Baru belakangan ini saya tahu kalau Gus Dur sudah beberapa kali berkunjung ke Ponpes Annuqoyyah, Guluk-Guluk, Sumenep, Madura.
Awalnya, saya kira beliau itu hanya datang satu kali saja, yakni pada tahun 2000, tepatnya di saat beliau masih menjabat presiden RI, tapi ternyata tidak. Yang paling banyak tahu perihal ini tentu saja Kiai Zamiel karena setiap ke Guluk-Guluk,
Gus Dur biasanya langsung ‘jujug’ (menuju) ke ndalem Kiai Abdul Basith, ayah Kiai Zamiel.
Saat pertama datang ke Guluk-Guluk, Gus Dur menjumpai Kiai Abdul Basith AS dan minta diantarkan ke komplek pemakaman pendiri PP Annuqayah, yakni Kiai Muhammad Asy-Syarqawi.
Sebagian orang menganggap cara ini sebagai “pangapora” alias “kulo nuwun”. Maka, Kiai Abdul Basith lantas mengajak Gus Dur ke komplek pemakaman tersebut, tidak jauh. Lokasinya berada di bawah rerimbun dua pohon sawo, di depan masjid jamik.
“Yang ini, Gus!” kata Kiai Abdul Basith seraya menunjuk ke makam tertentu.
Maka, Gus Dur pun menghampiri makam yang dimaksud, duduk di sebelah barat nisan sisi utara, menghadap ke timur.
Eh, selang beberapa detik, Gus Dur bangkit dan menatap Kiai Abdul Basith sambil tersenyum lebar. “Ayolah, Kiai… Panjenengan itu jangan suka godain saya. Makam ini isinya perempuan.”
Akhirnya, Kiai Abdul Basith pun senyum-senyum, menyadari sudah menggoda Gus Dur namun ketahuan juga. Kiai Abdul Basith pun menunjukkan makam Kiai Muhammad As-Syarqawi yang sebenarnya, sebuah makam bernisan besar, berada bagian barat pemakaman. Serta merta,
Gus Dur bangkit dan pindah ke sana.
Alfatehah...
_______________
Sumber: Kiai M Faizi dari Toni Pangcu; dari Kiai Abdul Basith Abdullah Sajjad.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Rasa tawadlu dan hormat yang demikian besar KH. Hasan Mangli (Mbah Mangli) kepada para kiai dan gurunya, sudah menjadi cerita yang banyak diketahui publik.
Salah seorang kiai pernah bercerita, bahwa dirinya melihat sendiri Mbah Hasan Mangli saat sowan ke ndalem KH. M. Arwani Amin, mulai dari teras sudah bersimpuh dan masuk ke ndalem sambil ‘’ngesot’’ saking tawadlu kepada kiainya.
Cerita soal sikap tawadlu dan hormat yang demikian besar Mbah Hasan Mangli kepada kiai dan gurunya, juga diceritakan salah satu puteranya, Gus Ahmad Ridho. ‘’Bapak Saya beberapa kali bilang, "(Saya bisa begini karena barokah dari kiai dan guru,
[utas]
🍂 KISAH HIKMAH KETIKA IMAM AHMAD BIN HANBAL DIKATAKAN BUTA ⠀
⠀
“Apakah kamu buta?” ⠀
⠀
Beberapa orang bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal rohimahulloh
⠀
“Berapa jumlah orang yang sedang sholat?” ⠀
⠀
Beliau menjawab : “hanya satu..” ⠀
⠀
Mereka bertanya :
“apakah Engkau buta?” ⠀
Beliau menjawab :⠀
⠀
العمى هو أن الأشخاص الذين يغلقون أعينهم لا يرون أرملة تحمل عبئًا ثقيلًا يجعل رأسها يؤلمها 1. Buta itu bagi orang yang memejamkan matanya untuk tidak melihat seorang janda memikul beban berat yang membuat kepalanya sakit.
⠀
⠀
▪الأعمى من توجه للقبلة وأدار ظهره للأيتام والفقراء" 2. Buta itu bagi orang yang selalu menghadap Kiblat namun membelakangai anak-anak yatim dan orang-orang fakir (tidak menghiraukan mereka).
Kejadian nyata, saat Gus Dur dicium tangannya oleh Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa. Waktu itu Gus Dur bersama KH. Maman Imanul Haq sedang berada di bandara. Tiba-tiba Habib Mundzir al-Musawa yang hendak dakwah ke Papua menghampiri
dan menciumi tangan Gus Dur seraya bersimpuh di hadapan Gus Dur.
Lalu Kyai Maman bertanya, “Ada apa Bib?”
“Kalau wali ya Gus Dur, Kang Maman,” jawab Habib Mundzir al-Musawa.
Lalu Gus Dur bertanya kepada Kyai Maman, “Itu siapa?”
“Habib Mundzir, Pak,” jawab Kyai Maman.
“Kalau ingin tahu wali yang muda ya Habib Mundzir. Tapi usianya tidak panjang,” kata Gus Dur kemudian.
Dan ternyata betul apa yang dikatakan Gus Dur waktu itu, Pimpinan Majelis Rasulullah Saw. Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa itu kemudian meninggal dalam usia yang masih muda.
[utas] Cerita Mbah Akhyar (teman masa kecil Gus Maksum di Kanigoro) Tentang Kyai Jauhari
Dahulu antara tahun 1930-an sebuah desa bernama desa Kanigoro di kecamatan Kras, kabupaten Kediri, adalah daerah abangan yang masyarakatnya minim sekali pengetahuan agama.
Tak sedikit dari mereka adalah orang-orang PKI. Daerah itu rawan sekali kejahatan, pembunuhan, sabung ayam, dan kemaksiatan.
Melihat keadaan seperti itu, dua tokoh agama yang berstatus kakak beradik asli dari Kanigoro, yaitu H. Abdulloh (kakek Mbah Akhyar),
dan adiknya H. Khusnan
Tidak tega melihat keadaan masyarakat Kanigoro yang penuh kemaksiatan.
Sehingga kedunya sowan ke Lirboyo menghadap Romo Kyai Abdul Karim. Kemudian Haji Khusnan mengutarakan pendapatnya kepada Romo Kyai Abdul Karim agar segera mengirimkan tokoh agama/figur
Sosok KH. Khusnan Musthofa Ghufron tak terpisahkan dari perjalanan organisasi Nahdlatul Ulama. Bagaimana tidak, beliau adalah
ketua PWNU Lampung yang menjabat selama dua periode,yakni tahun 1992-1997 dan 1997-2002.
Pada masa kepengurusan KH. Khusnan, PWNU Lampung berhasil menggelar Musyawarah Alim Ulama Nasional (Munas) di tahun 1992. Munas yang digelar di GSG Unila dan Islamic Centre, Bandar Lampung,
itu dibuka oleh Wakil Presiden RI, Sudarmono. Acara yang berlangsung selama tiga hari itu berlangsung sukses.
Menurut KH. Syamsudin Tohir, salah seorang kerabat KH. Khusnan, pada masa itu tidak mudah menggelar acara besar, apalagi yang levelnya nasional.
[utas] Mengenal Mbah Moen; sosok komplit di NU
Oleh Gus @na_dirs
Berbicara muktamar NU yang sebentar lagi insya Allah akan diselenggarakan pada akhir Desember nanti, ada baiknya kita merenungkan sosok agung panutan warga nahdiyyin; KH Maimoen Zubair.
Sembilan puluh tahun adalah usia yang panjang. Namun tetap saja berita wafatnya KH Maimoen Zubair di tanah suci Mekkah saat itu menghentak kesadaran kita.
Saat itu, smartphone GNH pun tak berhenti menerima pesan, baik lewat jalur pribadi maupun Whatsapp group,
yang mengabarkan wafatnya Mustasyar PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama). Bahkan sejumlah sahabat non-Muslim pun menghubungi GNH menyatakan dukanya atas kepergian Mbah Moen.
GNH masih terbayang saat itu, ketika menerima berita duka. GNH terdiam sesaat.