Malem sob!
Kisah berikut ini terjadi di sekitar awal tahun 90 yang silam.Bagian dialognya akan ane tuliskan dengan menggunakan bahasa melayu sesuai dengan latar asli ceritanya namun tanpa ane cantumin terjemahan karena masih bisa dipahami dengan mudah.
Nama tokoh yang bersangkutan dan tempat seperti biasa akan ane samarkan demi kenyamanan bersama. Dan seperti biasanya juga yuk ramein tritnya dgn like dan rt sekalian.
Kalo udah, so let the haunt begin!
*****
Matahari semakin terbenam di ufuknya pada senja hari itu. Perlahan namun pasti, langit yang kian menggelap menggantikan terang memasuki waktu malam.
Jamaah yang hanya sekian orang meninggalkan surau tua tersebut setelah selesai sholat maghrib.
Ismail kecil masih betah berdiam sendiri di dekat gertak reyot yang letaknya di sebelah surau.
Matanya sedang tertuju pada sesuatu yang ada di gertak yang telah terbengkalai di situ.
Warna langit semakin meremang, tapi penglihatannya masih dapat memperhatikan cukup jelas bahwa ada seorang wanita di sana.
Bocah cilik itu merasa aneh.
Di satu sisi, ia penasaran dengan sosok wanita tersebut. Entah kenapa, rasa-rasanya ia pernah bertemu atau mengenalinya. Sementara di sisi hatinya yang lain, ia ragu bahwa ia kenal dengannya.
Perempuan yang tengah mandi pada jam tak wajar tersebut sepertinya sadar kalau Ismail sedang sibuk memperhatikannya. Dengar gerakan pelan, ia menolehkan wajahnya ke tempat Ismail terpekur sendiri.
Tak ada penerangan sama sekali di situ, tapi Ismail melihat wanita itu melambai-lambaikan tangannya. Ismail merasa dipanggil.
Sesaat ia ragu untuk menghampiri, walau sebenarnya ingin sekali ia menemui perempuan yang tampak tak asing tersebut.
"Ismail, sini... sini... ", bisik si wanita, agar Ismail mau mendekat.
Seperti hilang kesadaran, pelan-pelan Ismail berjalan maju menuju orang yang memanggilnya itu.
Ketika kakinya menginjak ujung gertak, ada tangan merangkul erat bahunya.
"Mau ngape kau? ", sergah lelaki tua tersebut.
Ismail tergagap ketika tahu-tahu ia sudah dirangkul oleh Wak Busran, nama lelaki tua tadi.
Ismail berpaling ke tempat ia dipanggil perempuan barusan, barulah ia sadar tak ada orang lain di situ selain dia dan Wak Busran.
Wanita yang tadinya mandi di situ telah menghilang dalam sekejap. Hanya lengang dan sepi mencekam yang terasa menggigit di tepi sungai tersebut.
Ismail tak mengerti, tiba-tiba ia jadi ketakutan sendiri.
"Dari tadek aku perhatikan kau melamun jak di sinik. Lalu kau maok nyebor pulak ke dalam sungai tuh, kau nih carek penyakit ke ape? ", Wak Busran menegur lagi.
" Kalau udah abes sholat maghrib, cepat-cepat pergi balek. Jam seginik jamnye jin pade keliaran. Kau bise kesambat!"
Ismail hanya bisa mengangguk mendengar nasehat wak Busran. Ia pun mematuhi perintahnya dan segera berlari pulang ke rumah.
*****
Kejadian malam kemarin masih membekas di kepala Ismail. Perasaannya memang berkata ia seakan kenal dengan si wanita yang ia temui itu, tapi ia tak mampu mengingat siapa dan kapan ia pernah melihatnya sebelum ini.
Selepas beberapa hari berlalu, akhirnya ia melupakan peristiwa aneh tersebut.
Sore harinya, gerimis membasahi langit tanpa henti hingga waktu petang tiba.
Berbekal sebuah payung hitam yang lusuh, Ismail pergi berjalan ke surau satu-satunya di kampung pinggiran sungai tersebut.
Ketika hendak pulang setelah ia sholat maghrib, lagi-lagi langkahnya berhenti persis di dekat gertak yang sama seperti sebelumnya dan si wanita yang kemarin ia lihat juga sudah ada di sana.
Seutas senyum mengembang di bibirnya tatkala ia melihat Ismail. Tangannya melambai lagi memanggil-manggil si bocah agar mau mendekat.
Ismail ingin sekali menemuinya untuk memastikan siapa sebenarnya sosok familiar itu.
Payung lusuhnya terlepas dari pegangan, tak ia hiraukan tubuhnya yang ceking itu basah bermandikan air hujan.
Dihampirinya wanita yang berdiri di ujung gertak itu.Di tengah derai gerimis, sayup-sayup Ismail mendengar suara tawanya yang bernada mengerikan.
Ismail menatap dengan pandangan kosong serta mulut membisu, tanpa ia sadari ia telah berjalan hingga di ujung. Si wanita mengulurkan tangannya untuk meraih Ismail yang berjarak semakin dekat dengannya.
Hanya tinggal selangkah lagi jarak antara Ismail dan wanita itu, akhirnya ia dapat melihat wajah sosok yang ada didepannya sekarang.
Ismail terkejut setengah mati.
"EMAK?? ", pekiknya lantang.
Jantungnya nyaris copot saat menyaksikan ibunya sedang berada dihadapannya saat ini.Pantas ia merasa kenal dan tahu sosok orang tersebut.
Namun di detik berikutnya, Ismail merinding dan merasakan ketakutan yang sangat luar biasa. Karena ia tahu jika sosok ini bukanlah sosok ibu yang sesungguhnya. Mana mungkin ibu bisa ada disini, sedangkan beliau telah meninggal lebih dari setahun yang lalu.
Perempuan menyerupai ibu Ismail itu menyeringai lebar. Wajahnya jadi begitu menakutkan, suara tawanya semakin keras keluar dari mulutnya yang melebar. Ia berhasil menggiring calon korbannya masuk ke dalam perangkap.
Ismail hendak melarikan diri,sayang geraknya masih kalah cepat dengan makhluk berwujud ibunya tersebut. Jari-jarinya yang berkuku runcing menancap kemudian mencengkeram pergelangan kaki Ismail sehingga bocah malang itu tersungkur dengan keras.
Ismail memekik kesakitan. Tanpa memberi kesempatan untuk bangkit, si wanita lalu menarik paksa tubuh Ismail agar segera masuk ke dalam sungai. Ismail meraung-raung keras dikuasai rasa takut.
Ia sadari bahwa nyawanya berada dalam marabahaya. Namun sekuat apapun ia menjerit tetap saja tak ada orang yang mendengarnya. Lokasi surau itu sepi tanpa ada siapapun di sana.
Si wanita berhasil menjatuhkan tubuh Ismail hingga ia tercebur ke dalam sungai yang gelap. Tenaganya mulai melemah, dengan susah payah ia masih berupaya menjaga dirinya agar tidak tenggelam.
Dua tangannya menggapai-gapai permukaan air.Namun sekonyong-konyong perempuan tadi membenamkan lagi tubuh Ismail untuk masuk jauh lebih dalam lagi. Ia terkekeh kegirangan.
Ismail sudah tak sanggup untuk bertahan, bagaimanapun tenaganya kalah jauh dengan tenaga yang dimiliki wanita misterius tersebut. Tubuhnya makin melemah, ia lemas berada lama di dalam air, ia tak sanggup lagi menarik nafas, pandangannya pun menggelap.
"Matilah aku... ", batin Ismail.
Di saat genting itu, muncul sosok lain yang dengan sekuat tenaganya mencoba mengangkat dan mengeluarkan Ismail dari dalam air.
"Allahu Akbar! ", pekik orang tersebut yang ternyata adalah wak Busran.
Kepayahan ia membopong Ismail menjauh dari gertak tempat ia tercebur tadi.
" Bangun nak! Bangun.. ya Allah.. " , rintih wak Busran kepada Ismail yang tak sadarkan diri.
Susah payah ia berusaha menyadarkan Ismail. Ia tak ingin sesuatu yang buruk menimpa bocah malang tersebut.
Ismail pun terbatuk-batuk, dari mulutnya menyembur air yang tadi menyumbat kerongkongannya. Dia selamat.
Ismail berhasil lolos dari maut yang hampir membuatnya tewas tenggelam di sungai yang dalam. Ia menangis sekeras-kerasnya dalam pelukan wak Busran.
Pak tua itu pun lega setelah berhasil menyelamatkan nyawa anak ini. Tak henti-henti lisannya bertasbih.
Kemudian, buru-buru ia mengantarkan Ismail pulang untuk segera dirawat.
*****
Sambil memeluk erat ayahnya, Ismail menangis lagi. Sesekali dalam tangisnya ia berkata dengan tersendat, " Tadik ade emak, pak.. ade emak.. ".
Pak Jamal, ayah Ismail, tertegun setelah mendengar cerita wak Busran barusan. Ia tak percaya kalau nyawa anaknya hampir melayang jika saja wak Busran tak ada di sana.
"Aku udah curige dari sejak anak kau nih suke melamun di situ. Perasaan aku rasenye emang udah tak nyaman. Pergi aku ke surau tuh, kutengok ade payung dekat gertak. Di sungai malah ade die maok tenggelam.. ", tukas wak Busran, panjang lebar.
Pak Jamal melihat ke pergelangan kaki anaknya tersebut, ada ruam membiru dan luka cakaran di situ, bekas dari tarikan tangan si wanita. Tampak Ismail mengernyit menahan sakit di kakinya.
"Sekarang bulan naas, penunggu sungai agik nyarek tumbal. Jage anak kau nih baek-baek,Mal! Usah kasik keluar rumah kalau udah malam. Nanti anak-anak yang laen pun maok aku ingatkan! ", lanjut wak Busran dengan nada cemas.
Ismail masih menangis pelan, pada ayahnya ia mengulang lagi ucapan yang sama seperti sebelumnya.
"Tadik ade emak, pak. Die ngajak biar ikut same die..", isaknya, pilu.
Pak Jamal terenyuh, tangannya mengusap kepala anak semata wayangnya itu.
Air matanya menetes saat mengingat kembali peristiwa tragis setahun yang lalu.
Kala itu, Nurhaya, istri pak Jamal pamit hendak mencuci pakaian di gertak dekat surau tersebut. Sempat dilarang oleh pak Jamal sebab waktu itu telah hampir waktu maghrib.
Tapi, entah kenapa himbauannya malah tak didengar oleh Nurhaya.
Hanya itu yang pak Jamal ingat karena tiba-tiba saja Nurhaya hilang tanpa diketahui keberadaannya.
Setelah beberapa hari dalam pencarian, warga kampung di pinggiran sungai itu dikejutkan dengan penemuan sejumlah potongan anggota tubuh manusia.
Lokasi penemuannya pun tak seberapa jauh dari gertak tempat terakhir kalinya Nurhaya terlihat. Gertak yang biasanya digunakan warga sekitar untuk mandi ataupun mencuci.
Saat mendengar berita tersebut, isi hati pak Jamal jadi campur aduk tak menentu. Ia kuatir kalau potongan-potongan tubuh tersebut benar milik istrinya yang lenyap.
Bersama Ismail, yang saat itu berusia tujuh tahun, pak Jamal berjalan gamang menuju ke lokasi penemuan.
Perasaannya hancur begitu ia mengenali bagian tubuh istrinya telah terpotong-potong dengan sangat mengerikan.
Ismail histeris begitu menyadari ibunya telah meninggal tanpa ada yang tahu penyebabnya.
Warga setempat mulai berspekulasi. Mereka menduga Nurhaya tewas karena diterkam buaya muara saat berada di gertak tersebut. Sisa-sisa bagian tubuhnya yang tak habis dimakan, membuktikan bahwa ia memang diserang oleh makhluk yang buas.
Walaupun sebenarnya jarang sekali ada buaya yang masuk ke perairan sungai kecuali buaya tersebut bukan buaya yang sesungguhnya.
Banyak warga yang yakin kalau buaya yang memangsa istri pak Jamal ialah makhluk jejadian penghuni sungai.
Mereka pun percaya waktu tersebut bertepatan dengan waktunya makhluk itu mencari makan, sialnya Nurhaya terpaksa harus menemui ajal dengan menjadi santapannya.
Semenjak peristiwa tersebut, gertak di dekat surau kecil tersebut tak pernah lagi digunakan oleh warga. Mereka terlalu takut jika kejadian yang sama akan terulang lagi pada mereka.
Sampai akhirnya gertak kayu itu semakin bobrok dan nyaris rubuh, namun menyisakan kesan angker bagi siapa saja yang mendekatinya.
*****
Sinar bulan menghiasi cerahnya langit pada malam hari itu.
Wak Busran menutup pintu surau rapat-rapat setelah jamaah keluar seusai sholat Isya.
Ia menghela nafasnya yang terasa berat. Jumlah orang yang sholat berjamaah semakin berkurang setelah insiden yang membuat Ismail hampir tenggelam. Warga sekitar situ ketakutan jika sosok tersebut malah berbalik mengincar mereka.
Daerah ini memang terkenal angker. Dibangunnya surau kecil tersebut pun bukan tanpa alasan. Wak Busran ingat betul kalau surau tua yang telah ada sedari ia kecil itu memang didirikan untuk mengurangi eksistensi banyaknya makhluk gaib yang menunggu daerah tersebut.
Dulunya, warga menginginkan dengan adanya kegiatan agama di lokasi itu, sedikit banyak akan menghilangkan kesan mistis yang ada di sana.
Namun sayang, seiring berlalunya waktu, masyarakat sekitar kembali disibukkan lagi dalam kehidupan duniawi. Mereka lebih memilih untuk memberikan sesajen sebagai sarana menolak bala dan bencana ketimbang beribadah.
Akibatnya, makhluk yang mendiami wilayah tersebut merasa jumawa dan mulai berani untuk menakut-nakuti. Ini yang membuat Wak Busran sedih sekaligus cemas akan keadaan kampung tersebut.
Ditatapnya surau itu dengan hati sendu.
Bangunannya semakin usang, lantainya yang hanya berupa papan telah keropos bahkan kayu pondasi bawahnya pun telah melapuk. Terkena ombak sungai sedikit keras saja, maka surau tersebut akan bergoyang-goyang.
Wak Busran berjalan hendak pulang. Namun ia menghentikan langkah kakinya. Matanya terfokus pada sesuatu yang ada di gertak dimana ia menolong Ismail beberapa waktu yang lalu.
Dibantu penerangan dari cahaya bulan, ia dapat menyaksikan dengan jelas sesuatu yang besar tersebut seakan-akan sedang menantikan kehadirannya.
Seekor buaya berukuran tak lazim tengah menatapnya tajam. Pandangannya terlihat menakutkan. Makhluk tersebut memiliki tubuh panjang dengan kulit keseluruhan berwarna putih, disertai moncong dan rahang kuat yang siap untuk mengoyak mangsanya.
"Astaghfirullah... ", desis wak Busran. Ia tak bergeming menyaksikan penampakan hewan ganjil di depannya tersebut.
Keringat dinginnya mulai mengalir, kuduknya merinding hebat.
Ia teringat cerita warga yang mendiami wilayah sungai dahulu mengaku pernah melihat kemunculan seekor buaya putih di perairan tersebut. Namun, ia yakin buaya yang dimaksud merupakan jelmaan dari makhluk gaib penunggu sungai ini.
Sosok yang sebenarnya jahat dan kejam, serta tak segan meminta nyawa manusia sebagai tumbal.
Sekarang wak Busran melihat makhluk tersebut dengan mata kepalanya sendiri.
Mungkin makhluk ini yang dulu memangsa Nurhaya dan mungkin dia juga yang menyaru sebagai dirinya untuk membunuh Ismail. Sepertinya ia tak terima dan marah karena wak Busran menggagalkan rencananya tempo hari.
Sorotan mata si makhluk masih tertuju lurus ke arah wak Busran. Lelaki tua tersebut terdiam dan tak sanggup untuk bergerak. Ia telah pasrah jika buaya jejadian itu mau menerkamnya.
Tapi jika ia masih diberi kesempatan untuk hidup, maka ia akan berusaha untuk melawan semampunya.
Waktu berjalan terasa lambat, saat mereka berdua saling berhadap-hadapan.
Buaya besar itu mengeluarkan suara seperti geraman, kemudian ia bergerak perlahan.
Wak Busran semakin panik. Ia ingin lari dari situ, tapi timbul rasa tak mau kalah dari gertakan makhluk tersebut.
Bagaimanapun caranya ia akan melawan.
Tiba-tiba saja si buaya berpaling dari wak Busran yang tampak penuh tekad. Kemudian ia menceburkan diri ke dalam sungai, hingga ia menghilang di telan kegelapan malam.
Setelah kepergian makhluk tadi, lemaslah kedua tungkai kaki wak Busran .
Alhamdulillah, desahnya, setelah tadi ia dipenuhi rasa takut yang teramat sangat. Ia lolos dari maut yang baru saja mengintai.
"Besok maok kubongkar gertak terkutuk itu, semoge nanti kejadian macam ini tak terulang agik.. ", tukas wak Busran.
Ia pun melanjutkan perjalanannya menuju ke rumah.Peristiwa aneh yang ia alami barusan akan selalu membekas di ingatannya.
Surau kecil di pinggir sungai itupun menjadi saksi bisu atas pertemuan mengerikan antara wak Busran dengan sosok buaya putih tersebut untuk yang pertama dan yang terakhir hingga di penghujung usianya.
Sekian
Selesailah sudah untuk cerita di malem hari ini sob. Sampai jumpa lagi di kisah ane yang lainnya .
Good night and sleep tight!
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Malem sob!
Kisah yg akan ane tulis di bawah ini merupakan sebuah peristiwa yg pernah terjadi beberapa waktu yang lalu. Nama-nama tempat dan tokoh yg bersangkutan akan akan ane samarkan demi kenyamanan bersama.
Sebelum kita mulai, yuk ramekan tritnya dgn like rt dan komen sekalian.
Malem sob!
Kisah yg akan ane tulis di bawah ini merupakan sebuah peristiwa yg pernah terjadi di kota ane beberapa waktu yg lalu. Nama dan tempat akan ane samarkan utk menjaga nama baik pihak yg bersangkutan.
Sebelum mulai, yuk ramein tritnya dgn like rt dan komen sekalian.
Kalo udah, so let the haunt begin!
Jadi ini semak-semak di sebelah rumah ane. Sebulanan yg lalu kira2, pas ane lagi diluar rumah ada suara anak-anak ketawa dri arah semak ini.Padahal baru sekitar jam 8an gtu. Masih gak malam2 amat. Beberapa harinya pas emak ane lgi makan malam di dapur, blio juga denger ada-
-suara tangisan gtu,tpi yg nangis ini kata blio kyak suara anak bayi. Berdasarkan dari pengalaman diatas, jadilah kisah berikut yg idenya ane dapet dari suara di semak-semak tadi.
Sewaktu ane lagi ngerjain naskahnya, ada juga satu kejadian. Sekitar jam 10 malem saat ane sibuk nulis tu kisah, ada suara emak ane manggil ane dari arah luar jendela kamar. Udah jam 10 malem dan emak ane manggilin dri jendela? Padahal emak ane lgi nyante dikamarnya.
Disclaimer : tulisan di bawah ini merupakan cerita fiktif belaka.
Jika ada kesamaan nama tokoh dan tempat, maka itu hanyalah sebuah kebetulan semata.
Peringatan : terdapat beberapa adegan kekerasan dan sedikit vulgar di cerita ini.
Aku termenung menatap beberapa lembaran kertas yg tergeletak di lantai tepat di hadapanku.
Kepala ini terasa mumet. Heran sekali aku kenapa sulit amat untuk mengingat dan menghapalkan deretan angka yg tertera di kertas-kertas tsb.