Pusara Waktu Profile picture
Feb 23, 2022 100 tweets 16 min read Read on X
COKRO KOLO MUNYENG
(Part 3)

Aku hanya membalas singkat seperlunya pesan itu, dan bergegas pulang karena tidak tahan dengan hawa dari rumah megah itu.

Tepat 44 hari kemudian, Acun datang untuk menjemputku, dia kemudian mengajakku untuk kembali mengunjungi rumah Hamidah,
dan sesampainya di sana, aku melihat Hamidah sedang menangis. Tak jauh dari tempat Hamidah, di tengah rumah, sebuah jasad sudah terbujur kaku.

Aku segera duduk dan membuka kain menutup jasad tersebut, "Astagfirullah …" Ucapku kaget.
Hamidah yang mendengarku kemudian menangis lebih keras. Tapi aneh, walaupun dia menganis dengan keras, sorot matanyabegitu tajam dan dingin menatapku, aku pun kembali menatap balik Hamidah.

Aku sadar itu bukan tatapan Hamidah, ada sosok lain yang mengendalikan Hamidah.
Sosok itu seakan marah dan tidak senang dengan kehadiranku di dekat Hamidah. Aku pun kemudian meminta bantuan mang Atun untuk memandikan jenazah, tetapi mang Atun menolaknya.

"Aku takut, Wi ..." Ucap mang Atun dengan gestur tubuh yang merinding.
Tinggal di sebuah perumahan yang Elite, rasa kekeluargaannya terasa jauh dengan di kampung kampung, sedangkan keluarga Hamidah sendiri tidak berada di kota ini, begitupun juga suaminya, yang entah dimana keluarganya.
Hal itu membuat aku sibuk sendiri dalam mengurus jenazah, dari memandikan dan mengafani, hingga memimpin doa di pekuburan yang hanya diiringi oleh beberapa gelintir orang saja, sungguh tragis.

Sepulang dari makam, aku kembali ke rumah megah itu dan duduk menyendiri di luar,
Ketika aku sendirian, mbok Min kemudian datang menghampiriku.

"Mas, sampean dipanggil Ibu ..." Ucap mbok Min sambil menunjuk ke arah ruang tamu dengan ibu jarinya.

Aku pun segera berdiri dari tempatku duduk dan beranjak ke ruang tamu.

"Silahkan duduk Mas Wi ..." Sambut Hamidah
"Jujur Wi, Mbak gak tahu harus ngomong apa atas semua yang terjadi. Semuanya di luar keinginan Mbak ... Mbak gak ingin seperti ini, tapi Mbak juga gak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi, mbak ingin keluar dari semua ini, tapi di sisi yang lain,
ada sebuah dorongan yang lebih kuat dan terkadang mengalahkan akal sehat, Mbak kalah ... Tolong, Wi ...” Jelas Hamidah dengan wajah tertunduk, mengucur tetesan air mata tanda penyesalannya.

Aku hanya terdiam mendengarkan semua penjelasan dari Hamidah.
Kemudian, Hamidah kembali berkata, "Aku tidak bisa menolak semua ini … Yang aku rasakan, hanya gairah sex yang begitu menggebu … Ada sebuah kepuasaan dalam diriku, meski hati kecilku tahu bahwa dia akan pergi untuk selamanya,
penyesalan itu datang setelah suamiku terbujur kaku, Wi ... Sebenarnya ada apa denganku?” Ucap Hamidah yang heran dengan apa yang terjadi pada dirinya.

"Saya tidak tahu apa-apa Mbak, bukankah Mbak sudah bertanya pada orang-orang yang mengerti dengan hal-hal seperti ini?" Jawabku
"Kamu jangan begitu, Wi ... Mbak tahu apa yang terjadi sama kamu, saat kemarin keluar dari rumah ini …" Timpal Hamidah.

Wah hebat juga mbak Hamidah ini, bisa sampai tahu dengan apa yang kualami kemarin, pikirku.
"Rumah ini dipasang CCTV, Wi. Mbak sempat putar semua yang terekam di rumah ini." Ucap Hamidah seakan tahu yang sedang aku pikirkan dan aku hanya tertawa mendengarnya

Aku kembali teringat dengan kejadian di masa lalu, saat aku bekerja di sebuah rumah yang tak kalah megah, Erika
Kamar Erika juga dipenuhi dengan pernak-pernik mistis, begitu juga dengan rumah Hamidah ini yang dipenuhi oleh pernak-pernik, barang-barang mistis. Betapa sulitnya membersihkan energi negatif dalam rumah yang dipenuhi oleh barang-barang mistis seperti ini.
Barang-barang mistis yang ada di dalam rumah, akan mengundang makhluk astral lainnya untuk masuk dan semakin betah tinggal di dalam rumah, dan hal ini membuat proses pengobatan menjadi lebih sulit.

"Gimana Wi, apa bisa kamu menolong Mbak?" Tanya Hamidah.
"Gusti Allah maha penolong, Mbak …" Jawabku singkat sambil kembali menyeruput kopi yang ada dihadapanku.

"Kalau kamu mau ngeroko, ngeroko aja Wi ..." Ucap Hamidah disusul dengan memanggil mbok Min agar dibawakan minumannya.
Tidak lama kemudian Mbok Min pun datang dengan segelas besar kopi susu juga sebungkus rokok Dunhill, lalu Hamidah menyulut ujung rokok dan mengepulkan asapnya, melihat hal itu, bibirku semakin terasa kecut, aku pun mengikuti Hamidah dengan membakar rokok kesukaanku, Surya 16.
Siang itu aku sudah berada di kawasan bandara, kawanku yang bernama Kamim memintaku untuk menjemput anaknya yang datang dari Jawa. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Andri, anak Kamim datang, dan kami pun langsung segera pergi dari kawasan Bandara.
Andri sendiri rencananya akan bekerja di toko kelontong milik Hamidah atas rekomendasi dari Acun.

Aku sudah mengingatkan Kamim sebelumnya untuk mencarikan kerja untuk anaknya di tempat yang lain, tapi karena anaknya tidak mempunyai keterampilan khusus dan ijazah,
akhirnya dengan terpaksa Kamim membiarkan anaknya bekerja di took milik Hamidah.

Saat itu Acun memintaku untuk mengantarkan Andri ke toko Hamidah, di toko itu aku bertemu dengan Hamidah dan ternyata benar, Hamidah terlihat begitu cantik, pesonanya sungguh luar biasa,
hanya orang yang tidak bisa melihat saja yang tidak akan tertarik oleh pesona Hamidah saat ini, padahal usia Hamidah sudah menginjak setengah abad lebih, sebuah daya tarik yang begitu luar biasa, mampu menyihir orang yang menatapnya.
Beberapa waktu pun telah berlalu semenjak Andri bekerja di toko milik Hamidah tersebut. Di suatu hari, dengan tergesa-gesa, Kamim datang kepadaku berbicara panik.

"Wi, toolong ... Toooloooooong ... Si Andri, anakku Wi ..." Ucap Kamim dengan wajah panik.
"Tenang, Mim ... Ada apa dengan anakmu?" Jawabku sambil menyodorkan air putih dalam gelas.

"Itu Wi, sesudah tiga minggu kerja di tempat saudara Acun, tiba-tiba Anakku badannya panas, terus teriak-teriak …" Ujar Kamim disusul dengan meminum air putih yang kuberikan.
"Sudah dibawa ke dokter, Mim?" Tanyaku.

"Sudah Wi, tapi dia teriak-teriak terus ..." Ungkap Kamim.

"Tunggu, tunggu ... Teriak-teriak gimana Mim maksudnya?" Tanyaku memastikan.

"Teriak, jangan ... Jangan aku ... Seperti itu, Wi." Kamim menjelaskan.
"Mim, kamu sekarang beli air kemasan botol ..." Pintaku.

"Iya, Wi ..." Jawab Kamim dibarengi dengan anggukan lalu bergegas pergi.

Aku segera meraih air minum kemasan botol yang telah dibeli oleh Kamim, lalu memejamkan mata dan memohon perlindungan dari Gusti Allah.
"Mim, cepat pulang jangan sampai terlambat. Sebelum maghrib kamu harus sudah sampai di rumah, terus separuh air ini pake buat menyeka tubuh anakmu, separuh lagi dicampur air biasa, lalu siramkan di empat sudut rumahmu." Jelasku.

"Ini ada apa Wi sebenernya?" Tanya Kamim khawatir.
"Sudah Mim, cepat pulang sana dan lakukan saja apa yang aku suruh, nanti selepas magjrib aku datang ke rumahmu ..." Ucapku sambil menatap wajah Kamim.

Kamim tidak menjawab, dia langsung berdiri dan beranjak keluar rumah dan secepatnya pulang.
Andri, anak Kamim adalah seorang pemuda yang berusia sekitar dua puluh tahunan, yang ditinggalkan ibunya saat masih kecil. Kamim, bapaknya sudah seperti saudara sendiri bagiku. Kamim tahu perjalanan hidupku, begitupun sebaliknya.
Selepas sholat maghrib aku pun langsung bergegas pergi ke rumah Kamim. Sesampainya di rumah Kamim, aku melihat Andri yang tengah berteriak-teriak, aku pun segara duduk di samping tubuh Andri, dan ketika melihat kehadiranku, Andri langsung berubah,
tatapan matanya begitu tajam, dengus napasnya tak beraturan, ini sebagai pertanda adanya makhluk dunia lain yang sedang merasuki tubuh Andri. Ini menjadi salah satu cara untuk membedakan orang yang benar-benar kesurupan, dengan yang pura-pura saja.
Hal ini kutahu karena pengalaman saat aku mondok dahulu. Waktu itu di pondok sedang diadakan suatu acara renungan malam,di salah satu tempat terbuka di salah satu bukit, lengkap dengan api unggunnya sebagai penghangat melawan dingin malam.Beberapa ustadz juga ikut dalam acara itu
Aku bersama kawanku Indra, duduk berdua tidak jauh dari api ungun yang dikelilingi para santri dan santriwati.

"Eh Dra, gimana kalau kita bikin kejutan buat mereka?" Ujarku.

"Kejutan piye Mas Wi?” Tanya Indra penasaran.
"Kamu pura-pura aja kesurupan, nanti siapapun yang datang ngobatin kamu, kamu jangan sadar. Nah nanti, pas aku datang ngobatin kamu, kamu baru sadar ... Gimana? Kamu kan pandai akting." Jelasku.

"Wah ... Kalau itu, siap Mas Wi." Jawab Indra penuh semangat.
Waktu tengah malam saat acara berlanjut dan semua santri duduk untuk merenungi hidup atau biasa disebut dengan muhasabah diri, tiba-tiba Indra, temanku menggelepar dan suaranya menjadi berat juga serak, kedua tangannya mencakar-cakar tanah.
Semua santri yang tengah duduk langsung berhamburan melihat tingkah Indra yang seperti itu. Indra benar-benar jago akting, tubuhnya bergulingan, lalu seperti seekor harimau, dia meloncati api ungun dengan suaranya yang menggeram, Indra pun meracau tidak karuan.
"Kalian datang ke sini gak pamit! Ganggu ketenangan bangsa kami!!" Ucap Indra yang sedang pura-pura kesurupan.

Ustadz Gondo pun kemudian menghampiri Indra dan membaca doa, sambil meletakan telapak tangannya menyentuh kepala Indra.
Indra meronta dan tertawa terbahak-bahak, ustadz Gito pun datang membantu untuk menyembuhkan Indra, tapi tetap tidak membuahkan hasil, bahkan Indta berkata sambil menunjuk-nunjuk ke arah ustadz Gito. Hingga empat orang yang mencoba menyembuhkan Indra,
tapi semuanya tidak ada yang berhasil.

Aku yang saat itu menjadi penonton kemudian maju ke depan, sambil berkata kepada beberapa ustadz yang sedang berdiri mengelilingi Indra.
"Mohon maaf Ustadz, boleh saya ngobati anak ini?" Pintaku kepada semua guru ngaji yang sedang mengelilingi tubuh Indra.

"Iya Wi, silahkan ... Mungkin Doa kamu yang di ijabah sama Gusti Allah …" Jawab ustadz Gondo sebagai orang yang bertanggung jawab pada acara itu.
Aku segera duduk dan berkata, "Assalamualaikum ..."

"Waalaikumsalam wr. wb..." Jawab Indra dengan suara yang berat dan sesak.

"Lihat aku dan dengarkan kata-kataku … " Ujarku.

Indra menatapku dengan sorot mata yang begitu tajam dan aku pun langsung membaca sebuah doa,
yaitu doa mau makan. Seketika tubuh Indra lemas, lalu bergulingan, lalu langsung sadar dan bertanya ini ada apa?

Aku mencoba untuk menahan tawa, Indra kemudian membalikkan badan, terus berjalan dan mengambil nasi bungkus, dua bungkus dan langsung memakannya dengan cengar cengir.
"Ko iso Wi, si indra sadar dengan doa mau makan?" Tanya ustadz Gondo penasaran.

"Setannya minta makan Ustadz, tuh setannya lagi makan." Jawabku sambil menunjuk ke arah Indra yang tengah asyik makan.

Sorot mata Andri tajam, menatap ke arahku. Tubuhnya yang sebelumnya berbaring,
kini duduk bersila dan berkacak pinggang. Aku yang melihat itu, segera menatap balik mata Andri. Dua sorot mata saling menatap dan tak berapa lama kemudian, telingaku seakan mendengar sebuah suara yang keluar dari dalam tubuh Andri.
"Siapa kamu? Mau apa kamu ke sini?" Tanya sebuah suara yang terdenger kesal kepadaku.

"Siapa aku tidak penting bagimu, sekarang cepat keluar dari raga anak ini!" Bentakku marah.
"Beraninya kamu menyuruhku untuk keluar dari tubuh anak ini!” Terang makhluk yang kini menunjukkan sosoknya.

Sebuah sosok dengan muka dan kulit yang berwarna hijau, dua taring tajam dan juga kuku tangan yang runcing. Sosok ini biasa disebut dengan buto ijo atau bergola ijo.
Aku tidak ingin berlama-lama berurusan dengan jin fasik seperti makhluk ini. Segera aku menyatukan hati dan pikiran, kusebut asma Allah Yang Maha Besar, Sirr Yasin pun langsung kurapalkan, lalu meniupkannya ke arah lengan kananku. Secara lahiriah ini hanyalah sebuah lengan,
tapi dengan kacamata batiniah, Siir Yasin akan berwujud seperti sebuah pedang. Aku menyilangkan tangan kananku, di depan wajah.

Melihat hal itu, sosok bergola ijo itu kemudian mengangkat telapak tangannya, sambil komat-kamit,
dan tak lama kemudian mataku seakan melihat sebuah cambuk hitam keluar dalam genggaman tangan kanannya. Aku pun segera merapal doa Jibril di tangan kiriku, lalu terdengar suara, "Ctarrr! Ctarrr!!" yang menggelegar.
Seiring dengan kibasan cambuk hitam, hawa panas kini menyeruak keluar seakan-akan membakar tubuhku. Dengan segera, aku memukulkan tangan kiri untuk menghalau hawa panas, dua energi panas beradu, menimbulkan sebuah ledakan yang cukup dahsyat.
Aku yang sedikit faham dengan karakter sejenis buto ijo, tidak ingin memberikan kesempatan, dengan menyebut kebesaran gusti Alloh, segera aku menerjangnya. Kilatan-kilatan berwarna perak dari pedang Sirr mengurung tubuh bergola ijo itu.
Cambuk hitam yang mengeluatkan api dari tangan bergola ijo tidak mampu berbuat banyak saat terjadi pertempuran jarak dekat, kemanapun bergola ijo menghindar untuk menjaga jarak, aku terus mengejar dan menyerangnya.
Sambil meloncat menjauh, bergola ijo melecutkan cambuk hitamnya itu. Lecutan cambuk segera aku halau dengan mengibaskan pedang Sirr yasin, "Crasas!". Saat bergola ijo terdesak,tanpa ampun lagi aku menyerangnya. Kali ini tangan kanan bergola ijo terputus dibabat pedang Sirr Yasin
disusul oleh sebuah suara teriakan kesakitan, tubuh bergola ijo bersimpuh, tangan kirinya memegangi tangan kanannya yang kini buntung.

"Ampun manusia ... Ampun manusia ..." Ucap makhluk berkulit hijau itu.

"Siapa yang menyuruhmu untuk mengambil anak ini?!” Bentakku bertanya.
"Ampun manusia ... Lebih baik kau penggal kepalaku daripada aku harus menyebutkan siapa yang menyuruhku…" Jawab bergola ijo.

"Baiklah kalau itu maumu ... Makhluk sebangsa kalian inilah yang banyak menyesatkan manusia! " Jawabku marah.
Sebuah kilatan berwarna perak menyambar leher bergola ijo, disusul dengan menggelindingnya kepala makhluk itu.

Aku membuka mata, bajuku basah oleh keringat dan terlihat Andri, kini lelap tertidur.
Aku segera keluar dari dalam kamar dan di ruang depan kamar, terlihat Kamim tengah melamun sambil mengocek-ngocek kopi dengan sendok kecil.

Satu petak ruangan sebagai tempat tinggal Kamim, terasa begitu sempit dan sumpek. Aku yang memang tahu dengan kondisi Kamim sedari dulu,
duduk beralaskan karpet plastik yang sudah sobek disana-sini. Dengan cepat, aku menuang kopi ke dalam mangkuk plastik, karena tidak ada piring kecil, lalu meneguknya dan menyulut sebatang rokok.

Asap putih mengepul memenuhi sepetak ruang kecil rumah ini.
Keadaan Kamim sebetulnya tidak jauh berbeda dengan keadaanku, yang jadi pembeda hanyalah rasa bersyukur dengan hidup yang kita jalani. Kamim adalah sosok yang ingin menikmati hidup, baginya saat hidup bergelimpangan kemewahan, itulah kebahagian.
Aku paham dengan keinginan sahabatku ini, yang sudah merasa cape hidup dalam kesusahan dan bergelut dengan kesulitan. Setelah berbincang-bincang cukup lama, aku kemudian berpamitan padanya.

Satu setengah bulan kemudian, Kamim datang kembali ke rumahku dan bercerita
bahwa pada suatu hari, saat ke pergi toko untuk membeli rokok, Hamidah meminta anaknya itu untuk dijadikan suami, masih menurut Kamim, sebagai orang tua Kamim menyerahkan semua keputusan kepada anaknya itu,
, orang tua hanya bisa mendoakan dan Kamim sendiri diberi uang yang cukup banyak sebagai tanda rerima kasih dari Hamidah.

Aku mengingatkan Kamim agar segera membatalkan pernikahan anaknya itu dan mengembalikan uang pemberian dari Hamidah.

"Memang kenapa, Wi?" Tanya Kamim heran.
"Kamu gak paham Mim, siapa sebenarnya Hamidah … Apa kamu gak pernah mendengar tentang Hamidah?" Jawabku sambil mengambil satu batang rokok yang disodorkan oleh Kamim.

"Gak, Wi ..." Jawab Kamim singkat.
"Kalau kamu sayang sama anakmu, juga dirimu, batalkan acara pernikahan mereka …" Ucapku menekankan kepada Kamim.

"Ngomong yang jelas-jelas aja Wi, aku gak paham maksudmu …" Cetus Kamim.
"Aku gak bisa membuktikan dan gak mau menuduh, tapi banyak desas desus yang kudengar, bahwa siapapun yang menikah dengan Hamidah, akan berakhir dengan tragis, Mim." Jelasku.

"Maksudmu tragis itu … Mati, Wi?" Tanya Kamim menegaskan.
"Mungkin seperti itu, Mim." Jawabku.
"Wi ... Wi ... Kamu itu sudah kaya Tuhan aja, menentukan kematian seseorang. Mati itu urusan gusti Alloh Wi, kita juga berdua akan mati Wi ..." Ucap Kamim dengan lantang.
"Ya sudah, aku sebagai teman sudah mengingatkanmu … Sekarang semuanya terserah kamu, Mim ..." Tutupku.

Kehidupan Kamim, memang jauh dari kata cukup, jadi saat anaknya meminta restu untuk menikah dengan pemilik toko, bagi Kamim ini sebuah kesempatan untuk hidup enak.
Dihari yang sudah ditentukan, Kamim memintaku untuk menjadi saksi pernikahan anaknya, aku duduk disamping.

Didepanku, sepasang pengantin duduk berdampingan, dihadapannya seorang laki-laki paruh baya yang memimpin acara ijab qobul.
Pernikahan itu sendiri, hanya dihadiri oleh beberapa orang saja, yaitu aku dan Atun sebagai saksi. Acun dan Kamim sebagai Wali.

Hamidah, dari awal aku datang hanya menunduk saja dan saat acara ijab berlangsung, "Gimana, saksi, sah?" Tanya laki-laki separuh baya dengan peci hitam
Aku hanya diam tak menjawab, batinku merasakan getaran energi negatif yang menyelimuti tempat itu. Begitu terasa kental, wangi bunga kantil dan kemboja, menyeruak, aroma amis darah seakan-akan menanti sebuah persembahan.
Bau kematian sedang menyelimuti, mengintai sebuah nyawa yang akan menjadi tumbal.

"Wi ..." Suara Atun membuyarkan lamunanku.

"Iya, Mang Atun ..." Jawabku.

"Itu ditanya, sah nggak?" Cetus Mang Atun.
Andri menatap ke arahku dengan heran, disusul Hamidah yang mengangkat kepalanya, dengan menyingkap kerudung putih yang menaungi dua kepala, sepasang pengantin.

Aku langsung beristigfar, saat melihat wajah Hamidah. Aku tidak melihat wajah Hamidah yang seperti sebelumnya,
Yang kulihat kini adalah wajah dari seorang nenek-nenek berkebaya putih, dengan raut yang sangat menyeramkan.

Aku cepat-cepat mengendalikan diri dan berkata, diulang Ustadz … dan akhirnya proses ijab qobul pun diulang dan dengan mantap aku bilang SAH.
Setelah selesai acara ijab qobul, aku bergegas keluar. Aku merasakan pusing yang luar biasa. Perutku terasa begitu mual seakan mau muntah, hal ini bisa menjadi pertanda, bahwa adanya energi negative yang menyerang
Secepatnya aku membaca beberapa surah untuk membentengi diri dari energi negative tersebut.

Aku dan mang Atun pun segera berpamitan. Aku menyalami Kamim juga Andri, anaknya. Kamin berjalan ke arah luar gerbang dan dari jauh, terlihat Hamidah tersenyum, senyum yang penuh misteri.
Aku pun berangkat pulang, dan saat aku tengah berboncengan dengan Mang Atun, sebuah mobil mewah berjalan pelan disampingku. Kaca jendela bagian depan diturunkan,
sebuah senyuman sumaringah dan lambaian tangan dari Kamim seakan mengisaratkan kebahagian, bahwa dia sudah keluar dari kesengsaraan hidup.

Di bagian bekakang, Hamidah tersenyum sambil melambaikan tangan juga, "Sering-sering main ke rumah ya, Wi ..." Ucap Hamidah sambil berlalu.
Aku hanya mengangguk, lalu dengan cepat mobil mewah itu meninggalkanku. Aku dan mang Atun pun langsung pergi menuju warung kopi langganan, untuk sekedar menyegarkan pikiran.

"Wi, siap-siap aja …" Ucap mang atun malam itu di warung kopi.
"Siap-siap apa Mang?" Tanyaku yg tak mengerti maksud mang Atun.

"Hehehe, siap-siap ngurus jasad si Andri." Jawab mang Atun sambil cengar-cengir.

Beberapa waktu pun berlalu setelah pernkahan Andri dengan Hamidah, dan tepat di hari yang ke 41,
Kamim kemudian datang ke rumahku dan memintaku untuk menengok anaknya yang sedang terkapar sakit. Aku tidak langsung mengiyakan permintaan Kamim, aku hanya mengantar Kamim kembali pulang ke rumah Hamidah, tapi aku tidak ikut masuk ke dalam rumahnya.
"Kamu masuk sendiri aja , Mim. Aku nunggu di sini aja." Ujarku

"Iya, Wi ..." Jawab Kamim.

Tidak berapa lama kemudian, Kamim datang lagi dan kini memaksaku untuk melihat kondisi anaknya, Andri, dan karena tidak tega melihat Kamim, akhirnya aku pun ikut masuk ke rumah Hamidah.
Hamidah tertunduk dengan raut muka yang terlihat sedih, sedangkan Andri terbaring dengan bibir yang membiru dan tatapan matanya kosong. Seluruh badannya pun terasa begitu panas.

"Sudah terlambat …" Ucapku dalam hati.
Setelah tanganku memegang pergelangan tangan andri dan mengecek leher andri. Denyutan nadinya sudah tidak ada, helaan napasnya telah hilang. Aku hanya mengatakan pada Kamim untuk tetap bersabar dan menerima taqdir dari Sang Pencipta, Andri telah meninggal.
Kamim menjerit, menangis sejadi-jadinya. Di sisi lain, sudut mataku menangkap sebuah senyuman misterius dari sudut bibir Hamidah.

Aku tidak habis pikir dengan Hamidah, apakah dia memang punya ikatan dengan makhluk astral untuk memperoleh kekayaan,
, jika benar begitu, lalu kekuatan dari mana yang membuat Hamidah terlihat awet muda dan selalu cantik, atau satu kekuatan yang memberikan dua efek yang berbeda, kekayaan dan kecantikan.

Aku baru kali ini berhadapan dengan hal ghoib semacam ini,
dalam setahun meminta dua nyawa untuk menjadi tumbalnya, benar-benar mengerikan, pikirku.

Di satu sisi, Hamidah ingin sekali memperbaiki dirinya dan keluar dari masalah ini, di sisi lain Hamidah seakan menjadi monster yang terus haus akan darah.
Dua kepribadian yang berbeda dalam satu tubuh Hamidah. Kepergian Andri sendiri menyisakan luka bagi Kamim, dia merasa semua ini adalah karena perbuatan Hamidah, dan Kamim hendak meminta pertanggung jawaban langsung dari Hamidah, atas kematian anaknya.
Langit senja yang indah, membawa langkah Kamim ke arah sebuah kedai kopi, dimana aku dan mang Atun tengah asyik bercerita ditemani kopi hitam dan sebatang rokok yang terjepit di sela-sela jari kami. Dengan wajah yang kusut dan raut kesedihan yang tergurat jelas,
kamim menggeser kursi dari bawah meja, lalu ikut duduk bersama kami, sambil meletakan satu kantong pastik hitam dan menarik napas panjang, "Hah …" Suara Kamim memecah kebisuan.

"Darimana, Mim?" Tanyaku penasaran.
"Gak ada Wi, suntuk aja di rumah terus." Jawab Kamim sambil menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.

"Apa itu Mim?" Tanya mang Atun.

"Uang, Tun …" Jawab Kamim singkat disusul dengan membuka ikatan kantong plastik hitam.
Dua ikat uang lembaran merah terlihat. Mang Atun melongo, sambil menatap uang dalam kantong plastik itu. Aku yang sedikit banyak tahu kehidupan Kamim dari sebelumnya, merasa tidak percaya dengan apa yang dibawa sahabatku ini.

"Uang siapa ini Mim?” Tanyaku penasaran.
"Dari Hamidah Wi, sebagai tanda bela sungkawa katanya." Jawab Kamim sambil kembali mengikat kantong plastik itu.

"Kemarin Wi dikasihnya, setelah acara tujuh hari-an anakku …" Lanjut Kamim.

Aku terdiam sesaat, sambil menatap wajah sahabatku itu.
"Maaf ya Mim sebelumnya, kalau boleh aku menyarankan, kamu ambil saja seperlunya untuk acara tahlilan anakmu, terus sisanya kamu sedekahkan atau berikan pada kaum dhuafa." Ucapku.

"Apa Wi ?!" Jawab Kamim dengan nada sedikit meninggi sambil memperbaiki duduknya.
"Iya, seperti tadi ... Kamu dengar, kan?" Ujarku.

"Oh ... tidak, tidak Wi. Uang ini saja masih kurang dan tidak akan bisa mengembalikan anakku. Kalau boleh aku malah mau minta tambah lagi.” Ucap Kamim sambil terus melihat bungkusan berisi uang itu.
“Jangan kamu katakan, kalau akan terjadi sesuatu padaku, seperti yang kamu bilang dulu, Wi. Mungkin omonganmu hanya kebetulan saja terbukti Wi … Dengan menerima uang ini, aku sekaligus ingin membuktikan benar atau tidaknya kalau Hamidah itu melakukan praktek pesugihan.
Menurutku Hamidah itu kaya karena memang usahanya dimana-mana, Wi ..." Sambung Kamim panjang lebar.

"Aku, sahabatmu Mim. Sudah sepantasnya sebagai sahabat, aku mengingatkanmu, itu sebagai bentuk kepedulianku, tapi semua terserah sama kamu Mim, toh aku hanya manusia biasa,
tidak jauh beda dengan dirimu. Mungkin betul apa yang kamu katakan, bahwa semua yang terjadi itu kebetulan, tapi menurutku tidak ada yang kebetulan, karena semua yang terjadi sudah menjadi titik tulis Gusti Allah …" Jelasku mengingatkan sahabatku.
"Jujur, aku merasakan firasat yang tidak baik Mim dengan uang itu …" Lanjutku.

"Kamu akan mengatakan, bahwa aku akan mengalami nasib yang sama dengan anakku, begitukan Wi maksudmu?" Jawab Kamim, sewot.
"Apakah dengan aku mengatakan iya, kamu akan menjawab, aku tengah mengkultuskan diri sebagai Tuhan, seperti yang kamu katakana pada waktu itu? Apakah kejadian yang menimpa anakmu, tidak kamu jadikan pelajaran dan peringatan dari Tuhan buatmu, Mim?" Tegasku.
"Wi, Aku kehilangan anakku, aku gak ikhlas, Wi ... Kini kamu menyarankanku untuk menyumbangkan uang ini? Aku keberatan dan aku akan kehilangan dua-duanya. Kapan lagi kesempatan bagiku untuk menikmati hidup, Wi." Ujar Kamim sambil membakar ujung rokok kreteknya.

Lanjut nanti ya..

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Pusara Waktu

Pusara Waktu Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @pusara_waktu

Aug 4, 2022
SEWU NDAS - TUMBAL SERIBU KEPALA
BAB.IV : Tumbal Pertama

@IDN_Horor

@bacahorror

#bacahorror #horor #KISAHNYATA Image
***
Satu jam lebih riuh suara kebahagiaan di dalam Barak menggema, sebelum malam memasuki kata larut. Lantaran kedatangan Dasio beserta keluarga kecilnya, menjadi satu obat tersendiri bagi Kisman, Nanang dan beberapa teman yang lainnya.
Read 398 tweets
Jul 19, 2022
SEWU NDAS - TUMBAL SERIBU KEPALA
BAB.III : Keluarga Yang Terusir

@IDN_Horor @bacahorror
#bacahorror #horor #KISAHNYATA
Yuk Lajut lagi~
...

Kegusaran begitu dirasa menusuk relung batin Dasio, setelah tahu siapa sosok Sanusi sebenarnya. Bayang-bayang kematian pun tetiba menghimpit pikiran, bersama dengan kengerian-kengeriannya.
Read 150 tweets
Jun 17, 2022
SEWU NDAS - TUMBAL SERIBU KEPALA

- HOROR THREAD -

Sebuah kisah kelam berdasarkan kejadian nyata. Terjadi di tahun 80an, bahkan sampai sekarang.

@menghorror @issssss___ @autojerit @Penikmathorror @ceritaht @IDN_Horor @bacahorror

#bacahoror #penikmathoror #horor #KISAHNYATA Image
DILARANG KERAS MEMBAGKAN KISAH INI DALAM BENTUK APAPUN DI LUAR TWITTER, TANPA SE-IZIN PENULIS!
Hola PWers~
Sambil menunggu rame, boleh minta retweet dan likenya dulu?

Terima kasih :)
Read 641 tweets
Jun 13, 2022
"DILARANG MENYEBARKAN KISAH INI DALAM BENTUK APAPUN, TANPA SEIZIN PENULIS!"
Yuk kita mulai berkisah lagi, PWers~
Read 83 tweets
Jun 9, 2022
Sebelum aku menceritakan kisah ini, aku ingin meminta maaf bukan maksudku untuk membongkar aib orang yang sudah meninggal,
tapi tujuanku menceritakan kembali kisah ini adalah supaya kalian yang membaca kisahku ini bisa mengambil pelajaran dari Almarhum, khususnya untuk kaum Laki-Laki.
Read 73 tweets
May 26, 2022
JAREK TANGKUP
(Tolakan Pengundang Bala)

- HOROR THREAD -

@issssss___
@autojerit
@Penikmathorror
@ceritaht
@IDN_Horor

#horor #kisahnyata #bacahoror Image
Hallo PWers~
Kita mulai berkisah lagi ya :D

Oh ya sebelumnya, kisah ini akan sedikit slow updatenya, bahkan malam ini pun, baru sebatas teaser dulu sampai agak senggang waktuna nanti :D

Yuk langsung mulai~
"Sampeyan wes roh, Yu. Kang Sakir muleh?" (Kamu sudah tau, Yu. Kang Sakir pulang?)

"Sopo seng ngabari?" (Siapa yang memberi tau?) Ucap Menik, seorang wanita berumur 43 tahunan, balik bertanya kepada Asti, tetangganya.
Read 81 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(