Hi Pwers, kali ini saya mau berbagi kembali kisah dari serangkaian perjalanan kisah Narasumber kita, Mas Wijaya. Masih di bumbui adegan diluar nalar yang bisa kalian percaya atau enggak. Buat saya seru sih dan yang pasti kita ambil pelajaran nya aja ya :)
Selamat membaca !
COKRO KULO MUNYENG
Ns : Mas Wijaya
Malam itu, seperti biasa sehabis isya, aku duduk di sebuah warung kopi yang terletak tidak jauh dari masjid. Dari kursi yang menghadap ke arah jalan tempat aku duduk, kulihat salah seorang kawanku yang juga sering mengopi di warung ini datang
ia datang menghampiri dan langsung duduk di hadapanku, sebut saja namanya Atun asli Jawa Barat.
Kami berdua pun mengobrol dengan bahasa sunda, ditemani dua cangkir kopi yang telah disajikan oleh pemilik warung tersebut.
Seperti biasa, aku menuang seperempat gelas ke dalam piring kecil dan hal yang sama juga dilakukan oleh sahabatku, mang Atun.
" Wi ... Ini ada bisnisin bagus, mau?" Ucap mang Atun setelah menyeruput kopinya.
"Wah, bisnis apa nih, Mang?" Jawabku penasaran sambil mengambil satu batang rokok kesukaanku dan menyulutnya.
"Nanti ya Wi, kita tunggu Si Acun datang dulu ..." Ujar Mang Atun sambil mengeluarkan handphone selulernya
Mang Atun terlihat mengutak-atik tombol handphonenya, tak lama kemudian ia memberikan isyarat padaku untuk diam.
"Hallo, Cun? Aku di kedai kopi depan mesjid, kamu kesini ya ..." Ucap mang Atun kepada lawan bicaranya.
Setelah selesai berbicara, ia pun menutup telephonenya.
"Tunggu ya Wi, bentar lagi Acun datang kesini …" Ucap mang Atun disusul dengan memasukkan kembali handphone selular ke dalam saku baju. Aku hanya menganguk dan tersenyum.
"Nanti aja Wi, biar Acun aja yang cerita." Jawab Atun sambil mengarahkan pandangannya ke arah kiri dan kanan jalan.
"Ini gak jelas ah … Masa ngajak bisnis, tapi gak tahu bisnisnya apa …" Ucapku sambil kembali menyeruput kopi.
Tak lama, sebuah motor matic datang dan parkir tidak jauh dari hadapan kami berdua. Sesosok laki-laki yang aku kenal, kemudian turun dari motor dan menghampiri tempat kami berdua, lalu duduk di kursi yang ada.
Acun adalah salah satu kawan kami yang berasal dari keturunan Tionghoa muslim, aku pun sudah cukup lama mengenalnya, dan setelah bercerita kesana kemari, akhirnya Acun pun sampai kepada inti ceritanya.
Acun bercerita bahwa dia ini punya saudara dari istrinya, yang asli berasal dari suku Jawa, dan saudara iparnya ini, kini sedang tertimpa sebuah masalah.
"Gitu Mang Wi … Kira-kira mang Wi bisa bantu nggak?" Tanya Acun.
"Wah ... Ini sih bukan bisnis atuh Mang Atun ..." Ujarku kesal sambil melirik ke arah Mang Atun.
"Hehehehe …" Balas mang Atun dengan sebuah cengiran.
"Cun ... Aku belum bisa memberikan jawaban, bisa atau nggaknya. Aku bisa ketemu dulu nggak dengan saudara iparmu itu?
Aku harus memastikan langsung soalnya." Ucapku kepada Acun.
"Bisa mang Wi, nanti aku telpon saudara iparku dulu … " Jawab Acun semangat dengan mata yang berbinar.
Aku mendengar semua percakapan Acun dengan saudara iparnya itu,
dan tak lama kemudian setelah membayar kopi, kami langsung meluncur ke rumah saudara ipar Acun tersebut.
Setelah cukup lama menempuh perjalanan, akhirnya dua sepeda motor yang kami kendarai, tiba di sebuah portal dan pos security di salah satu kawasan perumahan Elite.
setelah menyimpan semua tanda pengenal di pos sekuriti, akhirnya kami diperbolehkan masuk, dan tepat di salahsatu rumah yang megah dan mentereng dengan pintu gerbang dan pagar yang tinggi kami pun berhenti.
Satu sosok perempuan setengah baya keluar dan mempersilahkan kami untuk masuk. Kami bertiga pun mengiyakan ajakan perempuan itu dan segera duduk di ruang depan yang nampak begitu luas, di sana terdapat sebuah tangga yang memutar ke arah lantai dua ...
...dan tepat di bawah tangga kiri dan kanannya, diapit oleh dua buah arca sosok pewayangan, ya sosok "sabdo palon" atau biasa disebut Semar.
Perabotan-perabotan berkelas menghias ruang lantai bawah, beberapa lukisan menggantung di sepanjang dinding,
Pandanganku tertarik pada beberapa lukisan, seorang perempuan cantik yang terbalut kamben berwarna hijau dengan mahkota di kepalanya dan lukisan lainnya tentang "penguasa pantai selatan".
Tak lama kemudian, wanita paruh baya datang dengan membawa nampan yang berisi tiga cangkir kopi dan kue-kue di dalam toples.
"Tunggu sebentar ya, nanti ibu turun …" Ucap wanita paruh baya itu.
"Oh, iya Bi Minah …" Jawab Acun sambil menyodorkan kopi ke arahku dan mang Atun.
Terdengar sebuah langkah menghampiri ruang tamu. Sebuah sosok dengan tubuh yang semampai, memakai pakaian daster bermotif batik, tersenyum dan menyalami kami bertiga, lalu duduk di hadapan kami, setelah mengenalkan diri.
Hamidah namanya.
Seorang wanita yang masih terlihat cantik untuk usianya yang sudah menginjak setengah abad, tersenyum sambil mempersilahkan kami untuk minum. Kami pun berbincang-bincang cukup lama, hingga akhirnya Hamidah pun bertanya padaku.
"WI, sudah dengar cerita saya dari Acun?" Tanya Hamidah.
"Sudah, Mbak …" Jawabku.
"Kalau bisa, nanti kamu berkunjung lagi kesini ya biar saya ceritakan semuanya" Pinta Hamidah karena malam sudah larut
"Iya Mbak"
Dua hari kemudian, selepas isya, aku sudah berada dan duduk di ruang tamu rumah Hamidah dan disambut oleh mbok Minah dengan secangkir kopi dan toples berisi kue-kue.
"Silahkan Mas Wi, diminum …" Ucap mbok Minah mempersilahkan.
Hamidah kemudian duduk dihadapanku, mbok Minah pun pergi meninggalkan ruang tamu yang hanya menyisakan aku dan Hamidah. Hamidah menarik napas dalam-dalam sebelum kemudian bercerita.
Cerita ini keluar dari mulut Hamidah dan merupakan kisah perjalanan hidupnya.
Bersambung...
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
***
Satu jam lebih riuh suara kebahagiaan di dalam Barak menggema, sebelum malam memasuki kata larut. Lantaran kedatangan Dasio beserta keluarga kecilnya, menjadi satu obat tersendiri bagi Kisman, Nanang dan beberapa teman yang lainnya.
Kegusaran begitu dirasa menusuk relung batin Dasio, setelah tahu siapa sosok Sanusi sebenarnya. Bayang-bayang kematian pun tetiba menghimpit pikiran, bersama dengan kengerian-kengeriannya.
Sebelum aku menceritakan kisah ini, aku ingin meminta maaf bukan maksudku untuk membongkar aib orang yang sudah meninggal,
tapi tujuanku menceritakan kembali kisah ini adalah supaya kalian yang membaca kisahku ini bisa mengambil pelajaran dari Almarhum, khususnya untuk kaum Laki-Laki.