Punya harapan untuk melihat tidak ada lagi polusi plastik yang terjadi di sekitar kita? Kita selangkah lebih dekat!
Baru-baru ini, pertemuan United Nation Environmental Assembly 5.2 di Nairobi, Kenya menghasilkan resolusi untuk perjanjian plastik global. Simak yuk.
Pertemuan yang disingkat UNEA 5.2 ini diikuti oleh delegasi berbagai negara dan menjadi wadah untuk menyepakati berbagai prioritas kebijakan lingkungan hidup global, serta acuan pengembangan hukum lingkungan internasional.
Kabar baiknya: UNEA 5.2 menghasilkan resolusi untuk perjanjian plastik global yang berjudul “End Plastic Pollution: Toward an international legally binding instrument” yang diadopsi dari draft resolusi Peru-Rwanda.
Sebuah pengakuan yang jelas bahwa seluruh siklus hidup plastik, mulai dari ekstraksi bahan bakar fosil untuk produksi s/d pembuangan, telah menciptakan polusi yang berbahaya.
Juga dibahas tentang masalah konsumsi, desain kemasan daur ulang, ekonomi sirkular, hingga mikroplastik.
Resolusi ini tidak hanya mencakup polusi plastik di laut, tapi polusi plastik yang telah mencemari lingkungan secara lebih luas.
Mengakui bahwa polusi plastik berdampak negatif secara sosial dan ekonomi untuk pembangunan berkelanjutan, serta berdampak pada kerusakan lingkungan.
Momen penting untuk mengatasi polusi plastik belum selesai.
Resolusi dari UNEA 5.2 belum mengikat secara hukum & masih dinegosiasikan dalam forum negosiasi yang lebih tinggi, sebelum akhirnya menjadi perjanjian plastik global yang mengikat secara hukum pada tahun 2024.
Sampai perjanjian global yang kuat ditandatangani, disegel, dan disampaikan, Greenpeace dan koalisi akan terus mendorong dunia yang bebas dari polusi plastik, demi mewujudkan dunia dengan udara bersih dan iklim yang stabil 💪
Pagi tadi, Monster Oligarki bergerak di kawasan Thamrin membayangi para perempuan yang menyuarakan pesan perubahan dalam rangka International Women’s Day 2022 (08/03).
Aksi ini mengingatkan kita bahwa perempuan adalah garda terdepan dalam perlawanan terhadap pengelolaan sumber daya alam yang eksploitatif, sistem pembangunan yang patriarkis, serta rakus lahan dan air yang bersemayam di dalam watak Oligarki.
Apa yang terjadi di Desa Wadas hanyalah satu dari sekian banyak konflik agraria yang pernah terjadi. Intimidasi yang disusul dengan penangkapan warga terjadi diberbagai daerah perlawanan.
Intimidasi sering terjadi seiring gerakan warga yang ingin memperjuangkan hak memperoleh informasi jelas dan lingkungan hidup sehat.
Saatnya kita bersuara agar pemerintah tidak semena-mena untuk mencapai tujuan pembangunan versi mereka.
Laporan tahun lalu dari para peneliti Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (#IPCC) sudah memberikan peringatan soal apa yang akan terjadi pada sistem iklim kita, dan kemana kita akan menuju jika tindakan yang diperlukan tidak dilakukan.
Nah, para peneliti kembali lagi.
Berikut beberapa hal yang bisa kita harapkan untuk dipelajari lebih lanjut berdasarkan laporan kedua dari empat bagian penilaian IPCC itu:
Wadas adalah desa yang diberkahi kesuburan dan pertaniannya produktif. Dengan tanah yang subur, tak heran mayoritas masyarakat Wadas berprofesi sebagai petani yang bergantunh pada tanah dan alam. Komoditasnya hingga milliaran lho.
Sayangnya semua itu terancam oleh pertambangan batuan andesit guna mendapat material urug untuk pembangunan “Bendungan Bener”.
Sejak kemarin siang, ratusan personil Brimob berkumpul di Polres Purworejo, dan mendirikan beberapa tenda di dekat pintu masuk Desa Wadas). Anehnya, di malam hari listrik di Desa Wadas mati, sedangkan desa lain di sekitar Wadas tetap menyala. #WadasMelawan
Pagi ini Uut, seorang warga Desa Wadas, ditangkap paksa oleh aparat bersenjata untuk dibawa ke Polsek Bener. Kondisi sinyal dan internet yang terganggu membuat warga Wadas kesulitan untuk berkomunikasi.
Mungkin tidak sedikit dari kita bertanya-tanya, kenapa Indonesia mengimplementasikan Co-Firing? Kenapa sekarang? Bahan bakarnya dari mana saja? Bagaimana dampaknya?
-A Thread-
Co-Firing sudah digunakan sejak akhir 1990-an di sejumlah negara. Namun, Indonesia baru akan mulai menjadikan Co-Firing sebagai salah satu cara untuk menurunkan emisi karbon. Sayangnya masih banyak hal tentang Co-Firing yang belum dirasa jelas.
Co-Firing di Indonesia akan menggunakan sampah & limbah hasil perkebunan, seperti akasia, sawit, dan sengon dijadikan sebagai bahan baku co-firing. Bahan tersebut merupakan jenis tanaman yang membutuhkan banyak lahan. Artinya bisa menjadi celah tindakan deforestasi lagi dan lagi.