Mjb Mas Reza, kebetulan lewat di TL. Terima kasih sudah up study dibawah tentang ivermectin. Sebagai dokter, tentu senang ada evidence baru disodorin,, tapi karena kami sudah dilatih untuk selalu skeptis, perkenankan saya mengomentari jurnal yg dibawa mas Reza berikut.
Saya skip bagian komen saya tentang pertanyaan penelitian, metode pencarian dll. Saya langsung ke bagian seberapa berkualitas dan penting kah data yang disajikan?
Pada dasarnya kesimpulan yang diambil dari systematic review didapatkan dari analisa studi2 lainnya yg dimasukkan dalam review tersebut. Jadi kualitas sebuah systematic review tentu berkaitan dengan kualitas studi2 yang diikutkan di dalamnya.
Mari kita lihat studi2 apa yang diikutkan dalam systematic review tersebut. Hyaaa.. Studi yg RCT cuman satu, bahkan beberapa ada yang open label.. 😭😭😭. Yang ginian biasnya tinggi hiks..
Yawdah deh kita liat langsung aja seberapa penting data yang disajikan lewat forrest plot yang ditampilkan dari masing2 luaran penelitian. Hasil analisa rata2 dari tiap studi bisa disimpulkan dari dimana posisi bentuk belah ketupat itu berada, in favor ivermectin, atau kontrol.
Wih, bisa diliat mayoritas posisinya in favor ivermectin.😍😍. Eits, tunggu dulu, kita teliti lagi, ternyata ada yang janggal dari plot yang diberikan. Kalo kita liat dari masing2 studi yang dianalisa (tergambar dari deretan garis tipis panjang di grafik).Ketemu ada yang aneh?
Yess, dari forest plot yang dijabarkan kita bisa lihat mayoritas dari hasil studi yang dianalisa, tidak ada perbedaan bermakna secara statistik, hal ini tergambar dengan gamblang sebenernya dengan garis2 horizontal yang melewati garis vertikal. Banyak bener kan wkwk.
Inget ya, kualitas systematic review itu dapat terlihat juga dari kualitas studi2 yang dimasukkan.. Kalo studi2 yang dimasukkan tidak bermakna secara statistik, ya bagaimana kita bisa yakin sama hasil review yang dilakukan. Artinya apa sih bermakna secara statistik?
Dalam konteks studi yang dari tadi kita bahas, hal ini berarti hasil positif dari studi terlampir tentang ivermectin, kebanyakan terjadi by chance, alias kebetulan, alias kalo studi yg sama dilakukan dengan intervensi seblak, hasilnya bisa jadi tidak jauh berbeda wkwk.😅
Penelitinya sendiri gak yakin kok sama bukti2 dari trial yang dia ambil untuk systematic review, low certainty evidence katanya, hehe. Mereka yang neliti aja gak yakin, masak kami disuruh yakin.. 😭😭
Jadi masalahnya soal ivermectin bukan soal ada tidaknya penelitian yang dilakukan, tapi meyakinkan tidaknya data yang disampaikan. So far, belum ada bukti yang meyakinkan. Makanya belum ada insitusi berwenang sedunia yg rekomen ivermectin, baik untuk prevensi, atau terapi.
Ya ya, ilmu kedokteran memang strict, harus ada bukti meyakinkan dulu baru terapinya bisa dipakai atau dilanjut. Sayangnya yang namanya perasaan tidak bisa strict, tanpa bukti-bukti yang meyakinkan pun, kadang tetap dipaksakan untuk terus berlanjut.. 🥲🥲🥲..
Terima kasih mas Reza tambahannya. Sebenernya saya tidak hanya mengutip sebagian dari luaran studi. Semua forest plot dari setiap luaran studi sudah saya cantumkan, bisa dibaca pelan-pelan kembali thread saya.😊
Setiap evidence kita kritisi untuk mengetahui dengan sahih validitas internal dan eksternal dari bukti yg dibawa, dengan teknik yang kita sebut sebagai critical appraisal alias jujur (julidin jurnal) 🤪. Jadi yang dipakai bukan GRADE approach ya mas, itu beda lagi tujuannya.
Konklusi dari penulis bisa dijadikan pegangan, tapi bukan berarti tidak bisa dikritisi. Caranya? ya dengan critical appraisal tadi.. Bisa dipelajari kok tekniknya, saya rasa cukup berguna juga dalam praktek mas Reza sehari2.. 🙏🏻
Inget tadi saya bilang kedokteran itu strict? Untuk julidin jurnal aja gak boleh pake kacamata yang beda2, semua harus pake standar mengkritisi evidence yang serupa. Biar apa? Izin saya pinjam istilah yg mas Reza pakai, biar prinsip berpikir ilmiah tidak “diperkosa” begitu saja.
Jadi yang namanya multi kesimpulan atas validitas internal dan eksternal sebuah evidence atas satu intervensi pada suatu populasi, harusnya tidak ada.
Saya apresiasi sekali mas Reza mau repot2 ikutan searching bukti2 ilmiah kedokteran, cuman kita jangan pernah puas karena jurnalnya sudah terbit, puaslah ketika jurnal yang sudah terbit itu valid dan penting untuk membantu pasien-pasien kita. Salam 🙆🏼♂️
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Kalo belum betul-betul tau, wajar jadinya takut dan ragu. Termasuk soal vaksin covid19. Berikut paparan singkat saya tentang vaksin covid19. Saya kasih bonus endorsement saya terhadap vaksin asli buatan Indonesia di akhir thread (bukan yg itu tapi wkwk). Simak sampai habis yah!
Disclaimer 1. Penjelasan saya merupakan oversimplifikasi dari mekanisme cara kerja vaksin Covid 19. Jika ada diksi yang kurang tepat atau penggunaan ilustrasi yang kurang ilmiah, saya mohon maaf terlebih dahulu. Mohon dikoreksi buat bahan diskusi.
Disclaimer 2. Diskusi disini tidak bisa menggantikan keputusan dokter yang memeriksa langsung, jadi kalo saya bahas tentang prinsip umum boleh tidaknya vaksin di thread ini, bisa jadi akan berbeda dengan hasil pemeriksaan dokter langsung ke kamu. Oke lanjut.
Salah satu pertanyaan tersering yang saya dapatkan tentang vaksinasi covid 19 adalah.. “Dooookk kenapa ini udah vaksin dosis komplit tapi masih kena covid jugaaaa dosa saya apaaaa?”😭😭.. Baiklah saya spill disini alasannya.. Tolong jangan sedih dulu, nanti saya ikutan sedih. 😢
Jadi begini, dalam proses terjadinya infeksi, ada yang namanya segitiga epidemiologi. Yaitu faktor2 yang memungkinkan terjadinya infeksi.. karena namanya segitiga, maka faktornya ada tiga.😌. Yaitu faktor pejamu (manusia), faktor agen (virus/patogen lain), dan faktor lingkungan.
Yang membuat infeksi dapat terjadi adalah ketika terjadi ketidakseimbangan antara ketiga faktor yang condong ke arah keuntungan si virus, sehingga mereka bisa masuk dan mengobrak abrik tubuh manusia.
Mau keluar? Boleh banget, selain cuci tangan rutin dan selalu jaga jarak. Pake maskernya didobel ya, masker sekali pakai di bagian dalam, masker kain bagian luar. Ketika ini dilakukan, transmisi muncratan droplet/aerosol antar manusia bisa berkurang sampai 96,4% 😱😱
Cuci tangan juga sering-sering ya. Cuci tangan yang bener, pake sabun dan air mengalir. Ya boleh sesekali pake hand seniteser.. Cuci tangan terutama sebelum dan sesudah makan, megang2 barang, megang2 orang, sebelum dan sesudah buang air, sesudah batuk dan bersin. dll..
Jaga jarak antara kamu dan orang lain minimal 1,8 meter. Hati-hati tapi menjaga jarak antara kamu dan dia, kalo terlalu jauh ntar lepas..LDR sucks 🥲🥲
Bayangin kalo dirimu adalah sebuah kerajaan, lagi diserang Titan, kamu latih pasukan khusus biar bisa menghalau Titan, tapi Titannya masih banyak berkeliaran disekitar kerajaanmu, apakah kamu akan segitu cerobohnya ngerobohin tembok pembatasmu?
Padahal ngelatih pasukan anti b̶o̶d̶y̶ Titan butuh waktu. Di kerajaan lain Titannya dah terkendali dan termonitor dengan baik, jadi bisa dicopot m̶a̶s̶k̶e̶r̶ tembok pembatasnya dan berkerumun buat nonton bola. 😭😭
Pasukan Anti Titanmu mungkin sudah terbentuk, tapi karena kamu tinggal di negara yang c̶o̶r̶o̶n̶a̶ Titannya awut-awutan tak terkendali jumlahnya, pada akhirnya kemungkinan besar mereka masih mampu untuk menembus pertahananmu..
Taukah kamu? kalo vaksin covid19 buatan oxford-astrazenecca isinya memang virus, tapi bukan virus corona. Isinya adenovirus, virus cupu tapi tubuh akan mengenalnya sebagai corona karena adenovirus tersebut dipasang material genetik yg membuatnya dari luar “tampak “ seperti corona
Dari “mengamati” adenovirus yang pake topeng corona inilah tubuh menghasilkan antibodi khusus covid19. Begitu virus corona beneran datang, antibodi yang sudah dibrief siap gebuk si covid19. Covidnya kaget..
Kok bisa kita baru pertama kali datang ke manusia ini, tapi dia sudah punya antibodi yang mengenali kita?? Sesama covid yg laen berbisik, hmm orangnya ternyata ngikutin thread @sdenta terus, jadinya yakin vaksin dan sudah divaksin.. 😭😭.. Kita salah strategi.. 😱😱..
Masih banyak ternyata yang gak mau divaksin C19. Apapun pertimbangan kamu, mau takut sakit, takut efek samping, takut gak halal, takut dimasukin chip, dll semua itu ketakutan yang valid. Take your time to learn the risk of getting or not getting vaccinated. Then decide..
Kalo ngerasa ga yakin divaksin, gak usah memaksakan diri. Lakukan ikhtiar pencegahan yang lain, sekuatnya dan semampunya. Buat diri sendiri, dan buat sekitarnya.. Bismillah. Apapun yg kita putuskan, akan ada konsekuensinya, baik buruknya.. Siap2 aja selalu..Hwaighting! 💪🏻
Waktu masih muda dulu sebagai dokter ((halah)), selalu kesel ngadepin orang yang ga mau divaksin, buat saya alasannya kebanyakan ga masuk akal dan memancing emosi. Tapi kemudian saya tersadar ((elah tersadar)), bahwa saya yakin sama vaksin karena saya punya privilej ilmunya aja.