“Nggak… Jasad itu harus kita kuburkan di suatu tempat,gua ga mau masuk penjara” Ucap rifki pada teman-temanya yang sedang panik.
“Gua gak setuju , kita harus bawa ke rumah sakit.. siapa tau dia masih bisa diselamatin” Kali ini aku memberi pendapat, namun ditolak mentah mentah oleh kedua rekanku.
“Gila! Lu sendiri udah ngecek kan? Nafasnya udah ga ada…
udah ga usah banyak bacot, masukin jasadnya ke mobil!” Perintah Reza tanpa mau mendengarkan pendapatku.
Kami memasukan jasad Rani ke mobil , mendudukan seolah-olah dia tertidur di kursi belakang. Aku menjaganya agar seolah-olah Rani terlihat masih hidup.
Mobil berjalan dengan tidak tentu, hujan turun begitu deras menyulitkan kami untuk mencari lokasi untuk mengubur jasad Rani , Namun akhirnya kami memutuskan untuk menghentikan mobil kami di pinggir jalan tol. Hutan kecil terlihat dari sini ,
Rifki berlari ke hutan itu mengecek apakah ada orang lain selain kami di sana.
“Ambil peralatan! Kita kuburkan di sini!” Ucap Rifki dengan terengah-engah dengan badanya yang basah kuyub karena hujan.
Kami segera mengambil peralatan ,
menggali cukup dalam untuk memastikan jasad Rani tidak ditemukan oleh orang lain.
“Nandar! Ambil jasad Rani!” Perintah Reza padaku.
Aku berlari ke mobil yang tidak jauh dari tempat kami menggali , Namun aku tak percaya dengan apa yang kulihat.
“Ri.. Rifki, Reza… Jasad Rani ga ada!” Ucapku kepada kedua temanku.
Rizki dan Reza saling menatap , seolah tidak percaya dengan ucapanku mereka berlari ke mobil dan ikutn mencari.
“Tadi jasadnya ada di sini kan? Kita semua tau itu?
Atau jangan-jangan ada orang lain selain kita di sini?” Tanya rifki dengan cemas.
“ Cari !! Cari! Harus ketemu… nyawa kita taruhanya!” Ucap Reza dengan Emosi, Wajar saja Reza yang paling panik, karena dialah yang mendorong Rani pacarnya dari balkon Villa yang kami sewa.
Kami mencari keliling hutan dengan guyuran hujan yang semakin deras, tak satupun petunjuk kami temukan sampai akhirnya Reza melihat sosok seseorang terkapar di tengah jalan tol.
“Itu Rani..!” teriak reza.
Reza dan Rifki segera berlari menghampiri jasar Rani yang tergeletak di sana , hujan yang deras mengganggu pandanganku sehingga aku tidak melihat di mana posisi Rani yang di maksud. Bila memang ada disana, apa mungkin Rani masih hidup?
`
Reza berlari menghampiri Jasad yang dia lihat , Rifki menemaninya bersiap membopong Jasad pucat dengan tubuh basah dan darah yang masih belum kering. Belum sempat mengangkat Jasad Rani Mata Rani terbuka, Memandang kedua laki-laki yang mencoba mengangkatnya.
“Reza… Aku ga mau sendirian….” Ucap jasad pucat itu kepada Reza.
Seketika aku melihat sebuat truk besar lewat dengan kecepatan penuh menghantam kedua tubuh teman-temanku tanpa ampun. Darah berserakan kemana mana, potongan potongan tubuh berhamburan di sekitar jalan tol.
Aku tak percaya dengan apa yang terjadi dan segera belari menghampiri mereka , namun belum sempat sampai ke sana aku terhenti dengan sosok perempuan pucat yang berdiri dihadapanku di tengah derasnya hujan.
Benar… Itu Rani.
“Ga mungkin, Kamu sudah mati…. Ga mungkin” Teriaku kepada makhluk itu
Matanya terlihat sangat marah , aku mundur berusaha menghindarinya hingga tanpa sadar aku terperosok ke lubang yang kami gali.
“Lubang ini lebih pantas untuk seorang pembunuh…”
Ucap makhluk itu dengan mata penuh amarah.
Seketika tubuhku tak bisa bergerak , aku berusaha berteriak namun derasnya hujan menyamarkan suaraku.
Tumpukan tanah mulai berjatuhan menutupi tubuhku, aku tidak bisa berbuat apa-apa,
hanya tangisan dan teriakanku yang pasti tidak akan didengarkan oleh siapapun.
“Tolong… Maafin aku Rani” Teriakku sekuat tenaga , namun tumpukan tanah itu tetap jatuh k atasku.
“To….. long….”
….
“Oke , Itu cerita yang luar biasa yang di dikirimkan oleh Mas nandar,
Narasumber setia kita yang ceritanya ga pernah gagal membuat kita merinding “
“Sekarang sudah lewat tengah malam , saatnya kita kita undur diri ,terima kasih sudah mendengarkan Radio Tengah Malam, Saya Ardian Pamit undur diri”
Aku melepas headphoneku ,
suara tepuk tangan dari teman-temanku terdengar dari luar ruangan.
“Gila , Cerita lu kali ini bener-bener bikin merinding” Ucap Nizar sambil menyambutku keluar ruangan siaran.
“Ini cerita orang, gua Cuma bacain…” Jawabku.
“Tetep aja, kalau bukan lu yang bacain pasti ga akan se serem itu” Ucapnya lagi.
Aku menghampiri teman-temanku di luar ruangan, mereka adalah teman-teman dari komunitas pencinta cerita horor . Kami berkumpul di studio dan memang merencanakan ini sejak lama,
Mencari lokasi lokasi angker yang sekiranya bisa menjadi inspirasi untuk cerita-cerita horor berikutnya.
“Jangan lupa Cek kelengkapan , sekalian nanti live report di lokasi sana “ ucap rekanku Dika sang operator radio sekaligus penyiar cadangan andalanku.
“Beres, Doain aja sinyal disana ga bermasalah..” ucapku sambil berpamitan.
…
Kami berempat memasuki mobil dan berangkat menuju kota tujuan kami di Jawa Tengah, kabarnya di sana banyak lokasi-lokasi seram yang bisa di explore.
Aku tertidur selama perjalanan , hingga akhirnya mobil yang kami kendarai berhenti disebuah guest house atau rumah singgah, Maklum kami berangkat dengan budget pas-pasan jadi rumah singgah adalah tempat pilihan kami.
“Siang ini kita full istirahat ya, sorenya kita siap-siap menuju Pabrik Gula ga jauh dari sini..” Ucap Nizar.
“Yakin kita mau ke sana? itu pabrik udah pulluhan tahun ga beroperasi lho.. bisa-bisa kita ketemu hantu beneran” Balas Ranto dengan sedikit keraguan
“ Tenang aja, kalo emang terlihat berbahaya kita langsung cabut.. toh kita Cuma nyari cerita seramnya bukan nyari hantunya” Ucap Didi meyakintakn Ranto
Aku menyelesaikan check in di resepsionis dan menju ke arah kamar,
terlihat seorang pegawai menawarkan untuk membantu membawakan tas kami , karena ternyata letak kamar kami cukup jauh ke belakang rumah.
Kami beristirahat seperlunya , mempersiapkan diri dan berkumpul di Lobi.
Nizar kembali menyetir dan Didi sebagai pencari informasi yang menunjukan lokasi dimana pabrik gula yang dimaksud itu.
Menjelang maghrib mobil kami mulai memasuki lokasi yang menyerupai hutan , namun terlihat jalur mobil masih dapat dilintasi di tempat ini.
Tak lama, sebuah bangunan tua terlihat dari kejauhan, pabrik gula besar yang masih terlihat kokoh namun juga sudah dipenuhi oleh tanaman merambat. Suasana angker sangat terasa di tempat ini, langit senja yang memerah menyempurnakan suasana misterius bangunan tersebut.
“Kita mulai dari mana?” Tanyaku pada Nizar.
“Kalau pintu depan tidak terkunci, kita masuk dari pintu depan saja” Ucap Nizar.
Ranto berinisiatif berjalan menuju pintu depan untuk memeriksa .
Ilalang-ilalang tinggi cukup menyulitkan langkah kami Terlihat beberapa pohon pisang berdiri subur di dekat pintu masuk Pabrik gula ini.
“Bisa , Pintunya ga dikunci..” info Ranto pada kami.
Suara pintu besi terseret terdengar meggema dari pintu itu ,
Sebuah ruangan besar yang terisi mesin-mesin tua terlihat di hadapan kami.
Tanpa sadar hari sudah mulai gelap ,Kami menyalakan senter yang sudah kami persiapkan untuk memperjelas penglihatan kami,
atap –atap yang telah rusak membiarkan cahaya bulan masuk menerangi sudut-sudut bangunan ini.
“Kita ga usah lama-lama ya…” Jelas Ranto
“Iya, gua aja sekarang udah ga nyaman ada di sini” Jawabku mendukung Ranto.
Ruangan demi ruangan kami masuki,
hanya ruangan dengan tembok-tembok yang sudah lapuk dan mesin-mesin rongsokan yang terliihat. Kurasa ini cukup untuk bahan dokumentas dan materi live report nanti.
Semua tidak ada yang aneh,
sampai akhirnya kami sampai di sebuah ruangan besar dengan pintu kayu yang terlihat cukup reot.
Kami masuk ke dalam , terlihat hiasan-hiasan kayu berbentuk topeng dan patung tertata di sini. Dan yang mencurigakan , terlihat sebuah daun pisang yang diisi dengan bunga-bunga ,
sepasang dupa dan kemenyan terlihat masih menyala di sana.
“Itu sesajen ? Apa ada orang lain selain kita di sini?” Tanyaku kepada Nizar.
Nizar tidak menjawab, terlihat dia juga tidak nyaman dengan yang kami lihat.
….
“Kuwi jatahku …” (Itu jatahku)
Mendadak Didi berkata dengan bahasa jawa dengan suara yang tidak kukenal, matanya melotot dengan seringai yang aneh di wajahnya.
Aku panik melihat tingkah Didi
“Di… jangan bercanda, ga lucu!” Teriak Nizar.
Sontak terdengar suara besi terbanting dengan keras,
Aku menduga itu adalah suara pintu depan tempat kami masuk.
“Ranto.. Pintunya!!” Ucap Nizar dengan memberi isyarat pada Ranto.
Saat kami sibuk mengecek pintu terlihat Didi berjalan merangkak menghampiri sesajen itu dan memakanya langsung dengan mulutnya.
Aku berlari menghampiri Didi dan mencoba menghentikanya, Namun entah tenaganya begitu kuat sehingga tenagaku tak mampu menahanya.
“Khi…khi.. khi… Sarate uwis tak tompo , saiki sopo sing arep duluan” (Syarat sudah aku terima, sekarang siapa yang mau duluan)
ucap makhluk yang merasuki tubuh Didi.
Kami menyadari akan adanya bahaya dan mencoba keluar dari ruangan , namun belum sempat aku lari , terlihat Ranto terjatuh seolah ada yang menarik kakinya.
Aku menangkap tangan Ranto,
namun sesuatu menarik kaki ranto dengan cepat hingga ia terseret entah kemana.
“Ranto!!!” Teriaku sambil mencoba mengejarnya namun Nizar menahanku,
“Kabur Ardian ! kita cari bantuan..” perintah Nizar.
Kami berlari keluar ruangan.
Terlihat pintu besi tempat kami masuk sudah tertutup namun kami tetap berlari kesana berharap pintu itu masih bisa dibuka .
Ternyata kami salah , sesuatu menahan pintu itu untuk terbuka.
Aku mencoba mengambil telepon selulerku dan menghubungi nomor emergency ,
namun tak ada tanda-tanda teleponku akan tersambung. Aku mencoba menelepon Dika hingga teman-teman yang mungkin bisa menolong namun tidak ada satupun yang terhubung.
Nizar terus menggedor pintu dan meminta pertolongan.
Namun itu tidak lama sampai kami mendengar langkah kaki mendekat dari langit-langit bangunan itu.
“itu… itu makhluk apa?” Tanyaku dengan suara yang bergetar.
Nizar Jatuh dan terduduk tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
Sesosok pocong, tidak.. tidak hanya satu , Pocong, Kuntilanak , hingga mahkhluk tinggi besar menyerupai genderuwo memandangi kami dari setiap sudut ruangan pabrik gula ini.
Kakiku bergetar, Nizarpun tak mampu menahan rasa takutnya.
Spontan Ia berlari menuju tempat dimana tidak terlihat makhluk-makhluk itu.
Aku mencoba mengejarnya namun Nizar berlari ke sebuah ruangan, dan saat aku mencoba memasukinya , pintunya tertutup dengan sendirinya.
Dan kini tinggal aku sendiri di aula pabrik gula bersama setan-setan ini.
Lari…. Aku harus menyelamatkan diri, tapi kemana? Aku melihat ke sekeliling tempat ini , hanya ada pocong dan kuntilanak yang duduk diatas mesin dengan kaki yang menggantung.
Dan yang aku takutkan terjadi… Didi merangkak keluar ruangan, menaiki mesin tua dan menjatuhkan dirinya hingga darah menetes dari kepalanya.
“ Ayo… Melu aku…” (Ayo , Ikut aku) ucap Didi menghampiriku merayap di tanah dengan tubuhnya yang penuh darah.
“To.. tolong, siapapun tolong..!” Teriaku sekeras mungkin, namun tidak ada siapapun yang merespon .
Mendadak sakuku bergetar, terlihat ada telepon yang masuk.
Itu Dika! Aku segera mengangkat telepon untuk meminta pertolongan.
“Dik… Tolong Dik, Tolong!!!” Teriaku di telepon
“Akhirnya kita tersambung dengan Ardian , Penyiar Favorit kita! Saat ini dia akan menyampaikan live report dari sebuah pabrik gula angker di Jawa Tengah!”
Terdengar suara dika dari telepon.
“Bukan Dik, Matiin radionya… “ Perintahku
“Ok, Ardian ada hal apa saja yang bisa di ceritakan” Ucap Dika melalui telepon.
“Dik tolong dik! Kami dalam bahaya… pabrik tua ini mengerikan , tolong gua!” perintahku pada dika.
“Sori, suara lu ga jelas… apa tadi? Pabrik tua mengerikan? Lu liat pa aja aja di sana? “ Tanya Dika lagi yang terdengar belum mengerti kondisi saat ini.
“ Siapa aja tolong, sekumpulan pocong, kuntilanak ada di setiap sudut pabrik ini” ucapku sudah tercampur dengan tangisan.
“Pocong? Kuntilanak? Gila… parah2, pasti seru banget petualangan lu! Oke, nanti kita lanjutin lagi ya live reportnya semoga nanti sinyalnya sudah jelas.. buat para pendengar setia , Stay tune di Radio tengah malam bersama gua dika dan Ardian yang berada di lokasi”
ucap Dika sambil menutup teleponya.
Tenpa sadar , tangan didi yang penuh luka sudah menggenggam kakiku. Aku berusaha mundur melepaskan namun punggungku menyentuh sesuatu.
Aku menoleh, Sesosok wajah pucat menyeringai dengan rambut yang tidak beraturan berada tepat di belakangku. Itu adalah kuntilanak yang tadi menatapku dari atas Mesin tua…
“Selamat bergabung di Radio Tengah Malam kali ini bersama saya Dika ,
Gimana kabar para pendengar semua ? semoga udah siap untuk merinding bareng di tengah malam ini…
Spesial di malam ini kita akan live report dengan penyiar andalan kita Ardian,
yang sedang berada di Pabrik gula angker di jawa tengah”
Aku mendekati radio , membesarkan volumenya , dan menajamkan telingaku.
Radio tengah malam adalah salah satu siaran favoritku , cerita – cerita horor yang dibacakan seolah membawaku menjelajah ke alam lain.
“Akhirnya kita tersambung dengan Ardian , Penyiar Favorit kita! Saat ini dia akan menyampaikan live report dari sebuah pabrik gula angker di Jawa Tengah!”
“Ok, Ardian ada hal apa saja yang bisa di ceritakan”
“… bzzzt… bahaya… pabrik tua ini mengerikan…”
“Sori, suara lu ga jelas… apa tadi? Pabrik tua mengerikan? Lu liat pa aja aja di sana? “
“ Si…apa.. bzzzt… , sekumpulan pocong, kuntilanak ada di setiap sudut pabrik ini”
“Pocong? Kuntilanak? Gila… parah2, pasti seru banget petualangan lu!
Oke, nanti kita lanjutin lagi ya live reportnya, semoga nanti sinyalnya sudah jelas.. buat para pendengar setia , Stay tune di Radio tengah malam bersama gua dika dan Ardian yang berada di lokasi”
Pabrik gula? Tunggu… Jangan-jangan itu pabrik gula di belakang desa ini?
Aku segera mengambil radioku, mengenakan sandal dan berlari keluar.
“Pak Lek.. Pak Lek!” teriaku ke sebuah rumah yang tak jauh dari rumahku berada.
“Opo to Panjul ? cah cilik tengah malem ngene teriak-teriak” ucap Pakle sambil membukakan pintu.
“Iki Pak Lek, kayaknya ada yang masuk ke pabrik gula” ucapku setengah sambil menyodorkan radio.
“bzzzt… Kita sudah mencoba menghubungi ardian kembali yang sedang berpetualan di pabrik gula , namun sepertinya sinyal belum mendukung… kita lanjut baca cerita dulu ya”
terdengar suara dari radio yang aku tunjukan.
“Haduh… yowis , tak cek dulu” ucap pak Lek sambil bersiap mengenakan sandalnya.
“Aku melu… tak jemput kliwon sik” sahutku
“Melu yo melu, tapi ketekmu kuwi ora usah digowo”
(ikut ya ikut , tapi monyetmu itu ga usah dibawa) ucap Paklek.
Kliwon adalah monyet peliharaanku, aku menamainya seperti nama monyet peliharaan jagoan favoritku si Hantu dari Goa Buta. Aku sering membawanya ke hutan sekitar pabrik gula..
di sana ada tanaman pohon-pohon pisang yang menjadi makanan favorit kliwon.
“Mbok ben to Pak lek, ben golek gedang dewe neng kono” (Biarinlah Pakde , biar cari pisang sendiri disana) Jawabku kepada Pak Lek.
Pak Lekku , Bimo Sambara adalah salah satu orang terpandang di desa ,
beliau memang dipercaya untuk mengurus permasalahan yang kadang terjadi di peninggalan pabrik gula jaman belanda yang sudah lama terbengkalai.
Rumput-rumput yang tinggi, dan gelapnya malam menemani perjalan kami.
Hanya penerangan dari lampu petromaks yang membantu penglihatan kami.
Sebuah pabrik tua terlihat di hadapan kami terliihat pohon-pohon pisang tumbuh subur di depanya. Sontak kliwon melompat dari bahuku dan bersiap menikmati pisang favoritnya di sana.
“ Pak Lek, pintunya ga dikunci?” Tanyaku saat melihat tidak ada lagi gembok di pintu pabrik tersebut.
“Ra mungkin , Pintunya selalu tak kunci…” jawabnya sambil mempercepat langkah.
Kami mendekat mencoba membuka pintu tersebut , namun sulit terbuka. Aku melihat sekeliling ,
ternyata sebuah balok kayu menahan pintu ini dari luar. Kami menyingkirkanya dan pintupun berhasil dibuka.
“Krsssk”
Terdengar suara rumput terinjak dari samping pabrik, aku sedikit curiga namun kurasa kondisi di dalam gudang lebih penting.
“Bener Jul.. ada yang masuk… “
ucap Pak lek kepadaku.
“Bener to Pak Lek , tp suasanane kok medeni ngene yo” jawabku pada pak lek.
Pak Lek berjalan mengelilingi pabrik sambil melihat ke sekeliling dengan penerangan dari lampu petromaxnya.
“Woiii… ada orang?” teriakanku menggema ke seluruh pabrik gula ,
namun tidak ada seorangpun yang menjawab.
Pak lek terlihat serius di suatu sudut ruangan , terlihat seperti sedang berbicara dengan sesuatu.
“woo… bocah-bocah semprul! Itu di sebelah sana jul.. “ ucap Pak Lek kepadaku sambil menunjuk ke sudut mesin tua.
Benar saja, terlihat sosok remaja tergeletak di sudut aula pabrik gula dengan wajah yang sudah pucat.Aku mengecek nafas dan jantungnya , beruntung dia masih hidup.
“Mas… mas.. bangun mas” ucapku mencoba membangunkan pria itu namun tidak ada respon dari tubuh itu.
“Sik.. sebentar” Pak Lek merogoh tasnya, mengambil air minum membacakan doa dan meminumkanya ke pada pria itu.
Perlahan mata pria itu terbuka, terlihat mukanya masih pucat.
“ Pak… To.. tolong pak… tolong… “ pria itu memaksakan diri untuk duduk dan menggenggam bahu pak lek.
“ tempat ini mengerikan pak, tolong,teman saya kesurupan… dan makhluk pocong, kuntilanak berkeliaran di sekitar sini” ucapnya ke pada Pak Lek.
“Kuntilanak? Maksudmu yang di belakangmu itu?” Ucap Pak Lek.
Pria itu menoleh ke belakang,
terlihat kaki pucat dan penuh luka menggantung di dekat kepalanya. Dia menoleh keatas dan wanita dengan wajah pucat dan penuh luka menatapnya dari atas mesin tua..
“ To.. Tolong” teriak pria itu sambil melompat menjauhi makhluk itu.
“Itu Sri.. salah satu makhluk penunggu gudang ini… kayaknya kamu juga udah ketemu yang lain” Jelas Pak Lek.
“ I.. iya, itu pak… makhluk yang nyerang saya!” teriak lagi sambil menunjuk pada kuntilanak itu.
“Nyerang gundulmu! Justru makhluk yang kamu bawa yang bikin perkara di sini! Kalo ga ada Sri mungkin kamu udah dibawa sama temenmu yang kesurupan itu“ Ucap Pak Lek memarahi pria itu.
Pria itu terheran , mencoba mencerna ucapan Pak Lek.
“Udah, tenang dulu.. kalian berapa orang ke sini?” Tanya Pak Lek.
“Berempat pak…” jawabnya
“Siapa namamu? “ tanya pak lek lagi.
“saya Ardian.. yang kesurupan namanya didi , tolong cari mereka pak… tolong” Jawabnya.
“Saya Bimo , dan bocah ini Cahyo … Tapi panggil aja Panjul” Ucap paklek sambil meledeku.
“Pak lek ki, pancen asem, ojo ngeledek to… Mas Ardian ki idolaku , penyiar radio” protesku ke Pak Lek.
Pak Lek tertawa berharap menghilangkan ketegangan.
“Wis, ayo kita cari.. itu si kliwon suruh kerja, jangan Cuma makan gratis” ucapnya kepadaku.
Aku membuat simpul dari jariku dan menyiulkan suara yang cukup keras untuk memanggil kliwon. Monyet kecil itu masuk lewat jendela dan menghampiriku.
“Golekono kanca-kancane mase yo… nek ketemu kabari” (cariin temen-temen masnya ya , kalo ketemu kabarin.) perintahku pada Kliwon.
Kliwon melompat lagi dari bahuku dan mulai mengelilingi ruangan-ruangan pabrik gula.
Kami mulai berjalan menyisiri ruangan-demi ruangan.
“Pak Lek , tadi maksudnya makhluk yang kami bawa itu apa?” tanya mas Ardian.
“Kalian ga sadar? Ada salah satu dari kalian yang membawa makhluk dari luar… dan sepertinya makhluk ini cukup berbahaya sehingga seluruh penunggu pabrik ini keluar semua” Jelanya pada Mas Ardian.
“Maksud Pak lek Pocong, kuntilanak itu tidak bermaksud menyakiti? Tapi… kami tidak membawa makhluk apapun, setidaknya tidak ada niat dari kami…” tanya Mas Ardian lagi.
“Selama kalian tidak mengganggu, penunggu sini tidak akan berbuat jahat.. paling Cuma iseng” sahut Pak Lek.
“Gini aja, di ruangan mana terjadinya masalah ini” lanjut Pak Lek.
“Ruangan itu pak… “ Jawab mas ardian sambil menunjuk ke ruangan dengan pintu kayu yang sudah reyot.
Pak Lek memasuki ruangan itu , dan melihat sesajen yang sudah berantakan.
“Kalian yang memasang sesajen ini? “ Tanya Pak Lek dengan wajah yang mendadak serius.
“Bu.. Bukan pak…” Jawab mas ardian.
“Jul.. hati-hati sepertinya ada yang berniat jahat..” Ucap Pak Lek kepadaku
Aku mengerti yang dimaksud,
sarung yang kugunakan untuk melindungiku dari hawa dingin kini kuikatkan di pinggang.
…
..
..
“Endi… Ning endi mangsaku….” Terdengar suara mengerikan dari balik pintu kayu.
Terlihat sosok manusia dengan badan yang penuh luka , berjalan merangkak memasuki ruangan.
“Itu Didi! Itu didi… tolong pak!” Ucap mas ardian sambil mundur mendekatiku.
Belum sempat merespon , Makhluk yang di panggil dengan nama Didi itu melompat ke arah Mas Ardian menerkamnya dan mencoba menggigit wajahnya.
Pak lek membacakan doa dengan suara yang cukup keras ,
aku mencoba menarik mas ardian dari cengkraman Mas Didi.
Terlihat Makhluk di dalam tubuh Mas Didi meronta-ronta dan mencoba keluar dari tubuh manusia itu.
Pak lek membacakan doa dengan semakin khusuk , hingga tubuh makhluk itu benar-benar terpisah dari tubuh mas didi.
“ Khi..khi..khi , kowe ora usah ikut campur “ terdengar suara ancaman menggema dari ruangan ini.
“Titeni.. aku ora dewean”
Terdengar suara pintu terbuka dengan bantingan, seolah ada mahkhluk yang keluar dari ruangan dengan sangat cepat.
Aku mencoba mengejar ,
namun Paklek menahanku.
“ Pak, bisa tolong Didi?” Ucap Mas Ardian.
Pak Lek mendekatinya dan meminumkan air pada Mas Didi. Terlihat luka-luka yang cukup parah pada tubuhnya.
“Sudah tidak ada lagi yang merasuki anak ini, tapi luka-lukanya parah,
harus segera dibawa ke rumah sakit” Ucapnya
Belum sempat memeriksa lebih jauh terdengar suara keras dari ruangan lain.
“Ampun… hentikan!” Teriak seseorang.
“Itu suara Nizar pak, teman saya!” Jelas Mas ardian.
Aku berlari menuju asal suara itu.
Paklek dan Mas Ardian menyusul sembari membopong badan Mas Didi yang tidak sadar.
Aku masuk ke sebuah ruangan, itu adalah ruang penggilingan…
Sungguh pemandangan yang mengerikan, Sebuah badan terlihat berada disela-sela mesin penggilingan seolah siap untuk dilumat.
“ To.. Tolong” terdengar suara dari orang itu.
Makhluk kurus dengan tangan dan kaki yang panjang merangkak di sela-sela mesin itu, menarik kaki pria itu mencoba memasukanya kedala mesin usang itu.
Aku berlari menghampirinya , namun makhluk serupa menghadangku untuk mendekat.
Segera Aku membacakan doa yang diajarkan Pak Lek dengan maksud membakar makhluk itu. Tidak terima dengan seranganku, makhluk itu mendekat dan bersiap melibasku.
Aku menghindar , menarik sarungku dan melibaskan ke tubuh setan itu hingga terpental.
“Jul.. Piye?” Pak Lek berhasil menyusulku.
“itu Lek.. “ Aku menunjuk kepada seseorang yang sedang ditahan dalam mesin usang oleh makhluk itu.
“I.. Itu Setan Lawu!” Ucap Pak lek dengan mimik muka yang kesal.
“Mas Ardian , Coba periksa barang bawaan kalian…
jimat apa yang kalian bawa?” Perintah Pak Lek.
“Kami ga bawa jimat apa a…”
“Diam.. periksa aja!” ucap Pak Lek memotong dengan memaksa.
Mas Ardianpun menurut dan membuka tasnya dan Didi.
Benar saja, sebuah ikatan bambu tua dan tanah yang terbungkus kain kafan ditemukan di tas milik Didi.
“i… ini apa? Ga mungkin Didi bawa beginian” aku terheran dengan sesuatu yang kutemukan.
Pak Lek merebut dan mengambil benda itu dan melemparkanya ke tanah.
Sebuah korek api tua diberikan kepada mas ardian.
“Nyalakan dan bakar benda itu” Ucap Pak Lek.
Mas Ardian menurut dan menyalakan korek itu , Api kecil menyala dan menerangi sudut-sudut ruangan. Namun bukan pemandan biasa yang terlihat,
melainkan Makhluk-makhluk halus penunggu gudang ini terlihat jelas melalui sinaran cahaya korek api tua itu.
“Pak… Ini semua apa?” Tanya Mas Ardian melihat sekeliling.
“Ga usah bingung dulu, bakar sekarang!” Perintahnya.
Api disulutkan pada jimat itu hingga terbakar habis,
makhluk-makhluk yang menyerang Mas Nizar mulai Terbakar dan perlahan mundur menjauhi Mas Nizar.
Spontan Mas Ardian meletakan Mas Didi dan berlari mengeluarkan temanya dari dalam mesin. Terlihat kakinya terluka dan penuh dengan darah.
…
…
…
Dang!!!! Suara besi dipukul dengan keras .
“Brengsek! Ngapain kalian ikut campur!” Teriak seseorang yang muncul dari pintu yang terdapat di balik mesin penggilingan.
Pak Lek mengalihkan pandangan kepada orang itu.
“ Jadi kamu yang menjebak bocah- bocah ini…” Ucap Pak Lek.
Terlihat seseorang yang sepertinya seumuran dengan mas ardian muncul dari balik mesin tua itu.
Yang mengerikan , makhluk-makhluk yang menyerang kammi tadi berkumpul di belakangnya , seolah sudah siap mendengarkan perintah orang itu.
“Kamu kenal dia?” Tanya Pak Lek ke Mas Ardian.
Mas Ardian memperhatikan baik-baik orang itu, dan samar samar mengingat wajah orang itu.
“itu… Itu petugas hotel, yang membawakan tas kami ke kamar” Jawab Ardian.
“Petugas hotel? Jahat Sekali kamu Ardian! Kita sudah kenal lama!”
Ucap orang itu menyeringai ke Ardian.
“Gak… Aku ga kenal kamu! Kenapa Kamu mencelakai kami??” Tanya Mas Ardian pada orang itu.
“ Mencelakai? Nggak… ini semua demi kamu! Kejadian ini akan jadi cerita yang sangat Fenomenal untuk diceritakan di Radio Tengah Malam”
“ ini aku Ardian!!.. Ini Aku… Nandar!”
Sulit mempercayai apa yang kulihat , Kedua temanku terkapar tidak berdaya setelah berurusan dengan makhluk halus yang selama ini hanya muncul di cerita yang kubacakan saja.
Dan sekarang di hadapanku ada seseorang memimpin sekumpulan makhluk halus mengaku sebagai Nandar , Seseorang yang setia mengirimkan cerita-cerita seram untuk Radio Tengah Malam.
“Seharusnya ini akan menjadi cerita yang menarik… Kenapa kalian merusaknya?”
Ucap Nandar kepadaku.
“Jangan main-main , perjanjian apa yang kamu lakukan dengan setan-setan itu?” Tanya Paklek Bimo kepada Nandar.
“Bukan Urusanmu! Setidaknya aku masih bisa mendapatkan satu korban untuk mengakhiri cerita ini..”
lanjut nandar sambil meninggalkan ruang penggilingan.
Aku teringat akan Ranto , dia ditarik oleh makhluk yang tidak kukenal wujudnya .
“Ranto … Ranto Pa Lek , Masih ada satu teman saya yang belum ketemu” teriaku pada Paklek.
“jul , Cari duluan.. kalo ketemu panggil saya” Perintah Paklek pada rekan kecilnya itu sambil membantu menghampiri Nizar.
Beliau membacakan doa pada sebotol air lagi dan meminumkanya pada Nizar. Terlihat wajah Nizar tidak lagi pucat dan terlihat sedikit tenang.
“Bisa jaga temanmu ini? Saya dan Mas Ardian harus mencari temanmu yang satu lagi..” Tanya Paklek kepada Nizar.
“Tapi pak , kalo setan itu datang lagi?” Tanya Nizar dengan ragu.
“Ga usah takut, ada mereka yang menjaga agar makhluk itu tidak mendekat ke ruangan ini”
Jelas Paklek.
“Mereka itu siapa? “ Tanya Nizar lagi
“Mas Ardian, Nyalain lagi korek itu” Perintah Paklek kepadaku.
Aku mengangkat kembali korek api yang masih menggenggam di tanganku , dan menyalakanya sekali lagi.
Kilatan api menyala kecil, namun cahayanya cukup untuk menerangi seisi ruangan , dan samar-samar terlihat sosok – sosok makhluk halus di ruangan ini. Mereka adalah makhluk yang kami lihat di dekat pintu masuk tadi.
Aku merinding, Nizar pun terlihat sangat panik.
“Mereka penunggu pabrik gula ini , dan yang itu namanya Sri.. dia yang akan memberitahuku kalau kalian dalam bahaya” Ucap Paklek sambil menunjuk pada sesosok kuntilanak dengan wajah yang tidak lagi utuh yang berdiri di dekat pintu.
“Pak , yang benar saja… Kami ditinggal bersama mereka” protes Nizar dengan wajahnya yang kembali pucat.
“ Mereka tidak akan melukai , Jangan lupa Baca Doa saja mohon perlindungan dari Tuhan,itu akan menjagamu dari niat-niat buruk”
Ucap Paklek yang bersiap berdiri menyusul Panjul.
Ketika api dari korek itu mati, tidak ada lagi sosok makhluk halus yang terlihat di ruangan itu.
Ruangan demi ruangan kami masuki , tidak ada tanda-tanda keberadaan Ranto. Kami terus mencari, bahkan sampai ke sudut-sudut mesin.
“Pak , itu dek Panjul pergi sendirian apa tidak bahaya?” tanyaku pada Paklek.
“Tenang , walau masih kecil dia gak bisa diremehkan… di belakangnya ada makhuk pelindung yang sangat kuat” Cerita Paklek padaku.
Aku mengangguk , namun cerita mereka tetap saja tidak rasional di kepalaku.
“Paklek , di sini! Diluar! “ Terdengar teriakan menggema di aula , itu suara si Panjul.
Kami segera berlari ke arah pintu menghampiri bocah itu , suara gerimis terdengar ketika kami mendekati halaman pabrik.
“ itu di sana..” Teriak Panjul.
Kami tidak melihat seseorangpun di sana, hanya tanah kosong , pepohonan , dan seekor kera di bawah pohon pisang.
“Itu Lek di bawah kliwon…”
Terlihat seonggok tanah seperti bekas mengubur sesuatu , kera itu terlihat menggali sedikit-demi sedikit hingga mulai terlihat wajah manusia di sana.
“i… itu Ranto? Dia dikubur hidup-hidup?” Tanyaku.
“Belum terlambat mas , daritadi kliwon udah jagain disitu ngejaga biar masih bisa bernafas” Jelas Panjul kepadaku.
Kami segera berlari untuk menolong Ranto , namun sesosok Makhluk kurus dengan tangan dan kaki yang panjang menghadang kami .
“Kamu tolong temanmu , makhluk ini biar kami yang urus…. “ Perintah Paklek kepadaku.
Aku berlari menghampiri Ranto , kali ini tidak ada rasa takut.
Di pikiranku , nyawa Ranto yang terpenting.
Aku menggali dengan tangan kosong, mengeluarkan sedikit demi sedikit bagian tubuh temanku ini.
Namun… yang ku khawatirkan terjadi , dari atas pohon pisang menetes cairan hitam.
Aku perlahan menoleh keatas ,
namun tak lebih dari sejengkal dari wajahku muncul wajah penuh belatung dengan rambut yang rontok bergelantung terbalik ke menatapku.
Belatung yang muncul dari rongga wajahnya terjatuh kearahku,
aku menoleh keara Paklek namun terlihat dia masih sibuk dengan setan yang menghadang kami.
Setan itu terjatuh dari atas pohon, kali ini terlihat telapak tanganya yang sangat besar dengan cakar –cakar yang panjang. Aku merangkak mundur mencoba menjauhi makhluk itu ,
namun setan itu cukup cepat mencoba meraihku dengan cakarnya.
“ Kliwon! “ Teriak Panjul seolah memberi perintah.
Monyet kecil itu berlari ke arahku , melompat ke perutku seolah mencoba melindungiku.
Cakaran besar makhluk itu mencoba menyerang,
namun samar-samar terlihat bayangan monyet besar dari tubuh kliwon menghajar dengan keras setan itu hingga mundur berlari ke arah hutan.
Aku menoleh ke arah Ranto, tubuhnya sudah keluar dari timbunan tanah. Rasa emosi membakarku ,
tak pernah kubayangkan semua ini berasal dari seseorang yang kukenal.
“Nandar!!! Keluar Kamu!! Selesain urusan kita sekarang!” Teriaku di tengah gelapnya malam.
“Keluar kamu!”
Paklek dan Panjul menoleh , cukup heran dengan apa yang aku lakukan.
Sesosok manusia keluar dari dalam hutan, terlihat dia menyaksikan semua yang terjadi dari dalam sana.
“ Ardian… kamu inget cerita ritual pemanggil setan di gunung lawu yang kamu ceritakan?” Ucap Nandar.
“Ini hasilnya….”
Sekumpuluan makhluk halus berkumpul di sekitar Nandar.
“ Kamu gila… berapa banyak tumbal yang kamu habisi?!” tanya Paklek.
“ Banyak… terlalu banyak, semua nama yang mati sudah ku kirimkan padamu” Ucap Nandar memandangku.
Aku mencoba mengingat semua cerita yang dikirimkan oleh nandar , hampir semua tokoh utama diceritanya mati mengenaskan. Mungkin itu yang dimaskud.
“Sudah , cukup… Hentikan semua ini” ucapku pada Nandar.
“Tidak bisa , harus ada bayaran atas semua ini… yaitu nyawa kalian!” ucapnya
Paklek Bimo menghampiriku , terlihat kliwon dan panjul berada di sampingnya.
“Tidak, tidak ada dari kami yang akan jadi korban ilmumu…” Ucapnya sambil mulai membacakan doa.
Terlihat wajah putus asa di wajah nandar ,dia tau makhluk-makhluk pengikutnya tidak akan bisa mengalahkan kemampuan kedua orang hebat ini.
Wajah Nandar terlihat mulai pucat, air mata mulai menetes di matanya.
“Baiklah, kalau bukan kalian tumbalnya… Berarti sekarang giliranku”
ucapnya dengan isak tangis.
Aku tidak mengerti dengan apa yang dimaksud, namun aku melihat Paklek berlari ke arahnya. Namun belum sempat meraihnya , puluhan makhluk halus yang tadi menyerang kami mengerubuti nandar, menarik kedua tanganya , mencabik-cabik tubuhnya.
“Ardian… kamu… akan ceritakan ini di radiomu kan?” ucapnya lagi memaksa berbicara
Terilihat makhluk hitam yang tadi merasuki tubuh Didi meraih wajah Nandar , mengeluarkan kedua mata dari tempatnya.
Terdengar teriakan putus asa yang menghilang bersama dengan tubuhnya yang berserakan.
Aku merenung, apakah semua ini karena perbuatanku?
“Mas , ora usah dipikirin… itu salahnya sendiri “ ucap panjul kepadaku.
Malam ini terasa sangat panjang,
kami menghampir Nizar dan Didi dan membawanya ke kampung. Di pagi hari, warga kampung berkumpul menghampiri kami, tak sedikit yang memarahi kami atas perbuatan kami.
Tiga hari berlalu.. Didi , Nizar, Ranto sudah hampir pulih dari luka-lukanya .
Dika datang menjemput kami dan meminta maaf atas kesalahpahaman di siaran radio. Aku tak mempermasalahkan, jelas itu bukan salahnya.
“Paklek, Terima kasih banyak atas bantuanya… saya berhutang banyak sama Paklek , sama kamu juga dek” Ucapku pada Paklek dan Panjul
“ Benar pak,warga desa juga baik sudah mau membantu ngobatin kami” Tambah Nizar
Paklek tersenyum , dan terliat Panjul mengambil sesuatu dari dalam rumah.
“Mas Ardian , Tanda tanganin Radioku donk buat kenang-kenangan” bocah itu sambil menyodorkan radionya.
“Ya ampun Panjul , kamu itu itu udah nyelamatin nyawaku… harusnya aku yang minta tanda tangan kamu " Jawabku padanya.
“Lagian setelah kejadian ini kayaknya saya mau berhenti dari radio tengah malam…”
“Nak Ardian, ga usah menyalahkan diri atas kejadian semalam…
jangan kira hanya nandar yang terinspirari dari radio tengah malam, Ini si Panjul juga salah satunya… hanya saja Nandar memilih jalur yang salah.” Ucap Paklek.
Aku mengambil radio yang dibawa si panjul dan menandatanganinya.
“ini, aku tulis nomor hpku juga.. kamu bisa hubungin aku kapan aja , anggap aja aku kakakmu sendiri” ucapku padanya.
“Matur suwun Mas Ardian…” balasnya dengan senang.
“Kalian sering-seringlah main ke tempat ini , Saya berencana menjual sawah dan mencoba mengoperasikan pabrik gula itu lagi.. datanglah kalo tempat ini sudah tidak angker lagi..” cerita Paklek.
“Siap pak , setiap ke kota ini kami pasti akan mampir…” Ucap didi kepada Paklek
Kamipun pamit, dan meninggalkan desa ini. Terlihat sosok pabrik tua yang terlihat megah di siang hari , tidak akan terbayang apa yang terlihat saat hari sudah mulai malam kecuali kalian merasakanya sendiri.
Selesai...
EPILOG
Beberapa minggu berlalu setelah kejadian di pabrik gula , aku mencoba kembali ke ruang siaran. Walaupun cukup ragu , aku memutuskan kembali memulai siaran, namun kali ini aku akan memilih-milih cerita, terutama aku tidak akan memilih cerita yang berbau ilmu hitam.
“Gimana bro , udah siap tempur lagi?” ucap dika sambil menepuk punggungku.
“Kita coba taping ya , kita mulai dari cerita yang ringan dulu” Balasku.
“Ya udah , sana pemanasan dulu…” Lanjut Dika.
Aku memasuki ruangan , mencoba melihat sekeliling ruangan.
Tampaknya aku memang rindu dengan ruangan ini.
Aku menyetel posisi mic dan menyiapkan naskahku. Namun sebelum dimulai, mendadak lampu ruangan mati, disusul dengan komputer dihadapanku.
“ Dik.. Dika! Mati lampu?” Tanyaku pada dika.
“Sebentar , gua cek dulu..” Teriaknya dari luar
Aku mencoba merogoh tasku mencari handphone atau apapun yang bisa membantu menerangi ruangan ini.
Namun saat siaran Handphone selalu kutinggalkan di luar karena menggagu frequensi suara. yang kutemukan adalah sebuah korek tua, yang dulu dipinjamkan oleh Paklek Bimo saat di pabrik gula.
Aku sedikit ragu untuk menyalakanya ,
namun suasana gelap sudah berhasil membuatku cukup gelisah.
Percikan api muncul dari pemantik yang kuputar. Apipun menyala, cahaya mulai menerangi ruangan ini , kuharap ini cukup untuk menghilangkan rasa gelisahku akan gelap.
Tapi ternyata sebaliknya…
Sesosok wanita dengan kepala yang hampir terputus menempel di belakang monitorku.
Merasa sadar akan reaksiku , iya menghampiriku dan menjatuhkan kepalanya di atas mejaku.
Aku terjatuh dari kursi,
namun tak berhenti sampai disitu dari bawah meja muncul makhluk kerdil dengan wajah yang rusak sedang bergelantungan di kakiku.
Sontak aku mundur dan menjauhinya , namun punggungku menyentuh sesuatu. Aku menoleh ke belakang,
…
Kain kafan lusuh yang penuh dengan tanah berada di hadapan wajahku. Ternyata sesosok pocong selama ini berdiri di belakang tempatku duduk.
Korek api terus menyala, aku mencoba meniupnya namun gagal..
Terlihat seseorang dari kaca ruangan, aku berlari menghampirinya.
“Dik Dika… tolong “ teriakku
Namun yang terlihat dari kaca bukanlah dika, sesosok manusia dengan wajah yang tidak utuh, matanya tidak lagi ada ditempatnya. Aku kenal wajah itu.. itu Nandar!
“Ardian… Kamu bisa melihatku?” Tanya makhluk itu sambil berjalan kearahku.
“nggak… pergi, pergi!” aku mengusirnya
“Ceritakan Ardian… Ceritakan kisah-kisahmu, Kami akan selalu berkumpul di dekatmu setiap kamu membacakan cerita tentang kami” Ucap mahkluk menyerupai Nandar itu.
Benar saja, aku mengangkat korek api itu melihat sekeliling dan sekumpulan makhluk halus berkumpul di ruangan ini menantikan ceritaku....
Suara senjata beradu di tengah rumah terpencil di pinggir hutan. Bukan sebuah kekacauan, namun sebuah pemandangan unik dimana seorang pendekar bertarung melawan lebih dari lima anak- anak kecil.
“Eyang! Ini jurus kodok terbang dari bukit nestapa!”
Seorang anak melakukan sebuah gerakan lucu sambil mengayunkan tongkat kayunya yang panjang.
“Heh! Kertasukmo, mana ada kodok bisa terbang?!” Ucap pendekar itu sambil tertawa dan menghindarinya.
“Hahaha! Dia emang hobinya gitu, Eyang Daryana! Ngasi nama jurus aneh-aneh, tapi gerakannya nggak jelas!” Tawa Purbawengi yang masih mencari celah untuk menyerang Daryana dengan sebuah senjata pisau di tangannya.
“Biarin! Kata Bapak, ngasi nama jurus harus keren biar lawan gentar!” Balas Kertasukmo.
Brakk!! Brakk!! Brakk!!
Beberapa pukulan sekaligus menjatuhkan anak-anak yang mengepung Daryana.
“Aduh! Sakit, Eyang!” Keluh Wirabumi yang terjatuh merasakan pukulan paling keras diantara yang lainnya. Namun dengan segera Daryana mengulurkan tangannya.
“Maaf, Eyang sengaja. Karena kelak, kamulah yang akan menjadi pelindung mereka semua..” Ucap Daryana
Wirabumi tak lagi mengeluh. Ia berdiri dengan bangga mendengar ucapan Daryana, Eyang kebangganya itu.
Mereka pun berkumpul kembali ke pendopo untuk beristirahat sekaligus menghabiskan waktu di sana.
Itu adalah terakhir kalinya Daryana menemui cucu-cucunya. Perjalanan hidupnya membuatnya menemui wanita-wanita hebat yang mengaguminya.
Keempat istri Daryana terpencar di berbagai daerah dan dari mereka lahirlah orang tua dari Wirabumi, Kertasukmo, Purbawengi, dan keturunan Sambara yang lain.
Setelah menyempurnakan Ajian Pemutih Raga, Daryana melakukan perjalanan untuk mencari ayahnya Widarpa Dayu Sambara. Setidaknya di umur sehatnya ia ingin melakukan perjalanan, dan memastikan keadaan ayahnya yang telah lama menghilang dan tak lagi menemuinya.
Sama seperti Widarpa, walau keberadaanya menghilang dari keluarganya, ia telah meninggalkan serpihan-serpihan kesaktiannya yang mungkin bisa akan berguna bagi keturunannya kelak. Sebelum dirinya menua, Daryana berniat mengamalkan ilmunya serta menemukan ayahnya itu.
Cahyo kembali ke desa itu, tempat dimana ia telah berdosa pada penduduk yang tinggal di sana. Sebuah desa yang dihuni oleh Trah keluarga yang mengucilakna dirinya. Trah Rojobedes...
Semoga teman-teman berkenan meninggalkan komen setelah membaca part ini..
Wabah di desa Darmo Kulon menewaskan lebih dari dua puluh nyawa. Anggoro sudah berusaha semaksimal mungkin, namun ia tak mampu berbuat banyak kepada mereka yang sudah sekarat.
Setidaknya, kedatangan Anggoro menghentikan jumlah korban yang terus bertambah.
“Ustad. Apa yang terjadi antara Mas Cahyo dan Raden Suto Benggolo di bukit? Mengapa Mas Cahyo tidak kembali ke sini?” Anggoro terlihat cemas saat mengetahui Ustad Imran kembali tanpa Cahyo.
“Tidak usah khawatir. Mas Cahyo baik-baik saja. Pasti kamu juga dengar suara khas knalpot vespanya saat melintas tadi, kan?”
Anggoro memang mengingat suara berisik yang melintasi desa setelah subuh. Ia baru sadar bahwa itu suara motor tua milik Cahyo.
“Lantas kenapa Mas Cahyo tidak kembali ke desa, Ustad?”
Ustad Imran menghela nafas menunjukkan wajahnya yang bingung menjelaskan apa yang terjadi.
“Apa yang ia hadapi jauh lebih besar dari bencana yang ada di desa ini, Mas Anggoro. Sesuatu yang benar-benar tak terbayangkan oleh manusia pada umumnya..”
Anggoro membaca raut muka Ustad Imran. Ia mencoba memahami kegelisahan dalam dirinya. Namun satu kabar dari Ustad Imran cukup membuat Anggoro dan warga desa lega.
Ustad Imran mengatakan bahwa tanah di desa Darmo Kulon sudah diruwat. Tak ada lagi kutukan yang mengikat desa tempat mereka tinggal. Jasad-jasad sudah bisa dimakamkan di tanah mereka.
Mendengar kabar itu, warga desa, terutama mereka yang ditinggalkan oleh keluarganya tak mampu menahan air mata.
Kini mereka benar-benar terlepas dari kutukan Raden Suto Benggolo. Namun Ustad Imran sendiri belum bisa tenang. Semua tidak ada artinya jika Cahyo gagal menangani sosok yang jauh lebih berkuasa dari Raden Suto Benggolo itu.
“Setidaknya saya ingin menyampaikan, jika suatu saat ia membutuhkan kemampuan medis saya, saya siap membantu Mas Cahyo kapan saja..” Anggoro membersihkan tangannya sambil menatap langit pagi hari di desanya. Ustad Imran mendekat dan berdiri di sebelahnya.
Bau Melati yang semula menenangkan kini berubah menjadi isyarat kematian.
Sosok pendendam yang membawa ketakutan untuk warga desa. Ia tak akan tenang sebelum dendamnya terpuaskan.
#bacahorror @bacahorror
Namaku Arya, seorang jurnalis lepas yang terbiasa menggali cerita kriminal, misteri, hingga horor.
Adrenalin selalu terpacu saat menemukan kisah misteri yang belum terungkap, dan biasanya aku mendapatkan info dari kantor, narasumber, atau teman-teman.
Tapi kali ini, sumbernya berbeda.
Berulang kali aku bermimpi tentang sebuah desa. Desa yang selalu sunyi saat malam tiba, penduduknya dicekam ketakutan oleh sosok tak kasat mata yang meneror mereka.
Ada legenda yang mengatakan bahwa manusia, hanya menempati satu dari sekian ribu alam yang diciptakan oleh Yang Maha Pencipta.
Alam manusia, alam roh, alam mimpi, alam antara, akhirat, khayangan, atau berbagai macam nama yang sering tersebut di berbagai kepercayaan mungkin memiliki tempat tersendiri yang tak mudah dijangkau oleh manusia.
Tapi di balik itu, setiap alam memiliki ikatannya sendiri dan saling mempengaruhi dengan caranya sendiri.
Tapi satu alam pernah mati menyisakan kesadaran yang memaksa dirinya sebagai alam untuk mendapatkan energi hidup dari alam lain.
Alam itu sadar bahwa tak ada makhluk yang berhak memiliki keinginannya sendiri. Jika hanya ada satu kesadaran untuk semua makhluk di satu alam, maka alam itu akan bangkit menjadi alam yang terkuat.
Jagad Segoro demit. Hanya amarah dan nafsu yang diizinkan untuk ada di sana. Setiap makhluk perlahan akan melupakan dirinya dan menjadi satu kesadaran dengan alam itu.
Hanya kegilaan dan kekacauan yang terus ada mengorbankan darah dan nyawa untuk kembali lahirnya sebuah alam yang telah mati.
Akan ada waktunya alam ini merebut alam manusia untuk menjadi bagian darinya..
***
Dananjaya Sambara. Itu namaku, dan aku adalah seorang manusia. Iya! Aku benar-benar manusia. Namun saat ini aku terpaksa menjebak diriku di alam tempat bangsa setan, dan lelembut berasal. Sesuatu yang mengerikan akan terjadi jika kami tidak menghentikannya.
Sebuah peperangan antara makhluk yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu akan terjadi dan mengoyak batas alam antara alam manusia dan Jagad Segoro Demit. Aku di sini untuk menghentikan itu semua.
Tapi, sepertinya keberadaanku tidak dibutuhkan.
Di hadapanku berdiri seorang sesepuh leluhur Trah Sambara yang telah mengurung dirinya di Jagad Segoro Demit Selama ratusan tahun. Seseorang yang menjaga kesakralan Trah Sambara dari alam terkutuk.
Eyang Wirabumi Dayu Sambara.
“Terlemah?” Gumamku saat Eyang Wirabumi mendakwaku sebagai trah sambara yang terlemah. Aku tak bisa membantahnya, mungkin ucapannya benar. Aku memang tidak memiliki ajian-ajian sesakti Paklek dan Jagad.
“Bagaimana bisa kalian membawa manusia seperti dia ke alam ini?! Apa tidak ada pilihan lain!!” Teriak Eyang Wirabumi pada Nyi Purbawengi dan Eyang Kertasukmo.
Mereka tak menjawab dan memilih mundur sambil tersenyum. Aku menoleh pada Nyi Sendang Rangu dan ia justru berpaling seolah tak ingin terlibat dengan permasalahan Trah Sambara.
“Arrrgggh!! Mengapa kalian jadi setolol ini! Jangan salahkan aku jika dia mati dalam pertempuran!” Teriaknya sambil berpaling membuang muka, namun baru melangkah sesaat ia kembali menoleh ke arahku dan menunjukkan jarinya ke wajahku.
“Dan kau! Jangan sampai kau menjadi batu sandungan untuk kami!” Ancam Eyang Wirabumi.
Aku berusaha untuk tidak merespon apapun. Selain tidak mengerti dengan keadaan di alam ini, Eyang pasti punya alasan untuk sebegitu selektifnya menilai aku dan yang lain.
“Dia hanya tidak ingin ada lagi yang mati..” Ucap Nyi Purbawengi.
“Percayalah, walau perangainya buruk dia salah satu leluhur kita yang paling baik,” Tambah Eyang Kertasukmo.
Aku hanya menghela nafas sambil berusaha tersenyum. Perangai emosinya itu memang sedikit mirip dengan Eyang Widarpa. Seandainya Eyang masih ada, mungkin akan seru jika mereka berdua bertemu.
“Kepala Ki Kundawayan itu, apa eyang yang menghabisinya?” Tanya Mas Jagad.
Tak hanya Mas Jagad, aku pun merasa penasaran bagaimana makhluk sekuat itu dan hampir membunuh kami bisa takluk begitu saja.
Eyang Wirabumi mencabut keris dari kepala itu. Ia melangkah menuju sebuah ruangan dimana terdapat sebuah cermin di sana.
“Aku melihat semua pertarungan kalian dari Koco Benggolo. Ledakkan kekuatan telur jagat membuatnya lemah, saat tiba di Jagad Segoro Demit, kami menggunakan kesempatan itu untuk menghabisinya..” Jelas Eyang Wirabumi.
“Kami?” Paklek bertanya.
Eyang Wirabumi memalingkan wajahnya dari cermin dan kembali menatap ke arah kami.
“Aku tidak seorang diri di sini, leluhur kalian yang lain terpencar di alam ini. Mereka menghimpun kekuatan dan memburu danyang yang bersekutu dengannya.”
Aku semakin penasaran dengan wujud dari leluhur-leluhurku. Hampir setiap dari mereka memiliki sifat yang berbeda, dan kehebatannya sendiri-sendiri. Setiap kemampuan itulah yang menurun kepada kami.
“Wirabumi, kau sudah mendapatkan pusaka itu?” Eyang Kertasukmo tiba-tiba membuka pembicaraan. Namun Eyang Wirabumi membalasnya dengan menggeleng dan menghela nafas.
“Aku hampir tidak percaya jika pusaka ratu ular itu memang ada di alam ini. Sudah ratusan tahun aku mencarinya, petunjuk yang kita miliki menuntun kami ke hasil yang kosong..”
Aku dan Paklek mempertanyakan apa yang dimaksud pusaka ratu ular itu? apa pusaka itu sepenting itu hingga leluhur kami mencari selama ratusan tahun.
“Eyang, apa pusaka ratu ular memang sepenting itu?” Tanyaku pada Nyi Purbawengi.
Nyi Purbawengi mengajak kami untuk duduk di ruangan itu. Koco benggolo terlihat menutup dengan sendirinya ketika kami menjauh. Sekilas aku melihat bayangan dua orang perempuan yang berjalan di sebuah desa tua. Tapi apa yang kulihat itu tidak untuk kubahas saat ini.
“Pusaka Ratu Ular merupakan penentu perang para danyang di zaman dulu. Kami semua hampir musnah oleh kekuatannya…” Jelas Nyi Purbawengi.
Ia menceritakan saat Danyang putih dan trah sambara berhasil menghentikan peperangan dengan menaklukkan danyang hitam, ada sosok danyang dari bukit pesisir yang berkhianat. Ia menggunakan pusaka ratu ular yang seketika memakan ratusan nyawa untuk membangkitkan kembali kekuatan danyang hitam.
“Pengkhianat?” Tanyaku.
Nyi Purbawengi mengangguk. Danyang itu menitiskan kekuatan dewi samudera, namun ia lahir dari tanah terkutuk.
“Siapa? Apa namanya dikenal di alam manusia?” Tanya Mas Jagad.
“Manusia memujanya untuk menanti berkah alam, namun ada yang menyembahnya untuk mendapatkan kekayaan. Di alam manusia ia merupakan sosok anggun yang dikenal dengan nama Dewi Naganingrum..” Eyang Kertasukmo mencoba menjelaskan.
Ia menambahkan bahwa nama dan sosok anggun itu hanyalah kedok. Wujud sebenarnya adalah seekor ular raksasa yang menguasai tanah bukit pesisir.
“Berarti saat ini dia ada di alam manusia?” Aku memastikan.
“Naganingrum hidup di dua alam. Ia mempunyai raga yang terkurung di alam ini, dan roh di alam manusia..” Jelas Nyi Purbawengi.
Braakk!!!
Pukulan keras Eyang Wirabumi menghantam lantai kayu bangunan itu.
“Kupastikan ia akan mati tak bersisa saat berhadapan denganku!!” Teriak Eyang Wirabumi.
Aku merasa ada permasalah pelik yang membuat Eyang Wirabumi begitu dendam dengan sosok Naganingrum itu.
Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba koco benggolo memantulkan cahaya api yang begitu pekat. Eyang Wirabumi meninggalkan tempatnya dan bergegas menghampiri cermin itu. Ia buru-buru mengambil kerisnya lagi dan hendak meninggalkan ruangan.
“Eyang?! Ada apa?!” Tanyaku.
Jagad menatap ke koco benggolo dan wajahnya seketika diliputi amarah.
“Brengsek! Mereka membakar satu bangunan yang menampung puluhan anak kecil! Apa yang mereka lakukan?!”
Aku menghampiri ke arah mas jagad, dan pemandangan mengerikan itu benar-benar terpampang di koco benggolo. Suara anak-anak yang berteriak ketakutan pun terdengar samar dari cermin itu.
Eyang Wiraguna berhenti sejenak dan memanggil kami.
“Kalian! Ikut denganku?!” teriaknya tertuju kepada kami bertiga.
Aku menoleh ke arah Eyang Kertasukmo, Nyi Purbawengi, dan Nyi Sendang Rangu. Mereka mengangguk memberi isyarat agar kami mengikuti eyang Wirabumi.
Cahyo mendapat kabar dari Danan di mimpinya yang aneh. Danan memperingatkan bahwa yang paling berbahaya dari Perang Para Danyang berasal dari alam manuisa
Samar-samar suara gemeretak di kamar terdengar dari benda-benda yang berada di sekitarku. Tapi, aku masih terus tertidur dengan gelisah. Sebuah mimpi yang aneh tiba-tiba mengusik tidurku.
“Cahyo! Kami salah! Masalah terbesar ada di alam manusia!” Tiba-tiba aku melihat Danan di mimpi yang seolah begitu nyata.
Terlihat Danan, Paklek, Mas Jagad dan beberapa wujud yang tak dapat kulihat dengan jelas tengah berlari di alam yang penuh dengah kekacauan itu.
“Danan? Apa yang terjadi? Bagaimana kau bisa berbicara padaku dari sana?!” Aku masih tak bisa menilai apa yang terjadi. Namun kekuatan dalam mimpi itu bahkan kurasakan di sekitar tubuhku.
“Pusaka-pusaka sakti mandraguna berserakan di tempat ini. Aku menggunakan koco benggolo untuk menyampaikan ini padamu!
Dengar baik-baik, Jul! Perang Para Danyang terjadi karena pengkhianatan mereka yang diberkahi semesta! Hentikan mereka!”
Krakk!!!
Suara cermin yang pecah terdengar bersama hilangnya penglihatan di mimpiku. Aku terbangun bersama benda-benda yang berjatuhan di sekitarku. Samar-samar aku pun mendengar sisa suara raungan wanasura yang ikut merasakan kekuatan itu.
Danan dan Cahyo terpisah di alam yang berbeda. Garis keturunan Trah Sambara memiliki takdir untuk berdiri di tengah perseteruan makhluk-makhluk yang merasa menguasai bagian dari alam.
@bacahorror @IDN_Horor @ceritaht
SENDANG MAYAT
Suara mesin sepeda motor memecah keheningan di jalan setapak yang dikelilingi hutan-hutan menuju sebuah desa. Berkali-kali aku mengingatkan Mas Sapta yang menjemputku dengan motor tuanya untuk berhati-hati, namun rasa cemasnya akan keadaan keluarga dan warga desa tak bisa ditutupi.
Namaku Anggoro. Seorang dokter yang sedang menjalankan tugas di salah satu kota besar di Jawa Barat. Namun kemarin, bapak meneleponku dan memintaku untuk pulang.
“Pulang ya, Le… Bapak takut, mungkin saja hal buruk akan terjadi pada sama bapak. Setidaknya sebelum hal buruk itu terjadi, bapak pengen ketemu kamu..”
Kata-kata itu terus terngiang membuatku tak mungkin lagi menolak untuk pulang.
Bapak juga mengatakan bahwa seandainya aku bisa kembali, mungkin saja aku bisa membantu akan apa yang terjadi di desa. Sesuatu yang mengerikan terjadi di sana.
Belasan warga, mati…
Mas Sapta yang menjemputku di terminal pun menceritakan dengan tubuh yang gemetar dan lemas. Ia melihat sendiri bagaimana tetangga yang masih saudara jauh dengannya mati dengan tubuh yang menghitam dan bagian tubuhnya putus satu persatu. Dan saat ini, di rumah bapak masih terdapat beberapa warga yang bernasib serupa.
“Bangunan itu masih belum dibongkar?”
Aku bertanya pada Mas Sapta sambil menunjuk beberapa sisa rumah-rumah tua yang sudah hancur di salah satu sisi hutan. Hanya tersisa sebagian tembok-tembok saja yang sudah ditumbuhi tanaman merambat dan lumut.
Sisa dinding-dinding bangunan di sana sudah terkelupas dan menunjukkan tumpukan bata yang masih tebal. Ada sebuah sumur yang sepertinya juga sudah lama tidak digunakan.
“Nggak ada yang berani, Mas Anggoro. Katanya masih ada yang punya. Takut salah..”
Aku hanya menggeleng melihat sisa-sisa bangunan yang sudah ada sejak aku kecil. Entah kapan terakhir kali bangunan itu berbentuk rumah dan ditinggali, bapak pun tidak bisa menjawab.Gapura desa Darmo Kulon pun terlihat di hadapan kami, namun aku tak menyangka bahwa keadaan di desa begitu gelap.
Semua rumah mematikan lampu dan hanya ada beberapa obor yang dibuat menggunakan botol kaca yang menyala di beberapa sudut jalan.
“Gelap sekali, Mas? Mati listrik?” Tanyaku.
“Sengaja, Mas.. Kami semua mematikan listrik, mengunci semua pintu, tidur di lantai, supaya setan-setan yang mengutuk desa kami tidak masuk ke desa ini..”
“Masih percaya begituan?”
“Entah, Mas. Dari dulu desa kita percaya hal seperti itu setiap ada wabah..”
Aku memang mengingat beberapa kebiasaan-kebiasaan warga yang sekarang sudah kuanggap tidak masuk akal. Semenjak aku merantau dan mengenal dunia luar, beberapa hal di desaku terasa tidak relevan.
Brakkk!
“Sakiiit…. Sakit… hentikan!”
Tiba-tiba seorang perempuan menerobos keluar rumah. Ia berjalan dengan tangan dan kakinya yang kaku dengan sebagian kulitnya sudah terlihat bisul, bercak, hingga bagian yang menghitam. Matanya terus melotot tanpa bisa berkedip.
Mas Sapta pun mengerem motornya mendadak. Cahaya lampu menyinari sosok perempuan yang terlihat mengerikan di gelapnya malam. Aku pun turun dari motor untuk melihat lebih jelas, namun sosok itu lebih dahulu mengenaliku.
Bibirnya tiba-tiba tersenyum. Ia mengangkat tangannya dan mencoba meraihku.
“Anggoro…” Senyumnya terlihat aneh dan membuatku bergidik ngeri. “To—long…”
Belum sempat mendekat ke arahku, tiba-tiba jari-jari wanita yang telah menghitam itu terpisah dari tubuhnya dan jatuh ke tanah. Wajahnya terus menatapku namun tak lagi bergerak. Satu tangannya masih berusaha meraihku, namun jari-jarinya jatuh satu persatu.
Aku mengenali perempuan itu.
“Mu—murni? Kamu Murni, kan?” Aku memastikan bahwa di hadapannya adalah teman masa kecilku. Namun sudah terlambat cukup lama. Tubuh murni tak lagi bertahan, tubuh itu pun terjatuh tak bernyawa setelah beberapa bagian tubuhnya terpisah. Satu lagi korban jiwa terjadi di desa Darmo kulon.
***
Kedatanganku yang disambut dengan kematian Murni, teman masa kecilku membuat diriku terpuruk. Aku pun kembali ke rumah ayahnya yang merupakan seorang mantri di desa itu dengan wajah yang kusut.
“Kulo nuwun. Bapak, ini Anggoro…” Ucapku sambil mengetuk pintu yang terkunci dari dalam. Terlihat seseorang berusaha berjalan dengan cepat dengan kakinya yang tertatih untuk membukakan pintu.
“Alhamdulillah, Le.. kamu datang juga..” Sambut bapak yang bernafas lega melihat kedatanganku.
Aku mencium tangan bapak dan segera memeluknya. Tubuhnya terlihat semakin kurus dan aku merasakan bahwa ia menanggung beban yang tak biasa.
“Pak Parmin, Tasnya Mas Anggoro izin saya masukkan ke dalam, ya..” ucap Mas Sapta.
“Iyo, Le. Matur nuwun yo..” (Iya, Nak. Terima kasih ya…) Balas Bapak yang bergegas mengajakku masuk ke dalam.
Baru beberapa langkah memasuki ruangan aku sudah mencium bau yang berbeda. Kadang tercium bau rempah-rempah obat, kadang tercium bau yang cukup busuk. Terdengar suara dengkuran dan rintihan dari dalam rumah.
“Nanti kamu tidur di rumah sapta saja ya, Le. Beberapa warga nggak punya keluarga, jadi bapak ngerawat mereka di rumah.” Jelas Bapak yang sepertinya menyadari gelagatku yang tidak nyaman.
“Ndak, Pak. Anggoro bantu bapak rawat mereka. Sekarang Anggoro sudah jadi dokter, jadi harusnya lebih mengerti, Pak…” Balasku.
Tidak mungkin aku meninggalkan bapak dalam keadaan seperti ini. Sejak kecil, bapak merawatku seorang diri setelah ibu meninggal di umurku yang masih lima tahun. Ia membiayai kebutuhanku dengan profesinya sebagai mantri yang pendapatanya tidak seberapa itu.
Walaupun rumah kami sederhana, uang kami tidak banyak, Bapak bercita-cita menyekolahkan aku hingga jadi dokter agar bisa lebih baik darinya dan bisa membantu lebih banyak orang. Sudah jelas gelar yang kumiliki saat ini adalah hasil keringatnya.
“Bapak tahu, kamu pasti lebih ngerti, Le. Tapi takutnya apa yang terjadi di desa ini belum tentu bisa ditangani oleh manusia biasa,” Balas bapak.
Aku hanya menggeleng mendengar jawaban bapak. Namun aku tak membalas pernyataan nya itu. Aku tak ingin menyinggungnya dengan tanggapanku mengenai hal-hal mistis.
Berbagai dugaan sudah berkecamuk di kepalaku. Malam itu juga aku membersihkan diri, mengenakan perlengkapanku, sarung tangan, dan masker untuk memeriksa warga desa.
Mereka semua memiliki gejala yang sama. tubuh yang kaku, bisul di telapak kaki, hingga kulit yang seperti luka bakar, hingga hitam membusuk. Saat itu aku mengurungkan niat untuk menyentuh mereka.
“Bapak..”
Aku mendekat ke arah bapak sambil mengamati beberapa bagian tubuhnya. Sepertinya belum ada gejala-gejala di tubuh bapak.
“Gimana, Le?” Mata bapak menaruh banyak harap kepadaku.
“Setelah ini kita pisahkan warga yang sehat dengan yang sakit. Besok akan saya panggil bantuan tim medis.” Aku menjelaskan pada bapak dengan serius mungkin. “Desa ini terkena wabah kusta..”
Mata bapak terbelalak mendengar pernyataanku. Sepertinya ia tidak menyangka penyakit itu akan menjangkit warga desa.
“Kamu yakin, Le? Ini bukan kutukan yang disebabkan karena itu…”
Aku menggeleng sambil melepas sarung tanganku dan menepuk pundak bapak.
“Yakin, Pak. Tidak usah khawatir tentang apa yang terjadi tujuh tahun lalu. Toh warga desa juga sudah sepakat mengambil keputusan ini…”
Bapak menghela nafas dan sedikit membuang muka. Sepertinya ia merasa tidak nyaman dengan tanggapanku.
“Kalau bukan kutukan, kenapa mereka teriak-teriak kesetanan tiap malam, Mas? Ada yang kelihatan ketakutan, ada juga yang seperti kesurupan..” Mas Sapta tidak ingin percaya begitu saja.
“Bisa jadi halusinasi. Tapi kalau memang ada faktor lain, kita harus cari tahu. Tenang saja, Itu juga kan tujuanku ke sini,” Balasku.
Aku menelpon kenalan-kenalan tenaga medis yang bisa menghubungkanku ke rumah sakit terdekat. Aku menjelaskan tentang wabah kusta yang terjadi di desaku dan meminta mereka membuat leprasorium darurat di desaku secepatnya.
Saat itu Mas Sapta menghampiri bapak dan terlihat tengah berbincang dengan raut wajah serius. Sepertinya ada yang ingin mereka sampaikan kepadaku.
“Mas Anggoro. Kalau bisa menyempatkan waktu sebentar lagi, saya dan bapak mau ngajak mas Anggoro ke suatu tempat,” Ajak Mas Sapta.
“Malam-malam gini?” Balasku.
Mas Sapta menoleh ke arah bapak, dan bapak mengangguk menyetujuinya.
“Di keadaan ini kita nggak tahu bahwa ada nyawa yang bisa melayang jika kita menunda beberapa detik saja. Jadi saya rasa Mas Anggoro harus mengetahui hal ini secepatnya..” Balas Mas Sapta.
“Bapak juga ikut, Le. Kita cuma bisa sampai kesana dengan berjalan kaki. Sambil ada yang mau bapak ceritakan juga..” Tambah Bapak.
Mendengar mereka berbicara seperti itu, sepertinya hal yang ingin mereka sampaikan adalah hal yang penting. Aku pun meminta waktu sebentar untuk bersiap-siap sementara mereka membuat obor yang akan kami gunakan untuk perjalanan kami.