Qidam artinya terdahulu; adanya (wujud) Allah tidak ada permulaannya, atau tidak didahului oleh tidak ada. Ini jelas berbeda dengan adanya makhluk. Adanya semua makhluk ada awalnya atau didahului oleh tidak ada.
Argumentasi sifat Qidam adalah sebagai berikut: jika adanya Allah tidak terdahulu, berarti Allah baru (ada awalnya). Tidak ada sifat di antara terdahulu dan baru. Segala sesuatu, jika tidak terdahulu, maka ia baru.
Jika Allah bersifat baru, maka Allah membutuhkan pihak lain yang membuatnya.
Pembuatnya tentu membutuhkan pihak lain lagi yang membuatya. Dan begitu seterusnya. Inilah yang disebut dengan istilah rangakain atau hirarki yang tidak berkesudahan (at-tasalsul).
Jika yang membuat Allah dibuat oleh Allah, maka terjadi ketergantungan antara Allah dan pembuatnya. Inilah yang disebut dengan istilah putaran atau rotasi (ad-daur).
Baik hirarki yang tidak berkesudahan (at-tasalsul) atau rotasi (ad-daur) adalah mustahil bagi Allah. Dengan demikian, Allah bersifat baru (huduts) adalah mustahil. Sifat terdahulu (qidam) lawannya adalah sifat baru (huduts). Maka, Allah bersifat terdahulu (qidam).
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Ilmu Tauhid adalah ilmu yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah dan para rasul, baik yang wajib, mustahil dan jaiz. Sifat wajib bagi Allah ada 20, sifat mustahil bagi Allah ada 20 (lawan dari sifat wajib), dan sifat jaiz bagi Allah ada satu.
Sifat wajib bagi para rasul ada 4, sifat mustahil bagi para rasul ada 4 (lawan dari sifat wajib), dan sifat jaiz bagi para rasul ada 1. Jika sifat-sifat ini digabungkan, maka jumlahnya ada 50. Inilah yang disebut dengan akidah 50 (Aqa’idil Khamsin).
Sebelum masuk ke dalam pambasahan lebih lanjut, tentu sangat penting memahami istilah wajib, mustahil dan jaiz dalam Ilmu Tauhid. Definisi istilah-istilah ini harus dijelaskan agar tidak ada kerancuan dalam memahaminya.
Seorang ilmuwan melakukan eksperimen terhadap lima ekor monyet. Mereka di masukkan ke dalam satu kandang, dan di tengah kandang itu ada tangga yang di ujungnya diletakan satu sisir pisang.
Setiap kali ada monyet yang naik tangga untuk mengambil pisang, sang ilmuwan menyiram monyet-monyet lainnya dengan air dingin. Mereka marah dan kemudian memukuli monyet yang mencoba naik tangga.
Dalam pikiran para monyet, mereka disiram air dingin lantaran ada monyet yang naik tangga untuk mengambil pisang.
Maka, tidak satu pun monyet yang berani naik tangga, karena pasti diserang oleh monyet-monyet lainnya.
Ambillah sifat memaafkan ini, dan suruhlah orang mengerjakan kebaikan (makruf), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (Al-A’raf: 199).
Ayat ini adalah Makkiyah dan termasuk pondasi penting dalam Islam. Sifat memaafkan merupakan bagian terpenting dalam misi penyempurnaan akhlak yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.
Kata “khudz” dalam ayat tersebut adalah “fi’il amr” yang berarti perintah langsung (khitab) kepada Nabi Saw. dan kepada setiap individu yang beriman hingga saat ini.
Konon, pada zaman prasejarah, manusia yang selalu curiga lebih mampu bertahan hidup daripada manusia yang cenderung berpikir terbuka.
Di tengah hutan rimba, jika ada suara asing, manusia yang selalu curiga akan berpikir bahwa suara itu adalah binatang buas yang akan memburunya. Oleh sebab itu mereka lebih selamat dan tetap bertahan hidup.
Beda halnya dengan manusia yang berpikir terbuka. Dia penasaran dengan suara asing dan selalu ingin membuktikan faktanya. Dalam pikirannya, suara asing itu belum tentu suara binatang buas, karena bisa saja suara angin.
عن معاذ عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إن أخوف من أخاف عليكم ثلاث: جدال منافق بالقرآن، وزلة العالم، ودنيا تقطع أعناقكم
"Dari Mu'adz, Nabi Muhammad Saw. bersabda, "Ada tiga perkara yang paling aku khawatirkan terhadap kalian: perdebatan orang munafik menggunakan Al-Qur'an, orang alim (intelektual) yang menyimpang, dan kekayaan duniawi yang memenggal leher kalian."
Hadits ini ditemukan dalam kitab Al-'Ilal Al-Mutanahiyah fi Al-Ahadits Al-Wahiyah karya Ibn Al-Jauzi.
Ini menarik. Terutama soal debatnya orang munafik menggunakan Al-Qur'an. Kata munafik memiliki arti menampilkan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang ada di dalam pikiran.