Diosetta Profile picture
Jul 16, 2021 157 tweets 28 min read Read on X
“Nggak… Jasad itu harus kita kuburkan di suatu tempat,gua ga mau masuk penjara” Ucap rifki pada teman-temanya yang sedang panik.
“Gua gak setuju , kita harus bawa ke rumah sakit.. siapa tau dia masih bisa diselamatin” Kali ini aku memberi pendapat, namun ditolak mentah mentah oleh kedua rekanku.
“Gila! Lu sendiri udah ngecek kan? Nafasnya udah ga ada…
udah ga usah banyak bacot, masukin jasadnya ke mobil!” Perintah Reza tanpa mau mendengarkan pendapatku.
Kami memasukan jasad Rani ke mobil , mendudukan seolah-olah dia tertidur di kursi belakang. Aku menjaganya agar seolah-olah Rani terlihat masih hidup.
Mobil berjalan dengan tidak tentu, hujan turun begitu deras menyulitkan kami untuk mencari lokasi untuk mengubur jasad Rani , Namun akhirnya kami memutuskan untuk menghentikan mobil kami di pinggir jalan tol. Hutan kecil terlihat dari sini ,
Rifki berlari ke hutan itu mengecek apakah ada orang lain selain kami di sana.
“Ambil peralatan! Kita kuburkan di sini!” Ucap Rifki dengan terengah-engah dengan badanya yang basah kuyub karena hujan.
Kami segera mengambil peralatan ,
menggali cukup dalam untuk memastikan jasad Rani tidak ditemukan oleh orang lain.
“Nandar! Ambil jasad Rani!” Perintah Reza padaku.
Aku berlari ke mobil yang tidak jauh dari tempat kami menggali , Namun aku tak percaya dengan apa yang kulihat.
“Ri.. Rifki, Reza… Jasad Rani ga ada!” Ucapku kepada kedua temanku.
Rizki dan Reza saling menatap , seolah tidak percaya dengan ucapanku mereka berlari ke mobil dan ikutn mencari.
“Tadi jasadnya ada di sini kan? Kita semua tau itu?
Atau jangan-jangan ada orang lain selain kita di sini?” Tanya rifki dengan cemas.
“ Cari !! Cari! Harus ketemu… nyawa kita taruhanya!” Ucap Reza dengan Emosi, Wajar saja Reza yang paling panik, karena dialah yang mendorong Rani pacarnya dari balkon Villa yang kami sewa.
Kami mencari keliling hutan dengan guyuran hujan yang semakin deras, tak satupun petunjuk kami temukan sampai akhirnya Reza melihat sosok seseorang terkapar di tengah jalan tol.
“Itu Rani..!” teriak reza.
Reza dan Rifki segera berlari menghampiri jasar Rani yang tergeletak di sana , hujan yang deras mengganggu pandanganku sehingga aku tidak melihat di mana posisi Rani yang di maksud. Bila memang ada disana, apa mungkin Rani masih hidup?
`
Reza berlari menghampiri Jasad yang dia lihat , Rifki menemaninya bersiap membopong Jasad pucat dengan tubuh basah dan darah yang masih belum kering. Belum sempat mengangkat Jasad Rani Mata Rani terbuka, Memandang kedua laki-laki yang mencoba mengangkatnya.
“Reza… Aku ga mau sendirian….” Ucap jasad pucat itu kepada Reza.
Seketika aku melihat sebuat truk besar lewat dengan kecepatan penuh menghantam kedua tubuh teman-temanku tanpa ampun. Darah berserakan kemana mana, potongan potongan tubuh berhamburan di sekitar jalan tol.
Aku tak percaya dengan apa yang terjadi dan segera belari menghampiri mereka , namun belum sempat sampai ke sana aku terhenti dengan sosok perempuan pucat yang berdiri dihadapanku di tengah derasnya hujan.
Benar… Itu Rani.
“Ga mungkin, Kamu sudah mati…. Ga mungkin” Teriaku kepada makhluk itu
Matanya terlihat sangat marah , aku mundur berusaha menghindarinya hingga tanpa sadar aku terperosok ke lubang yang kami gali.
“Lubang ini lebih pantas untuk seorang pembunuh…”
Ucap makhluk itu dengan mata penuh amarah.
Seketika tubuhku tak bisa bergerak , aku berusaha berteriak namun derasnya hujan menyamarkan suaraku.
Tumpukan tanah mulai berjatuhan menutupi tubuhku, aku tidak bisa berbuat apa-apa,
hanya tangisan dan teriakanku yang pasti tidak akan didengarkan oleh siapapun.
“Tolong… Maafin aku Rani” Teriakku sekuat tenaga , namun tumpukan tanah itu tetap jatuh k atasku.
“To….. long….”
….
“Oke , Itu cerita yang luar biasa yang di dikirimkan oleh Mas nandar,
Narasumber setia kita yang ceritanya ga pernah gagal membuat kita merinding “
“Sekarang sudah lewat tengah malam , saatnya kita kita undur diri ,terima kasih sudah mendengarkan Radio Tengah Malam, Saya Ardian Pamit undur diri”
Aku melepas headphoneku ,
suara tepuk tangan dari teman-temanku terdengar dari luar ruangan.
“Gila , Cerita lu kali ini bener-bener bikin merinding” Ucap Nizar sambil menyambutku keluar ruangan siaran.
“Ini cerita orang, gua Cuma bacain…” Jawabku.
“Tetep aja, kalau bukan lu yang bacain pasti ga akan se serem itu” Ucapnya lagi.
Aku menghampiri teman-temanku di luar ruangan, mereka adalah teman-teman dari komunitas pencinta cerita horor . Kami berkumpul di studio dan memang merencanakan ini sejak lama,
Mencari lokasi lokasi angker yang sekiranya bisa menjadi inspirasi untuk cerita-cerita horor berikutnya.
“Jangan lupa Cek kelengkapan , sekalian nanti live report di lokasi sana “ ucap rekanku Dika sang operator radio sekaligus penyiar cadangan andalanku.
“Beres, Doain aja sinyal disana ga bermasalah..” ucapku sambil berpamitan.

Kami berempat memasuki mobil dan berangkat menuju kota tujuan kami di Jawa Tengah, kabarnya di sana banyak lokasi-lokasi seram yang bisa di explore.
Aku tertidur selama perjalanan , hingga akhirnya mobil yang kami kendarai berhenti disebuah guest house atau rumah singgah, Maklum kami berangkat dengan budget pas-pasan jadi rumah singgah adalah tempat pilihan kami.
“Siang ini kita full istirahat ya, sorenya kita siap-siap menuju Pabrik Gula ga jauh dari sini..” Ucap Nizar.
“Yakin kita mau ke sana? itu pabrik udah pulluhan tahun ga beroperasi lho.. bisa-bisa kita ketemu hantu beneran” Balas Ranto dengan sedikit keraguan
“ Tenang aja, kalo emang terlihat berbahaya kita langsung cabut.. toh kita Cuma nyari cerita seramnya bukan nyari hantunya” Ucap Didi meyakintakn Ranto
Aku menyelesaikan check in di resepsionis dan menju ke arah kamar,
terlihat seorang pegawai menawarkan untuk membantu membawakan tas kami , karena ternyata letak kamar kami cukup jauh ke belakang rumah.
Kami beristirahat seperlunya , mempersiapkan diri dan berkumpul di Lobi.
Nizar kembali menyetir dan Didi sebagai pencari informasi yang menunjukan lokasi dimana pabrik gula yang dimaksud itu.
Menjelang maghrib mobil kami mulai memasuki lokasi yang menyerupai hutan , namun terlihat jalur mobil masih dapat dilintasi di tempat ini.
Tak lama, sebuah bangunan tua terlihat dari kejauhan, pabrik gula besar yang masih terlihat kokoh namun juga sudah dipenuhi oleh tanaman merambat. Suasana angker sangat terasa di tempat ini, langit senja yang memerah menyempurnakan suasana misterius bangunan tersebut.
“Kita mulai dari mana?” Tanyaku pada Nizar.
“Kalau pintu depan tidak terkunci, kita masuk dari pintu depan saja” Ucap Nizar.
Ranto berinisiatif berjalan menuju pintu depan untuk memeriksa .
Ilalang-ilalang tinggi cukup menyulitkan langkah kami Terlihat beberapa pohon pisang berdiri subur di dekat pintu masuk Pabrik gula ini.
“Bisa , Pintunya ga dikunci..” info Ranto pada kami.
Suara pintu besi terseret terdengar meggema dari pintu itu ,
Sebuah ruangan besar yang terisi mesin-mesin tua terlihat di hadapan kami.
Tanpa sadar hari sudah mulai gelap ,Kami menyalakan senter yang sudah kami persiapkan untuk memperjelas penglihatan kami,
atap –atap yang telah rusak membiarkan cahaya bulan masuk menerangi sudut-sudut bangunan ini.
“Kita ga usah lama-lama ya…” Jelas Ranto
“Iya, gua aja sekarang udah ga nyaman ada di sini” Jawabku mendukung Ranto.
Ruangan demi ruangan kami masuki,
hanya ruangan dengan tembok-tembok yang sudah lapuk dan mesin-mesin rongsokan yang terliihat. Kurasa ini cukup untuk bahan dokumentas dan materi live report nanti.
Semua tidak ada yang aneh,
sampai akhirnya kami sampai di sebuah ruangan besar dengan pintu kayu yang terlihat cukup reot.
Kami masuk ke dalam , terlihat hiasan-hiasan kayu berbentuk topeng dan patung tertata di sini. Dan yang mencurigakan , terlihat sebuah daun pisang yang diisi dengan bunga-bunga ,
sepasang dupa dan kemenyan terlihat masih menyala di sana.
“Itu sesajen ? Apa ada orang lain selain kita di sini?” Tanyaku kepada Nizar.
Nizar tidak menjawab, terlihat dia juga tidak nyaman dengan yang kami lihat.
….
“Kuwi jatahku …” (Itu jatahku)
Mendadak Didi berkata dengan bahasa jawa dengan suara yang tidak kukenal, matanya melotot dengan seringai yang aneh di wajahnya.
Aku panik melihat tingkah Didi
“Di… jangan bercanda, ga lucu!” Teriak Nizar.
Sontak terdengar suara besi terbanting dengan keras,
Aku menduga itu adalah suara pintu depan tempat kami masuk.
“Ranto.. Pintunya!!” Ucap Nizar dengan memberi isyarat pada Ranto.
Saat kami sibuk mengecek pintu terlihat Didi berjalan merangkak menghampiri sesajen itu dan memakanya langsung dengan mulutnya.
Aku berlari menghampiri Didi dan mencoba menghentikanya, Namun entah tenaganya begitu kuat sehingga tenagaku tak mampu menahanya.
“Khi…khi.. khi… Sarate uwis tak tompo , saiki sopo sing arep duluan” (Syarat sudah aku terima, sekarang siapa yang mau duluan)
ucap makhluk yang merasuki tubuh Didi.
Kami menyadari akan adanya bahaya dan mencoba keluar dari ruangan , namun belum sempat aku lari , terlihat Ranto terjatuh seolah ada yang menarik kakinya.
Aku menangkap tangan Ranto,
namun sesuatu menarik kaki ranto dengan cepat hingga ia terseret entah kemana.
“Ranto!!!” Teriaku sambil mencoba mengejarnya namun Nizar menahanku,
“Kabur Ardian ! kita cari bantuan..” perintah Nizar.
Kami berlari keluar ruangan.
Terlihat pintu besi tempat kami masuk sudah tertutup namun kami tetap berlari kesana berharap pintu itu masih bisa dibuka .
Ternyata kami salah , sesuatu menahan pintu itu untuk terbuka.
Aku mencoba mengambil telepon selulerku dan menghubungi nomor emergency ,
namun tak ada tanda-tanda teleponku akan tersambung. Aku mencoba menelepon Dika hingga teman-teman yang mungkin bisa menolong namun tidak ada satupun yang terhubung.
Nizar terus menggedor pintu dan meminta pertolongan.
Namun itu tidak lama sampai kami mendengar langkah kaki mendekat dari langit-langit bangunan itu.
“itu… itu makhluk apa?” Tanyaku dengan suara yang bergetar.
Nizar Jatuh dan terduduk tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
Sesosok pocong, tidak.. tidak hanya satu , Pocong, Kuntilanak , hingga mahkhluk tinggi besar menyerupai genderuwo memandangi kami dari setiap sudut ruangan pabrik gula ini.
Kakiku bergetar, Nizarpun tak mampu menahan rasa takutnya.
Spontan Ia berlari menuju tempat dimana tidak terlihat makhluk-makhluk itu.
Aku mencoba mengejarnya namun Nizar berlari ke sebuah ruangan, dan saat aku mencoba memasukinya , pintunya tertutup dengan sendirinya.
Dan kini tinggal aku sendiri di aula pabrik gula bersama setan-setan ini.
Lari…. Aku harus menyelamatkan diri, tapi kemana? Aku melihat ke sekeliling tempat ini , hanya ada pocong dan kuntilanak yang duduk diatas mesin dengan kaki yang menggantung.
Dan yang aku takutkan terjadi… Didi merangkak keluar ruangan, menaiki mesin tua dan menjatuhkan dirinya hingga darah menetes dari kepalanya.
“ Ayo… Melu aku…” (Ayo , Ikut aku) ucap Didi menghampiriku merayap di tanah dengan tubuhnya yang penuh darah.
“To.. tolong, siapapun tolong..!” Teriaku sekeras mungkin, namun tidak ada siapapun yang merespon .
Mendadak sakuku bergetar, terlihat ada telepon yang masuk.
Itu Dika! Aku segera mengangkat telepon untuk meminta pertolongan.
“Dik… Tolong Dik, Tolong!!!” Teriaku di telepon
“Akhirnya kita tersambung dengan Ardian , Penyiar Favorit kita! Saat ini dia akan menyampaikan live report dari sebuah pabrik gula angker di Jawa Tengah!”
Terdengar suara dika dari telepon.
“Bukan Dik, Matiin radionya… “ Perintahku
“Ok, Ardian ada hal apa saja yang bisa di ceritakan” Ucap Dika melalui telepon.
“Dik tolong dik! Kami dalam bahaya… pabrik tua ini mengerikan , tolong gua!” perintahku pada dika.
“Sori, suara lu ga jelas… apa tadi? Pabrik tua mengerikan? Lu liat pa aja aja di sana? “ Tanya Dika lagi yang terdengar belum mengerti kondisi saat ini.
“ Siapa aja tolong, sekumpulan pocong, kuntilanak ada di setiap sudut pabrik ini” ucapku sudah tercampur dengan tangisan.
“Pocong? Kuntilanak? Gila… parah2, pasti seru banget petualangan lu! Oke, nanti kita lanjutin lagi ya live reportnya semoga nanti sinyalnya sudah jelas.. buat para pendengar setia , Stay tune di Radio tengah malam bersama gua dika dan Ardian yang berada di lokasi”
ucap Dika sambil menutup teleponya.
Tenpa sadar , tangan didi yang penuh luka sudah menggenggam kakiku. Aku berusaha mundur melepaskan namun punggungku menyentuh sesuatu.
Aku menoleh, Sesosok wajah pucat menyeringai dengan rambut yang tidak beraturan berada tepat di belakangku. Itu adalah kuntilanak yang tadi menatapku dari atas Mesin tua…

(Bersambung part 2..)

#radiotengahmalam #ceritahorror #bacahorror
Radio Tengah Malam
Part 2 - Pabrik Gula
#horror #ceritahorror
@bacahorror @IDN_Horor @bagihorror Image
“Selamat bergabung di Radio Tengah Malam kali ini bersama saya Dika ,
Gimana kabar para pendengar semua ? semoga udah siap untuk merinding bareng di tengah malam ini…
Spesial di malam ini kita akan live report dengan penyiar andalan kita Ardian,
yang sedang berada di Pabrik gula angker di jawa tengah”

Aku mendekati radio , membesarkan volumenya , dan menajamkan telingaku.
Radio tengah malam adalah salah satu siaran favoritku , cerita – cerita horor yang dibacakan seolah membawaku menjelajah ke alam lain.
“Akhirnya kita tersambung dengan Ardian , Penyiar Favorit kita! Saat ini dia akan menyampaikan live report dari sebuah pabrik gula angker di Jawa Tengah!”
“Ok, Ardian ada hal apa saja yang bisa di ceritakan”
“… bzzzt… bahaya… pabrik tua ini mengerikan…”
“Sori, suara lu ga jelas… apa tadi? Pabrik tua mengerikan? Lu liat pa aja aja di sana? “
“ Si…apa.. bzzzt… , sekumpulan pocong, kuntilanak ada di setiap sudut pabrik ini”
“Pocong? Kuntilanak? Gila… parah2, pasti seru banget petualangan lu!
Oke, nanti kita lanjutin lagi ya live reportnya, semoga nanti sinyalnya sudah jelas.. buat para pendengar setia , Stay tune di Radio tengah malam bersama gua dika dan Ardian yang berada di lokasi”

Pabrik gula? Tunggu… Jangan-jangan itu pabrik gula di belakang desa ini?
Aku segera mengambil radioku, mengenakan sandal dan berlari keluar.

“Pak Lek.. Pak Lek!” teriaku ke sebuah rumah yang tak jauh dari rumahku berada.
“Opo to Panjul ? cah cilik tengah malem ngene teriak-teriak” ucap Pakle sambil membukakan pintu.
“Iki Pak Lek, kayaknya ada yang masuk ke pabrik gula” ucapku setengah sambil menyodorkan radio.

“bzzzt… Kita sudah mencoba menghubungi ardian kembali yang sedang berpetualan di pabrik gula , namun sepertinya sinyal belum mendukung… kita lanjut baca cerita dulu ya”
terdengar suara dari radio yang aku tunjukan.

“Haduh… yowis , tak cek dulu” ucap pak Lek sambil bersiap mengenakan sandalnya.
“Aku melu… tak jemput kliwon sik” sahutku
“Melu yo melu, tapi ketekmu kuwi ora usah digowo”
(ikut ya ikut , tapi monyetmu itu ga usah dibawa) ucap Paklek.
Kliwon adalah monyet peliharaanku, aku menamainya seperti nama monyet peliharaan jagoan favoritku si Hantu dari Goa Buta. Aku sering membawanya ke hutan sekitar pabrik gula..
di sana ada tanaman pohon-pohon pisang yang menjadi makanan favorit kliwon.
“Mbok ben to Pak lek, ben golek gedang dewe neng kono” (Biarinlah Pakde , biar cari pisang sendiri disana) Jawabku kepada Pak Lek.
Pak Lekku , Bimo Sambara adalah salah satu orang terpandang di desa ,
beliau memang dipercaya untuk mengurus permasalahan yang kadang terjadi di peninggalan pabrik gula jaman belanda yang sudah lama terbengkalai.
Rumput-rumput yang tinggi, dan gelapnya malam menemani perjalan kami.
Hanya penerangan dari lampu petromaks yang membantu penglihatan kami.
Sebuah pabrik tua terlihat di hadapan kami terliihat pohon-pohon pisang tumbuh subur di depanya. Sontak kliwon melompat dari bahuku dan bersiap menikmati pisang favoritnya di sana.
“ Pak Lek, pintunya ga dikunci?” Tanyaku saat melihat tidak ada lagi gembok di pintu pabrik tersebut.
“Ra mungkin , Pintunya selalu tak kunci…” jawabnya sambil mempercepat langkah.
Kami mendekat mencoba membuka pintu tersebut , namun sulit terbuka. Aku melihat sekeliling ,
ternyata sebuah balok kayu menahan pintu ini dari luar. Kami menyingkirkanya dan pintupun berhasil dibuka.
“Krsssk”
Terdengar suara rumput terinjak dari samping pabrik, aku sedikit curiga namun kurasa kondisi di dalam gudang lebih penting.
“Bener Jul.. ada yang masuk… “
ucap Pak lek kepadaku.
“Bener to Pak Lek , tp suasanane kok medeni ngene yo” jawabku pada pak lek.
Pak Lek berjalan mengelilingi pabrik sambil melihat ke sekeliling dengan penerangan dari lampu petromaxnya.
“Woiii… ada orang?” teriakanku menggema ke seluruh pabrik gula ,
namun tidak ada seorangpun yang menjawab.
Pak lek terlihat serius di suatu sudut ruangan , terlihat seperti sedang berbicara dengan sesuatu.
“woo… bocah-bocah semprul! Itu di sebelah sana jul.. “ ucap Pak Lek kepadaku sambil menunjuk ke sudut mesin tua.
Benar saja, terlihat sosok remaja tergeletak di sudut aula pabrik gula dengan wajah yang sudah pucat.Aku mengecek nafas dan jantungnya , beruntung dia masih hidup.
“Mas… mas.. bangun mas” ucapku mencoba membangunkan pria itu namun tidak ada respon dari tubuh itu.
“Sik.. sebentar” Pak Lek merogoh tasnya, mengambil air minum membacakan doa dan meminumkanya ke pada pria itu.
Perlahan mata pria itu terbuka, terlihat mukanya masih pucat.
“ Pak… To.. tolong pak… tolong… “ pria itu memaksakan diri untuk duduk dan menggenggam bahu pak lek.
“ tempat ini mengerikan pak, tolong,teman saya kesurupan… dan makhluk pocong, kuntilanak berkeliaran di sekitar sini” ucapnya ke pada Pak Lek.
“Kuntilanak? Maksudmu yang di belakangmu itu?” Ucap Pak Lek.
Pria itu menoleh ke belakang,
terlihat kaki pucat dan penuh luka menggantung di dekat kepalanya. Dia menoleh keatas dan wanita dengan wajah pucat dan penuh luka menatapnya dari atas mesin tua..
“ To.. Tolong” teriak pria itu sambil melompat menjauhi makhluk itu.
“Itu Sri.. salah satu makhluk penunggu gudang ini… kayaknya kamu juga udah ketemu yang lain” Jelas Pak Lek.
“ I.. iya, itu pak… makhluk yang nyerang saya!” teriak lagi sambil menunjuk pada kuntilanak itu.
“Nyerang gundulmu! Justru makhluk yang kamu bawa yang bikin perkara di sini! Kalo ga ada Sri mungkin kamu udah dibawa sama temenmu yang kesurupan itu“ Ucap Pak Lek memarahi pria itu.
Pria itu terheran , mencoba mencerna ucapan Pak Lek.
“Udah, tenang dulu.. kalian berapa orang ke sini?” Tanya Pak Lek.
“Berempat pak…” jawabnya
“Siapa namamu? “ tanya pak lek lagi.
“saya Ardian.. yang kesurupan namanya didi , tolong cari mereka pak… tolong” Jawabnya.
“Saya Bimo , dan bocah ini Cahyo … Tapi panggil aja Panjul” Ucap paklek sambil meledeku.
“Pak lek ki, pancen asem, ojo ngeledek to… Mas Ardian ki idolaku , penyiar radio” protesku ke Pak Lek.
Pak Lek tertawa berharap menghilangkan ketegangan.
“Wis, ayo kita cari.. itu si kliwon suruh kerja, jangan Cuma makan gratis” ucapnya kepadaku.
Aku membuat simpul dari jariku dan menyiulkan suara yang cukup keras untuk memanggil kliwon. Monyet kecil itu masuk lewat jendela dan menghampiriku.
“Golekono kanca-kancane mase yo… nek ketemu kabari” (cariin temen-temen masnya ya , kalo ketemu kabarin.) perintahku pada Kliwon.
Kliwon melompat lagi dari bahuku dan mulai mengelilingi ruangan-ruangan pabrik gula.
Kami mulai berjalan menyisiri ruangan-demi ruangan.
“Pak Lek , tadi maksudnya makhluk yang kami bawa itu apa?” tanya mas Ardian.
“Kalian ga sadar? Ada salah satu dari kalian yang membawa makhluk dari luar… dan sepertinya makhluk ini cukup berbahaya sehingga seluruh penunggu pabrik ini keluar semua” Jelanya pada Mas Ardian.
“Maksud Pak lek Pocong, kuntilanak itu tidak bermaksud menyakiti? Tapi… kami tidak membawa makhluk apapun, setidaknya tidak ada niat dari kami…” tanya Mas Ardian lagi.
“Selama kalian tidak mengganggu, penunggu sini tidak akan berbuat jahat.. paling Cuma iseng” sahut Pak Lek.
“Gini aja, di ruangan mana terjadinya masalah ini” lanjut Pak Lek.
“Ruangan itu pak… “ Jawab mas ardian sambil menunjuk ke ruangan dengan pintu kayu yang sudah reyot.
Pak Lek memasuki ruangan itu , dan melihat sesajen yang sudah berantakan.
“Kalian yang memasang sesajen ini? “ Tanya Pak Lek dengan wajah yang mendadak serius.
“Bu.. Bukan pak…” Jawab mas ardian.
“Jul.. hati-hati sepertinya ada yang berniat jahat..” Ucap Pak Lek kepadaku
Aku mengerti yang dimaksud,
sarung yang kugunakan untuk melindungiku dari hawa dingin kini kuikatkan di pinggang.

..
..
“Endi… Ning endi mangsaku….” Terdengar suara mengerikan dari balik pintu kayu.
Terlihat sosok manusia dengan badan yang penuh luka , berjalan merangkak memasuki ruangan.
“Itu Didi! Itu didi… tolong pak!” Ucap mas ardian sambil mundur mendekatiku.
Belum sempat merespon , Makhluk yang di panggil dengan nama Didi itu melompat ke arah Mas Ardian menerkamnya dan mencoba menggigit wajahnya.
Pak lek membacakan doa dengan suara yang cukup keras ,
aku mencoba menarik mas ardian dari cengkraman Mas Didi.
Terlihat Makhluk di dalam tubuh Mas Didi meronta-ronta dan mencoba keluar dari tubuh manusia itu.
Pak lek membacakan doa dengan semakin khusuk , hingga tubuh makhluk itu benar-benar terpisah dari tubuh mas didi.
“ Khi..khi..khi , kowe ora usah ikut campur “ terdengar suara ancaman menggema dari ruangan ini.
“Titeni.. aku ora dewean”
Terdengar suara pintu terbuka dengan bantingan, seolah ada mahkhluk yang keluar dari ruangan dengan sangat cepat.
Aku mencoba mengejar ,
namun Paklek menahanku.
“ Pak, bisa tolong Didi?” Ucap Mas Ardian.
Pak Lek mendekatinya dan meminumkan air pada Mas Didi. Terlihat luka-luka yang cukup parah pada tubuhnya.
“Sudah tidak ada lagi yang merasuki anak ini, tapi luka-lukanya parah,
harus segera dibawa ke rumah sakit” Ucapnya
Belum sempat memeriksa lebih jauh terdengar suara keras dari ruangan lain.
“Ampun… hentikan!” Teriak seseorang.
“Itu suara Nizar pak, teman saya!” Jelas Mas ardian.
Aku berlari menuju asal suara itu.
Paklek dan Mas Ardian menyusul sembari membopong badan Mas Didi yang tidak sadar.
Aku masuk ke sebuah ruangan, itu adalah ruang penggilingan…
Sungguh pemandangan yang mengerikan, Sebuah badan terlihat berada disela-sela mesin penggilingan seolah siap untuk dilumat.
“ To.. Tolong” terdengar suara dari orang itu.
Makhluk kurus dengan tangan dan kaki yang panjang merangkak di sela-sela mesin itu, menarik kaki pria itu mencoba memasukanya kedala mesin usang itu.
Aku berlari menghampirinya , namun makhluk serupa menghadangku untuk mendekat.
Segera Aku membacakan doa yang diajarkan Pak Lek dengan maksud membakar makhluk itu. Tidak terima dengan seranganku, makhluk itu mendekat dan bersiap melibasku.
Aku menghindar , menarik sarungku dan melibaskan ke tubuh setan itu hingga terpental.
“Jul.. Piye?” Pak Lek berhasil menyusulku.
“itu Lek.. “ Aku menunjuk kepada seseorang yang sedang ditahan dalam mesin usang oleh makhluk itu.
“I.. Itu Setan Lawu!” Ucap Pak lek dengan mimik muka yang kesal.
“Mas Ardian , Coba periksa barang bawaan kalian…
jimat apa yang kalian bawa?” Perintah Pak Lek.
“Kami ga bawa jimat apa a…”
“Diam.. periksa aja!” ucap Pak Lek memotong dengan memaksa.
Mas Ardianpun menurut dan membuka tasnya dan Didi.
Benar saja, sebuah ikatan bambu tua dan tanah yang terbungkus kain kafan ditemukan di tas milik Didi.
“i… ini apa? Ga mungkin Didi bawa beginian” aku terheran dengan sesuatu yang kutemukan.
Pak Lek merebut dan mengambil benda itu dan melemparkanya ke tanah.
Sebuah korek api tua diberikan kepada mas ardian.
“Nyalakan dan bakar benda itu” Ucap Pak Lek.
Mas Ardian menurut dan menyalakan korek itu , Api kecil menyala dan menerangi sudut-sudut ruangan. Namun bukan pemandan biasa yang terlihat,
melainkan Makhluk-makhluk halus penunggu gudang ini terlihat jelas melalui sinaran cahaya korek api tua itu.
“Pak… Ini semua apa?” Tanya Mas Ardian melihat sekeliling.
“Ga usah bingung dulu, bakar sekarang!” Perintahnya.
Api disulutkan pada jimat itu hingga terbakar habis,
makhluk-makhluk yang menyerang Mas Nizar mulai Terbakar dan perlahan mundur menjauhi Mas Nizar.
Spontan Mas Ardian meletakan Mas Didi dan berlari mengeluarkan temanya dari dalam mesin. Terlihat kakinya terluka dan penuh dengan darah.


Dang!!!! Suara besi dipukul dengan keras .
“Brengsek! Ngapain kalian ikut campur!” Teriak seseorang yang muncul dari pintu yang terdapat di balik mesin penggilingan.
Pak Lek mengalihkan pandangan kepada orang itu.
“ Jadi kamu yang menjebak bocah- bocah ini…” Ucap Pak Lek.
Terlihat seseorang yang sepertinya seumuran dengan mas ardian muncul dari balik mesin tua itu.
Yang mengerikan , makhluk-makhluk yang menyerang kammi tadi berkumpul di belakangnya , seolah sudah siap mendengarkan perintah orang itu.
“Kamu kenal dia?” Tanya Pak Lek ke Mas Ardian.
Mas Ardian memperhatikan baik-baik orang itu, dan samar samar mengingat wajah orang itu.
“itu… Itu petugas hotel, yang membawakan tas kami ke kamar” Jawab Ardian.
“Petugas hotel? Jahat Sekali kamu Ardian! Kita sudah kenal lama!”
Ucap orang itu menyeringai ke Ardian.
“Gak… Aku ga kenal kamu! Kenapa Kamu mencelakai kami??” Tanya Mas Ardian pada orang itu.
“ Mencelakai? Nggak… ini semua demi kamu! Kejadian ini akan jadi cerita yang sangat Fenomenal untuk diceritakan di Radio Tengah Malam”
“ ini aku Ardian!!.. Ini Aku… Nandar!”

(Bersambung ke Part terakhir..)

#radiotengahmalam #ceritahorror #bacahorror #bagihorror
Radio Tengah Malam
Part Terakhir - Teman?

@bacahorror @BacahorrorCom @IDN_Horor @qwertyping @HorrorTweetID @horrornesia @Penikmathorror

Percaya deh, denger di podcast @bagihorror feel radionya berasa banget
#ceritahorror #bacahorror Image
Sulit mempercayai apa yang kulihat , Kedua temanku terkapar tidak berdaya setelah berurusan dengan makhluk halus yang selama ini hanya muncul di cerita yang kubacakan saja.
Dan sekarang di hadapanku ada seseorang memimpin sekumpulan makhluk halus mengaku sebagai Nandar , Seseorang yang setia mengirimkan cerita-cerita seram untuk Radio Tengah Malam.
“Seharusnya ini akan menjadi cerita yang menarik… Kenapa kalian merusaknya?”
Ucap Nandar kepadaku.
“Jangan main-main , perjanjian apa yang kamu lakukan dengan setan-setan itu?” Tanya Paklek Bimo kepada Nandar.
“Bukan Urusanmu! Setidaknya aku masih bisa mendapatkan satu korban untuk mengakhiri cerita ini..”
lanjut nandar sambil meninggalkan ruang penggilingan.
Aku teringat akan Ranto , dia ditarik oleh makhluk yang tidak kukenal wujudnya .
“Ranto … Ranto Pa Lek , Masih ada satu teman saya yang belum ketemu” teriaku pada Paklek.
“jul , Cari duluan.. kalo ketemu panggil saya” Perintah Paklek pada rekan kecilnya itu sambil membantu menghampiri Nizar.
Beliau membacakan doa pada sebotol air lagi dan meminumkanya pada Nizar. Terlihat wajah Nizar tidak lagi pucat dan terlihat sedikit tenang.
“Bisa jaga temanmu ini? Saya dan Mas Ardian harus mencari temanmu yang satu lagi..” Tanya Paklek kepada Nizar.
“Tapi pak , kalo setan itu datang lagi?” Tanya Nizar dengan ragu.
“Ga usah takut, ada mereka yang menjaga agar makhluk itu tidak mendekat ke ruangan ini”
Jelas Paklek.
“Mereka itu siapa? “ Tanya Nizar lagi
“Mas Ardian, Nyalain lagi korek itu” Perintah Paklek kepadaku.
Aku mengangkat kembali korek api yang masih menggenggam di tanganku , dan menyalakanya sekali lagi.
Kilatan api menyala kecil, namun cahayanya cukup untuk menerangi seisi ruangan , dan samar-samar terlihat sosok – sosok makhluk halus di ruangan ini. Mereka adalah makhluk yang kami lihat di dekat pintu masuk tadi.
Aku merinding, Nizar pun terlihat sangat panik.
“Mereka penunggu pabrik gula ini , dan yang itu namanya Sri.. dia yang akan memberitahuku kalau kalian dalam bahaya” Ucap Paklek sambil menunjuk pada sesosok kuntilanak dengan wajah yang tidak lagi utuh yang berdiri di dekat pintu.
“Pak , yang benar saja… Kami ditinggal bersama mereka” protes Nizar dengan wajahnya yang kembali pucat.
“ Mereka tidak akan melukai , Jangan lupa Baca Doa saja mohon perlindungan dari Tuhan,itu akan menjagamu dari niat-niat buruk”
Ucap Paklek yang bersiap berdiri menyusul Panjul.
Ketika api dari korek itu mati, tidak ada lagi sosok makhluk halus yang terlihat di ruangan itu.
Ruangan demi ruangan kami masuki , tidak ada tanda-tanda keberadaan Ranto. Kami terus mencari, bahkan sampai ke sudut-sudut mesin.
“Pak , itu dek Panjul pergi sendirian apa tidak bahaya?” tanyaku pada Paklek.
“Tenang , walau masih kecil dia gak bisa diremehkan… di belakangnya ada makhuk pelindung yang sangat kuat” Cerita Paklek padaku.
Aku mengangguk , namun cerita mereka tetap saja tidak rasional di kepalaku.
“Paklek , di sini! Diluar! “ Terdengar teriakan menggema di aula , itu suara si Panjul.
Kami segera berlari ke arah pintu menghampiri bocah itu , suara gerimis terdengar ketika kami mendekati halaman pabrik.
“ itu di sana..” Teriak Panjul.
Kami tidak melihat seseorangpun di sana, hanya tanah kosong , pepohonan , dan seekor kera di bawah pohon pisang.
“Itu Lek di bawah kliwon…”
Terlihat seonggok tanah seperti bekas mengubur sesuatu , kera itu terlihat menggali sedikit-demi sedikit hingga mulai terlihat wajah manusia di sana.
“i… itu Ranto? Dia dikubur hidup-hidup?” Tanyaku.
“Belum terlambat mas , daritadi kliwon udah jagain disitu ngejaga biar masih bisa bernafas” Jelas Panjul kepadaku.
Kami segera berlari untuk menolong Ranto , namun sesosok Makhluk kurus dengan tangan dan kaki yang panjang menghadang kami .
“Kamu tolong temanmu , makhluk ini biar kami yang urus…. “ Perintah Paklek kepadaku.
Aku berlari menghampiri Ranto , kali ini tidak ada rasa takut.
Di pikiranku , nyawa Ranto yang terpenting.
Aku menggali dengan tangan kosong, mengeluarkan sedikit demi sedikit bagian tubuh temanku ini.
Namun… yang ku khawatirkan terjadi , dari atas pohon pisang menetes cairan hitam.
Aku perlahan menoleh keatas ,
namun tak lebih dari sejengkal dari wajahku muncul wajah penuh belatung dengan rambut yang rontok bergelantung terbalik ke menatapku.
Belatung yang muncul dari rongga wajahnya terjatuh kearahku,
aku menoleh keara Paklek namun terlihat dia masih sibuk dengan setan yang menghadang kami.
Setan itu terjatuh dari atas pohon, kali ini terlihat telapak tanganya yang sangat besar dengan cakar –cakar yang panjang. Aku merangkak mundur mencoba menjauhi makhluk itu ,
namun setan itu cukup cepat mencoba meraihku dengan cakarnya.
“ Kliwon! “ Teriak Panjul seolah memberi perintah.
Monyet kecil itu berlari ke arahku , melompat ke perutku seolah mencoba melindungiku.
Cakaran besar makhluk itu mencoba menyerang,
namun samar-samar terlihat bayangan monyet besar dari tubuh kliwon menghajar dengan keras setan itu hingga mundur berlari ke arah hutan.
Aku menoleh ke arah Ranto, tubuhnya sudah keluar dari timbunan tanah. Rasa emosi membakarku ,
tak pernah kubayangkan semua ini berasal dari seseorang yang kukenal.
“Nandar!!! Keluar Kamu!! Selesain urusan kita sekarang!” Teriaku di tengah gelapnya malam.
“Keluar kamu!”
Paklek dan Panjul menoleh , cukup heran dengan apa yang aku lakukan.
Sesosok manusia keluar dari dalam hutan, terlihat dia menyaksikan semua yang terjadi dari dalam sana.
“ Ardian… kamu inget cerita ritual pemanggil setan di gunung lawu yang kamu ceritakan?” Ucap Nandar.
“Ini hasilnya….”
Sekumpuluan makhluk halus berkumpul di sekitar Nandar.
“ Kamu gila… berapa banyak tumbal yang kamu habisi?!” tanya Paklek.
“ Banyak… terlalu banyak, semua nama yang mati sudah ku kirimkan padamu” Ucap Nandar memandangku.
Aku mencoba mengingat semua cerita yang dikirimkan oleh nandar , hampir semua tokoh utama diceritanya mati mengenaskan. Mungkin itu yang dimaskud.
“Sudah , cukup… Hentikan semua ini” ucapku pada Nandar.
“Tidak bisa , harus ada bayaran atas semua ini… yaitu nyawa kalian!” ucapnya
Paklek Bimo menghampiriku , terlihat kliwon dan panjul berada di sampingnya.
“Tidak, tidak ada dari kami yang akan jadi korban ilmumu…” Ucapnya sambil mulai membacakan doa.
Terlihat wajah putus asa di wajah nandar ,dia tau makhluk-makhluk pengikutnya tidak akan bisa mengalahkan kemampuan kedua orang hebat ini.
Wajah Nandar terlihat mulai pucat, air mata mulai menetes di matanya.
“Baiklah, kalau bukan kalian tumbalnya… Berarti sekarang giliranku”
ucapnya dengan isak tangis.
Aku tidak mengerti dengan apa yang dimaksud, namun aku melihat Paklek berlari ke arahnya. Namun belum sempat meraihnya , puluhan makhluk halus yang tadi menyerang kami mengerubuti nandar, menarik kedua tanganya , mencabik-cabik tubuhnya.
“Ardian… kamu… akan ceritakan ini di radiomu kan?” ucapnya lagi memaksa berbicara
Terilihat makhluk hitam yang tadi merasuki tubuh Didi meraih wajah Nandar , mengeluarkan kedua mata dari tempatnya.
Terdengar teriakan putus asa yang menghilang bersama dengan tubuhnya yang berserakan.
Aku merenung, apakah semua ini karena perbuatanku?
“Mas , ora usah dipikirin… itu salahnya sendiri “ ucap panjul kepadaku.
Malam ini terasa sangat panjang,
kami menghampir Nizar dan Didi dan membawanya ke kampung. Di pagi hari, warga kampung berkumpul menghampiri kami, tak sedikit yang memarahi kami atas perbuatan kami.
Tiga hari berlalu.. Didi , Nizar, Ranto sudah hampir pulih dari luka-lukanya .
Dika datang menjemput kami dan meminta maaf atas kesalahpahaman di siaran radio. Aku tak mempermasalahkan, jelas itu bukan salahnya.
“Paklek, Terima kasih banyak atas bantuanya… saya berhutang banyak sama Paklek , sama kamu juga dek” Ucapku pada Paklek dan Panjul
“ Benar pak,warga desa juga baik sudah mau membantu ngobatin kami” Tambah Nizar
Paklek tersenyum , dan terliat Panjul mengambil sesuatu dari dalam rumah.
“Mas Ardian , Tanda tanganin Radioku donk buat kenang-kenangan” bocah itu sambil menyodorkan radionya.
“Ya ampun Panjul , kamu itu itu udah nyelamatin nyawaku… harusnya aku yang minta tanda tangan kamu " Jawabku padanya.
“Lagian setelah kejadian ini kayaknya saya mau berhenti dari radio tengah malam…”
“Nak Ardian, ga usah menyalahkan diri atas kejadian semalam…
jangan kira hanya nandar yang terinspirari dari radio tengah malam, Ini si Panjul juga salah satunya… hanya saja Nandar memilih jalur yang salah.” Ucap Paklek.
Aku mengambil radio yang dibawa si panjul dan menandatanganinya.
“ini, aku tulis nomor hpku juga.. kamu bisa hubungin aku kapan aja , anggap aja aku kakakmu sendiri” ucapku padanya.
“Matur suwun Mas Ardian…” balasnya dengan senang.
“Kalian sering-seringlah main ke tempat ini , Saya berencana menjual sawah dan mencoba mengoperasikan pabrik gula itu lagi.. datanglah kalo tempat ini sudah tidak angker lagi..” cerita Paklek.
“Siap pak , setiap ke kota ini kami pasti akan mampir…” Ucap didi kepada Paklek
Kamipun pamit, dan meninggalkan desa ini. Terlihat sosok pabrik tua yang terlihat megah di siang hari , tidak akan terbayang apa yang terlihat saat hari sudah mulai malam kecuali kalian merasakanya sendiri.

Selesai...
EPILOG
Beberapa minggu berlalu setelah kejadian di pabrik gula , aku mencoba kembali ke ruang siaran. Walaupun cukup ragu , aku memutuskan kembali memulai siaran, namun kali ini aku akan memilih-milih cerita, terutama aku tidak akan memilih cerita yang berbau ilmu hitam.
“Gimana bro , udah siap tempur lagi?” ucap dika sambil menepuk punggungku.
“Kita coba taping ya , kita mulai dari cerita yang ringan dulu” Balasku.
“Ya udah , sana pemanasan dulu…” Lanjut Dika.
Aku memasuki ruangan , mencoba melihat sekeliling ruangan.
Tampaknya aku memang rindu dengan ruangan ini.
Aku menyetel posisi mic dan menyiapkan naskahku. Namun sebelum dimulai, mendadak lampu ruangan mati, disusul dengan komputer dihadapanku.
“ Dik.. Dika! Mati lampu?” Tanyaku pada dika.
“Sebentar , gua cek dulu..” Teriaknya dari luar
Aku mencoba merogoh tasku mencari handphone atau apapun yang bisa membantu menerangi ruangan ini.
Namun saat siaran Handphone selalu kutinggalkan di luar karena menggagu frequensi suara. yang kutemukan adalah sebuah korek tua, yang dulu dipinjamkan oleh Paklek Bimo saat di pabrik gula.
Aku sedikit ragu untuk menyalakanya ,
namun suasana gelap sudah berhasil membuatku cukup gelisah.
Percikan api muncul dari pemantik yang kuputar. Apipun menyala, cahaya mulai menerangi ruangan ini , kuharap ini cukup untuk menghilangkan rasa gelisahku akan gelap.
Tapi ternyata sebaliknya…
Sesosok wanita dengan kepala yang hampir terputus menempel di belakang monitorku.
Merasa sadar akan reaksiku , iya menghampiriku dan menjatuhkan kepalanya di atas mejaku.
Aku terjatuh dari kursi,
namun tak berhenti sampai disitu dari bawah meja muncul makhluk kerdil dengan wajah yang rusak sedang bergelantungan di kakiku.
Sontak aku mundur dan menjauhinya , namun punggungku menyentuh sesuatu. Aku menoleh ke belakang,
Kain kafan lusuh yang penuh dengan tanah berada di hadapan wajahku. Ternyata sesosok pocong selama ini berdiri di belakang tempatku duduk.
Korek api terus menyala, aku mencoba meniupnya namun gagal..
Terlihat seseorang dari kaca ruangan, aku berlari menghampirinya.
“Dik Dika… tolong “ teriakku
Namun yang terlihat dari kaca bukanlah dika, sesosok manusia dengan wajah yang tidak utuh, matanya tidak lagi ada ditempatnya. Aku kenal wajah itu.. itu Nandar!
“Ardian… Kamu bisa melihatku?” Tanya makhluk itu sambil berjalan kearahku.
“nggak… pergi, pergi!” aku mengusirnya
“Ceritakan Ardian… Ceritakan kisah-kisahmu, Kami akan selalu berkumpul di dekatmu setiap kamu membacakan cerita tentang kami” Ucap mahkluk menyerupai Nandar itu.
Benar saja, aku mengangkat korek api itu melihat sekeliling dan sekumpulan makhluk halus berkumpul di ruangan ini menantikan ceritaku....

#radiotengahmalam #ceritahorror #tamat

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Diosetta

Diosetta Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @diosetta

Mar 21
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part 6 - Pusaka Merapi

Mereka terpisah sejak kecil, satu tinggal di alam manusia dan satu tinggal di sisi gaib hutan merapi..

#bacahorror @bacahorror Image
Part sebelumnya
Part 1 : Sukma yang Tertinggal
x.com/diosetta/statu…
Part 2 : Hutan tak Kasat Mata
x.com/diosetta/statu…
Part 3 : Keraton Gaib
x.com/diosetta/statu…
Part 4 : Penari Dunia Arwah
x.com/diosetta/statu…
Part 5 : Perburuan Sukma
x.com/diosetta/statu…
(Sudut Pandang Galang…)
Suara gending gamelan mulai mengalun, menyatu dengan hembusan angin sore yang membawa aroma tanah basah setelah hujan ringan. Cahaya keemasan senja mulai meredup di balik pepohonan, memberikan kesan magis pada suasana di sekitar balai desa.

Aku, Raka, dan Farel masih duduk di beranda kayu, memandangi halaman yang mulai dipenuhi orang-orang. Seharian ini kami menghabiskan waktu bersama Wulan, tapi kini ia telah berpamitan untuk bersiap-siap.

Kami tahu, sebentar lagi pementasan akan dimulai—dan bersamaan dengan itu, kecemasan kami semakin menjadi.

Sebelum pergi, Wulan sempat berpesan dengan nada serius, “Sebelum pementasan selesai, kalian harus sudah pergi.”

Aku menatapnya, mencoba mencari jawaban di balik matanya yang sejenak tampak bimbang. “Kenapa, Lan?” tanyaku, berharap ia akan menjelaskan.

Namun jawabannya justru membuat kami semakin terdiam.

“Kalian seharusnya tidak berada di sini.”
Kalimat itu menggantung di udara, menciptakan gelombang ketegangan di antara kami. Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi Wulan tidak memberi penjelasan lebih lanjut.

Ia hanya menyebutkan bahwa gelar “tamu” bagi seorang penari memiliki konsekuensi tertentu. Konsekuensi yang ia hindari untuk jelaskan, tetapi cukup untuk membuat kami mengerti bahwa itu bukanlah sesuatu yang baik.

Tak ada lagi yang bisa kami katakan, selain menerima kenyataan bahwa waktu kami di tempat ini sangat terbatas.

Farel, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara dengan suara mantap. “Begitu pementasan dimulai, kita harus cepat-cepat mencari sukma Tiwi dan pergi.”

Raka segera mengangguk setuju. “Benar! Jangan buang waktu.” Ia sudah bersiap, memastikan barang-barang kami dalam keadaan siap untuk dibawa sewaktu-waktu.

Tapi kemudian, Farel kembali bersuara, kali ini dengan nada lebih tegas. “Satu lagi.” Ia menatapku tajam, seakan ingin memastikan aku benar-benar mendengarkan. “Kalaupun kita belum menemukan Sukma Tiwi saat pementasan selesai, kita tetap harus pergi.”

Deg!

Jantungku seperti dipukul begitu saja. Pernyataan itu terasa begitu berat, tetapi aku tahu bahwa Farel tidak salah.

“I—iya…” suaraku lirih, hampir tidak terdengar.

Raka menepuk bahuku dengan lembut. “Lang… kuatkan hatimu,” katanya dengan nada penuh keyakinan. “Nggak boleh ada korban lagi. Kalau kita tidak menemukan Tiwi di sini, berarti dia memang tidak ada.”

Aku menarik napas dalam, lalu mengangguk. Aku menatap mata kedua sahabatku dengan tekad yang bulat. Aku tidak boleh bimbang. Raka dan Farel sama pentingnya bagiku, dan aku tidak akan mengorbankan mereka hanya karena keraguanku.

Melihat keteguhanku, Farel mengangkat sudut bibirnya tipis, lalu menepuk bahuku sebelum merangkulku. “Bagus…” katanya singkat.

Tanpa perlu berkata lebih banyak, kami bertiga pun melangkah menuju balai desa tempat dimana panggung kayu yang sederhana sudah berdiri dan para pemain gamelan sudah memainkan alatnya.


“Monggo, Mas. Kue-kue sama jajanannya ada di sebelah sana. Teh dan kopi juga ada, jangan sungkan-sungkan,” suara lembut seorang ibu menyambut kedatangan kami.

Aku, Farel, dan Raka berdiri di pelataran sebuah rumah yang cukup besar. Di tengahnya, sebuah tumpeng megah diletakkan di atas meja kayu panjang, dikelilingi oleh aneka jajanan pasar dan makanan-makanan yang terlihat begitu menggoda.
Read 15 tweets
Mar 14
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part 5 - Perburuan Sukma

#bacahorror @bacahorror @IDN_Horor Image
Part sebelumnya Part 1 : Sukma yang Tertinggal x.com/diosetta/statu…
Part 2 : Hutan tak Kasat Mata x.com/diosetta/statu…
Part 3 : Keraton Gaib
x.com/diosetta/statu…
Part 4 : Penari Dunia Arwah
x.com/diosetta/statu…
(Sudut Pandang Cahyo…)
Kabut tebal menyelimuti jalur sempit yang kami lalui. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah ada ribuan mata tak terlihat yang terus mengintai dari balik pepohonan kering di sekitar.

Suasana begitu mencekam, bahkan napas kami terdengar lebih keras dari suara angin yang berhembus pelan.

Aku terus melangkah, tapi bayangan kebimbangan menyelimuti pikiranku.

“Danan... apa yang kita lakukan ini sudah benar?” ucapku dengan suara gemetar.

Danan berjalan di sampingku, menoleh sebentar sebelum kembali menatap lurus ke depan. Sorot matanya menandakan ia pun tak yakin.

“Entahlah, Jul... Tapi ini satu-satunya cara. Mbah Dirwo bilang Wiralaya bisa membantu kita.”
Aku melirik sosok tua yang berjalan di depan kami.

Wiralaya... pria bertubuh kurus dengan rambut panjang beruban yang menutupi sebagian wajahnya. Sorot matanya kosong, seperti menatap sesuatu yang tidak bisa kami lihat.

Tangannya kurus dan keriput, mencengkeram tongkat kayu yang terus menghantam tanah lembab setiap kali ia melangkah.

Kabut semakin tebal. Langit abu-abu yang tadi samar-samar terlihat kini benar-benar lenyap. Di tempat ini, siang dan malam terasa tidak ada bedanya. Dunia seperti terjebak di antara waktu.

“Sebenarnya kita mau ke mana, Mbah Wiralaya?” tanyaku mencoba memberanikan diri.
Pria tua itu tiba-tiba menghentikan langkah. Aku tersentak. Perlahan ia melirik ke arahku—tatapan yang begitu tajam hingga membuat bulu kudukku meremang.

Wiralaya tidak menjawab. Namun... di saat itulah tangan hitam berkeriput muncul begitu saja dari kabut pekat, mencengkeram tubuhku dengan kekuatan luar biasa.

“PANJUL!!”

Aku mendengar teriakan Danan, tapi semuanya terjadi begitu cepat. Dunia di sekelilingku berputar—kabut, pepohonan, dan sosok Danan menghilang dalam sekejap. Aku merasa dihempaskan ke tempat lain, tubuhku terlempar tanpa aku tahu melewati apa.

Saat aku membuka mata, tubuhku terbaring di atas tanah yang dingin dan lembab. Nafasku memburu, dadaku terasa sesak. Aku mencoba bangkit, tapi sesuatu menindih tubuhku.

Sosok pocong.

Makhluk itu berdiri di atasku, tubuhnya kaku dengan kain kafan yang penuh bercak darah. Wajahnya membusuk... kulitnya terkelupas hingga memperlihatkan tulang di beberapa bagian. Matanya cekung dan hampir keluar dari lubang tengkorak yang menghitam.

“Udu wayahe kowe tangi meneh... Wektumu wis rampung... Aku mung njaluk panggonanku... Kowe sing ngganti...”
(Bukan waktumu lagi untuk bangun lagi... Waktumu sudah habis... Aku hanya meminta tempatku... Kamu yang menggantikan...)

Suaranya dalam, berat, seolah berasal dari dasar kubur. Bau anyir darah bercampur tanah basah menusuk hidungku. Tubuhku bergetar hebat saat pocong itu mulai tersenyum, memperlihatkan deretan gigi kuning berlumuran lendir.

Aku mencoba meronta, tapi tekanan di dadaku semakin kuat. Napasku tersengal-sengal.

“Nggak... nggak sudi aku!”

Aku memanggil satu-satunya harapan yang kupunya.
“WANASURA!!”

Tidak ada jawaban.

Aku memanggil lagi, lebih keras. “WANASURA!!!”
Tapi... sunyi. Bahkan energi di dalam tubuhku terasa lenyap. Seolah sesuatu telah memutuskan ikatan antara aku dan Wanasura—jiwa roh penjaga yang selama ini mendiami tubuhku.

Pocong itu tertawa terbahak-bahak, suara seraknya menggema di udara. Kafan yang membalut tubuhnya mulai sobek perlahan, memperlihatkan ratusan ular berbisa yang menggeliat di balik lipatan kain. Ular-ular itu melata, menyusup keluar dan menempel di tubuhku, melilit leher dan tanganku.

“Kafan ini sudah memintamu... kehkehkeh...”

Wajah pocong itu mendekat, hanya sejengkal dari wajahku. Bau busuk menyengat menembus hidung, membuat perutku mual. Matanya yang hampir lepas bergetar, menatapku dengan rasa puas.

Aku berusaha membaca doa-doa di dalam hati... tapi semakin aku membaca, semakin kuat kain kafan itu menjerat tubuhku.

“LEPASKAN!! LEPASKAN AKU!!”

Kafan itu hidup. Lembaran kainnya melilit tubuhku seperti ular, perlahan menyusup ke dalam mulutku, memaksaku diam. Aku menggigit kain kasar itu, tapi ia terus memaksa masuk.

Keringatku semakin menetes.

“Berkatmu aku bisa kembali memburu sukma di gunung ini... kehkehkeh...”

Makhluk itu berbalik, berjalan menjauh dengan langkah pincang, meninggalkanku dalam lilitan kafan yang semakin rapat. Aku mencoba meronta, tapi tak ada yang bisa kulakukan.

Dalam kegelapan itu, aku hanya bisa berdoa.
Perlahan-lahan, dunia di sekelilingku terasa semakin dingin... dan aku mulai kehilangan kesadaran.

“Sial!!” Aku mengumpat kesal, namun mulutku terus melantunkan doa tanpa henti. Napasku memburu, keringat dingin membasahi tubuhku yang gemetar. Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari arah belakang.
Read 14 tweets
Mar 6
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part 4 - PENARI DUNIA ARWAH

Galang dan Wulan bertemu lagi, dan perasaan mereka masih sama...

#bacahorror @bacahorror @ceritaht Image
Part sebelumnya
Part 1 : Sukma yang Tertinggal x.com/diosetta/statu…
Part 2 : Hutan tak Kasat Mata
x.com/diosetta/statu…
Part 3 : Keraton Gaib x.com/diosetta/statu…
(Sudut Pandang Galang…)

Langkahku terhenti ketika tiba-tiba seseorang meraih tanganku dan menarikku dengan tergesa-gesa. Seorang perempuan berlari di hadapanku, napasnya memburu seolah dikejar sesuatu.

Wajahnya dipenuhi kecemasan, terutama setelah melihatku yang hendak memasuki sebuah desa yang tampak sunyi di kejauhan.

"Wulan, tapi Raka dan Farel... Mereka juga tersesat," ucapku, mencoba menjelaskan situasiku yang tak kalah membingungkan.

Mendengar itu, Wulan memperlambat langkahnya sejenak. Matanya mengawasi sekeliling dengan waspada, lalu tanpa banyak bicara, ia menarikku menuju rimbunan pepohonan di tepi jalan.

Sesampainya di sana, ia celingukan seakan mencari sesuatu atau seseorang. Setelah memastikan keadaan aman, ia menatapku dengan serius.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Mas? Kenapa kalian bisa sampai ke sini? Bahkan dalam situasi seperti ini..." Suaranya lirih, tapi penuh kekhawatiran.

Aku menghela napas panjang. "Ceritanya panjang, Wulan. Awalnya ini tentang Tiwi..."
Aku mulai menjelaskan bagaimana kami sampai di sini. Wulan mendengarkan dengan saksama, raut wajahnya berubah-ubah seiring dengan ceritaku.

Awalnya ada kecemasan, lalu keterkejutan, dan entah kenapa, aku tidak lagi melihat ekspresi cemburu seperti yang pernah ia tunjukkan sebelumnya. Saat kusebutkan bahwa bagian sukma Tiwi masih tertinggal di sisi gaib Gunung Merapi, Wulan tampak semakin tegang.

"Bagaimana keadaan Tiwi? Apakah Mbah Dirwo membantu kalian?" tanyanya cepat.

"Tiwi sudah mendapat pertolongan dari Mas Danan. Sayangnya, kami belum sempat bertemu Mbah Dirwo. Tapi ada beberapa orang yang memahami hal gaib yang juga turun tangan membantu kami..." jawabku, mencoba menenangkan kekhawatirannya.

Meski tampak memahami, Wulan tetap gelisah. Ia menggigit bibirnya pelan, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu.

"Masalahnya bukan hanya itu, Mas... Alam gaib di Merapi sedang bergejolak," ucapnya akhirnya.

Aku mengernyit. "Bergejolak? Maksudmu?"
Wulan mengangguk. Ia melirik ke arah desa yang semakin jauh dari pandangan kami. Matanya menangkap kehadiran seekor burung jalak yang bertengger di salah satu dahan pohon. Seolah mendapat isyarat, ia menarikku lebih jauh dari tempat itu.

"Farel dan Raka tidak sendirian. Ada seekor kera yang menjaga mereka," katanya tiba-tiba.

Aku terkejut. "Kamu tahu dari mana, Wulan?"
Alih-alih menjawab, Wulan hanya tersenyum kecil. Aku menatapnya lekat-lekat, mencoba mencari jawaban dari ekspresinya. Namun, aku sadar bahwa meskipun ia menjelaskan, belum tentu aku bisa benar-benar memahami apa yang ia ketahui.

"Saat ini, para penghuni desa gaib di gunung ini tengah gelisah. Keberadaan makhluk-makhluk asing yang bukan berasal dari Merapi mulai berdatangan dan mengganggu keseimbangan," ujar Wulan dengan nada serius.

Aku mengerutkan dahi. "Sesama makhluk pun bisa berseteru?"

Wulan mengangguk pelan. "Tentu saja, Mas. Setiap wilayah memiliki sosok kuat yang menjaga keseimbangannya.

Keberadaan mereka bukan hanya sebagai pelindung, tapi juga sebagai pengatur batas antara alam manusia dan alam gaib. Jika keseimbangan itu terganggu..." Wulan tidak melanjutkan ucapannya, tapi dari sorot matanya, aku bisa merasakan betapa serius situasi ini.

Aku menelan ludah. Sekarang aku paham, kami tidak hanya tersesat di gunung ini, tapi juga terjebak di tengah-tengah sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kami bayangkan.

"Ada satu lagi pertanyaan penting, Wulan." Kali ini aku yang menarik tangan Wulan hingga langkahnya terhenti.

"Apa, Mas?"

"Bagaimana kabarmu?"

Wulan berpaling dan menatapku dengan bingung. Sejenak ia tampak terkejut, sebelum akhirnya menjawab dengan suara sedikit canggung. "Eh, ba—baik, Mas."

Aku melihat raut wajahnya berubah, rona halus muncul di pipinya. Walaupun Wulan bukan manusia, ada sesuatu dalam dirinya yang selalu membuatku merasa nyaman. Namun sebelum aku bisa mengatakan lebih jauh, perasaan aneh tiba-tiba menyelimuti kami.

Hutan di sekitar semakin sunyi. Suasana menjadi dingin, dan aku bisa merasakan keberadaan sesuatu yang mendekat.

"Ada yang datang..." bisikku.

Wulan ikut menghentikan langkahnya, tubuhnya menegang. Dari balik bayangan pohon, seseorang muncul. Sosok itu adalah seorang lelaki tua dengan wajah penuh senyum. Namun, senyum itu terasa janggal.

"Buru-buru sekali, Mas sama Mbaknya? Di desa sedang ada acara, lho," ucap lelaki itu dengan nada ramah yang terdengar ganjil.

Wulan segera mengambil langkah maju, berdiri di depanku. "Terima kasih, Pak. Tapi kami sudah ada janji dengan seseorang," balasnya dengan sopan.
Senyum lelaki itu perlahan memudar.

Wajahnya berubah serius, tatapannya dingin. "Bukan seperti ini caranya meninggalkan desa..." Nada suaranya datar, tapi aku merasakan ancaman yang tersirat. "Seharusnya kamu mengerti, Wulan."

Aku menyadari bahwa ini bukan sekadar perbincangan biasa. Ada sesuatu yang hanya dipahami oleh para penghuni desa gaib ini.

"Nggih, Pak. Wulan lupa," jawab Wulan, suaranya lebih lembut. "Kami akan kembali ke desa sebentar lagi."

Mendengar jawaban itu, lelaki tua itu kembali tersenyum. "Bagus. Jangan lama-lama, keburu acaranya selesai."

"Nggih, Pak!" balas Wulan ceria.

Begitu lelaki itu berbalik dan mulai berjalan kembali ke hutan, tubuh Wulan tiba-tiba menegang.

"Lari!" teriaknya tiba-tiba.

Ia menarik tanganku, dan kami segera berlari menuju bagian hutan yang berkabut. Nafasku tersengal-sengal, dan aku bisa merasakan bahaya yang membuntuti kami.

"Apa bapak tadi berbahaya?" tanyaku di tengah langkah terburu-buru.

"Manusia tidak boleh berada di desa gaib itu, Mas. Sekali masuk, mereka harus menjadi bagian dari desa selamanya."
Read 17 tweets
Feb 27
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part 3 - Keraton Gaib

Di balik hutan-hutan yang lebat dan puncak yang gersang, tersembuyi entitas gaib yang saling berinteraksi dan memiliki kehidupannya sendiri..

Keraton Gaib Merapi, bersembunyi di balik kabut pekat di sana.

#bacahorror @IDN_Horor Image
Part sebelumnya :

Part 1 - Sukma yang Tertinggal
x.com/diosetta/statu…
Part 2 - Hutan Tak Kasat Mata
x.com/diosetta/statu…
Sudut Pandang Cahyo…)

Kabut semakin pekat, menyelimuti jalur pendakian yang seharusnya tidak ada. Inilah jalur gaib yang kami cari, jalan menuju keberadaan Sukma Tiwi. Tapi kini, kami terjebak.

Dari balik kabut, bayangan-bayangan samar mulai bermunculan. Dayang-dayang keraton demit melayang mengelilingi kami, wajah mereka pucat dengan mata kosong menatap tanpa kedip.

Gaun panjang mereka berkibar tanpa suara, membentuk lingkaran semakin rapat. Udara menjadi dingin menggigit, menembus hingga ke tulang.

“Ini buruk,” bisikku, suaraku nyaris tenggelam dalam keheningan menyesakkan.

Lalu, dia muncul. Sosok kakek tua berdiri di hadapan kami, tubuhnya bungkuk dengan tongkat kayu tua yang dihantamkannya ke tanah hingga terdengar bunyi retakan. Kabut di sekitarnya bergetar, seakan tunduk pada kekuatannya.

Di tangan kirinya, tergantung sesuatu yang membuat darahku membeku—sebuah kepala manusia membusuk, matanya melotot kosong, bibirnya menyeringai ngeri. Bau busuk menyengat menghantam hidung, membuat perutku mual.

“Jangan berurusan dengannya!” seruku, suaraku bergetar saat melirik Galang, Farel, dan Raka yang wajahnya sudah pucat pasi. Tapi terlambat. Kakek itu tidak hanya menghalangi jalan. Dia mengincar kami.

“Kita sudah masuk ke wilayahnya,” bisikku, suaraku serak. “Kakek itu... dia tidak segan-segan mengambil nyawa manusia.”

Mata cekungnya bergerak lambat, memperhatikan kami satu per satu. Pandangannya terhenti pada Kliwon, kera yang berdiri di sampingku, bulunya meremang penuh kewaspadaan.

“Satu kepala saja cukup... Kuberi kalian kesempatan pergi,” suaranya parau, dalam dan dingin seperti datang dari dasar kubur. Tawaran yang terdengar seperti vonis mati.

Aku menelan ludah. Dia benar-benar menginginkan salah satu dari kami.
Dengan langkah gemetar, aku maju selangkah.
“Tak kubiarkan kau menyentuh mereka,” ucapku mantap, meski nyaliku hampir luruh.

Kakek itu menyeringai, mulutnya robek lebar memperlihatkan gigi-gigi hitam keropos. Tawanya pecah, menggema di antara pepohonan, memantul berkali-kali hingga terdengar seperti jeritan makhluk terkutuk. Udara tiba-tiba semakin dingin. Bayangan-bayangan di balik kabut bergerak gelisah.

Dayang-dayang demit itu tidak lagi sekadar mengelilingi. Mereka melayang maju dengan gerakan lambat, tangan-tangan kurus mereka terjulur ke arah Galang, Farel, dan Raka. Kabut tebal menyelimuti kaki mereka, menyeret mereka menjauh dariku.

Ini jebakan. Kakek tua itu mengalihkan perhatianku, sementara yang lain diincar untuk dijadikan tumbal.
“Kliwon!” teriakku.

Kliwon melesat cepat, tubuhnya lenyap ditelan kabut pekat. Aku hanya bisa berharap dia bisa menemukan mereka sebelum terlambat.

Sementara itu, aku harus bertahan di sini. Berhadapan dengan makhluk yang bahkan gunung ini sendiri telah mengutuknya.
...
Read 13 tweets
Feb 20
JALUR MATI ALAS MERAPI
Part 2 - Hutan Tak Kasat Mata

Cahyo sudah menunggu Galang dan teman-temannya di jalur pendakian. Tak di sangka, kedatangan mereka sudah diawasi...

#bacahorror @bacahorror @IDN_Horor Image
Part sebelumnya :

Part 1 - Sukma yang tertinggal
Siang itu, aku duduk gelisah di kamar, jari-jariku bergerak resah di atas ransel yang masih kosong. Rasa cemas menggelegak di dadaku, memikirkan keadaan Tiwi. Aku tak bisa lagi menunda.

Aku harus kembali ke Merapi.

Tanpa banyak pikir, aku mulai mengemasi barang-barang. Tanganku gemetar saat memasukkan jaket, senter, dan beberapa keperluan lain. Saat melangkah keluar kamar, ibu memandangku dengan alis berkerut.

"Galang! Kok tiba-tiba begini?" tanyanya heran.

Aku menelan ludah, berusaha tetap tenang. "Iya, Bu. Janjian sama Mbah Dirwo, mumpung sempat katanya."

Aku terpaksa berbohong. Aku tak ingin ibu tahu alasan sebenarnya, bahwa ini bukan sekadar perjalanan biasa. Aku tak ingin ia khawatir kalau tahu aku kembali ke Merapi demi Tiwi.

Begitu keluar rumah, aku langsung mencari angkutan umum menuju terminal bus. Hawa siang terasa lebih menekan daripada biasanya, atau mungkin itu hanya pikiranku saja. Aku menaiki angkot menuju terminal untuk melanjutkan menaiki bus menuju Boyolali, memulai perjalanan yang terasa begitu berbeda dari sebelumnya.

Dulu, Tiwi dan yang lain ada di sisiku, menemani langkah-langkahku. Tapi kini, aku sendirian, hanya berteman kecemasan yang terus menghantui.

Kemunculan badut Pak Suradirja di rumah sakit kemarin masih mengusik pikiranku. Sosok itu benar-benar membuatku semakincemas. Ada sesuatu yang tak beres. Dan aku tahu, ini bukan kebetulan. Keadaan Tiwi pasti lebih genting dari yang kukira.

Aku menarik napas panjang, menatap jalanan yang berlalu di luar jendela bus. Aku harus menemukan menemukan jalan untuk mengembalikan sukma Tiwi sebelum apa yang ditakutkan Mas Danan benar terjadi.

***
Read 17 tweets
Feb 13
JALUR MATI ALAS MERAPI
Pos 1 - Sukma yang Tertinggal

Tragedi di Merapi tahun lalu masih membekas di ingatan Galang dan yang lain. Mimpi yang sama terus muncul, dan kemunculan satu sosok membahayakan nyawa Tiwi.

Merapi memanggil kembali...

@bagihorror @IDN_Horor @bacahorror Image
Buat yang belum baca 2910 Mdpl bisa mampir ke sini ya :

2.910 Mdpl (Maut di Perbatasan Langit)
Part 1 : x.com/diosetta/statu…
Part 2 : x.com/diosetta/statu…
Part 3 : x.com/diosetta/statu…
Part 4 : x.com/diosetta/statu…
Part 5 : x.com/diosetta/statu…
Part 1 - Sukma yang Tertinggal

-- Awan panas menyembur deras dari kubah lava Merapi, menghapus warna hijau lereng dengan abu kelabu. Orang-orang berlarian panik, teriakan mereka bersaing dengan gemuruh tak henti-henti.

Tanah di bawahku berguncang, membuat langkahku terhuyung. Suara-suara kacau memenuhi udara, tetapi tubuhku terus bergerak, entah bagaimana aku menjauh dari bencana yang mendekat.

“Pak?! Cepat!!” Suara seseorang perempuan menyentakku.

Di sela-sela kepulan debu dan kerumunan yang panik, samar-samar aku melihat seorang pria berhenti berlari. Ia berdiri diam, semakin menjauh dariku yang terus melangkah mundur.

“Tidak… larilah! Selamatkan dia! Wulan... dia diminta oleh Merapi…” suara pria itu terdengar parau, namun tegas. Aku terpaku.

Panas mulai membakar kulitku, seperti napas neraka yang mendekat. Dalam hitungan detik, aku melihatnya, awan panas itu melahap pria tadi, tanpa ampun. Ia lenyap dalam abu, tanpa perlawanan.

Gempa kian menggila. Langit menghitam, menutup cahaya terakhir dari dunia.

Rasa takut mencengkeramku erat, seperti cakar raksasa yang tak ingin melepaskan. Kakiku gemetar, napasku berat. Apakah ini akhirnya?

Sebelum semua itu menelan diriku, tiba-tiba semuanya memudar. --
Read 22 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(