Komandan Legiun Mangku Negara Dalam Perang Membantu Belanda di Acheh
Jika kita flashback sejarah, selain soal kepahlawanan juga akan menemukan sekelompok orang yang merasa dirinya pahlawan. #Jamet
Bak pahlawan kesiangan, mereka selalu datang terlambat akan tetapi selalu meminta jatah paling besar.
Sebagai kaki tangan penjajah, Jamet tanpa canggung mengaku mempunyai peran besar dalam kemerdekaan Indonesia dengan dongeng bambu runcingnya 😅
KPH. Gondosuputro. Dia mengabdikan hampir seluruh kariernya di Legiun Mangkunegaran.
Pada tahun 1863, KPH. Gondosuputro dinaikkan pangkatnya menjadi Mayor dan dua tahun kemudian ia diangkat dalam jabatan “yang menjalankan tugas sebagai Komandan Legiun Mangkunegaran”.
Semasa ia memangku jabatan tersebut, di Aceh terjadi perang antara rakyat Aceh melawan pemerintah Hindia Belanda.
Lagi" Pemerintah Hindia Belanda meminta bantuan ke Mangkunegaran, agar mengirim pasukannya ke Aceh.
Atas perintah Mangkunegara IV sebagai komandan Legiun, maka Mayor KPH. Gondosuputro menyiapkan pasukan yang terdiri dari dua kompi dengan jumlah personil 180 orang.
Sebelum berangkat ke medan pertempuran, pasukan ini dilatih secara intensif di tangsi Tanah Putih daerah Semarang dan dibawah pengawasan langsung pelaksana harian Komandan Legiun, Mayor KPH. Gondosuputro.
Dari hasil latihan tersebut, ia memutuskan bahwa hanya 150 personil yang memenuhi persyaratan untuk diberangkatkan.
Dengan dipimpin oleh adiknya, Kapten KPH. Gondosisworo, pasukan tersebut berangkat ke Aceh dengan kapal dari pelabuhan Semarang pada tanggal 21 November 1873.
Selain Legiun Mangkunegaran, pada waktu bersamaan juga diberangkatkan pasukan dari Pakualaman Yogyakarta dan pasukan dari Madura.
Atas jasa jasa Legiun Mangkunegaran yang dipimpinnya selama Perang Aceh, Raja Belanda menganugerahkan Ridder Kruis (Salib Penunggang) atau Salib Bangsawan Militaire Willems Orde (MWO) Kelas IV.
Pada tahun 1873, Mayor KPH. Gondosaputro dinaikkan pangkatnya sebagai Letnan Kolonel dengan jabatan tetap sebagai pejabat pelaksana harian komandan Legiun Mangkunegaran.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
PNAD sudah menyatakan sikap dan pendirian politik bahwa hukum yang berlaku dalam sistem hukum Negara Acheh Darussalam adalah syaria´at Islam, sepertimana diatur dalam Qanun Meukuta Alam yang sejak ratusan tahun yang lampau sudah berlaku.
Hukum positif Acheh Darussalam tersebut dimansukhkan oleh kolonial Belanda, Jepang dan Indonesia; sekaligus menukarnya dengan hukum positif kolonial -setidak-tidaknya sejak 149 tahun (1873-2022) kebelakangan ini.
Selama 76 tahun di bawah jajahan Indonesia, Acheh tidak mampu mengimplementasi hukum positif Acheh (Meukuta Alam), karena berlawanan dengan kehendak politik nasional Indonesia.
SEBARKAN BERITA INI KEPADA SELURUH BANGSA ACHEH DI MANA BERADA.
Dalam hubungan dan hukum internasional ada perbedaan antara sokongan (support) dengan pengakuan (recognation), seperti halnya kasus Palestina yang sedang kita saksikan di depan mata kita sekarang.
Dunia internasional -terutama dunia Islam- memberi sokongan dan perhatian terhadap nasib bangsa Palestin yg sedang berjuang sengati menentang arogansi Israel.
Anehnya semua negara berbasis Islam (dunia Islam) tidak memberi pangakuan terhadap eksistensi Palestin sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat.
Perjuangan Sisingamangaraja Xll Dan Para Panglima Perang Aceh Darussalam
Saat seluruh nusantara telah di kuasai serta tunduk dalam aturan Belanda tinggallah Tanah Batak dan Aceh yang tidak pernah di kuasai Belanda karena kegigihan para pejuangnya.
Dada Meuraxa (1973:524) dalam Sejarah Kebudayaan Suku-suku di Sumatera Utara (1973) menyebut Raja Negeri Toba sebelumnya, yakni Sisingamangaraja XI (ayahanda Sisingamangaraja XII), pernah menetap di tanah rencong dan mendapatkan didikan militer dari Kesultanan Aceh Darussalam.
Dalam buku Perang Batak: Perang Sisingamangaradja (1972) karya O.L Napitupulu, disebutkan bahwa upaya penolakan Kristenisasi di Batak dilakukan Sisimangaraja dengan cara mengusir zending (organisasi penyebar agama Kristen) yg memaksakan agama Kristen kepada rakyat Batak pada 1877
Ganja memang sudah menjadi komoditi penting untuk menyajikan masakan yang lezat masa Kerajaan Acheh dulu.
Dalam Kitab Tajul Muluk, sebuah manuskrip kuno karangan Ulama Acheh Syekh Isma’il bin Abdul Muthalib Al-Asyi juga membahas pengobatan dengan menggunakan ganja. Di Mesir, kitab ini dicetak oleh Makatabah Halabi pada bulan Muharram tahun 1344 Hijriah.
Dalam kitab Tajul Muluk, ganja dijadikan obat untuk penyakit kencing manis atau diabetes.
Akar ganja direbus dan airnya diminum untuk kencing manis.
Teuku Raja Moeda Ulee Balang bawahan Teunom ini adalah Putra dari Panglima Lam Ara yg terkenal pada tahun 1880 membunuh dua orang Perancis pencari emas Wallon dan Guilhaume di Tui Peuria.
Raja Teunom Teuku Nyak Imum Muda menjadi penanggung jawab atas insiden itu atas tindakan Pang Lam Ara itu walau mereka berdua berbeda pandangan trhadap warga perancis yang ingin menambang emas tersebut.Raja Teunom ingin memberi perlindungan karna menganggap mereka Non Kombatan
Peristiwa itu membuat Teunom dihukum oleh Belanda dengan blokade pelabuhan ekspor Teunom dan Kuala Bubon oleh pemerintah.
Tentara Belanda yang tewas dalam perang Acheh saat agresi pertama, sebagiannya dikuburkan dalam kuburan massal di gampong Lampulo tepi Krueng Aceh.
Kuburan massal ini ditandai dengan sebuah tugu tinggi di bagian tengah, sementara di sekelilingnya terdapat banyak monument-monumen kecil sebagai nisan.
Penulis Belanda, GB Hooyer dalam bukunya menyebutkan, perang Acheh akan selalu menjadi pelajaran bagi Belanda. Pendapatnya sangat beralasan, ribuan tentara Belanda tewas di Acheh, dikuburkan di berbagai tempat di Acheh, baik sendiri-sendiri, maupun secara massal.