan dari substansi yg terkandung dlm Pancasila.
Namun, jika ada kelompok-kelompok kecil Islam yg menolak Pancasila, maka itu bukan karena agama dasar mereka,
tetapi mereka hendak menjadikan Islam sebagai ideologi politik untuk meraih kekuasaan.
Berikut lima poin deklarasi tentang
hubungan Pancasila dengan Islam yang dirumuskan sejumlah kiai pada Musyawarah Nasional Alim Ulama NU tahun 1983 di Situbondo:
Deklarasi tentang
Hubungan Pancasila dengan Islam
Bismillahirrahmanirrahim
1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesi bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
3. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia.
4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.
5. Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yg benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Istilah2 Sakral Yang Telah Dinodai & Dicuri Oleh Perompak Bertopeng Agama
Hizbut Tahrir Indonesia adlh ormas pemberontak bertopeng agama & pengasong khilafah memang sdh dibubarkan oleh pemerintah. Tetapi gerakan & ideologi mereka msh ada dan terus bergentayangan di sekitar kita.
Mereka lebih mengemas diri dengan simbol-simbol agama untuk menarik simpati dan dukungan masyarakat. Inilah liciknya pemberontak dengan kedok agama untuk membuat keributan di Indonesia yang sudah aman dan damai, negeri nan indah yang diakui dunia internasional.
Keindahan tak melulu hanya melulu penampilan dan rupa yang cantik. Deretan huruf dan rangkaian kata juga merupakan jenis keindahan yang mampu menghadirkan ‘sense of beauty’ yang menyejukkan dan mampu menyihir pembacanya ke alam lain.
Nasionalisme itu bukti cinta dan syukur kita kepada Tuhan.
Bagaimana mungkin warga negara yang lahir di Indonesia, KTP pun jelas berpenduduk di wilayah yang berada di NKRI, serta mencari nafkah di Indonesia, namun ia tidak mau mengakui pilar-pilar kebangsaan Indonesia.
Ada yg tak mau mengakui Pancasila & UUD'45.
Ada yg tak mau hormat kpd sang saka merah putih.
Yg terkini ada yg tak mau ikut menyanyikan lagu kebangsaan 'Indonesia Raya' yg dianggap bukan tradisi mereka, dan merasa bahwa itu hak mereka, krn menganggapnya itu mulut mereka sendiri.
Ironisnya, hal itu muncul dari tokoh-tokoh yg memiliki pengikut banyak, dan suaranya bisa mengandung unsur ajakan. Padahal yg namanya tokoh masyarakat dan tokoh agama seharusnya jauh lebih paham dan mengerti betapa pentingnya sebuah nasionalisme.
Dahulu...
Saat masih sekolah dasar (SD) setiap kali nenek selesai masak, beliau menyuruh saya mengantar makanan untuk minimal dua orang tetangga di kanan kiri rumah. Nenek tak pernah memberikan makanan sisa untuk tetangga.
Memang tidak setiap hari beliau memberi makanan, paling seminggu dua atau tiga kali. Setelah saya sekolah SMP, ibu bilang pada saya tentang kebiasaan nenek;
"Ingat ya Nak, kalau niat mau memberi makanan pada tetangga, beri yang baru kita masak, bukan yang sudah sisa dengan alasan dari pada dibuang. Tetangga yang hidupnya susah itu bukan tempat sampah!"
Guru Ngajiku
Mungkin guru ngajiku seorang ustadz yang sederhana.
Tidak rupawan, tidak ahli ceramah, tidak bergaji.
Tidak punya gelar pendidikan.
Tidak dikenal banyak orang.
Tidak pernah tampil di TV, radio dan koran.
Penampilannya sering dianggap kampungan.
Di mata dunia, beliau tidak diperhitungkan.
Tapi jasa-jasa luar biasa dari guru ngajiku tidak bisa dinilai dengan apapun.
1. Jika iman adalah jalan keselamatan, ketenangan dan kebahagiaan dunia akhirat, guru ngajiku adalah orang yang menanamkannya padaku.
2. Jika isi otak, hati dan jiwa manusia lebih utama daripada isi perut manusia. Guru ngajiku adalah orang yang telah mengisi ilmu dan ruhiyah otak, hati dan jiwaku.