JIKU Profile picture
Apr 23, 2022 170 tweets 20 min read Read on X
Tentang aku, dan jiwaku yang lain.
@bacahorror #threadhorror #horrorthread Image
Malam, yang tak begitu cerah. Tapi semoga kamu dalam keadaan baik. Dan ya.. Aku mendapatkan satu cerita yang sudah utuh. Sudah mendapatkan ijin, juga sudah rampung. 

Aku tidak suka basa basi, ku jelaskan intinya sebagai pembuka cerita, lalu biarkan cerita mengalir se adanya.
Aku mendapatkan cerita ini dari seorang sahabat karip, seorang perempuan, umurnya kurang lebih 37thn, beda 13thn denganku. Kami bertemu 6 tahun lalu di suatu kos, sebelum memutuskan untuk berbagi kamar. Sebut saja namanya Ayu. Bukan nama asli.
Namanya ku samarkan. Ayu memiki paras sesuai namanya, kulit nya putih, dengan rambut coklat sebahu. Matanya sayu, dan hatinya selalu kosong.
Lama tak bersua, kami memutuskan bertemu di sebuah warung lalapan. Cerita di buka dengan dengan kesibukan masing-masing, karna lebih dari 4 tahun kami tidak bertemu. Menjadikan malam itu malam yang panjang.
"Jadi begini ceritanya.." Setelah ribuan kalimat yang Ayu ucapkan, sampailah kami pada cerita paling mengerikan.
"Aku kira, setelah menikah aku ngerasa cukup. Nyatanya engga, apa lagi ini bukan tentang aku dan suami. Tapi, ini juga tentang mereka yang tidak terlihat" Aku mengerutkan kening, Ayu masuk pada inti cerita sebelum menjabarkanya.
"Mereka?" Ulang ku, pada bagian paling ambigu. 

"Iya.. Mereka"
*Bagian Ayu.. 

Siapa yang tidak suka jika melihat kekasih ahirnya duduk bertatap muka dengan orang tuaku, meminta restu untuk menikahi anaknya.
Aku bahagia, saat itu. Aku kira setelah pernikahan pencarian ku tentang cinta usai. Merasa cukup, merasa punya seseorang yang bisa berbagi denganku, susah dan sedih, senang dan bahagia. Tidak, ahir-ahir ini cerita ku berbeda.
Laki-laki itu bernama Bagas, latar belakangnya tidak terlalu buruk, anak tertua dari 3 bersaudara, bekerja sebagai fotografer di sebuah studio, namun tidak memiliki rumah.
Maaf ini sedikit rumit, karna harus menjelaskan detail per bagian. Ini adalah pernikahan ke 3 ku. Dan hal itu berhasil membuat mertuaku, tidak terlalu suka statusku. Lalu, keadaan hati mertuaku semakin memburuk, lambat laun bukan hanya statusku yg di bencinya, namun diriku juga.
Sepertinya suamiku sudah lebih dulu tau, karna gelagat keluarganya begitu kentara. Karna takut aku tidak nyaman, suami ahirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah orang tuanya.
Lalu, membawaku menetap pada rumah wanita tua, yang masih terlihat segar, umurnya kisaran 60thn, dan suamiku memanggilnya Bude.
Bukan rumah modern, rumah ini terlihat lenggang, dan tua. Semua pondasinya dari kayu, lantainya semen, dan kamar mandinya terpisah dari rumah. Terletak tepat di bawah pohon beringin. Bahkan kalian bisa melihat akarnya seperti menggengam bilik kamar mandi itu dengan kuat.
Dindingnya di penuhi lumut, dan atapnya tidak ada. Sehingga rumbai dari batang pohon menjulur indah masuk ke dalam bilik. Hanya sesekali  rumbai itu di pangkas, jika sudah mengganggu.
Tapi ini lebih baik, dari pada tinggal bersama sekumpulan pembenci. Ku rasa ini cukup damai, bahkan aku bisa membayangkan aku meneguk teh panas saat sore dengan di temani pemandangan rimbun pohon di halaman belakang.
Mungkin ini terkesan seperti tengah menghibur diri, dan aku membenarkan hal itu. Tapi, ini benar-benar lebih baik.
"Gpp kan?" Tanya Bagas. 

Aku mengangguk, menyuguhkan senyum. Tanda aku baik-baik saja. Mencoba memanipulasi keadaan.
"Sopo to kui?" (Siapa sih itu?) tanya Bude, yang sudah berdiri di balik punggung Suamiku. 

"Ayu, Bude" Jelas bagas, keningnya berkerut. Karna, jelas baru 30 menit yang lalu aku memperkenalkan diri. Dan sebelum itupun, Bagas sudah sering bercerita tentangku.
"Heheh, kok yo gowo bolo.. Ngger nde kene wes rame, nko enek seng nesu" (Heheh, kok bawa temen? Nak, di sini sudah ramai. Nanti ada yang marah) 

Aku menatap senyum Budhe, senyum itu seperti di tujukan pada angin di balik punggungku. Lalu beralih menatapku dengan tajam.
"Budhe ki, mek enek Ayu karo aku" (Budhe, hanya ada Ayu dan aku) Bagas menjelaskan dengan pelan, mencoba memperbaiki kondisi. Sedangkan Bude hanya melempar senyum sebelum berlalu.
"Bude bahas apa?" Tanyaku, yang tidak tahu bahasa Bude dan Bagas. Namun, Bagas hanya menggeleng pelan, senyumnya mengisyaratkan untuk tidak lagi membahas perihal tadi. "Maklum ya, Bude sudah tua" Ucap Bagas, Sebagai gantinya Bagas membawaku pada kamar yang akan kami tempati.
Kamar kami terletak persis di depan kamar Bude, di pisahkan oleh ruang TV "Gimana? " Bagas, memastikan ekspresiku. Dan benar saja, tidak terlalu buruk. Walau sedikit kuno. Terlihat dari ranjangnya yang terbuat dari besi, juga meja rias yang memiliki ukiran seperti akar pohon
Untunglah, Bagas menyisihkan sedikit uangnya untuk membeli kelambu nyamuk, selain mempermanis, aku jadi tidak perlu kawatir tentang nyamuk dari rimbun kebun belakang rumah. Aku mengangguk puas.
Tangan Bagas, membelai punggungku pelan. Lega melihat ekspresiku barusan. 

"Bagus, memang rada serem. Apalagi kamar mandinya pisah dari rumah dan terbuka pula. Tapi, ini lebih baik dari pada tinggal di rumah kamu"
Bagas, mengangguk. "Yang betah di sini, Budhe pasti senang karna ada temenya, sabar ya.. Nanti kalau panen belimbing nya bagus, kita langsung kontrak rumah" Janji Bagas padaku. Aku memegang janji itu kuat-kuat.
Waktu begitu cepat berlalu, warna langit juga sudah kemerahan, aku melihat barang-barangku yang sudah hampir keseluruhan tertata rapi. Waktunya mandi fikirku.
Dari kamar aku bisa mendengar suara Bagas yang tengah mengobrol bersama Bude, tawa sesekali menyelingi obrolan mereka.
Aku mengambil handuk , juga baju bersih. Saat aku keluar kamar, Bude berhenti bicara, tatapanya menusuk ke arahku, membuatku kikuk dan salah tingkah.
"Bude, ijin ke kamar mandi" Ucapku dengan nada suara seperti tercekik. Di tatap saja membuatku hampir kehilangan suara.
"Mandi aja Yu, anggap rumah sendiri" Bagas tersenyum, tapi Bude tidak. "Atau mau di temani?" Tawarnya lagi. 

Aku menggeleng pelan, sembari tersenyum tipis "gausah, aku berani" Aku tidak mau merusak suasana manis di depanku, terlebih setelah mendapatkan tatapan tajam.
Bilik itu, aku memandangnya sekali lagi. Hari mulai gelap dan bilik itu semakin terlihat mengerikan. Untung ada lampu, walaupun lampu itu sendiri berwarna kuning, dan tidak terlalu terang, setidaknya lebih baik dari pada tanpa penerangan sama sekali.
Ahirnya aku masuk, menyingkirkan daun-daun jatuh di dalam bak air, lalu mandi. 

Byurr Byurrr.. 

Aku merasakan rumbai batang beringin seperti menyentuh kepalaku, belum ku pastikan karna wajahku penuh dengan busa shampo.
Aku mencoba menyingkirkannya, namun, semakin aku singkirkan rumbai itu semakin panjang, tidak hanya menyentuh kepala, namun juga tangan, hingga kaki.
Aku membilas rambutku dengan cepat, dadaku berdegub kencang. Dan saat busa shampo sudah hilang dan aku bisa melihat dengan jelas. Rumbai itu bahkan sudah di potong jauh di atas kepalaku. Bahkan aku tidak sampai jika memang ingin memegang rumbai itu.
Aku menggelengkan kepala, mencoba menghilangkan fikiran negatif dari dalam kepalaku. "Sial" Ucapku lirih, sebelum akhirnya melanjutkan kegiatan mandiku.
Hari sudah malam ketika aku keluar dari dalam bilik kamar mandi, aku berjalan pelan sembari menyincingkan baju tidur yang ku kenalan agar tidak menyentuh tanah.
Bayangan diriku terlihat jelas karna sinar bulan, bayangan... Aku berhenti, kembali mengamati bayangan itu, bayangan yang besarnya bukan main.

Aku menggeser badanku, mengamati pergerakan bayangan itu. Lalu kini terlihat dua bayangan.
Bayanganku, dan bayangan besar yang entah milik siapa. Bayangan itu membuatku menoleh kebelakang. Tidak ada siapapun, lalu aku menoleh ke atas.

Hening.. Untuk beberapa saat.
Beradu tatap dengan sosok perempuan setinggi pohon beringin, yang menatapku dengan tatapan marah.
Image
Begitu kira-kira wujudnya. Setelah aku meminta Jiku menggambarnya. Merah matanya, mulut besarnya, dan rambutnya yang menyerupai rumbai pohon. Menatapku dengan amarah.
"Yu.. " 

Suara Bagas mengalihkan perhatianku, badanku yang tadinya kaku, entah sejak kapan sudah berlari memeluknya. Badanku yang gemeteran, membuat Bagas bingung.
"Kenapa?" Suara Bagas melunak mencoba menenangkan. Tak ada jawaban.

Dari balik punggung suamiku aku masih bisa melihat sosok itu menyusut hingga seukuran manusia, memanjat pohon beringin dengan posisi terbalik. Mengerikan, nyaris tak percaya dengan apa yang aku lihat.
"Masuk aja" ajak Bagas. Tanpa menunggu jawaban, Bagas membawaku masuk.

"Aku buatin teh anget ya? Kamu tunggu di meja makan aja, Bude udah masak" Aku mengangguk pelan, masih mencoba menyangkal tentang apa yang aku lihat barusan.
Menyematkan baik-baik di kepala kalau tadi hanyalah buah dari rasa lelah ku.

Bude sudah duduk di ruang makan, saat aku mendekat.

"Bude" Sapa ku pelan. Tak ada jawaban, bahkan aku di suguhi tatapan dingin. Menjadikan perjamuan makan malam ini terasa menegangkan.
"Wes ketemu? Iku mong salah sijine" (Sudah ketemu? Itu hanya salah satunya) 

Aku memang bukan orang Jawa asli, tapi 5 tahun di Jawa, sedikit banyak aku paham dengan kalimat barusan. Hendak menanggapi, Bagas sudah datang dengan membawa teh panas.
Bude tersenyum sumringah, sangat kontras dengan ekspresi nya beberapa detik lalu. "Ngomongin apa Bude? Kayak serius" Tanya Bagas. 

"Pengen eroh ae" (Pengen tau aja) timpal Bude. Kini aku merasa benar-benar terasing.
Aku makan dalam hening, sedangkan Bude dan Bagas terlihat sangat akrab membahas masa kecil Bagas dengan segala kelucuanya. Aku tidak tertawa, entah kenapa rasanya sangat tidak nyaman.
"Makan Yu" Bagas menyentuh punggungku, membuatku kaget. Entah berapa lama aku melamun, hingga nasi di piring ku tidak tersentuh.
"Paling masak an ku gak enak" (Mungkin masakanku ga enak) sindir Bude.

Aku menatap Bude cepat "Engga Bude, ga gitu" Buru-ku masukkan sesuap nasi dan ayam kecap ke dalam mulutku agar Bude tidak tersinggung.
Makanan itu masuk ke mulut dengan mudah, sampai sesuatu terasa seperti menggeliat di dalam mulutku. 

Huekkkkkk Huekkkkk

Aku membelalak, melihat belatung yang tengah menggeliat di piring setelah ku muntah kan dari dalam mulutku.
"Harrrhhhh haaaaaaa" Teriak ku tak terkontrol, perasaan geli dan taku menjadi satu.

"Kamu kenapa sih??" Tanya Bagas, melihatku dengan tatapan aneh. 

"Belatung!! Kamu ga liat?? Hah?" Mukaku pasti terlihat frustasi waktu itu. 

Bruakkkk
Belum juga Bagas berbicara, se mangkuk ayam kecap sudah terbanting ke lantai. Berceceran ke mana-mana. 

"Lak gak seneng, gausah mangan. Opo neh sampek ngenek-ngenek" (Kalau ga suka, gausah di makan. Apa lagi sampai mengada-ngada) teriak Bude dengan ekspresi marah.
"Kamu kenapa sih Yu? Bude udah capek masak loh, hargai dong" Tatapan Bagas menjadi jengkel, sedangkan aku menatapnya dengan tatapan tak percaya. 

"Kamu ga liat ada belatung?"

"Ga ada belatung Yu.. Ga ada! Mending kamu istirahat aja, dari tadi kamu mengada-ngada"
Aku mengigit jariku, melihat punggung Bagas yang lebih dulu masuk ke dalam kamar. Aku kembali melihat piring di meja makan. Belatung itu masih ada.
.........

Pagi, siluet masuk di antara celah jendela. Membuat mataku sedikit perih karna jam tidur singkat. Ku lihat Bagas duduk di sudut kasur memegang hp dengan tatapan kosong. 

"Kenapa?" Tanyaku sembari mengelus punggung nya.
"Aku di pecat" Ucap Bagas lirih. 

"Kok bisa?" Mataku yang tadinya sayup, kini terbuka lebar. 

"Pandemi, si Bos ga bisa bayar karyawan. Foto acara nikah, pesta, prewed, fail. Semua batal" Jelas Bagas sembari menghela nafas panjang.
Butuh jeda cukup lama untuk mencerna kejadian pagi ini, sebelum akhirnya paham.

Aku turut prihatin, baru juga matahari muncul sudah ada saja masalah yang datang. "Yaudah, kan aku masih kerja" Aku mencoba menenangkan.
beruntung statusku sebagai guru tidak terlalu terasa dampaknya, hanya perlu terbiasa dengan keadaan yang mengharuskan serba online.
"Habis ini aku mau ke kebun. Sekarang cuman kebun itu pemasukan ku, untung uang tabungan sudah jadi pohon belimbing, obat dan pupuk juga sudah kebeli" Aku tersenyum tipis, Untung Bagas bukan manusia yang mudah mengeluh, untung juga kami bukan pasangan yang suka kemewahan,
jadi ketika ada masalah kami masih ada tabungan. 

"Yaudah buruan berangkat, habis ini aku ada kelas" Ucapku, melihat punggung Bagas keluar dari kamar.
Masih ada 1 jam untuk siap-siap, sebagain waktu itu akan ku gunakan buat meminta maaf atas kejadian semalam. Bagaimana pun, aku harus sadar diri jika masih mau menumpang di rumah orang.
Keadaan sepi, tak ada siapapun di ruang tamu saat aku berdiri di depan kamar. Mungkin Bude sudah ada di dapur. Tebak ku. Sampai suara nyaring terdengar sembari panci yang menghampiri kakiku. Serta air yang muncrat kemana-mana
Klontanggggg
Langkahku terhenti, Bude berdiri tak jauh dariku,tepat di depan pintu pemisah antara ruang tengah dan dapur. Bude berdiri sambil tersenyum tipis. Aku membeku beberapa saat, Ku pungut panci kosong yang ada di hadapanku.
Aku menghela nafas panjang, baru juga mau minta maaf, sudah kembali di buat kesal. Aku berjalan ringan, mencoba menyembunyikan rasa kesalku. Lalu tanganku ter ulur, memberikan panci "Ini Bude, lain kali hati-hati" Ucapku lirih.
"Awakmu seng ati-ati" (Kamu yang hati-hati) ucap Bude. Tatapannya lurus ke mataku, lalu turun ke arah panci. Dari dalam panci, aku melihat diriku tersenyum menatap lurus padaku. Entah kenapa kepalaku sudah ada di situ.
Bukanya berteriak, kepalaku seperti melayang. Bau anyir menyeruak, darah sudah di mana-mana. Air yang tadinya ku lihat tumpah ruah, kini warnanya merah pekat dan lengket. Lalu semuanya gelap.
…….
Pukul 3 sore, saat mataku menatap pada jam yang tergantung di atas dinding. Aku terbangun, meraba tubuhku sembari mengingat hal yang mengerikan. "Mimpi?" Gumamku sembari mengurut kepala. Setelah sadar sepenuhnya, aku sudah melewatkan 3 kelas hari ini. Astaga!
Baru saja aku beranjak dari kasur, Bagas masuk kamar dengan wajah kecewa. 

"Kamu ga bisa ya Bantu-bantu Bude gituu? Masak atau sekedar nyapu? Aku baru pulang Bude sudah ngomel karna kamu tidur seharian"
Bagas mengatakannya dengan intonasi pelan, namun tajam. Seperti biasa, cara itu begitu ampuh membuatku merasa bersalah.
"Maaf, aku juga ga sadar. Aku ketiduran" Aku mengatakannya dengan jujur, padahal. Tapi, Bagas masih saja menunjukkan ekspresi masam. 

"Kita numpang, jangan lupa" Lirih dari ucapannya membuatku semakin merasa bersalah.
"Iya… " 

………
Aku menarik nafas panjang, lalu kembali memperhatikan sayur di kantong belanjaan. Semoga cukup untuk memperbaiki hubunganku dan Bude.
Setelah mengantar sampe depan rumah, Bagas tidak ikut masuk, dirinya pamit untuk menemui salah satu temanya. Menanyakan soal bagaimana pemeliharaan belimbing agar panen bisa maksimal.
Jadilah aku masuk seorang diri, "serem juga rumah ini kalau malam" Gumamku, kembali memperhatikan rumah tua dengan penerangan yang minim.
Menepikan fikiranku. Aku bergegas masuk, dari ruang tamu aku mendengar orang tengah berbincang. Seru sekali.

Ada tamu, fikirku. Namun, saat aku masuk tidak ada siapa pun. Nyatanya percakapan itu hanya satu arah, hanya berasal dari Bude.
Aku menatap aneh, berbicara seakan-akan ada yang menjawab. Seperti tengah berbicara pada orang, namun wujudnya tidak bisa ku lihat.
Tapi, saat Bude tau aku pulang, percakapan itu berhenti. Bude berjalan ke arahku, melewati ku, lalu meludah.
Bude meludah di sepanjang jalan yang habis ku pijak. Aku menatap dengan ekspresi bingung, "Tak Haramkan awakmu nde kene, ra tak trimu wong seng mek gowo pekoro" (Aku haramkan kamu di sini, aku tidak menerima pembawa masalah) katanya.
"Bude sayur" Aku mengatakannya dengan ketus, lalu meletakkannya di atas meja, memilih masuk ke dalam kamar. Rasanya emosiku sudah di atas kepala.

Dalam gaduhnya suara benturan barang-barang. Terselip tawa entah milik siapa.
Satu  berlalu, rasanya aku nyaris gila. Tetangga memberi tahu ku kalau kabar miring tentangku menyebar ke seluruh Desa.

Katanya aku tidak pernah bantu-bantu,aku tidak bisa punya anak, dan tentang aku yang menjauhkan Suamiku dari keluarganya.
Aku masih tidak habis fikir, padahal berkali-kali aku memilih mengalah, atau sekedar menanyakan dimana letak kesalahan yang aku lakukan, tapi Bude malah berteriak seperti orang yang hilang kewarasannya.
bude menjelma menjadi manusia paling baik di dunia. 

Belum lagi gangguan lain. Aku bukan orang yang penakut, sejatinya aku juga bisa merasakan. Tapi di ganggu terus menerus siapa yang tahan? Mimpi buruk terus berdatangan tanpa jeda.
Suamiku juga berubah semenjak dirinya kehilangan pekerjaan. 

Rasa lelah membuatku mengikuti perkataan temanku, aku datang padanya karna memang dia paham tentang hal yang tidak terlihat.
Sebut saja namanya Maya. Sebenarnya dia sudah lama menampung ceritaku, teman curhat yang paling tau tentang seluk beluk keluargaku. Tapi, butuh beberapa waktu untuk aku percaya, kalau masalah ini bersumber bukan lagi dari manusia.
Tapi setelah semua kegilaan di rumah ahirnya aku datang. 

Aku duduk di kursi kayu, kini bertatapan dengan wajahnya. "Aku sudah bilang kan, datang lebih awal biar kamu ga gila" Katanya sembari cekikikan.
"Kamu tau kan, pertama rumahmu jauh, ke dua aku gak terbiasa ke mana-mana tanpa suamiku" Alasanku. Maya tersenyum, sembari meletakkan segelaa teh panas tanpa gula.
"Sumbernya ada di rumah Mertuamu. Memang apa yang kamu harapkan setelah kamu minta anaknya keluar dari rumah, hidup bahagia? Ngimpi! " Kata Maya, sambil tertawa renyah.
Aku mengerucutkan bibirku. Aku sudah menduganya. "Lalu kenapa Bude yang jahat? Kan bisa ngirim  ke aku" Bantah ku. 

"Kamu ga sadar?" Maya menatapku dengan takjub. 

"Apanya?" Tanyaku bingung.
"Kamu punya bawaan lahir. Mending kamu tanya langsung ke orang tuamu. Aku ga bisa njelasin. Dan soal Bude, jawabanya ada di bawaan lahirmu" Maya menjelaskan kasarnya, tidak menyeluruh. Membuatku makin bingung.
"Udah, nanti juga terungkap lama-lama. Sebenernya Bude kamu itu cuman perantara. Yang jahat itu kirimannya" 

Aku mengangguk ringan. Sebenernya jika di fikirkan memang ada benarnya. Mungkin Bude bukan punya dua kepribadian tapi memang ada yang merubah karakternya.
Karna Maya, tidak mau membahas masalahku lebih jauh, sisa waktu kami gunakan untuk bercanda. Rasanya seperti terlahir kembali, mungkin sebenarnya aku butuh teman bicara sesekali. Karna satu rumah dengan orang yang tidak mengertiku sangat menguras tenaga.
Sebelum pukul 8 malam aku pamit pulang. Maya memelukku, sebelum aku keluar rumah. "Hati-hati" Katanya. "Cepat keluar dari rumah itu" Imbuhnya saat aku sampai di ambang pintu. Aku kembali menatap Maya, tapi Maya hanya melambaikan tangan.
"Udah lama nunggunya?" Tanyaku, melihat ekspresi Bagas yang terlihat masam. 

"Hmm" Gumam Bagas. Terlihat malas. 

"Lain kali kalau ga mau njemput bilang aja, aku bisa naik Grab" Ucapku kesal, tapi Bagas tetap diam, tidak menjawab ucapanku.
Aku menghabiskan malam dengan melamun, menatap pantulan diriku di cermin dengan laptop menyala. Aku menghenbuskan nafas panjang, berharap rasa kesalku juga ikut terbuang.
Aku melihat Bagas yang tertidur pulas, setiap tarikan nafasnya, juga wajahnya yang terlihat tanpa dosa membuatku tambah kesal.
Klotak
Suara nyaring batu yang mengenai jendela kayu membuyarkan tatapanku dari Suamiku. Aku beranjak, mendekati jendela lalu membukannya.

"Rumi?" Gumamku, saat melihat sosok anak kecil berbalut gaun putih sebawah lutut.
Aku keluar dari kamar, ke pintu belakang, lalu keluar. Rumi menungguku, wajah yang menengadah ke langit, sebelum akhirnya menatap wajahku. 

"Kenapa masih di sini?" Tanyanya dengan tatapan sedih. "Pergi, aku tidak bisa menahanya terlalu lama" Katanya.
Aku mendekat, hingga jarak diantara kami hanya tingal satu lengan. "Gak bisa, aku udah nikah. Kemana suamiku, di situ aku ikut" Kataku. 

"Yasudah, setelah ini kamu atasi semuanya sendiri" Tatapannya menjadi dingin. "Aku sudah memperingatkanmu"
"Kamu tidak pernah datang" Aku menjawab dengan ketus. Bahkan baru kali ini aku melihatnya selama aku pindah di sini. 

"Jangankan menampakkan diri, mendekat ke arahmu saja membuang banyak energiku. Kamu kira yang ku hadapi cuma satu?
Kamu kira gangguan yang tidak seberapa itu karna siapa? Kamu belum merasakan kengerian nya karna aku menjagamu" Ucap Rumi lirih namun tajam. 

"Jadi yang Bude liat itu kamu? Yang di bilang temanku juga itu kamu?" Tanyaku, walaupun aku sudah mendapat jawabannya.
"Kamu kira siapa Bu? Aku menjagamu bahkan saat kau tidak melakukannya padaku" Ucap Rumi, sebelum menghilang. 

Kata terahir menghujam jantungku. Menyusul kengerian demi kengerian setelahnya.
Malam menyingsing, di barengi dengan suara ayam jantan yang berhasil membangunkanku. 

Aku meraba ikat rambut, lalu menyisir nya pelan menggunakan jari, gumpalan rambut menyaru dalam kepalaku, masuk ke sela jariku, lalu aku meraihnya.
Rambut ritam sedikit ikal, aku mengerutkan dahiku, jelas bukan rambutku. Rambut milikku berwarna coklat juga lurus sebahu. Rambut ini bahkan sangat panjang setelah ku urai. 

"Kenapa?" Tanya Bagas, yang sudah berdiri di depan pintu, entah dari kapan.
"Liat" Ucapku, menyodorkan rambut yang ku temukan. 

"Punya siapa?" Bahkan Bagas saja tidak mengenali rambut itu. 

"Masuk ke rambutku tadi, bukannya aneh? Yang tidur di kasur cuma kita, dan rambutmu pun pendek" Ucapku
"Sudah buang saja" 

Aku mengangguk, setelah Rumi datang, rasanya memang ada sesuatu di rumah ini. Dan sepertinya Bagas juga tau.
Pagi, di susul pagi yang lain. Teriakan dan bantingan panci membangunkan ku, telingaku sudah mulai terbiasa.
Di separuh sadarku, suara Bude menyeruak "Aku i ra tau jenenge di ewangi! Mbendino mek turu tok, mari ngajar yo ra tau ewang-ewang.
Wi ayune mek topeng tok, asline bosok raine! Aku roh dewe pas dek e raop, nyawang aku gae rai asline, tatu kabeh, bundas getihen. Mboh wi gae ajian opo uong kok ndelok dee ayu"
(Aku tu ga pernah di bantu! Setiap hari hanya tidur, selesai ngajar juga ga pernah bantu-bantu. Itu wajahnya hanya topeng, aslinya busuk mukanya! Aku liat sendiri waktu dia cuci muka, dia liat aku pakai wajah aslinya.
Wajahnya hancur, berdarah-darah. Gatau itu pakai ajian apa sampai orang liat dia kok cantik)
Aku menyupal telingaku menggunakan headset. Menaikkan volume sampai aku tak lagi mendengar suara Bude. 

Sekarang bagaimana mau mbantu, kalau aku sendiri sudah terlanjur sakit hati. Berkali-kali ingin ku perbaiki tapi malah seperti bumerang untukku.
Lama aku mendengarkan musik, sampai sesuatu memelukku dari belakang. Deru nafasnya menghembus pelan melewati leherku. 

"Mas?" Tak ada jawaban, ku kira Bagas memelukku untuk menenangkanku.
Aku mengelus tanganya, berbulu. Kasar. Dan bau busuk. Aku melihat lengan Bagas. Secepat kilat aku membalikkan badan, di sinilah letak kengeriannya, aku beradu tatap dengan dua bola mata merah yang tengah tersenyum, memamerkan barisan taring miliknya.
"Mass?" Uangnya dengan nada mengejek. Membuatku membelalakkan mata. 

Haaaaaaaaaaaaaaa

Pekikku, melompat dari kasur. Menghilang! Sosok besar hitam itu seperti lenyap tak berbekas. Aku membuka jendela, membiarkan cahaya masuk menerangi seluruh ruangan.
Bisa-bisanya mereka meneror ku pagi buta begini. 

Belum juga selesai rasa kaget ku, pintu di buka dengan kasar. Bude memandangku dengan tatapan aneh "Sui-sui edan awakmu lak panggan ndek kene" (Lama-lama gila kamu kalau tetap di sini)
"Bude sengaja mau bikin aku gila? Ini ulahnya Bude?" Tuduh ku.

"Lak awakmu gae demit aku yo iso, open openan ku akeh" Ucap Bude dengan angkuhnya. Tuduhan yang tadinya aneh malah di iyakan langsung.
Tatapanku kian tajam, membalas tatapan angkuh Bude.

Tok tok tok

Suara ketukan pintu membuyarkan pertengkaran sengit antara aku dan Bude. Sosok perempuan masuk sembari membawa rantang makanan.
"Bude, titipan saking Ibu" (Dari) Ucap perempuan itu. Dia melewati ku seolah aku tidak ada "Namung di titipi kalih ndamel Bude kalian Mas Bagas" (Hanya di titipi dua, buat Bude sama Mas Bagas) Ucapnya.
"Suwon lohh Sis, benehe karo Bude. Gak koyok iku" (Makasih loh Sis, baiknya sama Bude gak kaya itu) tatapan sinis mengarah kepadaku. 

Aku menelan ludah sekalian dengan rasa sakitku. Sebelum memutuskan untuk masuk ke kamar dan menutup pintu rapat rapat
Dari luar aku masih mendengar celotehan Bude, karangan cerita seakan-akan aku manusia paling  busuk di dunia. Sedangkan Siska saudari iparku menimpali nya dengan tawa penuh arti. 

……… 

Malam kian larut saat suamiku masuk ke dalam kamar, aura dingin tergambar pada wajahnya.
Tak ada pertanyaan, sekedar basa basi tentang Aku yang sedari pagi mengurung diri di dalam kamar. Entah menanyakan tentang keadaankhu, suasana hatiku, atau tentang aku yang sudah makan atau belum. 

Walau begitu aku menyuguhkan teh panas, sebagai pembuka kata.
Mencoba mengalah, karna aku ingin membicarakan hal serius.

"Pindah yuk" Aku, masuk ke inti cerita. Ekspresi Bagas berubah drastis setelah mengar kata pindah.
"Kemana lagi? Aku sudah keluar dari rumah Orang tua ku, sekarang aku gak kerja, Belimbing pun belum panen, dan semua serba pas-pasan. Terus kita mau kemana?"

Aku terperangah, tak pernah sekalipun Bagas seperti ini.
Kalaupun aku salah, Bagas yang aku kenal akan menjelaskan dengan bahasa kasih, tidak dengan nada tinggi seperti ini.
Setelah mengatakan itu, Bagas keluar. Aku mengutut keningku yang mendadak pening. Harus pakai cara apa lg? Fikirku. 

Setelah merasa lebih tenang, aku meraih teh yang sudah dingin. Membawanya ke dapur.
Suasana dapur sepi, lampu juga sudah di matikan. Sepertinya Bagas keluar lagi setelah ajakanku pergi dari rumah ini. 

Aku menghela nafas panjang, mulai membersihkan gelas dan tumpukan piring. Bau busuk menyeruak, saat rantang makanan ku bongkar.
"Dahiku mengernyit, bukanya ini yang di antar Siska tadi?" Gumamku, dan lebih kaget lagi saat di dalam rantang bukan sisa nasi yang terlihat, melainkan gumpalan rambut juga bunga melati yang berbau busuk.
Aku menutup mulutku, mendadak badanku lemas. " Dee ngerti... Dee ngerti... " (Dia tau.. Dia tau..) suara itu menggema, mataku mengikuti sumber suara.

Badanku kaku, saat mataku menangkap sosok pocong sudah berdiri persis di pintu belakang.
Di belakangnya banyak sosok lain. Banyak sampai ke kebun belakang "Dee ngerti...  Dee ngerti... " (Dia tau... Dia tau...) Kata itu terus terucap dari sosok-sosok itu.
Dan dia yang paling besar, perempuan itu yang aku lihat pertama kali. Menatap ku dengan mata merah dan senyum yang membelah wajah.
"Wes ra enek seng mageri" (Sudah tidak ada yg menjaga) Ucap sosok itu. 

Aku berpegangan pada pinggiran bak cucian. Badanku bergetar hebat, butuh waktu untuk beranjak sebelum berlari kencang menuju kamar. 

Brakk…
Aku membanting pintu, memaksa pintu itu tertutup rapat-rapat. Menguncinya juga. Lalu aku naik ke kasur, menarik selimut dan bersembunyi di dalamnya. 

Hening, hanya suara deru nafas dan deru detak jantung, yang sedari tadi heboh sendiri.
Aku membekap mulutku kala sesuatu masuk ke dalam selimut. Aku memejamkan mata ku sekuat tenaga. Lambat laun sesuatu itu semakin masuk dan semakin masuk, tidak memberi jeda untukku bernafas.
"Huaaaaaaaaaa" Teriak ku tak terkendali, saat ku lihat kepala sosok perempuan itu berada pada pahaku. 

Aku berteriak seperti kesetanan, loncat dari kasur, sementara badanku bergetar hebat! Dari balik pintu Bagas masuk dengan tatapan kaget, lalu memegang pundakku.
"Kenapa sih Yu?" Tanya Bagas. 

Aku meremas kulit kepalaku, rasanya waras ku hampir keluar dari kepala.

"Persetan denganmu! Aku mau keluar dari rumah ini! Mau kamu ikut ataupun tidak" Ucapku, setengah berteriak dengan air mata yang tidak lagi bisa ku bendung.
Bagas diam, seperti orang linglung. Bagas yang tadinya sangat bisa ku andalkan kini tak berdaya.

Setelah aku tenang pun, saat aku mencoba untuk membahas pergi dari rumah ini lagi, dia mengatakan tidak akan keluar dari rumah ini.
"Ini rumah leluhur ku, aku ada hak di sini. Lalu kenapa aku harus keluar?"

Bagas menoleh padaku, entah kenapa pandangannya membuatku mundur beberapa langkah, seperti bukan lg Bagas yg ada di depanku.
Aku menyerah, aku tidak mungkin keluar rumah tanpa Suamiku. Karna keluar dari rumah ini sendirian berarti aku harus siap dengan kehilangan segalanya.

Setidaknya itulah yang aku fikirkan sampai suara pesan berbunyi membelah kesunyian.
Jiku, menghubungi ku. Entah anak itu kerasukan apa sampai menghubungiku duluan. Malam itu juga kami kami membuat janji, untuk bertemu di ke esokan harinya.

……..
Keesokan harinya, pukul 20:00 aku melihat Jiku dari balik gang. Melambaikan tangan padamu sebelum memberi pelukan hangat. 

Kami memilih warung lalapan untuk menjadi tempat tongkrongan kami.
Aku memesan lele dengan teh panas, dan Jiku memesan ayam goreng, dengan es teh dan kopi panas. Iya, dua minuman sekaligus. Memang aneh. 

Saat ku tanya kenapa teh duluan yang di minum pun, jawabanya tak kalah aneh "biar kopi nya dingin dulu" Katanya.
"Lah, kan pesen kopi panas, apa enak nya minum kopi dingin? mending pesen es kopi" Ucapku dengan tawa renyah. 

"Ga ada es kopi cete Mba Ayu, lagian ga suka kopi panas. Harus dingin dulu baru ketemu enaknya" Jawabnya.
"Terserahhhh" Balas ku. 

Tadinya, aku hanya membahas hal ringan. Tentang pertanyaan basa basi yang membuat kami saling melempar tawa.

Lalu dari obrolan ringan, aku masuk ke cerita-cerita mengerikan yang aku alami. Dan sosok perempuan tinggi yang senyum nya membelah wajah.
"Ada banyak Mba Ayu, bukan dia aja. Itu gudangnya" Ucapan itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Anak aneh ini memang selalu menebak dengan asal tapi tepat sasaran. 

"Soal Bude?" Tanyaku.
"Cuma alat, yang ngeri tu keluarga suami sampean. Rumah yang sampean tempati punya leluhur itu, yang jagain rumahnya banyak. Tapi ada yg bukan dari penghuni rumah itu yg ngeruwet" (Rumit) 

"Kiriman? " Tebak ku, Jiku hanya menggerakkan bahunya tanda tidak tau, dan bisa jadi.
"Aku udah capek banget Ji, suamiku berubah, mertuaku ga suka sama aku, Bude juga mau bikin aku gila"

"Emang rumit sih mba, mau pergi juga keadaan ada suami kan" Ucapnya. Memang benar yang dia katakan, cuma tidak terlalu menenangkanku.
Tapi, apa juga yang mau aku harapkan dari anak yang belum pernah menikah? pasti masukannya kadang tidak membantu sama sekali.

Namun, kadang aku hanya butuh seperti ini. Minum teh panas, makan enak, dan bertemu dengan orang yang bisa mendengarkanku. 

Cukup melegakan.
"Aneh ya, rasanya sekarang hatiku kosong. Hatiku, rasanya selalu kosong. Padahal aku kira dia orang yang tepat setelah bertemu banyak lelaki, dan akhirnya memilih untuk menikah"
"Memang hati sampean pernah terisi? Buat ngisi hati butuh kerelaan Mba, kerelaan untuk di isi. Dari awal samean ngijinin dia buat ngisi hati ga?" Tanya Jiku padaku. Benar, nyatanya selama ini aku tidak merelakan hatiku untuk di isi.
"Mungkin pernah, cuma karna banyak masalah datang dan bukan hanya dari manusia, aku rasanya muak, hopeless, dan ga karuan" Mataku berkaca-kaca kala itu. Aku menunjukkan seberapa kacaunya aku di buat keadaan.
Jiku menatapku tajam "kalau udah keisi harusnya samean pegangan sama dia. 'Mungkin' itu kata abu-abu mba"

"Aku kayak di ujung jurang Ji, nunggu jatoh"

"Samean tau mba, apa yang paling takut dari jatuh?"

Aku menggeleng pelan.

"Karna kita ga tau di bawah jurang ada apa"
"Kalau aku jadi samean dari pada nunggu jatoh, aku bakal terjun langsung. Atau pegangan sama suamiku sekuat tenaga. Di omongin dulu mba, kalau butuh tempat cerita atau sekedar ngungsi kos ku ada"
Jiku yang aku kenal sudah besar, mulai bijak menyikapi keadaan, bahkan menawarkan kenyamanan padaku. Bisa mengimbangi topik rumah tangga ku yang kelewat rumit.

Setelah cerita panjang, jiku melambaikan tangan padaku. Kami berpisah di persimpangan jalan.
Kembali ke rumah itu, ya.. Langkahku menuju kesana. Pak Grab berhenti tepat di rumah itu. Dari luar rumah terlihat gelap. Setelah memberikan uang kepada Pak Grab, aku mulai melangkahkan kakiku memasuki rumah itu. Ceklek, suara knok pintu terdengar nyaring
Bulu kuduk ku merinding, rumah sepi. "Mas" Panggil ku, namun tidak ada jawaban. Terus saja ku langkahkan kakiku menuju kamarku. Fikirku aku ingin cepat masuk kamar lalu beristirahat.

Tapi rumah ini seperti tak berujung, seperti di dalam kegelapan tanpa sekat dan ujung
Menit pertama aku masih bisa santai, tapi lebih dari 10 menit membuat adrenalin ku terpacu. Takut, perasaan itu merayap masuk kedalam kepalaku. Membuat bulu di sekujur tubuhku meremang.

"Massssss" Panggil ku lebih kencang.

Sretttttt srettttt
Suara kain di seret membuatku berpaling ke sumber suara, sungguh tidak ada apapun.

Sreettttt Sretttttt

Suara itu kian nyaring, dan nyaring, dan seperti berputar-putar di kepalaku.

Dan saat aku menengadah ke atas. Aku melihat banyak sosok berjalan menapak ke atap rumah
Sedang kepala meraka menghadap ke bawah. Bertatapan langsung dengan mataku.

Aku membelalakkan mataku, bukan hanya satu. Banyak! Terlalu banyak, lebih banyak dari apa yang bisa kamu bayangkan.

Cukup untuk membuatku jatuh, tidak! Belum selesai!
Hal yang paling mengerikan adalah saat mereka jatuh satu persatu, lalu mulai membuat lingkaran dengan aku di tengah-tengah mereka. Mereka mulai mengeliligiku, dengan tatapan mengerikan.
Sosok yang paling besar, tinggi dengan mata merah, membentangkan tangannya serupa lingkaran. dia di barisan paling luar, seakan menjadi pagar. Sedangkan banyak sosok di dalamnya, berputar mengelilingi ku.
Mereka terus berjalan mengelilingi ku. Aku meraung, tangisku pecah, badanku bergetar hebat saking takutnya.

Mereka melafalkan mantra, yang asing di telingaku. Kata-kata itu serta wujud mereka yang menyeramkan di telan kegelapan, membuatku ingin mati saat itu juga.
Dari banyak sosok itu, muncul dua sosok yang familiar.
Siska, adik iparku juga Ibu dari suamiku. Mereka berjalan mengelilingi ku bersama banyak sosok menyeramkan.

Mereka melempari ku dengan bunga putih, yang baru ku ketahui nama bunga itu kantil. Mereka tersenyum penuh arti.
"Wani-wani ne awkmu ngedohne aku ko anakku dewe!" (Berani-beraninya kamu jauhin aku dari anakku sendiri!)

"Mbten Bu!!!" Rintihku mengiba.

Aku tak punya pilihan lain selain mengiba agar hal menyeramkan ini segera berahir.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with JIKU

JIKU Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @jikumunya

Nov 28, 2022
Rumah itu menghantuiku, bahkan setiap puing genteng yang hendak menghantam wajahku tiap malam, tidak lebih mengerikan darinya yang bahkan tidak mbisa menyentuh kulitku.

@bacahorror_id @IDN_Horor Image
Pertama, aku ingin menyampaikan untuk siapapun km yang hendak mengapload story ini, ataupun ingin membawakannya. Selain mencantumkan narasumber, aku hanya ingin mengingatkan kalau lebih baik membawakan cerita ini di saat cerita sudah rampung.
Kedua, bagi pembaca ku yang sangat aku rindukan.. Jika kalian menantikan cerita ini setiap hari, atau mengharapkan kehadirannya setiap waktu, lebih baik baca cerita ini setelah rampung.

Kepadatan jadwal kerja, dan nongkrong, membuat cerita ini jarang tersentuh, jangan kecewa.
Read 84 tweets
Mar 4, 2021
#KMPGP

Cerita ini terjadi sekitar bulan oktober lalu. Sebenarnya Aku, indah, adrian, dan koko, sudah merencanakan pendakian ini dari lama. Tapi baru bisa bisa terlaksana sekitar bulan oktober.

Sebenarnya aku belun tau medan gunung penanggungan seperti apa
#KMPGP

Jadi, bermodal nekat kami berangkat ber empat dari Batu. Jarak yang kami tempuh rumayan panjang. Sekitar dua jam lebih.

Jadi di pertengahan jalan, kami mampir ke indomart untuk membeli sarapan, kopi, dan beberapa perintilan yang belum sempat masuk ke carier.
Read 39 tweets
Aug 31, 2020
“Aku, Dewi Arimbi. Sampai tiba ajalku nanti, aku akan tetap mencintai suamiku yang kamu bunuh di depan mataku. Hatiku terbakar bersama raga yang ada di dalam rumah itu”

#bacahoror #bacahorror Image
#KBR2

Rusli memarkirkan sepeda ontel nya di pekarangan rumah Nonok. Lalu bergegas masuk untuk meminjam kerbau untuk membajak sawah.

“Pakde nempel kebo” (pinjam kerbau) ucap Rusli sembari masuk menuju dapur.
#KBR2

Dilihat nya Nonok tengah memasukkan kayu ke dalam diang (api) sedangkan Pakde Bejo tengah menjemur kayu di samping rumah dengan kesal. Karna baru saja di masukkan ternyata tidak jadi hujan.
Read 147 tweets
Aug 29, 2020
Bagi nelayan, malam adalah teman, jala adalah sahabat. Namun, dirinya adalah sosok paling sial. Tiba-tiba naik di sampan minta di antarkan pulang. Nun, namanya.

#bacahorror #bacahoror #NUN
Cerita ini di ceritakan oleh Narasumber yang tidak ingin di publikasikan siapa namanya. Cerita ini adalah seada-adanya cerita yang tidak di kurang-kurangi maupun di lebih-lebih kan. Saya mencoba menceritakan kembali dengan menjaga keaslian cerita. Jadi langsung saja ke cerita nya
Read 52 tweets
Jul 13, 2020
Awalnya keadaan desa biasa saja, namun semuanya berubah saat kami kedatangan warga baru. "Keluarga Bpk Rusli" begitu kami menerka setiap terjadi pekara.

#KBR
#bacahoror
#bacahorror
Gerimis tipis membuat desa terlihat lebih gelap dari biasanya. Suara jangkrik nampak nyaring. Kabut mulai menutup pandangan. Pukul 17:00. Dari kejauhan nampak lampu senter mencoba menembus kabut yang kian pekat. Sayup-sayup terdengan seseorang menyapa
#KBR

“Pak...” sapanya pada Kandar. Sedang Kandar yang di sapa hanya membalas “Moggo” (silahkan) sebagai bentuk basa-basi. Padahal kandar sendiri tak dapat melihat seseorang itu.
Read 154 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(