Mari Belajar Tahap Pengembangan Vaksin: Kenapa vaksin Covid-19 bisa cepat? Kenapa ada dokter menolak vaksin? Ternyata tak paham beda pre-clinical trial & clinical trial
- Utas
Karena ada beberapa pertanyaan seputar alasan vaksin negara lain bs cepat, saya angkat lg tulisan ini
Agar tidak gagal paham tentang tahapan penelitian vaksin.
Mungkin banyak yg heran kenapa vaksin yg biasa dibilang butuh pengembangan 10-15 tahun bisa dikebut dalam setahunan? Apa karena konspirasi elit global buat jualan vaksin?
1. Adanya teknologi genomik (sequencing) untuk melihat material genetik virus yg bisa mentarget cepat untuk menemukan mekanisme terbaik mengidentifikasi antigen
Teknologi genomik itu baru berkembang pesat setelah pemetaan genom manusia di tahun 2003 (Human Genome Project, HGP).
Sedang vaksin yang beredar (misal polio, dll) ditemukan sebelum era genomik lebih dari 20 tahun lalu, makanya butuh 10 sampai 15 tahun.
Kalau dilihat dari gambar, fase terlama vaksin itu justru pada pre-clinical trial ke fase-1 (bisa sampai 10 tahun).
Jika dalam fase ini sudah ada teknologi genomik, waktu 10 tahunan bisa diringkas dalam hitungan bulan untuk mengidentifikasi & memproduksi antigen.
2. Pandemi global yg meluluh lantakkan ekonomi & faskes, membuat lebih banyak lembaga berlomba2 meneliti vaksin.
3. Kemajuan teknologi genomik memungkinkan banyak mekanisme vaksin, termasuk menggunakan fragmen virus (bukan virus utuh) berupa protein, mRNA, atau rekayasa genetik dari virus lain yg non infeksius.
Berbeda dengan vaksin jaman dahulu yg menggunakan seluruh virus, baik itu inaktif maupun yg dilemahkan, masa itu belum ada jenis vaksin menggunakan fragmennya saja.
Ditambah lagi adanya riset virus corona lain yg telah dikerjakan bertahun-tahun (SARS, MERS). Jadi bukan karena konspirasi elit global untuk jualan vaksin ya.
Nah tahapan vaksin ini bisa diringkas:
I. Identifikasi & produksi antigen (di mana genomik berperan mempercepat proses).
II. Pre-clinical trial yg bisa dibagi menjadi 2 tahap: 1. Menguji antigen ini di cawan petri di lab (biasa disebut uji in-vitro) 2. Menguji di hewan (in-vivo)
III. Clinical trial atau uji klinis (uji pada manusia) yg bisa dibagi menjadi 3 tahap + tahap ke 4 monitoring:
Fase 1: uji pada 20- 100 orang (jika berhasil lanjut fase 2, jika gagal ya berhenti di fase ini & tidak akan di lepas di pasaran)
Fase 2: uji pada > 100 orang (jika berhasil lanjut fase 3)
Fase 3: uji pada > 1000 orang
Baru setelah itu diregistrasikan, siap di lepas di pasaran, & dimonitor di fase 4.
Jadi jelas ya FASE 1,2,3 INI UJI PADA MANUSIA.
Kalau sudah berada di fase 3, artinya vaksin ini bisa dipastikan mendekati aman karena sudah teruji di kelompok manusia di fase 1 & 2.
Biasanya uji fase 1 ini partisipannya dibayar mahal karena kelompok manusia yg pertama kali mencoba vaksin setelah terbukti efektif di hewan.
Sedang kelompok partisipan di fase 3 biasanya sukarelawan tidak dibayar (karena risikonya sangat kecil).
***
Ada yg heran kenapa seorang dokter spesialis (dr. ABS) menolak vaksin Covid-19? Bahkan menyatakan Covid-19 tidak bahaya?
Pernah juga bilang pakai APD cuma demi biar gak dinyinyirin sejawat, juga menyarankan dokter seharusnya tidak usah pakai sarung tangan (handscoon) karena jangan2 gak pernah ganti katanya.
Saya dapat screenshot di bawah ini.
Ceritanya saya pernah berkomentar jika uji klinis vaksin di Inggris itu biasa dibayar 40 juta. Bahkan sering tawaran ini di emailkan broadcast ke email kampus, di pasang di dalam kereta, dll.
Lalu ceritanya ada fans dr. ABS bernama Simon David Monty (SDM) mengecap saya penipu dengan ngasih link uji fase-3 clinical trial di Inggris yang menjaring partisipan gratis.
Lalu mbak Susan menjelaskan ke Simon kalau uji klinis ada beberapa tahap, uji fase 1,2,3,4.
Yg saya maksud dibayar mahal itu biasanya tahap awal (uji fase 1 clinical trial). Mb Susan memberikan link dibayar £3500 (sekitar 65 jt rupiah) di London dgn memberi link ini:
Biasanya untuk vaksin flu 40 jutaan, tapi karena Covid-19 lagi jadi pandemi gak heran partisipan dibayar sampai 65 juta.
Sayangnya SDM terus berkelit kalau Uji klinis pada manusia itu hanya ada di uji fase 3, sedang uji fase 1 itu uji level sel di lab dan uji fase 2 di hewan.
INI SALAH KAPRAH.
Uji pada sel & hewan TIDAK PERNAH disebut sbg uji fase 1 & 2 krn bisa misleading dgn uji klinis fase 1,2 (pd manusia), pun uji fase 3 itu tidak dikerjakan berkali2 seperti kata SDM, sekali uji saja lama karena jumlah partisipannya besar. Kalau mau dimonitor ya di uji fase 4.
Orang yg mengerti medis sedikit saja pasti langsung menilai SDM ini sama sekali tidak paham medis, sedang dia memang tidak punya latar belakang medis.
Sayangnya dr. ABS justru sering menjadikan Simon ini rujukan.
Saya pernah mengajak diskusi langsung dr. ABS, baik di wall pribadi beliau (berakhir saya diusir ketika meminta rujukan jurnal ilmiah, alasannya lagi menyusui jadi gak bisa nyari jurnal), kedua di wall orang lain.
Yg kedua ini, dr. ABS diminta jurnal ilmiah malah memberikan saya link referensi tulisan facebook SDM. Saya kira awalnya SDM ini peneliti karena dr. ABS jadikan rujukan, ternyata bukan.
Bahkan endingnya dr. ABS mention SDM untuk mendebat saya (bukan diskusi ya, karena sudah pasti isinya cuma debat kusir gak ilmiah). Sedang dr. ABS nya sendiri menghilang.
Nah kembali ke uji klinis ini saya jadi sedih.
Apa seorang dokter tidak pernah belajar level EBM? Sampai2 bahasan paling dasar beda uji pre-klinis pada cawan petri di lab (in-vitro), pada hewan ( in-vivo), & uji klinis (pada manusia) fase 1,2,3 saja tidak paham?
Tidak pernah ada uji lab/hewan disebut uji fase 1 & 2. Kalau disebut fase 1 dan 2 pengembangan vaksin ya sudah pasti uji klinis manusia.
dr. ABS melihat salah kaprah di level paling basic sj, bukannya diluruskan, malah mau dicopas disebarkan di wallnya? Dokter spesialis manusia kok merujuk vaksin ke org awam? Pun ke dokter hewan ttg istilah OTG (manusia) adalah 'vektor' bkn carrier, yg menurutnya tidak menularkan?
Selesai tulisan lama.
Tambahan (1):
Baca juga wawancara dgn para peneliti utama AZ yg jelaskan cara mereka mempercepat riset vaksin
1. Mereka sebelumnya sdg mengembangkan vaksin utk penyakit2 lain, di antaranya Ebola & MERS, juga mempersiapkan utk "Disease X", penyakit yg belum diketahui, dgn memakai platform yg bisa cepat dipakai.
Platform utk Dis X itu lah yg jadi dasar vaksin AZ
2. Gerak cepat. Tim dapat sekuens DNA Covid pada Jan 2020 dan dengan itu, segera memulai pengembangan vaksin dengan cepat
3. "We were taking financial risks, we were never taking safety risks."
Pada kondisi normal, tim menunggu smp data benar2 lengkap & memuaskan utk lanjut ke tahap selanjutnya. Pada riset vaksin Covid-19, tim segera memulai langkah selanjutnya begitu ada kesempatan yg mungkin
Kalau data lengkap utk langkah sebelumnya keluar & ternyata hasilnya tidak memuaskan, tim hanya perlu kembali sejenak & memperbaiki satu dua hal. Ini juga dimungkinkan oleh poin 1 & teknologi terbaru
4. Bekerja extra-time. Bisa sampai 12-14 jam per hari dan di akhir pekan
Bisa baca lebih lanjut tentang percepatan riset vaksin AZ di sini.
Yang jelas vaksin AZ tetap melewati semua tahap (fase 1 - 3) yg saya sebutkan di atas
Kalau benar Pak Mahfud ngomong kayak gini, duh, kok masih banyak aja ya pemikiran kayak gini? Merata pula dari masyarakat, pejabat daerah, bahkan sampai menteri
Belajar dari Sejarah: Pandemi itu Real, Bukan Konspirasi & Vaksinasi Berhasil Mengatasinya
____
Ini postingan lama yg saya upload lagi, berhubung maraknya berita konspirasi seolah pandemi ini tidak real & banyak yang menolak program vaksinasi, termasuk tokoh masy berpengaruh
Seperti seorang tokoh agama yg baru2 ini nyatakan bahwa Indonesia akan dibantai tidak lewat perang tapi lewat vaksin
Lebih sedih lagi ketika sesetokoh seperti mantan Menkes, Bu SFS berdialog dengan Bu TT, menyatakan tidak ada vaksinasi yg berhasil sepanjang sejarah...
...dan vaksin tidak diperlukan di masa sekarang selama virusnya masih mutasi. Katanya pandemi di masa lalu terhenti karena virusnya berhenti bermutasi baru vaksin bisa berhasil.
Ivermectin, antara Obat yg Belum Terbukti dan Mencari Keuntungan di Tengah Pandemi
_____
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkap jejaring bisnis dan politik PT Harsen Laboratories, perusahaan yang memproduksi ivermectin.
Penemuan penting dari penelusuran ini yakni kaitan antara PT Harsen Laboratories dengan politikus PDI Perjuangan (Ribka Tjiptaning) & Kepala Staf Kepresidenan (Moeldoko).
Gambarannya adalah ada sebuah perusahaan mencoba mencari keuntungan dengan menjalin relasi dengan berbagai pihak, di antaranya adalah politisi & pejabat publik.