Salah satu kegemaran #GusDur ketika sekolah di Yogyakarta adalah menonton wayang. Baginya, wayang sebagai medium komunikasi dan medium pembentuk perilaku memiliki bermacam fungsi.
Pertama, sebagai penghibur, yaitu membuat masyarakat terhibur, memperoleh makanan rohani atau memperoleh kepuasan psikologis.
Karena dengan begitu mereka bisa melarikan diri dari dera kehidupan sehari-hari atau rutinitas harian yang menjemukan.
Wayang dalam fungsi seperti ini tidak boleh disepelakan, karena sebagaimana jenis hiburan yang lain, di dalamnya terdapat unsur-unsur yang dapat menghubungkan sesama warga masyarakat.
Bahkan jika sudah diakui secara universal seperti wayang, sebuah karya seni bisa menghubungkan sesama umat manusia. Bagi yang belum pernah menonton wayang, kalau diterangkan wayang dengan penggambarannya saja sudah menjadi paham.
Karena itu, kehadiran wayang penting sekali sebagai alat untuk hiburan (entertainment).
Sementara itu, ada yang melihat fungsi wayang lebih jauh lagi, yaitu sebagai alat untuk penularan nilai, dari satu ke lain generasi.
Dari sini wayang lebih serius menjadi bagian dari proses pelestarian masyarakat oleh masyarakat itu sendiri. Berbagai cara telah ditempuh oleh masyarakat untuk melestarikan diri, di antaranya melalui cara yang paling umum, yaitu cerita dongeng-dongeng (mitologi).
Mitologi bagi masyarakat yang masih primitif dituturkan hanya seperti dongeng biasa. Dari ibu ke anak, dari kakak ke adik, dia menjadi proses ketika semua anggota warga kongkow-kongkow di sekitar api unggun, dan hal itu menjadi bagian dari sistem kepercayaan.
Karena dengan sistem seperti itulah, kepercayaan kita tentang Tuhan, tentang segala macam itu terbentuk melalui proses penularan nilai-nilai itu.
Perilaku masyarakat dibentuk melalui cara penularan nilai tersebut.
Semakin kompleks dan rumit bentuk penularan nilainya, maka sebuah masyarakat akan semakin dikatakan tinggi cita rasa peradabannya. Wayang ini menjadi bagian dari proses masyarakat yang paling rumit yang terdapat dalam masyarakat yang sudah berperadaban tinggi.
Bagi orang Jawa, tidak peduli yang senang atau yang tidak senang wayang, mereka sudah terikat dengan nilai-nilai yang ada dalam wayang itu. Bisa jadi seseorang tidak bisa menikmati wayang, tapi sebagai orang Jawa dia harus baca, mendengarkan sana-sini.
Meskipun belum pernah menonton wayang seumur hidup, yang dia gunakan acuan untuk melakukan nilai-nilai tetap wayang. Misalnya nilai-nilai kesetiaan, keberanian, keikhlasan, keadilan dan seterusnya.
Contoh lain, Bung Karno kalau pidato sering mengutip wayang. Dia katakan kepada publik, kita ini jadi orang harus seperti Gatotkaca, padahal orang-orang di Jakarta tidak bisa membedakan mana yang Gatotkaca, mana yang tokoh lain.
Tapi yang tertanam di benak publik, Gatotkaca pemberani. Inilah yang dikatakan wayang sebagai wahana penularan atau pemeliharaan nilai-nilai dari generasi ke generasi.
Penularan dan pemeliharaan nilai ini tidak gampang prosesnya, karena di dalam proses seperti itu harus terjadi perubahan-perubahan yang tidak bisa ditahan atau ditolak. Para dalang dan para penggemar wayang sama-sama harus mampu melakukan pilihan-pilihan;
mana yang harus dilestarikan dan mana yang diubah. Justru karena itulah muncul istilah pakem dan carangan. Karena dalam melakukan perubahan-perubahan itu kita harus merubah cerita dari pakemnya semula.
Selain untuk mentransfer nilai-nilai masyarakat, wayang juga dapat dipakai sebagai medium untuk meninjau hubungan antara negara dan warganya. Kewajiban-kewajiban warga negara, kewajiban-kewajiban para penyelenggara pemerintahan, semuanya mendapatkan tempat dalam cerita wayang.
Karena isi cerita wayang sebenarnya perihal perebutan tahta, yang berujung pada Mahabaratha atau Barathayuda.
Bahkan dalam cerita yang paling tidak terkait dengan keaslian wayang, yakni cerita Ramayana, di sanapun ada kisah seorang penyelenggara pemerintahan yang angkara murka
berhadapan dengan ksatria yang membela kebenaran. Kalau cerita Ramayana saja sudah memasukkan hubungan antara penguasa dan yang dikuasai, maka Mahabaratha jelas sekali menyangkuat kekuasaan; bagaimana kekuasaan itu diselenggarakan.
Dari situlah lalu muncul kerangka kekuasaan. Siapa yang menonton lakon Parikesit (putra Abimanyu atau cucu Arjuna yang menjadi raja Astina pasca Mahabarata, red.), maka akan kenyang dengan nasihat-nasihat dan petuah-petuah tentang bagaimana menyelenggarakan pemerintahan yang adil
Bagaimana menyelenggaraan pemerintahan yang bersih, yang menjunjung tinggi kemanusiaan, membela yang lemah, dan menahan yang kuat agar jangan sewenang-wenang. Bagaimana memerintah dengan ikhlas mengabdikan diri.
Tapi ternyata, untuk mewujudkan pemerintahan yang seperti itu harus didahului dengan perjuangan. Perjuangan sang Abimanyu yang menceburkan diri ke dalam lautan pertarungan batin dan akal yang intensif guna nanti melahirkan sang Parikesit.
Dengan demikian, kita dapat melihat keseluruhan wayang dari sudut hubungan antara negara dan warganya. Dalam hal ini kita bisa melihat juga bahwa pada akhirnya wayang dapat juga dipakai untuk melakukan koreksi jangka panjang terhadap penyelenggaraan sebuah kekuasaan.
Wayang sebagai alat budaya dalam jangka panjang membentuk budaya politik.
Budaya politik yang secara lambat tapi pasti membentuk pendapat umum mengenai penyelenggaraan kekuasaan. Ini adalah sesuatu yang sangat penting untuk kita ingat.
Kisah #WadasMelawan mengingatkan Gusmin pada kisah bendungan Kedung Ombo yang menggenangi tiga kabupaten.
14 Januari 1989, warga kelabakan. Perlahan-lahan volume air mulai meninggi, menggenangi kampungnya. Tingginya tak lagi beberapa milimeter, karena sudah sampai semata kaki.
Warga pun berhamburan mencari perlindungan. Mereka berlari ke tempat yg lebih tinggi.
Beberapa waktu sebelumnya, utusan negara mendatangi warga. Mereka dipaksa pindah dengan uang ganti rugi yang sangat merugikan. Beberapa tak punya pilihan karena melawan = dicap PKI.
Warga yang bertahan adalah warga yang merasa bahwa tanah subur itu harus diperjuangkan. Mereka adalah petani. Namanya petani, hidup dari bertani. Jika lahan sesubur itu ditenggelamkan, bagaimana nasib ke depan?
Merebut Tafsir: Yang Tersisa dari Kontroversi Oki Setiana Dewi
Oleh: Lies Marcoes Natsir
Kontroversi “ceramah” Oki Setiana Dewi (OSD) meninggalkan beberapa catatan penting. Pertama, kesadaran tentang kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) telah “go public”.
Begitu potongan ceramahnya mengudara, reaksi pun muncul, dari yang tipis-tipis sampai yang teoretis. Tak hanya perempuan yang ahli di bidangnya, tetapi para lelaki yang merasa dipermalukan. Ini sebuah capaian hebat.
Ini sungguh buah dari kerja keras kampanye dan aksi anti kekerasan terhadap perempuan yang bergulir sejak era reformasi, terutama setelah terbentuknya Komnas Perempuan di era Presiden Habibie, dan keluarnya kebijakan Pengarusutamaan Gender di era Presiden Abdurrahman Wahid
Pertama-tama, kita harus melihat Gus Dur sebagai sosok yang utuh. Keutuhan Gus Dur terletak pada bermacam-macamnya ranah perjuangan yang dilakukan. Banyak orang merasa bahwa Gus Dur menjadi bagian darinya.
Ia adalah kiai, penulis, budayawan, aktivis, negarawan, dan beragam lainnya. Uniknya, kisah-kisah yang disampaikan oleh orang dengan beragam latar belakang itu pun tampak begitu dekat.
Apakah Islam memperbolehkan childfree dalam pernikahan? Lalu untuk apa menikah kalau tak ada motif punya anak?
Begini…
A thread
Pertama, kita harus clear bahwa misi utama pernikahan dalam Islam adalah kemaslahatan. Maslahat untuk siapa? Kemaslahatan dalam Islam meliputi individu, pasutri, keluarga, masyarakat, negara, dan dunia.
Ada lima pilar pernikahan untuk mewujudkan kemaslahatan. Pertama, Mitsaqan Ghalidlan, keyakinan bahwa perkawinan adalah janji yang kokoh sehingga tidak mempermainkannya.
Hari ini adalah hari ulang tahun Gus Dur versi 4 Agustus. Lho, emang ada versi lainnya? Ada! 7 September. Jadi yang benar mana? Tidak tahu. Karena baik 4 Agustus atau 7 September hanyalah versi yang diungkap. Begini… #HarlahGusdur#KangenGusdur
Kisah ini diungkapkan putri bungsunya, @inayawahid. Saat akan menuliskan tanggal lahir #Gusdur 7 September 1940 di batu nisan, Aisyah Hamid, adik kandung Gus Dur, membantah. “Eh, ya enggak mungkin lah bapak-mu lahir September 1940. Wong aku aja lahirnya 6 Juni 1940 kok.”
Jika membaca biografi #Gusdur yang ditulis Greg Barton, beberapa minggu setelah #Gusdur lahir, Ibu Nyai Solichah sudah mengandung Aisyah. Artinya, Gus Dur kemungkinan lahir pada tahun 1938 atau 1939. Misteri ini belum bisa dipecahkan hingga hari ini.
Kronologi. Pak Totok, jemaat Katolik ST Yosef Mojokerto wafat pada tgl 8 Juli 2021 di RS Gatoel Mojokerto. Ia ditolak untuk dimakamkan di pemahaman Sooko Indah karena disebut khusus muslim. Keluarga kemudian memakamkan di Blitar.
Mendengar kabar itu, Gusdurian Mojokerto membuat surat terbuka untuk Bupati dan wakilnya di media sosial Facebook. Aksi itu memantik perhatian media lokal dan nasional. Berita tentang hal itu pun muncul di banyak media.