Apakah Ivermectin itu efektif untuk mengobati Covid-19? Jawabannya belum dan cenderung tidak ya. Bahkan India baru saja menghapus Ivermectin dari daftar pengobatan Covid-19.
Berikut penjelasan saya tentang Ivermectin ini:
@mbahndi Apa itu Ivermectin? Singkatnya obat ini adalah untuk mengobati infeksi cacing gelang di dalam tubuh manusia. Ivermectin masuk golongan antihelmintik yang kadang dipakai mengatasi scabies atau kudis dan hanya diresepkan dokter.
Memang, Ivermectin populer disebut-sebut sebagai obat yang dapat menghambat perkembangan SARS-CoV-2. Studi di Australia mengklaim bahwa obat ini bekerja dengan cara menghambat protein yang membawa virus penyebab Covid-19 ke dalam inti tubuh manusia.
Hal ini yang kemudian diyakini bahwa Ivermectin mencegah penambahan jumlah virus di tubuh sehingga infeksi tidak makin parah. Persoalannya studi ini baru dilakukan terhadap sel-sel yang diekstraksi di laboratorium. Uji coba Ivermectin pada tubuh manusia belum dilakukan.
Studi berikutnya adalah di Bangladesh, yang juga mengklaim Ivermectin dapat mempercepat proses pemulihan pasien Covid-19. Tapi penelitinya pun menyatakan terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa Ivermectin efektif untuk pengobatan Covid-19.
Lalu bagaimana Ivermectin di Eropa dan Amerika?
Yang jelas, European Medicines Agency (EMA) dan Food and Drug Administration (FDA) belum mengizinkan Ivermectin digunakan untuk mengobati Covid-19.
EMA sendiri telah meninjau beberapa studi terkait penggunaan Ivermectin. Mereka menemukan kalau obat ini memang dapat memblokir replikasi SARS-CoV-2. Tapi pada konsentrasi Ivermectin yang jauh lebih tinggi daripada yang dicapai dengan dosis yang diizinkan saat ini.
Pada kesimpulannya, EMA menyatakan bahwa sebagian besar studi yang ditinjau memiliki keterbatasan. Mereka belum menemukan bukti cukup untuk mendukung penggunaan Ivermectin pada Covid-19 di luar uji klinis.
Kalau FDA, pada beberapa pernyataannya mengingatkan bahwa dosis besar dari Ivermectin itu berbahaya. Apalagi jika berinteraksi dengan obat lain seperti pengencer darah, dan bisa menyebabkan overdosis.
Prinsipnya, studi Ivermectin sebagai obat Covid-19 masih sangat terbatas dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Pun, bisa saja nanti Ivermectin digunakan ketika studi terbaru menemukan bukti yang cukup. Kan tidak menutup kemungkinan itu juga.
Terima kasih.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Saya memandang, arahan Presiden Jokowi tentang sekolah tatap muka sebagai jalan tengah. Mulai dari pembatasan jam belajar dan siswanya di dalam kelas, hingga memastikan semua guru sudah divaksinasi. Itu cukup bagus. Lalu, apakah kita harus skeptis pada pelaksanaannya nanti?
…..
Begini. Skeptis boleh saja. Tapi harus didasari data. Pasalnya satu kebijakan ini belum tentu cocok untuk semua daerah. Apalagi daerah berstatus zona merah dan yang bed occupancy rate (BOR) tinggi. Ada baiknya dipertimbangkan dengan baik untuk buka kembali sekolah-sekolahnya.
Kalau daerah zona hijau dan kuning, saya pikir bisa-bisa saja--meski agak keberatan juga jika melihat positivity rate yang masih tinggi.
Semoga saja tiap daerah bisa memastikan semua gurunya telah divaksinasi. Kalau perlu, tak hanya guru. Tapi semua staf di sekolah tersebut.
Saya mau berbagi tentang lupus kembali. Kali ini tentang lupus yang dialami laki-laki.
Dari data, lupus dialami perempuan sekitar 90 persen pada usia 15-40 tahun. Persentase ini menurun dengan meningkatnya usia. Namun, bukan berarti laki-laki tidak dapat terkena.
...
Total jenderal, 22 persen kasus lupus terjadi pada laki-laki. Di Indonesia, odapus (orang dengan lupus) laki-lakinya mencapai 7 persen dari total pasien.
Data ini memastikan tidak benar lupus itu penyakit eksklusif perempuan. Lupus bisa kena siapa saja, termasuk anak-anak.
Syahdan, beberapa pengamatan pada hewan di penelitian menunjukkan adanya kaitan erat antara hormon seksual dengan patogenesis (kelainan) SLE (systemic lupus erythematosus).
Satu setengah tahun pandemi Covid-19 berjalan, tampaknya ada perubahan demografis yang jelas: angka kasus dan kematian pada pasien muda telah meningkat. Ini bukan hal yang kita lihat pada gelombang pandemi sebelumnya. Tentunya harus waspada. Apalagi sekolah mau dibuka.
.....
Enggak usah jauh-jauh. Fenomena ini terjadi di Malaysia. Di sana, makin banyak pasien muda meninggal. Tercatat, Sepanjang 31 Maret-30 April, sekitar 3,7 persen kematian terjadi pada usia 25-34 tahun dan 7,45 persen berusia 35-44 tahun. Ini resmi diberitakan Free Malaysia Today.
Kemudian. Di beberapa kota Amerika, misalnya di Michigan, rumah sakit juga banyak menerima pasien Covid-19 yang lebih muda daripada sebelumnya.
Mayoritas mereka memang berasal dari orang-orang yang belum divaksinasi, dan saat ini muncul di rumah sakit dengan gejala yang parah.
Apakah penggunaan jangka panjang dan berulang untuk masker N95 itu ideal? Apakah ada cara untuk pemakaian ulang yang aman untuk masker N95 ini?
Berikut penjelasan saya…..
Pertama. Kita kenalan dulu dengan masker N95, yang termasuk jenis masker respirator.
Huruf ’N’ itu artinya Not resistant to oil alias tidak tahan minyak. Sedangkan '95' merupakan kode persen yang mengartikan masker ini punya kemampuan menyaring 95 persen partikel udara.
Dengan kemampuan seperti itu, N95 dapat menyaring partikel berukuran > 0,3 mikron. Sehingga cukup efektif menyaring virus. Sebab itu, masker ini jadi andalan tenaga medis dan kesehatan untuk digunakan.
Kasus reinfeksi atau infeksi ulang Covid-19 yang muncul belakangan, termasuk salah satu artis, sebenarnya memberitahu hal ini:
Kita tidak dapat mengandalkan kekebalan yang diperoleh dari infeksi alami untuk sebuah kekebalan kawanan alias herd immunity.
Gelombang baru pandemi di berbagai negara juga memberi tahu kita bahwa kekebalan kawanan memang belum sepenuhnya tercapai. Hal itu menguatkan temuan-temuan yang menyatakan bahwa varian baru dapat lolos dari kekebalan infeksi alami.
Perlu juga dicatat. Beberapa studi menunjukkan kalau infeksi ulang Covid-19 justru mengakibatkan penyakit yang lebih buruk daripada infeksi pertama.
Temuan studi itu mengingatkan kita agar praktik protokol kesehatan harus tetap dilakukan meski statusnya sebagai penyintas.
Saya ingin berbagi cerita tentang masa kecil yang tak terlupakan: tarawih di Sekolah Rakyat (SR) Muhammadiyah Ngupasan, Yogya atau di pelataran Masjid Gede, Kauman.
Salatnya mungkin biasa saja. Yang tak biasa ya kenakalan kami yang bikin kesal para guru dan marbot.
Yang istimewa dari tarawih itu karena adanya sesi teatrikal tentang kisah-kisah Winnetou dan Old Shatterhand yang dibawakan dengan sangat hidup oleh seorang kakak senior di lingkungan kami. Catat, dibawakan, bukan dibacakan.
Kakak senior itu hafal betul kisah sosok rekaan Karl May, seorang pengarang asal Jerman yang lahir hampir seratus tahun sebelum saya lahir itu.
Cara dia bercerita kisah-kisah petulangan Winnetou sungguh hidup, membuat kami yang masih kecil jadi tersihir.