✍10 April 2016
Berbicara tentang habib, Haidar Bagir, CEO Mizan Group, dalam akun twitternya yang kemudian ramai beredar dalam bentuk meme, menyatakan: “Habib bukan maqam kemuliaan, tapi maqam tanggung jawab terhadap terciptanya Islam yang rahmatan lil ‘alamin.”
Tapi, dari mana sesungguhnya habib berasal? Habib merupakan kata dalam bahasa Arab Hubb, ahabba–yuhibbu–hubban. Menurut Kamus Arab-Inggris-Indonesia terbitan Al-Maarif, Bandung (1983), kata itu berarti cinta atau mencintai. Dari kata ini pula mahabbah berasal, yaitu cinta.
Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka (2005) mengartikan habib sebagai yang dicintai atau kekasih. Bisa juga panggilan kepada orang Arab yang artinya tuan atau panggilan kepada orang yang bergelar sayyid.
Sayyid berasal dari saada–yasiidu-siyadah yang berarti pimpinan atau ketua yang melayani (ummat). Ada pepatah Arab yang menyatakan: “Sayyidul qaum, khadimuhum.” Artinya, sayyid suatu golongan adalah pelayan mereka.
Kamus Besar mengartikan sayyid sebagai tuan atau sebutan untuk keturunan Nabi Muhammad. Kamus Besar memperjelas kata itu dengan sayyidani yang berarti dua tuan–sebutan untuk dua cucu Nabi, yaitu Hasan dan Husein.
Berkaitan dengan dua kata tadi, ada kata syarîf yang berarti orang yang mulia. Kata ini juga berarti bangsawan, yang lazim diberikan kepada keturunan Nabi Muhammad dari garis putrinya, Fathimah dan Ali bin Abi Thalib.
Garis keturunan ini berkembang melalui dua jalur, Hasan dan Husein. Sebutan untuk perempuan dari garis keturunan ini adalah syarîfah.
Dengan begitu, habib disematkan sebagai bentuk kecintaan masyarakat terhadap guru atau panutan yang mengajarkan kebaikan dan akhlak kepada mereka. Ini sama dengan gelar kiai di Jawa atau ajengan di Sunda.
Penyematan gelar-gelar itu, menurut Tharick Chehab (1975)–yang ditulis kembali oleh Kurtubi (10 Januari 2007) dalam Sejarah Singkat Habaib (Alawiyin) di Indonesia–dilakukan karena di Hadramaut berlaku undang-undang kesukuan. Setiap keluarga harus punya nama suku.
Beberapa suku besar dan ningrat di Yaman saat itu disebut Qabili. Dan keturunan Nabi dari garis Hasan maupun Husein diberi gelar habib.
Di Indonesia, keturunan Ali bin Abi Thalib masih membawa nama keluarga karena pengaruh kehidupan di Hadramaut.
Kita mengenal Al-Attas (yang berarti yang suka bersin atau bangkis), As-Saqaf (atap/langit-langit), Al-Haddad (hadid, besi/pandai besi), Al-Habsyi (nama tempat di Afrika, Habsyah), Al-Jufri, dan sebagainya.
Nama belakang itu berasal dari panggilan, profesi, atau asal-muasal, seperti nama marga di Tapanuli, Makassar, atau Jawa.
Di beberapa negara, Alawiyin lazim dikenali dengan sebutan sayyid, syarif, ayib, atau sidi di depan nama mereka. Misalnya bekas Menteri Luar Negeri Malaysia, Syed Hamid Albar.
Menyoal Gelar Habib
Masyarakat kita mengenal orang-orang mulia, tinggi ilmu agamanya, dan terpuji akhlaknya sebagai habib. Di antara mereka, misalnya, Habib Sholeh bin Muchsin Al-Hamid dari Tanggul, Jember,
Habib Husein Alaydrus dari Luar Batang, Jakarta Utara, Habib Ali Al-Habsyi dari Kwitang, Jakarta Pusat dan Habib Idrus bin Salim Aljufri, Palu. Habib Idrus bin Salim yang dikenal dengan sebutan Guru Tua ini telah melahirkan ribuan murid lewat lembaga pendidikan Alkhairaat.
Namanya pun kini diabadikan sebagai bagian dari nama Bandar Udara Mutiara Palu.
Pendek kata, sayyid atau habib hanya pantas disandang oleh orang dengan tingkat ketakwaan, kezuhudan, dan keilmuan yang tinggi serta berakhlak mulia.
Dalam sejarah Indonesia, para habib dikenal banyak menolong kalangan yang lemah dan mencintai Indonesia dengan setulus-tulusnya.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Kenapa Kiai Cenderung ‘Menghindari’ Bab Jihad? Ini Kata Gus Baha’
Khoiron, NU Online | Selasa, 26 Maret 2019 07:30
Kita tidak bisa menutup mata bahwa sebagian belahan dunia Timur Tengah habis dilanda konflik secara bergantian. Bahkan, di antara tokoh Timur Tengah,
ada yang menyerukan jihad melalui jalur perang. Di Indonesia hanya ada sekelompok kecil saja dari orang yang suka membahas tema-tema perang, jihad dan lain sebagainya. Rata-rata, yang suka mengutak-atik dan berfatwa berkaitan jihad melalui jalur keras itu bersumber
dari mereka yang ilmu dasar agama mereka minim. Selebihnya, apalagi para kiai yang ilmunya mendalam secara akademik berusaha menghindari fatwa-fatwa konflik.
Di kitab-kitab salaf (klasik) yang dikaji di berbagai pesantren Indonesia, dalam urusan membahas hukum,
Pernyataan-pernyataan tajam dan kasar Habib Kribo tak ditanggapi oleh yang dikritik atau dilaporkan tapi malah diserang dengan meme yang isinya tak berkaitan dengan isi pernyataannya. Ini justru kian melejitkan nama dan kribo-nya.
*1.* Dia adalah seorang yang punya status sama dengan tokoh-tokoh yang dihormati massanya karena statusnya. Kasarnya, sama-sama punya kartu.
*2.* Dia bukan youtuber, pegiat medsos dan buzzer profesional yang sengaja membranding diri demi meluaskan ketenaran dan mengundang viewer,
Dan kamu melihat berhala-berhala itu
memandang kepadamu, padahal ia tidak melihat.
[7:198]
Umumnya, apa yang terlihat, seperti itu yang kita pikirkan.
Jadi sebenarnya, yang terlihat adalah pikiran kita sendiri,
bukan sesuatu itu, bukan hakikat itu.
Jika ingin melihat dengan jernih, jangan berpikir saat
sedang melihat. Berpikir ketika sedang melihat akan
menghalangi dan mengurangi sesuatu yang terlihat.
Ketika seorang pesuluk melihat, di dalam dirinya
kosong dari segala bentuk pengetahuan.
Melihat bagi pesuluk adalah kesadaran dan juga
tindakan.
✍Dr.Habib @muhsinlabib
Belakangan ini “umat Islam” menjadi frasa langganan yg kerap diucapkan oleh sebagian, bahkan sbagian kecil, org dari umat Islam sendiri, terutama menjelang konstestasi politik dlm skala nasional (pemilu) maupun regional (pilkada).
Frasa ini, terutama bila dijajakan oleh “marketer berbusana agamawan”, lebih ampuh mengeruk suara ketimbang money politics.
Umat adalah kata serapan dari “ummah” yang mengandung makna primer “beberapa orang” karena kesamaan tertentu. “Ummah” juga memiliki makna sekunder bagi seseorang yang diperlakukan sebagai beberapa orang karena keagungan kepribadiannya.