"Loh, kok bisa ada makam ditempat itu pak?" tanyaku, penasaran.
"Ya, karena dulunya, lokasi itu ya masih milik keluarganya. Kalau bisa dibilang sih, pemakamannya agak kurang wajar, jadi dimakamkan di pekarangan milik sendiri", jelas Pak Erte.
"Nggak wajar gimana pak?" rasa penasaranku pun mulai muncul mendengar penuturan Pak Erte tentang lokasi itu.
"Orang yang dikubur itu," Pak Erte sedikit memberi jeda. "Bisa dibilang, dikubur hidup-hidup disana".
Bulu kudukku pun mulai berdiri mendengar penjelasan Pak Erte.
Pak Erte pun, menceritakan sebuah kisah yang pernah terjadi puluhan tahun silam, di desa itu.
*perlu di ingat sebelumnya, bahwa cerita ini sudah saya rangkum dari beberapa versi yang disampaikan oleh beberapa warga sekitar. Jadi bukan sepenuhnya versi Pak Erte*
Puluhan tahun silam, di desa ini hanya di diami oleh beberapa orang.
Letak desa ini yang bisa dikatakan jauh dari kota, ditambah lokasi sekitarnya masih berupa sawah dan hutan, membuat desa ini tak tersentuh perhatian orang luar.
Jalanan yang ada, belum sepenuhnya terhubung dengan desa-desa lain. Hanya jalan setapak yang bisa dilalui untuk bisa sampai ke desa ini. Karena perkembangan pembangunan waktu itu belum sepesat sekarang.
Jangankan penerangan jalan, penerangan rumah pun belum semua warga menikmati.
Waktu itu, salah seorang warga desa ini, ada yang telah bertahun-tahun mengidap penyakit.
Sudah sering ia diusahakan untuk berobat kemana-mana. Dari mantri satu ke mantri yang lain, bahkan dari dukun satu ke dukun yang lain.
Tapi, penyakitnya tak kunjung bisa disembuhkan.
Awal mulanya ia hanya menderita demam, tak kunjung sembuh dari demam, lama-lama tubuhnya semakin kurus, semakin lemah. Bahkan, beberapa kali ia sempat mati rasa.
Sebut saja namanya Tole.
"Ya Allah, Le, kamu ini sebenarnya kenapa?" keluh salah seorang kerabatnya.
"Mbuh iki (nggak tau ini) mbok, badanku rasanya sudah gak bisa apa-apa lagi" ucap Tole, dengan suara yang sudah serak dan lemah. "Sudah bertahun-tahun keadaanku seperti ini, gak sembuh-sembuh, gak mati-mati".
"Hus. Kamu itu ngomong apa sih Le. Jangan sembrono" Tegur si mbok.
"Lah, harus gimana lagi mbok? Aku gak bisa apa-apa seperti ini juga sudah bertahun-tahun. Apa aku gak malah jadi nyusahin keluarga?" Ucap Tole, pasrah. Air mata nya mulai menetes, tanpa mampu di usapnya.
"Sabar le. Mungkin ini ujian dari Gusti Allah"
"Sabar? Sampai kapan mbok?"
Pertanyaan itu tak pernah mampu dijawab oleh simbok yang setiap hari merawatnya.
Keluhan-keluhan seperti itu kerap kali diucapkan Tole, baik pada simbok maupun warga lain yang kerap menjenguknya.
Berbulan-bulan, tak ada perkembangan yang positif dari tubuh Tole. Kondisinya semakin memprihatinkan.
Bahkan pada akhirnya, tubuh Tole terlihat seperti tulang yang hanya terbungkus oleh kulitnya.
Karena pemikiran masyarakat pada saat itu yang tak seperti sekarang, Tole pun-
-tak mendapatkan perawatan di rumah sakit. Mungkin salah satu alasannya adalah akses desa yang belum layak. Jalanan setapak, ditambah moda transportasi saat itu belum seperti sekarang, menjadi faktor yang dipertimbangkan untuk membawa Tole Ke rumah sakit.
Hingga suatu hari, Tole mengungkapkan sebuah permintaan pada simbok.
"Mbok, keadaanku kan sudah kayak gini, dibilang hidup, tubuhku kayak orang mati. Tapi sudah bertahun-tahun kayak gini, aku gak juga mati." ucap Tole, si mbok yang sudah terbiasa mendengar perkataan itu-
-tak berkata apapun, hanya terus mendengarkan ucapan tole yang sudah terdengar seperti orang menggerutu. "Mbok, apa lebih baik, aku mati saja ya mbok?"
Mendengar perkataan Tole itu, simbok terkejut.
"Astaghfirullah Le. Nyebut Le. Nyebut!"
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Orang tuaku, sejak dulu sering mengingatkan untuk pulang, masuk kedalam rumah saat waktu sudah mendekati maghrib. Karena konon, saat menjelang maghrib merupakan saat "Tengangi", saat "cadek olo" keluar.
Saat beraktifitas pun, jika sudah mendekati waktu tengangi diusahakan untuk berhenti sejenak, menunggu saat itu usai.
Menurut kepercayaan dari masyarakat, menghindari aktifitas diwaktu tengangi akan menghindarkan kita dari hal-hal negatif yang bisa saja terjadi saat itu.
Seharusnya, perkataan orang tuaku itu yang saat itu kuingat.
Pengalaman ini saya alami sekitar 2 tahun yang lalu, sepulang dari gudang tempat kerja yang pada waktu itu belum lama difungsikan oleh kepala tukang yang bekerja sama dengan saya untuk tempat kerja kami.
Sebenarnya lokasi gudang itu, masih berada di wilayah kota.
Tapi, jarak gudang dengan rumah saya bisa dibilang cukup jauh. Dikarenakan, gudang tersebut berada ditempat milik kepala tukang saya.
Yang perlu saya sampaikan, untuk pulang dari gudang sebenarnya terdapat 3 jalur.
Pertama, jalur terjauh adalah lewat jalur pantura-
Lek Mus, begitulah orang-orang di desanya, memanggil seorang lelaki berperawakan pendek itu.
Lek Mus sebelumnya tinggal di sebuah desa terpencil di daerah kabupaten "B". Karena cukup lama menganggur tanpa pekerjaan, akhirnya ia memutuskan untuk menjadi seorang penjual bakso-
- keliling. Tapi, bukan di desanya sendiri.
Dengan harapan punya omset yang lebih besar, ia memutuskan untuk menjajakan dagangannya ke wilayah kota "P".
Sambil nge-kos di sebuah kos-kosan kecil, ia pun mulai menjajakan dagangannya setiap sore hingga malam hari.
Pagi itu, pak Sugi berangkat dari rumahnya cukup pagi. Ia baru saja mendapat panggilan dari mandor yang biasa mengajaknya bekerja sebagai tukang bangunan.
Saat itu cuaca sedikit mendukung, dengan udara yang masih beraroma pagi yang dingin, dan sinar matahari belum terlalu hangat
Ia berangkat dari rumahnya yang berlokasi cukup jauh dari tempat yang dikatakan oleh mandornya. Karena itu, ia memutuskan berangkat dari pagi, agar tidak kesiangan saat sampai ke tempat dimana dia akan mulai pekerjaan.
Setelah melalui jalanan yang cukup panjang, sampai lah -
Bantaran sungai itu dipenuhi oleh rerimbunan tanaman yang tumbuh subur. Dari pohon-pohon yang berukuran sedang sampai yang sangat besar, yang usianya mungkin sudah puluhan atau ratusan tahun.
Bagian yang jadi hak milik salah seorang warga, ada juga yang ditanami pohon bambu.
Salah satu desa yang berbatasan dengan sungai itu adalah desa kelahiran saya. Dan dulu, almarhum kakek saya memiliki sebidang tanah yang ditumbuhi pepohonan bambu, di bantaran sungai itu.
Dan cerita pertama yang akan saya sampaikan adalah yang pernah diceritakan orang tua saya.
Kisah ini, sempat heboh di sebuah kabupaten, beberapa tahun yang lalu.
Cerita tentang wanita cantik yang sering mencari pasangan dari kalangan masyarakat sekitar kabupaten itu juga dari daerah lain.
Perlu saya sampaikan, bahwa alur cerita ini adalah sebuah rekaan, mungkin bukan cerita sebenarnya.
Tapi, untuk inti kejadiannya memang pernah terjadi di kabupaten itu.
Sore itu, langit terlihat mendung. Udara dingin mulai dapat dirasakan di sekitar area kota.
Suara gemuruh geluduk pun beberapa kali terdengar, seakan mengingatkan pada siapa pun yang masih berada dijalanan, untuk bergegas pulang. Setidaknya bersiap mencari tempat berteduh.