Fredatore Profile picture
Jul 22, 2021 162 tweets 22 min read Read on X
"Jerat"

Dia adalah teman baik. Tapi apa yg telah dilakukanya membuatku harus melakukan ini.

#ceritahorror #bacahorror #horrorthread @bacahorror @PayungH11101101 Image
1975

BUAH buah durian berguguran sore itu. Angin kencang baru saja menerpa kebun durian milik Makrufin dan Wahid. Keduanya tertawa senang karena tak perlu susah susah menunggu buah durian jatuh sendiri.
"Lumayan Hid, banyak yang jatuh" Makrufin langsung mendekati buah2 yg jatuh.
Wahid juga tak mau kalah. Diambilnya karung goni mencari-cari buah durian yang banyak menggelinding sampai ke arah sungai. Keduanya tertawa senang menghitung banyaknya durian yang mereka kumpulkan.
Menjelang magrib, dua orang kawan lama itu baru beranjak. Mereka berlari menyusuri sawah yang menjadi batas kebun durian dan kampung.

Karung berisi durian Wahid baru saja disandarkan di dinding dapur. Wahid duduk di kursi bambu yang ada di sebelahnya.
perlahan ada suara lari dari luar rumah. Pintu dapur terbuka, ada wajah Salma, sepupu Wahid yang baru berusia 12 tahun muncul. "Mas Wahid, mas.. Mas ayo ke rumah, ibuk sakit" nafasnya terus naik turun sambil bicara

Wahid tak menunggu, dia langsung berlari keluar dapur.
Mengikuti Salma yang berlari lebih cepat darinya. Di rumah Salma, sudah ada beberapa orang berkumpul di ruang tengah. Sesosok wanita tampak tidur di tengah-tengah mereka. Wahid langsung ikut ke dalam kerumunan. Dia melihat buleknya (bibinya) Asiyah sedang tidur terlentang.
Matanya melotot menatap langit2. Bagian tubuh mulai dada sampai mata kaki tertutup kain jarik. Mirip kain2 yang digunakan untuk menutupi mayat. Perut Asiyah tampak menggembung besar, seperti orang hamil tua.
Wahid memang mendengar buleknya itu sakit sejak dua bulan lalu. Wahid yang baru pulang dari ibu kota Provinsi empat hari lalu belum sempat melihat adik dari ibunya itu.

"Kok bisa seperti ini Lek?" Wahid bertanya kepada pamanya yg ada di antara kerumunan saudara-saudaranya
Pamanya menjawab lirih Setengah berbisik. "kena sihir le". Wahid kaget, dilihatnya buleknya yg terlentang. Masih ada gerakan naik turun halus nafas didadanya. "Siapa Lek, siapa yang ngirim?" Wahid mendesak pamanya.
Sebelum pamanya menjawab, Pakde Basri, paman tertua menarik tangan Wahid ke luar rumah. "Kalau kamu tahu orangnya, apa gak kaget. Pakde sudah tanya orang yang ngerti," Pakde Basri menjawab Wahid.

"siapa pakde, aku gak terima kalau seperti ini," desak Wahid
Pakde Basri bercerita, jika setelah dua minggu Bulek Asiyah sakit, dia sempat melihat Makrufin telanjang bulat di dekat rumah Asiyah. Dia sempat menegur Makrufin, tapi yang ditegur seperti pura2 tidak kenal. Malah berjalan pergi ke pepohonan asam yg rapat.
"Pakde sudah tanya orang pintar, katanya memang Makrufin yang mengirim,"

Baru selesai Pakde Basri bercerita, suara jeritan terdengar dari dalam rumah. Wahid bergegas masuk ke dalam. "Uwes.. Uwes! Cukup (sudah sudah, cukup)" Asiyah berteriak dengan posisi tertidur.
Keluarga yg ada di dekatnya berusaha menenangkan. Tapi Asiyah semakin menjadi. Tubuhnya kejang-kejang, lalu perlahan Wahid melihat kain jarik di bawah perut Buleknya itu basah.

Air berwarna putih keruh keluar perlahan dari daerah selakangan Aisyah. mengalir seperti ditumpahkan.
"Banyu Leri (Air cucian beras)!" kata salah seorang keluarga.

Bulek Asiyah tiba-tiba kembali menjerit. Kali ini suaranya lebih kencang. tak lama tubuhnya mengejan, lalu lemas. Pakde Basri mendekati tubuh Bulek Asiyah. Dipegangnya leher dan pergelangan tangan adiknya itu
Lanjut besok. Cek ombak dulu berapa RT dan Likenya. Kl banyak bisa dipercepat. Suksma 🙏
"Innalilahi wa inailaihi rojiun" Pakde Basri menggeleng.

Bulek Asiyah meninggal malam itu, Wahid mengikuti semua proses pemakaman. Sebelum jenazah bibinya itu dikafani, Wahid sempat mengamati wajah bibinya. Rautnya tampak lega, dan sedikit tersenyum.
Jauh berbeda dengan waktu2 selagi masih sakit. Dia ingat ucapan orang2 tua, jika mereka yang meninggal karena santet wajahnya akan tampak lebih bersih setelah meninggal.
Rasa emosi sempat menjalar di kepala Wahid. Apalagi sejak proses pemakaman sampai pengajian dia tak melihat Makrufin sama sekali.Padahal, rumah Makrufin tak terlalu jauh. Dia juga kenal dengan Bulek Aisyah.
Setelah tujuh hari kematian Bulek Aisyah,Wahid mencoba mencari Makrufin. Didatangi rumah temanya itu, Wahid mengetuk pintu rumah Makrufin beberapa kali. "Mas Makruf keluar kota, sudah dua hari ini,"jawab Beti, istri Makrufin dari balik jendela.Wahid mengangguk dan langsung pergi.
Dia tetap berusaha mencari keberadaan Makrufin. Setelah dua hari berkeliling mencari, akhirnya Wahid menemukan Makrufin sedang duduk bersama tukang ojek di pangkalan. Diaturnya mimik wajahnya agar tak langsung terlihat emosi di depan Makrufin.
"Eh Hid,darimana? mulai wingi nggoleki aku ya ?"kata Makrufin langsung menyapa.
Wahid tersenyum tipis. "Iya Ruf, aku ada perlu sama sampean. Bisa kita bicara sebentar,".Makrufin menyeruput kopi yang ada di depanya, alu meludah dua kali ke arah kiri,lalu berdiri mengikuti Wahid.
Tak jauh dari pangkalan ojek ada warung bakso yang sedang tutup, Wahid mengajak Makrufin duduk di sana.

"Aku langsung saja Ruf, kamu ini teman dekatku. Sudah tak anggap keluarga, tapi kok tega nyilakani (mencelakai)" Wahid langsung mencecar Makrufin.
"Nyilakani opo? opo maksudmu Hid," Makrufin berdiri dari duduknya. "bulek Asiyah, kenek santet. Awakmu kan Ruf sing nyelakani," kali ini Wahid mulai emosi. Dia ceritakan ucapan orang pintar yang dipanggil Pakde Basri untuk melihat penyebab sakitnya Bulek Asiyah.
Termasuk ceritanya memergoki Makrufin telanjang di malam hari.

Makrufin tak kalah marah, dia berulang kali membantah jika menjadi dalang kematian Bulek Asiyah. "Awakmu percoyo pakdemu opo aku?! (kamu percaya pakdemu apa aku), Tai Asu memang Basri iku,".
Makrufin langsung pergi tanpa pamit. Dia berjalan cepat meninggalkan Wahid yang masih tampak marah di warung bakso. Dari jauh, Wahid hanya bisa melihat punggung Makrufin yang semakin menjauh
Malam hari setelah pertemuan dengan Makrufin, perasaan Wahid mulai tak enak. Dia merasa menyesal menceritakan tuduhan Pakde Basri kepada temanya itu. Tapi batin Wahid juga bingung, harus mempercayai siapa.

Selepas isya, Wahid pergi ke rumah Pakde Basri.
Saat itu belum ada listrik masuk ke perkampungan. Wahid membawa oncor (obor) sambil berjalan kaki ke rumah Pakdenya itu. Sekitar 50 meter sebelum sampai ke rumah Pakdenya, Wahid melihat ada bola cahaya berwarna merah yang terbang pelan.
Cahayanya berwarna merah menyala bukan jingga seperti api biasanya. Bola itu lalu menukik dan jatuh di dekat tempat tinggal pakde Basri. Wahid yang sadar dengan apa yang dilihatnya langsung berlari ke arah jatuhnya bola api. "Asu, lintang geni" teriak Wahid sambil terus berlari.
Dilompatinya pagar kayu yang ada di belakang rumah Pakde Basri.Sambil menerawang,samar-samar dia melihat ada sosok yang berdiri di belakang rumah Basri.Wahid meletakkan obornya di dekat pagar. Kakinya melangkah mengitari pinggiran pagar,mencoba melihat sosok itu dari arah pinggir
Wahid berjalan menjinjit dengan hati hati agar tak terdengar.Semakin dekat,Wahid bisa melihat sosok itu lebih jelas.Tubuhnya jangkung dengan kaki dan tangan yang kurus.Rambutnya panjang acak acakan. Sosok itu beberapa kali menggeram sambil meraba-raba punggung rumah Pakde Basri.
Seperti sedang mencari celah untuk masuk ke dalam rumah
"Woi, lapo awakmu! (woy ngapain kamu)" Wahid meneriaki sosok tersebut. Mahluk itu langsung menoleh ke arah Wahid. mulutnya bergumam seperti orang merapalkan mantra. Melihat wajah mahluk itu, Wahid langsung berdiri mematung.
Mata mahluk itu hitam besar melotot ke arah Wahid. Wajahnya rusak seperti kulit yang hangus terbakar. Dengan mulut lebar dan hidung yang terus mengeluarkan lendir, perlahan mahluk yang terlihat marah itu mendekati Wahid. Kakinya melangkah berat sambil terus bergumam.
Sudah hampir ciut nyali Wahid, tanganya berusaha mencari-cari sesuatu di sekitar kakinya untuk dilemparkan. Langkah mahluk itu sudah dekat, aroma tanah bercampur bunga busuk terasa di hidung Wahid.

Tiba-tiba pintu belakang rumah Pakde Basri terbuka
Wahid menoleh ke arah pintu, rupanya Pakde Basri yang keluar dengan istrinya, Rosma karena mendengar suara teriakan Wahid. Setelah menoleh ke arah Pakde Basri, Wahid kembali menoleh ke arah mahluk tersebut yang ternyata sudah menghilang.
Setelah peristiwa itu,Pakde Basri menjadi lebih berhati-hati.Dia memilih tidak tidur malam.Bahkan kadang baru tidur menjelang pagi.Basri mengira ada yang ingin mencelakainya dengan mengirim ilmu sihir atau santet. "Sopo yo le kiro-kiro sing kate nyelakani aku,"tanya Basri esoknya
Wahid hanya bisa mengira-ngira.
"Mboten ngertos (tidak tahu ) Pakde, mungkin orang yang sama,"sahut Wahid sekenanya.
Basri hanya bisa menggeleng-geleng. "Ngene iki kudu dilawan le, nek ora bakal terus(seperti ini harus dilawan nak. Kalau tidak bakal terus)".
Wahid mengangguk
*****

Adzan magrib baru saja selesai berkumandang. Wahid menyelesaikan sholatnya cepat-cepat, lalu menyaut obor berlari ke arah masjid. Malam itu, Wahid sudah janjian dengan dua orang temanya, Hasan dan Salam untuk bertemu di gudang masjid.
"Assalamualaikum Lam, San.." ucap Wahid. Di dalam ruang gudang masjid sudah ada dua orang temanya. Mereka duduk di atas tumpukan kayu sisa pembangunan masjid. Ada gorengan singkong dan tiga gelas kopi yang sudah dihidangkan di atas papan yang dijadikan meja.
"Waalaikum salam, ada kabar apa Hid. Sampai kamu minta kita datang kesini," Hasan membuka pembicaraan. Wahid langsung mengambil cangkir kopi, lalu menyeruputnya. Dia kemudian menceritakan kejadian yang menimpa Bulek Asiyah, sampai kejadian yang nyaris menimpa Pakde Basri.
Hasan dan Salam memandang Wahid dengan seksama. "Hid, aku sebenarnya sudah dengar tentang ilmu yang dipelajari, Makrufin." kata Salam menyahut sambil merapatkan tubuhnya.
"Bahkan, Emakku sampai sekarang masih buta, gara-gara Makrufin," kata Salam lagi.
Salam lalu bercerita tentang kisah yang menimpa ibunya setahun silam.

Siang itu, Ibu Salam, Wati sedang berjalan setelah pulang dari sawah. Dia berjalan agak cepat karena langit sudah mulai mendung.
Saat sampai pertigaan jalan kampung, tiba-tiba Makrufin muncul menaiki sepeda pancal dengan kencang dan hampir menabrak Wati. Untung, Wati sempat menghindar mundur lalu jatuh terduduk sehingga tak jadi tertabrak sepeda Makrufin.
"Matane picek.pancen Arek picek (matanya buta, dasar anak buta)" Umpat Wati sambil menunjuk Makrufin. Orang-orang langsung berdatangan menolong Wati sambil ikut menyumpahi Makrufin. Sebaliknya, bukanya minta maaf Makrufin malah tetap mengayuh sepedanya.
Dia pergi sambil meludah lalu menjauhi kerumunan orang-orang dan Wati yang sempat terjatuh.

Empat hari setelah kejadian itu, Salam mendengar ibunya berteriak-teriak tak lama setelah adzan subuh. Salam yang masih terlelap langsung berlari ke kamar Wati.
Di sana dia melihat ibunya menangis sambil membuka kelopak matanya dengan tanganya. Wajah Wati berusaha menoleh kekanan dan ke kiri tapi tak ada apapun yang dilihatnya. Bahkan Salam yang berdiri di depanya juga tak terlihat. Sejak pagi itu, Wati menjadi buta.
Salam tak tahu harus melakukan apa. Sempat dia membawa ibunya itu ke Puskesmas, tapi Pak mantri tidak menemukan keanehan.bahkan sempat dianggap jika Wati buta karena penyakit gula yang diidapnya. "Kata Emakku, sebelum dia buta. malamya dia bermimpi ketemu monyet besar,
Monyet itu mendatangi Emakku lalu melompat dan mencakar wajahnya. Emaku sempat melihat, wajah monyetnya mirip dengan Makrufin," cerita Salam kepada Wahid dan Hasan.

Setelah kejadian itu, Salam sempat berusaha meminta maaf kepada Makrufin.
katanya, hanya pengirim sihir atau teluh yang bisa mengobati. Tapi Makrufin tidak mau, dia menyangkal jika sudah melakukan kiriman sihir kepada Wati. "Sempat mau tak ancam dia Hid, tapi dia sepertinya tahu setiap mau tak temui sekarang mesti tidak ada di rumah," cerita Salam lagi
Wahid menggaruk kepalanya berulang kali.Dia bingung harus melakukan apa untuk menyelesaikan masalah dengan Makrufin.Malam itu tidak ada kesepakatan yang didapat.Selain cerita dari Salam dan Cerita Hasan tentang bberapa cerita warga kampung yg kabarnya juga menjadi korban Makrufin
Tiga hari setelah pertemuan di Masjid itu,Istri Pakde Basri, Rosma mendadak sakit.Awalnya hanya dikira demam biasa, tapi lambat laun semakin parah.Mantri di Puskesmas lagi-lagi tak menemukan keanehan. Hanya menebak-nebak jika Rosma kelelahan karena selalu bekerja keras di sawah.
Rosma tak mau makan. Setiap hari hanya tidur di atas dipan rumahnya. Beberapa kali dipaksa makan , selalu dimuntahkan. Wahid yang sejak kecil dekat dengan Keluarga Basri, akhirnya sering datang untuk merawat Rosma.
Malam ke 9 setelah Rosma mulai sakit, Wahid menginap di rumah Basri. Ada Seger anak pertama Basri dan Rosita anak keduanya yang ikut menjaga malam itu. Ketika semua terlelap tidur, Rosita terbangun. Ada yang menyentuh pundaknya berkali-kali.
Rosita membuka matanya dan melihat Rosma duduk di pinggir dipan sambil menyenggol-nyenggolkan kakinya yang kurus ke pundak Rosita.

"Emak Luwe Ros, tukokno tempe (emak lapar ros, belikan tempe)" kata Rosma. Rosita mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan ngantuk.
"Emak Luwe Ros, tukokno tempe (emak lapar ros, belikan tempe)" kata Rosma lagi. Rosita langsung melek. Di goyangkanya pundak kakaknya yang tidur di sebelahnya. "Mas, mas, emak njaluk mangan (kak, ibu minta makan)". Seger yang diguncang guncang Rosita tak kunjung bangun
"Mas, mas!" Rosita kembali menarik badan kakaknya, tapi sama sekali tak ada respon.
"Emak Luwe Ros" mulut Rosma kembali mengucap lemah. Rosita tak berpikir dua kali, dia langsung berdiri lalu mengambil obor di dapur. Dicarinya bahan makanan di besek dekat rak piring.
Ternyata tidak ada tempe di sana. Rosita mengacak-acak tempat lainya, dan semuanya kosong.
Jam saat itu sudah menunjukan pukul sebelas malam. Mau tidak mau Rosita akhirnya keluar rumah. Rosita beranjak mengambil uang di bawah bantal. Ada salah satu tetangga yang membuat tempe.
Rosita akan pergi ke tempat tetangganya itu, biasanya mereka mulai produksi pada malam hari, karena harus berjualan ke pasar sejak dini hari. Ketika baru berjalan keluar rumah, tak sengaja Rosita melihat ada orang yang tengah merokok di pos ronda.
Rosita lalu mendekati orang tersebut. bermaksud meminta antar ke tempat penjual tempe. Saat langkahnya sudah dekat, dia pun melihat ternyata yang duduk di pos ronda adalah Makrufin. Dia bertelanjang dada sembari menggunakan sarung. Ketika tahu Rosita datang,
Makrufin seperti terkejut. Dia langsung berdiri dan berjalan cepat meninggalkan Rosita.

Singkat cerita, Rosita kembali membawa tempe yang dibelinya dari tetangganya. Saat sampai rumah, Rosita melihat ruang tengah tiba-tiba ramai.Wahid dan Seger semuanya bangun
Mereka berdiri sambil berdiri melihat ke arah dipan.

Rosita melihat Basri sedang berdiri menggendong Rosma sambil menimang-nimangnya seperti bayi. Rosma terlihat senang sambil tertawa-tawa.Basri tak kalah senang, wajahnya terlihat semringah melihat istrinya sehat.
Malam itu, setelah puas digendong Basri, Rosma minta digorengkan tempe. Rosita ikut senang melihat ibunya akhirnya mau makan. Disuapinya ibunya berulang kali, sampai semua tempe yang digorengnya habis.
Rosma terus mengoceh semalaman. Dia tampak senang sekali. Dipeluknya semua orang yang ada di rumah itu.
"Aku arep waras kang, ojo bingung maneh (Aku mau sembuh mas, jangan bingung lagi)" Kata Rosma kepada Basri sebelum akhirnya terlelap.
Malam itu seisi rumah merasa tenang. Setelah menunggu beberapa hari akhirnya Rosma sembuh.

Esok harinya, Rosita bangun lebih cepat. Dia ingin memasakan ibunya lagi seperti tadi malam. baru beranjak dari tempat tidurnya, Rosita melihat ibunya tertidur dalam kondisi miring.
Rosita langsung menuju dapur menyalakan kompor kayu. Dicarinya sisa tempe mentah yang disimpanya. Dengan cekatan kayu bakar diaturnya agar wajan di atasnya cepat panas. Baru saja tiga iris tempe dicemplungkan ke wajan. Rosita mendengar suara keras Basri yang melengking
Dilemparnya tempe yang masih di tanganya, lalu berlari ke ruang tengah tempat Rosma tertidur. Wahid tampak berdiri menepuk pundak Seger dan Basri yang memeluk tubuh Rosma yang kurus dengan mulut menganga.
Tempe goreng yang disuapkan Rosita semalam ternyata adalah makanan terakhir Rosma. Pagi itu Rosma meninggal dunia. Rosita langsung tak sadarkan diri tak lama setelah mendengar tangisan kakaknya.
Lanjut besok. Langsung sampai akhir cerita
Hari Ke tujuh kematian Rosma, Wahid dan keluarga Basri berkumpul. Rosita yang sempat tertekan karena kematian ibunya sudah mulai tenang. Di tengah obrolan, Rosita menceritakan peristiwa yang dilihatnya sebelum kematian ibunya.
Tentang sosok Makrufin yang duduk malam hari di pos ronda yang tak jauh dari rumahnya.

Basri yang awalnya tenang, langsung kaget mendengar cerita Rosita. "Oalah, bocah kae maneh. Pateni ae wis (Oalah anak itu lagi. Dibunuh saja sudah)"umpat Basri sambil berdiri.
Wahid yang duduk disebelahnya mencoba menenangkan Basri.
"Sebentar pakde, jangan gegabah. Nanti salah salah malah ada korban lagi,"

Muka Basri sudah merah menahan emosi. Tanganya berulangkali mengacak rambutnya karena menahan kesal.
"Gini saja Pakde, kita coba tanya orang pintar sekali lagi, kalau memang Makrufin pelakunya. Biar saya yang jalan sendiri,"kata Wahid menenangkan Basri.

Malam itu juga Basri pergi ke rumah Pak Lanjar salah satu orang pintar di Desa sebelah.
Wahid meminjam motor milik kepala Desa mengantarkan Basri ke tempat orang yang dianggap tahu banyak hal tentang dunia Gaib. Jalanan desa yang belum diaspal saat itu tak menyurutkan niat Basri dan Wahid mencari jawaban peristiwa buruk yang menimpa keluarga mereka
Selama perjalanan motor yang dikendarai Wahid sempat dua kali mogok. Padahal selama ini motor itu jarang sekali rusak. Wahid sempat menuntun motor itu ketika melewati tanjakan yang cukup panjang.
"Kok mogok terus ya Hid.Gak biasane ngene iki,(kok mogok terus ya hid, tidak biasanya seperti ini)"kata Basri sambil mendorong motor."Mboten semerap Pakde, sampun di cek mesine mboten wonten masalah (tidak tahu pakde, sudah diperiksa mesinya juga tidak ada masalah,)" sahut Wahid.
Motor akhirnya bisa menyala tepat sesaat setelah lepas dari tanjakan. Keduanya langsung melanjutkan perjalanan menuju ujung desa tempat Pak Lanjar tinggal. Wahid menghentikan motornya tepat di depan pohon gayam. Tak ada jalan yang bisa dilalui kendaraan menuju rumah Pak Lanjar.
Setelah mengikat roda motor dengan rantai, Wahid dan Basri melewati tanah kebun kering. Selama berjalan, suara burung celepuk terdengar mengikuti langkah kedua orang itu. Rumah Pak Lanjar ada di tengah-tengah kebun.
Rumah dengan dinding gabungan papan kayu dan anyaman bambu. lampu minyak terlihat masih menyala di dalam rumah, tanda Pak Lanjar belum tidur.

"Assalamualaikum, Pak Lanjar... permisi," Basri mengetuk pintu papan kayu. Terdengar suara orang berdehem dua kali dari dalam rumah.
Tak lama pintu kayu terbuka. Seorang pria kurus berusia sekitar 50 tahun menggunakan peci hitam membuka pintu, tanganya melambai pelan menyuruh Wahid dan Basri masuk.

Basri tak banyak basa basi, dia langsung menceritakan semua peristiwa yang menimpa Rosma.
Termasuk anaknya yang sempat melihat Makrufin duduk malam-malam di dekat rumah. Pak Lanjar mendengarkan sambil membakar tembakau linting di tanganya. Setelah Basri bercerita, Pak Lanjar berdiri lalu pergi ke belakang rumah. Wahid dan Basri saling lirik .
15 menit kemudian, Pak Lanjar datang membawa dua gelas air putih. Wahid melirik air yang dibawa Pak Lanjar, ada tiga helai kelopak daun kamboja di dalam gelas bening itu."Ini kalian minum, nanti kalian bisa tahu siapa yang ngirim santet," kata Pak Lanjar sambil menyodorkan gelas
Basri dan Wahid langsung meminum habis dua gelas air berisi bunga kamboja itu. Tidak ada rasa yang aneh , hanya air biasa dengan aroma bunga.
Mereka bertiga lalu berbincang ringan, sampai tiba-tiba Wahid dan Basir merasakan kantuk yang luar biasa.
Tanpa bisa ditahan, mata keduanya terasa berat. Basri dan Wahid tertidur di kursi tamu Pak Lanjar. Melihat tamu-tamunya terlelap, Pak Lanjar tersenyum lalu kembali menyedot rokok linting di tanganya
*******
Wahid mendengar suara salak anjing yang cukup kencang. Dia membuka matanya dan melihat dirinya sudah ada di rumah Basri. Di dalam rumah dia melihat Rosma duduk memeluk dua kakinya. Rosma terlihat ketakutan karena suara anjing yang terus menggema di sekeliling rumah.
Wahid mencoba mencari sumber suara gonggongan anjing. Dikelilinginya rumah Basri, tapi tak ada anjing di sana.
Suara gonggongan itu terdengar semakin keras, seperti memenuhi semua halaman rumah. Wahid masuk lagi ke dalam rumah.
Di atas dipan yang biasanya ditiduri Rosma sudah ada seekor anjing besar berbulu hitam lebat berdiri di sana. Wahid berjalan pelan, sambil merogoh pipa besi dari bawah kursi tamu. Dia mendekati dipan. Anjing itu terlihat diam saja begitu Wahid mendekat.
Wahid lalu mengayunkan pipa itu sekeras mungkin ke atas kepala Anjing.
"Arrrrrrgghh" Pukulan yang diayunkan Wahid membuat anjing itu menggeram, dia lalu melompat menerjang Wahid. Anjing itu lalu berlari ke luar rumah. Wahid berusaha mengejar, dia berdiri lalu berlari sekuatnya.
Anjing itu tak berlari jauh, dia berhenti tepat di dekat pos ronda. Wahid yang kelelahan ikut berhenti melihat anjing hitam itu diam. Perlahan anjing itu berdiri, lalu merubah tubuhnya menjadi seorang laki-laki.
Cahaya lampu minyak di pos ronda memang tak terlalu terang.
Tapi Wahid bisa melihat wajah laki-laki itu menoleh ke arahnya, lalu tersenyum tipis sebelum kemudian berlari ke kegelapan.

"Makrufin!" teriak Wahid sambil terduduk.
Ternyata Wahid masih ada di kursi tamu rumah Pak Lanjar. Dengan tubuh yang basah dengan keringat, Wahid melihat Pak Lanjar dan Basri yang duduk sambil melihatnya.
"Wes ketok le? (sudah terlihat nak?)" Pak Lanjar menanyai Wahid. "Sampun Pak, Makrufin," jawab Wahid mengatur nafas
Entah apa yang dimimpikan Basri, yang jelas Basri juga memberikan nama yang sama kepada Pak Lanjar.
"Aku wes ngerti sakjane, cuma nuduh wong gak oleh sembrono (aku sudah tahu sebenarnya. Tapi untuk menuduh orang tidak bisa sembarangan)" kata Pak Lanjar menasehati.
"Bapake Makrufin wong sakti.Ilmune nurun.Biyen,Bapake Makrufin iso Pancasona.Tapi ora ngerti opo nurun opo ora neng anake(Ayahnya makrufin orang sakti.Ilmunya turun ke Makrufin.Dulu Bapaknya menguasai ilmu Pancasono.Tapi tdak tahu apa itu diturunkan juga ke anaknya "lanjut Lanjar
Setelah mendapat nasehat dari Pak Lanjar, Wahid dan Basir pamit pulang. Pikiran kedua orang itu terpecah. sambil memacu kendaraan Wahid mencari cara agar bisa menyelesaikan apa yang selama ini dilakukan Makrufin.
"Utang getih, kudu dibayar getih le. Budemu, Bulekmu urung wayae mati (hutang darah harus dibayar darah nak. Kedua bibi mu belum waktunya mati)" Basri memecah lamunan Wahid.
Motor yang dikendarai Wahid mulai melewati turunan batas kampung.
Baru 50 meter berjalan, tiba-tiba muncul sesuatu dari semak-semak.Dan langsung lewat di depan motor. Wahid yang tak siap mengerem mendadak dan membanting stir. Kendaraanya terjungkal ke bawah karena posisi jalan masih menurun.Wahid sempat melirik sesuatu yang dikiranya hewan itu.
Dalam posisi telentang,Wahid melihat mahluk itu mirip babi hutan, tapi kakinya panjang seperti manusia.Wajahnya tak tampak jelas dan langsung hilang ke sisi semak-semak lainya.Wahid berdiri mencari Basri yg jatuh tak jauh dari motor.Basri terlihat memegangi pergelangan tanganya.
Remang-remang, Wahid meraba tangan Pakdenya itu.
Ternyata tulang pergelangan tangan Basri patah.Dengan susah payah Wahid mengangkat motor dan mengajak Basri naik lalu kembali ke kampung. "Jelas iku duduk kewan biasa le (jelas itu bukan hewan biasa le)" kata Basri
****
Rencana Wahid untuk bisa memberi pelajaran Makrufin mulai dipikirkan dengan cara matang. Basri jelas tidak bisa dilibatkan karena kondisi tanganya. Sore harinya, Wahid sempat bertemu Makrufin di warung nasi tak jauh dari kebun durian mereka.
Anehnya, Wahid seperti kehilangan emosi. Dia justru bercanda dengan Makrufin."Sudah banyak panenanmu Hid," Makrufin membuka tas pinggangnya di depan Wahid.
"Gak terlalu banyak Ruf, aku sibuk ngurusi Pakde Basri. Jadi banyak durian yang jatuh gak kepanen,"sahut Wahid.
Makrufin hanya tersenyum lalu menunjukan puluhan lembaran uang 10 ribu dari tas nya. "Padahal harga durian lagi bagus Hid,"
Wahid menoleh sebentar, lalu melanjutkan sendokan nasi ke mulutnya. Setelah pulang, Wahid baru teringat apa yang baru dilakukanya bersama Makrufin.
Emosi yang dari tadi seolah tidur mendadak muncul lagi. Wahid akhirnya membulatkan niatnya.

Selepas magrib, Wahid kembali mengajak Salam dan Hasan bertemu di gudang masjid. Wahid tak banyak basa basi setelah bertemu dengan dua temanya itu.
"San, Lam. iki keputusanku wis pas. Aku tak mateni Makrufin. wes gak iso dijar-jarno (Keputusanku sudah bulat. Aku akan membunuh Makrufin. Sudah tidak bisa dibiarkan)"
Mendengar ucapan Wahid, Salam menarik nafas panjang. Dia mengisyaratkan setuju dengan Wahid.
Sebaliknya, Hasan malah terlihat gelisah begitu mendengar rencana Wahid. Berkali kali dia menggigit bibir. "Awakmu gak wani melu San? (kamu gak berani ikut San)" cecar Wahid.

Hasan menggeleng, dia menarik nafas berulang-ulang. Lalu berdiri menutup pintu dan jendela gudang.
Hasan mendekati Wahid, dipengangnya pundah kawanya itu. "Makrufin duduk wong sembarangan San, arek iku sakti tenan (Makrufin bukan orang sembarangan. Dia benar-benar sakti )
***
Hasan memulai ceritanya. Ternyata bukan hanya Wahid dan Salam yang mempunyai masalah dengan Makrufin. Hasan, tepatnya adik hasan Marwiyah yang masih perawan lah yang sempat berurusan dengan Makrufin.
Kejadianya bermula saat perayaan 17 Agustus di Balai Desa sekitar dua tahun lalu. Pihak desa menggelar lomba menari duet. Makrufin ikut dalam lomba itu. Bersama beberapa pemuda dan pemudi lainya, mereka berkumpul di lapangan samping balai desa.
Peserta yang belum mendapat pasangan, mencari pasangan di sana. Jelang pukul 7 malam, semua orang sudah mendapatkan pasangan. Tinggal Makrufin dan Azis yang belum mendapat pasangan penari perempuan. Marwiyah waktu itu kebetulan datang terlambat.
Dia pun harus memilih antara Azis dan Makrufin. Marwiyah selama ini mendengar banyak cerita tentang siapa Makrufin. Akhirnya Marwiyah memilih Azis daripada Makrufin untuk tampil menari di Balai Desa. Pilihan itu rupanya menjadi petaka bagi Marwiyah.
Malam setelah menari di Balai Desa, Marwiyah meminta antar teman-temanya untuk buang air ke Sungai. Saat itu tak banyak orang yang punya WC di rumahnya.
Marwiyah diantar teman-temanya yang ikut lomba menari ke salah satu sungai kecil yang tidak jauh dari rumahnya.
Saat itu bulan purnama bersinar terang. Teman-temanya menunggu di pinggiran sungai sambil bercengkrama. Sedang Marwiyah sendirian di tengah sungai yang agak dangkal. usai menyelesaikan hajatnya Marwiyah beranjak keluar dari sungai
baru berjalan selangkah dia terkejut melihat seseorang yang ternyata berjongkok di belakangnya.
"Yat.. Yati" marwiyah memanggil sosok itu. Cahaya bulan kebetulan tertutup bayangan pohon kapuk tepat di tempat orang itu berjongkok. Karena tak menjawab, Marwiyah memanggilnya lagi.
Sosok itu terlihat berjongkok dengan rambut panjang terurai menutupi sebagian wajahnya. Yang Marwiyah ingat, hanya Yati yang memiliki rambut sepanjang itu.
Penasaran, Marwiyah akhirnya mendekati orang itu.
"Yat, kok meneng. Mulai kapan melu neng kene (Yat kok diam. Sejak kapan ikut di sini)". sosok itu menggeram ketika Marwiyah mendekatinya.
"E, Marwiyah. Kok suwe,ayo balik," tiba-tiba ada orang berteriak dari pinggiran sungai. Ternyata Yati berdiri di sana dengan beberapa temanya
Melihat Yati berdiri di sana, Marwiyah pun kaget. Spontan dia menoleh ke belakang.Di depanya sudah berdiri sesosok tubuh kurus dengan tinggi 3 meter.Jari-jarinya yang kurus panjang berusaha memegang pundak Marwiyah. Seketika Marwiyah menjerit keras lalu pingsan di tengah Sungai.
kejadian yang menimpa Marwiyah itu akhirnya membuatnya sakit-sakitan. Malam hari setelah kejadian itu Marwiyah berulang kali menjerit ketakutan. Bapak Hasan, saat itu sebenarnya merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan anak perempuanya. Marwiyah sempat dibawa ke orang pintar
Tapi keadaanya tidak kunjung membaik. Sampai ada salah satu orang pintar yang sepertinya tahu cara menangani Marwiyah.
Tapi dia meminta agar adik perempuan Hasan itu tidak kembali ke kampung. Untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan.
Karena jika orang yang mengiriminya santet tahu kondisi Marwiyah membaik, bisa jadi akan ada kiriman lagi yang lebih buruk.Sekarang, Marwiyah sering tirah berpindah-pindah dari rumah satu saudara ke saudara lainya. Hasan awalnya bingung petaka apa yang menimpa adiknya.
Namun, suatu malam saat menemani adiknya menginap di rumah paman dari ibunya, ada sebuah kejadian yang membuat hasan yakin jika Makrufin lah dalang kejadian buruk yang menimpa adiknya.
Ketika sedang duduk bersama pamanya di depan rumah, Hasan mendengar suara dipan kayu di dalam rumah seperti diinjak-injak banyak orang. Hasan lalu masuk bersama pamanya.
Bibi hasan dan Anaknya ternyata sudah berdiri mematung di depan kamar.
Di dalam Marwiyah tengah menari asik. Seolah ada lawanya menari, badanya begoyang kekanan dan ke kiri membuat suara dipan kayu bergesekan ramai . Hasan berusaha menarik Marwiyah dibantu pamanya. Tapi Mawiyah malah menangis histeris.
"Aku pengen Njoged karo mas Makruf... ojo dipisah (aku ingin menari dengan Mas Makruf, jangan dipisah)" Hasan hanya bisa meneteskan air matanya melihat adiknya yang terus menangis seperti orang terkena gangguan jiwa.
Setelah adiknya tenang dan bisa tertidur, malam itu juga Hasan mencari Makrufin. Diasahnya parang dan linggis yang sudah disiapkan dari rumah. Hasan hafal jika Makrufin selalu menyambangi pohon durianya di malam hari.
Hasan mengendap-endap bersembunyi di lebatnya pepohonan pisang tak jauh dari kebun Makrufin. Emosi yang sudah memuncak membuat Hasan tak berpikir panjang. Tak lama, Makrufin lewat di depanya dengan menggunakan obor. Hasan langsung keluar dari persembunyianya
Didorongnya tubuh Makrufin sampai jatuh ke selokan kering. Begitu tubuh Makrufin jatuh, linggis di tangan kanan Hasan langsung dihujamkan ke bawah. Mengenai kepala Makrufin, tak hanya sekali tapi berulang kali. "Tolong.. tolong.. Ya Allah" Makrufin sempat melolong .
Tapi Hasan terlanjur kalap.Kali ini parang di tangan kananya yang disabetkanya berulang kali ke arah kepala Makrufin.Hasan terus memukulkan dua senjata yg dibawanya sampai tidak terdengar suara sama sekali Parang dan Linggis sudah berlumuran darah,diamatinya tubuh lemas Makrufin
Hasan yakin Makrufin sudah menjemput ajalnya. Dilompatinya selokan kering didepanya, lalu berlari mejauh pulang ke rumahnya menembus pekatnya malam . Dibasuhnya dua barang yang digunakanya membunuh Makrufin di pancoran air yang sepi.
Hasan lalu pulang ke rumahnya dan tidur dengan perasaan takut bercampur lega

Esoknya, Hasan bersiap pergi ke sawah. Sebelum berangkat dia mampir ke warung untuk membeli rokok kretek. Hasan masih membawa parang yang sempat digunakanya menyerang Makrufin tadi malam.
"San, koyone budingmu geblek. Diasah maneh ben gak karaten (San sepertinya parangmu tumpul. Diasah lagi supaya tidak karatan,". Hasan menoleh ke belakang mencari sumber suara yang mengajaknya bicara. Bulu kuduk Hasan langsung berdiri,
dia melihat Makrufin berdiri sambil menyampirkan sarung di lehernya.Makrufin lalu tersenyum dan pergi meninggalkan hasan. Sebaliknya, sendi-sendi di kaki hasan terasa ngilu. Keringat dingin mulai muncul di kepalanya. Dia yakin jika semalam Makrufin sudah dibunuhnya.
lanjut apa ditunda dulu ini? 100 Like ya
*******
"Aku sampe gemeter Hid, gak wani tenan aku karo Makrufin. Sakti arek iku (Aku sampai gemetar Hid, tidak berani benar aku sama Makrufin. Sakti anak itu)" Hasan memelas menjelaskan kepada Wahid yang masih berambisi membunuh Makrufin.
Wahid yang mendengar cerita Hasan kini ikut merasakan ketakutan sekaligus kemarahan tertahan di dadanya.

"Dok.. Dok." "Assalamulaikum..." Sebuah suara ketukan muncul dari pintu gudang Masjid. Wahid dan Hasan langsung terdiam mendengar suara itu.
Salam yang duduk di dekat pintu langsung berdiri membuka engsel. "Oh, Seger, Mlebuo. Tak kiro sopo," Salam menyuruh Seger masuk, lalu melirik ke luar pintu dan menutupnya lagi.
Nafas seger terdengar naik turun begitu masuk ke dalam Gudang.
Salam menyodorkan gelas berisi teh kepada Seger, yang langsung tandas diminum. "Hid, aku entuk pesen teko bapak. Mau Pak Lanjar neng omah, ngekekno iki. Jare lek awakmu tenan kate mateni Makrufin, kudu nganggo iki
(Hid aku dapat pesan dari bapak. Tadi Pak Lanjar ke rumah. memberikan ini. Katanya kalau kamu benar mau membunuh Makrufin, harus menggunakan ini)"

Seger menyerahkan sesuatu yang dibungkus kain bekas goni beras ke Wahid. Bungkus itu langsung dibuka Wahid.
Isinya ternyata sebuah tali tampar berukuran besar dan cukup panjang. Wahid mengamati tali itu dengan seksama. Ada bekas daun-daun kelor yang menempel di serat-seratnya. Ada tulisan rajah di beberapa sisi tali. Seger lalu mendekati Wahid, membisikan pesan.
*******
Malam kedua setelah pertemuan di gudang masjid, ada rapat pembagian bibit di Balai Desa.Semua warga hadir dalam rapat, termasuk Hasan,Salam, Wahid, Seger dan Makrufin.Rapat berlangsung sampai sekitar jam 11 malam.Setelah rapat semua warga yang datang satu persatu pulang.
Wahid memilih pulang bersama Makrufin.Dia menumpang obor Makrufin, karena tadi dia berangkat bersama Seger yang sudah pulang lebih awal.
"Ruf, ayo lihat kebun durian.. Siapa tahu ada yang jatuh lagi. Kan tadi sore ada angin kencang," kata Wahid setelah keluar dari Balai Desa.
"Wah iya Hid, Ayo lah. Tinggal dua minggu terakhir ini panennya. Kamu sudah butuh uang ya,"Sahut Makrufin sambil tertawa. Wahid mengangguk sambil tersenyum.
Keduanya berjalan beriringan melewati jalanan sempit menuju kebun. Sambil terus berbincang selama di perjalanan
Mereka lalu melompati selokan kering yang menjadi pembatas kebun dan area kampung.

baru dua langkah Makrufin dan Wahid berjalan, tiba-tiba ada beberapa orang yang muncul menyergap Makrufin. tubuhnya langsung dirobohkan ke tanah. Wahid langsung merebut obor dari tangan Makrufin
Orang-orang itu langsung mengikat kedua pergelangan kaki dan tangan makrufin.

"Ono opo iki..ono opo.. hahahhahaa,,, hahahahha (ada apa ini, ada apa hahahah)" makrufin berteriak, lalu tertawa setelah tangan dan kakinya diikat. Wahid tak tinggal diam,
diambilnya kantung kain yang dari awal disiapkan di balik sarungnya. Kain itu langsung diserungkupkan ke kepala Makrufin.

"Sampean opo aku Hid,"Seger mendekati Wahid sambil mengulurkan sebuah pisau. Wahid berpikir sebentar, lalu mengambil pisau itu.
Pisau yang dibawa seger bukan pisau besi seperti biasanya, tapi pisau yang terbuat dari bambu dengan bagian pinggir yang tajam. Wahid langsung medekati kepala Makrufin dan menggorok lehernya. Beberapa kali sayatan, Leher Makrufin terluka tapi begitu ditarik, luka itu menutup lagi
Makrufin tertawa kencang.Membuat suasana malam di tengah kebun itu terasa mencekam. Wahid berulang kali mencoba, hasilnya tetap sama. "Hihi..hihi... ternyata sek dendam awakmu kabeh (ternyata masih dendam kalian semua)"suara Makrufin kembali terdengar dari balik kain dikepalanya
Tawa makrufin membuat nyali Hasan dan Salam menciut. "Angkaten awake, ojo kenek lemah (Angkat badanya, Jangan kena tanah)"Seger berteriak pelan. Wahid dan Salam lalu menarik tali tampar yang mengikat tangan dan kaki Makrufin masing-masing ke pundak mereka.
Kini posisi tubuh Makrufin terangkat dari tanah. Dibalik kain, Makrufin masih tertawa-tawa kencang. Wahid kembali menggorokan pisaunya, kali ini pisau itu bisa mengiris leher Makrufin. Suara tawa Makrufin masih terdengar sayup sayup disertai suara ngorok pelan.
Wahid menuntaskan urusanya dengan cepat, pisau bambu itu akhirnya memutus kepala Makrufin.

begitu putus, Salam dan Hasan langsung berlari sambil menggotong tubuh Makrufin yang sudah tak berkepala. Mereka berlari menyurusi dua sungai.
Mereka menuju ke sebuah liang lahat yang sudah mereka siapkan di ujung kebun milik Salam sejak sehari sebelumnya. Sambil terus berlari, tak kurang kurang godaan mengganggu langkah keduanya. Langkah mereka yang seharusnya hanya terdengan empat tapak kaki terdengar ramai.
Hasan menoleh ke belakang,ada dua mahluk jangkung yang ikut berlari dengan posisi terbalik seperti kepiting. Mereka berlari tepat di belakang Hasan."Lam, mburiku lam (lam dibelakangku lam)"Hasan begidik
"Wes ojo didelok,terus mlayu(sudah jangan dilihat terus berlari)" sahut Salam
Liang lahat yang disiapkan Salam sudah tampak menganga di ujung kebun. Salam kembali menguatkan ikatan di kaki dan tangan tubuh Makrufin. Liang lahat yang disiapkan sudah ditutupi papan-papan kayu. Salam langsung melempar tubuh Makrufin lalu menutupnya dengan papan kayu.
Di sisi lain kebun, Wahid yang berhasil memutus kepala Makrufin langsung membungkus kepala itu dengan kain. Dia lalu berlari ke arah berlawanan dengan arah tubuh Makrufin yang dibawa Salam dan Hasan. Seger lalu memanjat sebuah pohon Sukun yang cukup tinggi.
Sesampainya di atas, Seger mengulurkan tali tampar kepada Wahid yang ada di bawah pohon. Kepala Makrufin yang sudah terbungkus kain diikat dengan tali, kemudian dikerek Seger ke atas pohon. Seger mencari posisi ujung pohon yang tidak mungkin dijamah orang.
Suara tawa Makrufin sempat menggema sebelum akhirnya hilang disertai angin kencang yang menggoyang pohon Sukun. Setelah memastikan kepala itu ditali dengan benar, Seger lalu turun menemui Wahid di bawah pohon.
Sambil membakar rokok,mereka menunggu Hasan dan Salam.Tak lama,kedua orang yang ditunggu datang. Mereka langsung mencopot baju mereka yg sempat berlumuran darah.Lalu membakar pakaian mereka dan mengubur sisanya.Keempat orang itu saling menoleh kemudian kembali ke rumah masing2
Empat hari setelah kejadian itu, Wahid sempat diinterogasi petugas kepolisian. Karena keluarga Makrufin melapor jika sempat melihat Wahid pulang bersama Makrufin sebelum hilang.
Tapi semua orang kampung yang ketika itu ikut rapat di balai desa yang ikut menjadi saksi semuanya kompak mengatakan jika Makrufin pulang sendiri setelah dari balai desa, petugas pun menghentikan pencarian Makrufin.
Setelah tuju hari, Seger dan Wahid diam-diam mengambil kepala Makrufin yang masih tergantung di atas pohon Sukun. Tanpa membuka ikatan, mereka membawa kepala itu lalu menguburnya tak jauh dari Kebun durian Makrufin.
Wahid sempat cukup lama merenung setelah peristiwa itu. Dia kerap mendatangi rumah tokoh-tokoh seperti kyai dan ustad sambil menceritakan apa yang sudah dilakukanya kepada Makrufin.
Hampir semuanya mengatakan jika Wahid tetap berdosa besar karena menghilangkan nyawa manusia, apapun alasanya. Sampai suatu hari, Wahid mendatangi salah satu kediaman ulama kharismatik yang tinggal di salah satu Pulau. Wahid diterima dengan baik saat berkunjung ke sana.
Di sana, ulama tersebut mendengarkan semua detil cerita Wahid. Selepasnya, Ulama tersebut meminta agar Wahid bertaubat dari semua dosa-dosanya dan berharap Allah mengampuni semua dosanya.
Setelah pertemuan itu Wahid kembali ke kehidupanya semula. Serangan santet kepada warga kampung juga mulai hilang, meski ternyata sudah ada satu dua orang yang menjadi murid Makrufin.



Selesai.
Oke. selesai ya, terima kasih untuk yang sabar menunggu. Kita lanjut di cerita lain. Saya kumpulkan dulu cerita yang lengkap dari para pemilik pengalaman hidup.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Fredatore

Fredatore Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @fredyraskin

Sep 12, 2021
BISIKAN
- sepenggal cerita kelam sebuah keluarga

@HorrorTweetID
@horrornesia @ceritaht @IDN_Horor
@bacahorror
@Penikmathorror
#Horrortruestory
#bagihorror #Horrorthread #bacahorror #ceritahorror #Penikmathorror Image
2002

SUARA resleting tas dan langkah kaki anak-anak Mira bersahutan siang itu. Mereka harus segera bergegas meninggalkan rumah kontrakan yang sudah empat tahun mereka tempati. Uang yg dimiliki Mira tinggal bertahan untuk seminggu.
Salsa, anak pertama Mira hanya bisa secepat mungkin membantu adik2nya mempersiapkan diri. Siang itu juga mereka harus berpindah. Waktu kontrak rumah sudah habis tiga hari lalu. "Ayo.. Ayo cepat, ini angkot terakhir," kata Mira meneriaki Dela anak keduanya dan dua adiknya
Read 70 tweets
May 10, 2021
Dia Yang Tetap Bersekolah
- sebuah pengalaman horor

@bacahorror @ceritaht @IDN_Horor
#bacahorror #ceritahoror Image
Halo...
Setelah sebulan penuh libur akhirnya ada cerita lagi yg masuk. Sementara cerita pendek2 dulu. Yg panjang masih disimpan kalau sudah sempat. Seperti biasa akan coba ditulis secepat mungkin.
2001

ADA satu orang anak di kelasku yg kala itu terlihat paling aneh. Dia yg mau aku ceritakan. Alif namanya. Anak pendiam yg suka duduk di pojok ruang kelas. Oh iya, namaku Tika. Waktu itu aku baru duduk di bangku kelas 1 SMP. Saat aku mengenal Alif
Read 51 tweets
Apr 13, 2021
Satu lagi kisah horor dari salah satu narasumber. Kali ini saya tidak janji selesai sehari, tapi diupayakan secepatnya. Bagi yg paham lokasi atau orang yg terlibat dalam thread yg saya tulis, saya harap bisa menyimpannya secara pribadi 🙏
2011.

SIANG itu suasana pabrik serasa lebih cerah dari biasanya. Setidaknya itu yg dirasakan Tatang. Bujangan yg sudah bekerja selama tiga tahun di salah satu pabrik yg ada di pesisir Jawa Tengah. Bukan karena gajinya yg naik, tapi siang itu ada banyak buruh perempuan baru.
Read 93 tweets
Apr 4, 2021
Sisa Jembatan Gantung
- sebuah pengalaman horor

@bacahorror @ceritaht @IDN_Horor @cerita_setann
#bacahorror #ceritahoror #ceritasetan Image
SELASA siang itu hari terakhir cuti kerja Karno. Besok dia harus kembali bekerja sebagai buruh di salah satu kota industri di Jawa Barat. Karno memilih menghabiskan hari terkahir cutinya mengunjungi tempat wisata andalan di kota kampung halamanya.
Beberapa hari sebelumnya, tempat wisata yg dikunjungi Karno mendapat musibah. Sebuah jembatan gantung putus saat ada belasan wisatawan yg berdiri di atasnya. Akibatnya beberapa orang tewas menjadi korban. Ada rumor yg mengatakan jika mereka tumbal dari tempat wisata itu
Read 26 tweets
Mar 26, 2021
Lemah Kubur
- sebuah pengalaman horor

@bacahorror @ceritaht @IDN_Horor
#bacahorror #ceritahoror Image
Satu lagi cerita pendek pengalaman horor salah satu teman. Seperti biasa kalau bisa ditulis cepat, langsung diselesaikan.
1997

EKONOMI keluarga Dewi berkembang pesat tahun itu. Maklum, bapaknya Pak Dullah kala itu menjadi kepala desa di wilayah yg terbilang subur. Meskipun belum digaji seperti sekarang, tapi pendapatan Pak Dullah bisa dibilang lebih dari cukup
Read 48 tweets
Mar 22, 2021
Kapok
- sebuah pengalaman horor

@bacahorror @ceritaht @IDN_Horor
#bacahorror #ceritahoror Image
Cerita ini sudah lama terjadi. Sebuah pengalaman pendek salah satu teman yang kebetulan mampir ke rumah. Oke langsung ya
2004

para pemilik pohon berbuah di sebuah dusun kecil di Jawa Timur ramai kala itu. Penyebabnya, banyak pohon2 mereka yg seharusnya siap panen justru kehilangan buah2anya. Tak banyak sebenarnya. Hanya satu dua karung. Tapi untuk ukuran orang dusun, jumlah sebanyak itu lumayan.
Read 50 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(