Selama 5 tahun terakhir (2015-2020) Indonesia masih didaulat sebagai salah satu negara penyumbang emisi GRK terbesar di dunia dengan kapita pertumbuhan emisi yang tinggi (sejumlah 5,8%). Jumlah tersebut bahkan belum memperhitungkan dampak dari alih guna lahan dan kehutanan.
Alih-alih beralih pada energi bersih, pemerintah memilih melanggengkan batubara lewat teknologi Co-firing dan CCS (Carbon Capture and Storage), serta ekspansi sawit lewat biofuel.
Padahal, peluang Indonesia dalam melakukan transisi energi yang benar-benar hijau begitu besar jika pemerintah mau melangkah serius dan ambisius.
Transisi energi bukan hanya perihal menambah bauran energi terbarukan saja, tapi juga soal perubahan sistemik melalui solusi nyata dalam penyediaan energi pada sistem energi kita, dari tinggi karbon ke sistem energi rendah karbon.
Kekerasaan terhadap perempuan tidak hanya dapat berasal dari keluarga terdekat, lingkungan sekolah atau pekerjaan namun juga dapat berasal dari kebijakan negara.
Berdasarkan data Catatan Tahunan Komnas Perempuan, kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia pada 2020 mencapai 299.911. Kondisi tersebut semakin diperburuk dengan disahkannya Undang-undang (UU) Cipta Kerja, Oktober 2020 lalu.
Buruh perempuan semakin mengalami kondisi yang pelik. Mereka terpaksa juga harus menghadapi situasi kerja yang semakin buruk.
Insinerator itu alatnya, sedangkan proses pengelolaan sampah dengan suhu tinggi (sekitar 850-1400 derajat celcius) disebut insinerasi.
Proses ini diyakini mampu mengurangi volume sampah hingga 90%. Sampah yang menumpuk banyak itu bakal dibakar dan menjadi abu.
Sayangnya, masih buruknya kondisi pemilahan sampah di Indonesia bikin sampah yang masuk ke dalam insinerator beragam. Sehingga karakteristik abu sisa pembakaran yang dihasilkannya pun beragam. Bahkan bisa menjadi berbahaya karena berpotensi mencemari tanah.
Kalau banjir sudah datang, macam-macam pernyataan menyalahkan muncul.
"Salah mereka nih buang sampah sembarangan!",
"Salah pemerintah nih nggak menanggulangi banjir dengan baik",
dan yang paling absurd "Salahnya hujan nih!"
Hemmm emang bener salahnya hujan?
[UTAS]
Curah hujan dalam beberapa bulan ke belakang memang sedang meningkat, dan berbagai kejadian banjir terjadi di beberapa titik di Indonesia. Ingat dong bencana banjir di Kalimantan Selatan pada Januari lalu? Apakah curah hujan yang tinggi menyebabkan banjir dimana-mana?
Banjir disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor diantaranya:
1. Fenomena iklim musiman (musim hujan, la Niña, perubahan iklim) 2. Biofisik (topografi, sistem sungai / drainase, tanah) 3. Unsur antropogenik (tata guna lahan, deforestasi, sistem kanal / drainase, pola pemukiman)
Tahun 2020, DPR & Pemerintah mengesahkan revisi UU Minerba di tengah Pandemi demi menyelamatkan industri tambang batubara. Bagaimana UU Minerba dan UU Cipta Kerja berkontribusi membuat bencana banjir seperti di Kalsel lebih parah dan lebih sering terjadi di masa depan?
Salah satu perusahaan batubara yang baru saja merasakan ‘kenikmatan’ UU Minerba adalah PT Arutmin Indonesia, milik Bakrie Group, yang kontraknya diperpanjang untuk beroperasi dalam jangka waktu 2x10 tahun di lahan lebih dari 57.000 hektare di Kalimantan Selatan.
Lalu PT Adaro milik keluarga Erick Thohir (Menteri BUMN) yang memiliki konsesi tambang batubara 31.380 hektar di KalSel juga dapat perpanjangan izin. Tak hanya mengatur perpanjangan izin, UU Minerba juga mengatur fleksibilitas perluasan lahan hanya dengan persetujuan menteri.
Kerusakan ekologi yang belum juga menjadi perhatian serius pemerintah @jokowi, mengantar pada bencana yang kembali mengawali awal pergantian tahun. Banjir Kalsel di awal tahun ini bukanlah yang pertama terjadi, tapi justru menimbulkan dampak yang kian parah.
Tingginya curah hujan masih dijunjung sebagai faktor. Padahal, laju #krisisiklim yang terus diperparah oleh ketimpangan lingkungan hidup atas kepentingan lahan industri menjadi penyebab utama.
Perlu selalu kita sadari bahwa keseimbangan ekologi bukan hanya perihal pelestarian lingkungan ataupun ekosistem alam di luar sana, tapi juga soal hajat hidup yang dekat dengan kita semua. Soal bencana yang semakin marak mengancam nyawa.
Omnibus Law Lebih Buruk Daripada Peraturan Zaman Kolonial!
Meskipun katanya atas nama investasi untuk rakyat, tapi Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini justru berpotensi memperparah konflik agraria dan bencana ekologis di Indonesia. ((Sebuah Utas)) #TolakOmnibusLaw
Kok lebih buruk daripada peraturan zaman kolonial?
Bagaimana tidak, dalam draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang mengatur ketentuan jangka waktu hak atas tanah di atas hak pengelolaan menyebutkan bahwa …
Berdasarkan Pasal 127 ayat (3) hak pengelolaan diberikan selama 90 tahun. Hal pengelolaan ini dapat diberikan hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB) & hak pakai (HP).
Bandingkan dengan hak sejenis di masa kolonial yakni hak erfpacht yang “hanya” 75 tahun #TolakOmnibusLaw