Daniel Ahmad Profile picture
Jun 25 81 tweets 11 min read
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 4, 5, DAN 6

@bacahorror

@IDN_Horor

#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi #MisteriAnakAnakPakJawi Image
Sekali lagi, Thread ini berbeda dengan versi Kaskus dulu, baik tokoh, latar waktu, dan tentu saja sebagian besar plotnya.

Oke, mulai.
CHAPTER 4

Menyambung tidur setelah salat subuh adalah pelanggaran berat di pesantren. Selagi masih di rumah, aku bisa melanggar berkali-kali tanpa takut disiram pasukan Ubudiyah (Abdi pesantren yang bertugas mengkoordinir pelaksanaan ibadah para santri.--
--Termasuk salat berjamaah, terutama salat subuh). Lagipula kakek juga tidak terlalu peduli aku bangun jam berapa.
Mungkin karena aku cucu laki-laki dan masih sekolah, belum punya kewajiban masak dan mencari nafkah. Kakek hanya membangunkanku untuk salat, selebihnya aku mau tidur sampai bulan puasa pun dia tidak akan ganggu.
Jam dinding menunjuk ke angka sembilan. Pantas saja badanku terasa lemas, ini rekor tidur baruku setelah sebelumnya mentok di pukul delapan. Butuh waktu sepuluh menit untuk bangkit dari pebaringan, dan tambahan lima menit untuk bangun dari duduk termenung memikirkan masa depan.
Begitu kubuka pintu kamar, ternyata kakek sedang duduk di ruang tamu. Telanjang dada dan berkeringat. Usia kakek mungkin sudah hampir 60 tahun, aku tidak tahu pastinya, tapi otot-ototnya yang menonjol itu seperti mengejek badan kurusku.
"Tumben jam segini masih di rumah, Kek?" tanyaku.

"Habis senam," jawab kakek.

"Di mana?"

"Di ladang."

"Itu bukan senam!" sahutku, jengkel.

"Ya, tadi sekalian periksa rumah, takut ada maling."
Kakek dan keluarga kami tinggal terpisah. Rumah kakek sendiri ada di pinggir hutan. Satu-dari sedikit hunian manusia yang ada di sana. Sudah berkali-kali bapak meminta kakek untuk tinggal bersama kami, tapi dia selalu saja menolak.
Katanya terlalu banyak kenangan di sana, dan kakek berniat menjaga kenangan itu sampai akhir hayatnya. Kali ini saja kakek mau tinggal di rumah bapak untuk menemani aku selama liburan.
Baru kusadari ada sesuatu di punggung kakek. Seperti luka, atau mungkin penyakit kulit. Yang jelas bukan koreng. Sebagai seorang santri, aku sudah paham betul tentang ciri-ciri koreng, sudah jadi penyakit langganan bagi kami,
tapi yang ada di punggung kakek jauh lebih rusak dan menjijikkan. Kulitnya sedikit menghitam, dengan banyak sekali benjolan merah, dan itu tersebar cukup luas di area punggung bagian kanan.
"Itu kenapa, Kek?" tanyaku yang langsung ambil posisi duduk berhadapan.

"Disengat lebah," jawab kakek sekenanya.

"Kek, aku sudah kelas tiga madrasah Aliyah."

Kakek melongo. Bagaimana mungkin dia tidak sadar cucunya sudah bukan anak kecil yang mudah dibohongi.
"Loh, sudah kelas tiga masa tidak tahu sama lebah?"

"KEK!"

"Penyakit kulit," jawab kakek cepat. "Tapi kakek lupa namanya. Katanya sejenis cacar. Kemarin sempat mewabah di desa ini."
Kulihat botol plastik bekas air mineral yang terisi obat dari Pak Ahsan sudah separuh kosong. Sekarang aku jadi tahu kenapa kakek butuh obat itu.

"Sudah diobati?" tanyaku.
"Ya, ini sudah botol keempat, tapi tidak sembuh-sembuh. Padahal kata orang-orang, si Ahsan itu sakti. Bisa nyembuhin berbagai penyakit," gerutu kakek.
Kakekku jarang menunjukkan sisi lemahnya. Dia lebih sering bertingkah konyol seperti anak kecil, bahkan di saat serius sekali pun. Herannya, orang-orang di desa ini masih saja menaruh hormat, atau kalau boleh aku bilang, mereka takut padanya.
Aku tidak begitu tahu riwayat hidup kakek semasa muda, tapi melihat bekas luka di perutnya, sepertinya dia pernah melalui hidup yang sangat keras. Kali ini saja kulihat wajahnya letih, dan dahinya sedikit mengerut menahan perih. Penyakit kulitnya itu pasti sudah parah.
Bicara tentang Pak Ahsan, aku jadi teringat kejadian semalam dan segala keanehan yang kutemukan di rumah si tabib itu.

"Pak Ahsan itu memang cuma tinggal sama anak-anaknya, ya, Kek?"

"Anak-anak?" tanya kakek bingung.
"Iya, pas aku ke rumahnya semalam, ada enam anak kecil di sana."

Kening kakek yang sedikit keriput karena usia, jadi makin berkerut karena heran.
"Tidak tahu. Kakek berkali-kali ke sana, tapi tidak pernah lihat anak kecil. Setahu kakek juga tidak ada istri, ada pun dengan usianya yang sudah lebih tua dari kakek mana bisa punya anak? Itunya sudah pasti tidak berfungsi," tutur kakek.
Itu yang aku pikirkan dari semalam. Selain dengan keenam anak itu, sepertinya Pak Ahsan tinggal sendiri. Lagipula saat kuungkit soal ibunya, anak-anak itu justru mengamuk.
Bicara soal anak-anak Pak Ahsan, aku terbayang lagi wajah dan perangai mereka yang aneh. Semalaman aku mencoba memaklumi, menganggap mereka punya kekurangan fisik dan mental,
tapi kalau ingat soal paku, batu, dan semua benda yang hendak mereka lemparkan padaku, rasanya tetap saja mengerikan.
"Kakek kalau ke rumah Pak Ahsan pagi atau malam?" tanyaku, tidak tahu apa yang aku coba konfirmasi lewat pertanyaan ini, tapi kurasa penting untuk tahu.

"Biasanya siang, soalnya dia tidak terima tamu kalau malam."
Cukup. Harusnya aku memang tidak bertanya. Sekarang aku jadi punya kesimpulan gila kalau keenam anak itu cuma keluar di malam hari, dan itu menambah daftar keanehan tentang Pak Ahsan yang sebenarnya sudah sangat banyak.
Aku bahkan belum bisa mencari penjelasan logis tentang lonceng sapi ajaib yang digunakan Pak Ahsan untuk menenangkan anak-anaknya. Kurasa pembahasan tentang Pak Ahsan cukup sampai di sini. Tidak mau lagi memikirkannya lebih jauh, karena memang tidak ada niat untuk kembali.
Kakek mengambil karet gelang di meja, lalu mengikat rambut panjangnya yang sebagian besar sudah putih kusam. Setelah itu, kakek meraih obat pemberian Pak Ahsan, lalu meneguknya sampai tiga kali.

"Kenapa?" tanya kakek kala melihatku melotot heran.
"Bu-bukannya itu buat diolesin ke lukanya?"

Sekarang kakek pun melotot heran. Dia melihat botolnya yang hampir kosong, lalu melihatku lagi sambil bengong.

Aku cuma bisa tepuk jidat.
"Sudah berapa botol yang kakek minum?" tanyaku, jengkel.

"Em-empat," jawab kakek rikuh.

"PANTAS NGGAK SEMBUH!" bentakku.
CHAPTER 5

Siang hari yang membosankan. Kakek pergi entah ke mana. Orang tua itu selalu kelihatan sibuk, padahal tidak ada kerjaan selain membuat layangan dan membuat jengkel bapak. Nasi bungkusnya juga tidak disentuh dari pagi, masih utuh di meja makan.
Kecuali pisang goreng yang sudah habis dimakan. Lama-lama peran kami tertukar. Bukan kakek yang mengurus aku selama liburan, tapi aku yang mengurus kakek selama bapak dan ibu tidak ada.
Rumahku berada di pinggir jalan besar, bisa dibilang rumah terakhir di perbatasan desa bagian barat, dekat dengan hutan Sumbergede. Jika mengecualikan mobil-mobil besar yang lewat di sepanjang jalan pantura, maka bisa dibilang rumahku jarang dilalui warga.
Kami harus pergi cukup jauh untuk memenuhi hampir semua kebutuhan pokok, di dekat sini tidak ada yang buka warung, karena memang hampir tidak ada tetangga.
Sekitar satu kilometer ke timur, ada gapura merah. Dari gapura itulah jalan utama Desa Sumbergede dimulai, memanjang lurus ke utara, diapit ladang jagung dan barisan rumah warga.
Berjarak lima rumah selalu ada gang. Rumah yang berada pinggir jalan kebanyakan memang rumah gedung, tapi di dalam tiap-tiap gang masih banyak rumah bilik bambu, berlantai semen, bahkan masih ada yang dari tanah.
Di desa ini, bapak termasuk salah satu orang berada. Rumah kami bisa dibilang cukup bagus. Tidak terlalu luas, tapi halamannya cukup untuk menampung sepuluh anak-anak bermain bola. Sayangnya, tidak ada anak-anak yang mau bermain ke sini.
Selain karena jaraknya yang jauh, para orangtua juga tidak mengizinkan anak-anaknya bersepeda ke jalan besar. Itulah salah satu alasan aku tidak punya banyak teman.
Saat hendak pergi ke kamar mandi, kudengar pintu rumah diketuk, bergantian dengan suara orang mengucap salam. Kuurungkan niat buang air besar. Berjalan pelan dan malas untuk membukakan pintu.

"Waalaikumsalam," jawabku.
Di luar sudah ada tiga orang bersarung. Salah satunya kukenal sebagai teman bapak, tapi lupa namanya, yang aku tahu, setiap kali orang itu ke sini, pasti ada sesuatu yang gawat.

"Haji Karim ada?" tanya salah satu dari mereka.

"Abah sama umi lagi di luar kota."
"Duh, kira-kira jam berapa pulang?"

"Masih lama, kemungkinan satu minggu," jawabku.

Mereka langsung cemas. Berbisik, berdiskusi, lalu mengangguk seperti menemukan kesepakatan.

"Kalau Kang Saleh?"

Kali ini teman bapak yang kukenal itu bertanya.
"Kakek lagi keluar. Biasanya sore baru pulang. Mari masuk dulu, Kang."

Lagi-lagi tiga orang ini berbisik gelisah, membuatku yang keburu buang air jadi makin kesal. Tidak bisakah mereka memberitahuku maksud kedatangannya, daripada bisik-bisik seperti itu.
"Anu, kalau boleh tahu ada apa, ya?" tanyaku.

Seolah berat hati karena tidak ada pilihan lain, mereka pun memberitahuku.
"Begini, Dik, Pak Asmawi, temannya Haji Karim lagi ... anu, sakit. Kemarin Haji Karim minta kami buat ngasih kabar kalau-kalau kondisi Pak Asmawi memburuk, nah sekarang—"

Penuturan orang itu dipotong oleh teman bapak. Dia mengambil alih menjelaskan.
"Sampaikan saja sama Kang Saleh, korban santet di Sumbergede bertambah lagi," ucapnya singkat dan tanpa basa-basi.

Setelah itu, mereka bertiga pamit pergi. Sempat berdebat di halaman tentang siapa yang harus mengayuh becak, dan setelah ditentukan dengan undian,
teman bapak terpaksa mengayuh sambil mengeluh, sementara kedua orang lainnya duduk santai di becak sambil merokok.

Kabar yang disampaikan tamu barusan menjadi bahan lamunanku saat buang air besar. Kasus santet sudah jadi masalah besar di beberapa daerah Tapal Kuda sejak--
beberapa tahun terakhir. Di Kabupaten Gandrung malah makin gila lagi. Bahkan di pesantren tempatku mondok sudah jadi pembahasan sehari-hari. Siapa yang sakit, siapa yang perutnya kembung, siapa yang muntah darah, keluar paku dan silet,
bahkan siapa yang mati bulan ini. Tak kusangka di desa ini juga ada kasus serupa, padahal Sumbergede cukup terkenal karena ada salah satu pesantren besar di sini.
CHAPTER 6

Selepas salat isya, aku pergi membeli minyak goreng ke warung langganan yang lumayan jauh dari rumah. Kuperhatikan kakek tidak terlalu suka makan nasi bungkus, dan kalau boleh jujur, aku pun demikian. Karena itu aku berniat masak untuk besok.
Siapa tahu dengan begitu kakek jadi lebih betah di rumah. Lagipula, kupikir ini sebagai bentuk balas budi padanya. Demi menjagaku, kakek rela menurunkan egonya untuk tinggal di rumah bapak, padahal sudah sejak lama hubungan keduanya tidak terlalu baik.
Mereka kerap kali bertengkar seperti anak kecil, dan walaupun pemicunya seringkali hal yang sepele, aku masih tidak tahu awal mula permusuhan itu terjadi.
Bapak orang yang keras, baik kepalanya maupun omongannya. Sementara kakekku malah sering bertingkah konyol, serta sulit dinasihati terutama jika sedang sakit. Kurasa itu bisa jadi salah satu penyebab mereka tak pernah kompak.
Salah satu yang paling kuingat adalah, bapak dan kakek pernah berkelahi di warung karena berebut pisang goreng. Pi-sang-go-reng, dan saat kubilang berkelahi, mereka benar-benar berkelahi. Saling pukul, tendang, banting.
Aku yang saat itu masih terlalu kecil untuk melerai, hanya bisa menangis saat keduanya sama-sama pingsan. Kupikir mereka sudah mati. Bapak dan kakek baru siuman setelah dibawa ke puskesmas, dan, ya! Setelah sadar, mereka berkelahi lagi.
Sampailah aku di tujuan. Warung kecil di pinggir jalan ini tidak banyak berubah. Dulu setiap kali ke pasar, ibu pasti mampir ke warung ini untuk beli sesuatu yang tidak kami dapatkan di pasar. Masih banyak kendaraan lalu-lalang.
Para nelayan yang hendak berangkat berlayar, tukang becak yang baru pulang dari pangkalan, sampai gerobak pengangkut pasir pun jadi bagian dari parade malam hari ala desa Sumbergede.
Perhatianku teralihkan pada seseorang yang sedang berdiri di depan warung. Kehadirannya cukup membuatku kaget sampai menunda turun dari motor. Aku kenal anak itu. Aku hanya tidak menduga akan bertemu kembali secepat ini.

"Itu, kan, salah satu anak Pak Ahsan, si Gendut?" gumamku.
Dalam termangu, kulihat seseorang melempar sekantong plastik beras ke arah si Gendut. Beras membentur wajahnya dan jatuh ke tanah, berceceran, mengundang ribut ayam-ayam sekitar. Walau tidak mengerti apa yang sedang terjadi, tapi hatiku sakit melihat pemandangan itu.
Lekas aku turun dari motor, lalu kubantu si Gendut memungut beras yang berserakan. Lebih tepatnya, akulah yang membereskan beras itu seorang diri, karena anak ini hanya berdiri tanpa reaksi.
"Ini," kataku sambil menyodorkan sekantong beras.

Si Gendut menoleh. Aku pun membuang muka. Aku bahkan tidak mengerti kenapa repot-repot menolong anak ini. Bukankah kemarin malam dia dan kelima saudaranya nyaris membuatku mati berdiri.
Sepertinya, separuh hatiku masih menyimpan iba. Walaupun cara si Gendut mengulurkan tangan, meraih beras, kemudian berpaling pergi, semua gerak-geriknya benar-benar aneh dan tidak biasa. Aku mulai berpikir, betapa tidak beruntungnya keluarga Pak Ahsan.
Sudah keenam anaknya cacat fisik, mereka juga cacat mental. Si Gendut menoleh ke arahku untuk kedua kalinya. Mulutnya masih menganga dan selalu ada air liur yang lewat di dagu lalu menetes di perut buncitnya.
Bohong kalau kubilang tidak jijik. Hanya saja, samar-samar di telingaku, aku mendengar suara anak itu. Tidak jelas apa yang ia katakan, tapi kuanggap itu adalah ucapan terima kasih.
Sekarang, selagi anak itu pergi—berjalan dengan langkah beratnya yang pelan sekali—aku yang sejak tadi jongkok pun akhirnya berdiri. Saat itulah aku sadar bahwa aku sedang diperhatikan oleh pemilik warung.
Terheran dengan keadaan, aku hanya bisa berdiri canggung di depan warung, selagi pemiliknya memandangiku dengan tatapan aneh, seolah sedang bertanya kenapa aku melakukannya? Tidak hanya itu, ada dua orang ibu-ibu sedang berdiri di samping warung,
sepertinya mau belanja juga, tapi karena sebuah alasan, mereka memutuskan untuk menundanya. Kedua ibu itu saling berbisik dengan lirikan sinis. Jelas sudah, mereka sedang membicarakanku.
Lalu, ada seorang tukang cendol yang kebetulan sedang lewat, tapi memutuskan untuk berhenti dan memberiku tatapan yang sama dari seberang jalan.
Aku benar-benar dibuat bingung dan tak nyaman. Namun, karena malas mencari tahu alasannya, kupecahkan kebekuan itu dengan mencoba bersikap biasa.

"Minyak goreng sama berasnya dua kilo, Mbah." Kataku, pada pemilik warung yang sudah seusia kakek.
Tanpa menjawab atau sekadar basa-basi menyapa pembelinya, nenek itu meraih kantong plastik yang tergantung di samping etalase rokok. Tempatnya lumayan tinggi,
sedangkan si nenek lumayan pendek. Ingin aku membantunya, andai saja kami tidak dipisahkan oleh meja yang penuh oleh tatanan sayur-mayur dan rempah-rempah.
"Mau ambil apa, Mak?" Tanya seorang pria. Ia baru saja masuk melalui pintu yang menghubungkan warung tersebut dengan rumahnya, "Eh, Dani, ya?"

"Iya, Cak. Wah, lama tidak ketemu Sampean."
Pria itu adalah Kak Imam. Dulu, ia pernah bekerja di ladang jagung bapak sebelum akhirnya menikah dan menetap di rumah istrinya. Mungkin barusan adalah mertuanya.
"Mak istirahat saja, biar saya gantikan," kata Kak Imam seraya menimbang beras pesananku.

Si Nenek pun pergi. Ia masih sempat melempar pandangan sinis itu padaku.

"Sudah berapa hari kamu di sini?" Tanya Kak Imam.

"Baru kemarin, Cak."

"Sudah lulus?"
"Belum, baru juga selesai ujian. Sekarang lagi liburan."

"Udah lama sekali, ya. Saya masih ingat pertama kali kamu mondok di luar. Kalau tidak salah waktu itu umurmu masih tiga belas atau empat belas, benar tidak?"

"Empat belas," tegasku.

Kak Imam menyelesaikan pesananku.
"Ada lagi, Dan?" tanya Kak imam.

"Ini saja. Terima kasih banyak, Cak."

Transaksi pun selesai, kubergegas pulang melewati dua orang ibu-ibu yang sejak tadi berusaha menghindar.
Mereka bahkan tidak mau belanja kalau aku belum pulang. Mereka sudah begitu semenjak aku menolong si Gendut, seolah aku telah melakukan sebuah kesalahan yang fatal.
Kiranya kurang dari seratus meter aku meninggalkan warung Kak Imam, lampu motorku menyorot seseorang di pinggir jalan. Seorang anak kecil berdiri di bawah tiang lampu, melotot, menyeringai, menampakkan giginya yang jarang.
Dia adalah si Gendut, dan dia berhasil membuatku takut, terutama saat anak itu melambaikan tangan sambil mengucapkan sepatah kata.
KAKAK!
Aku tancap gas dan tidak mau repot-repot menoleh ke belakang.

(Note : Si Gendut, dan anak-anak Pak Jawi menyebut Cacak, yang berarti Kakak. Cuma saya tulis jadi kakak)

(Note: Mulai dari Chapter ini, Thread akan di-update seminggu sekali, ya. Terima kasih teman-teman)

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Daniel Ahmad

Daniel Ahmad Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @DanieloAhmad

Jun 30
Dini hari kakek membangunkanku. Dari caranya mengguncang dan menepuk kakiku, sepertinya dia sangat panik. Aku belum siap menghadapi dunia yang masih terlalu dingin dan gelap, hanya bisa merespon dengan wajah kusut dan berdeham serak.
Read 73 tweets
Jun 23
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
CHAPTER 2 DAN 3

@bacahorror @IDN_Horor

#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
Salah satu adab dalam bertamu adalah, tahu kapan waktunya berkunjung, dan kapan waktunya pulang, tapi Pak Edi sudah ada di rumah sejak azan magrib selesai dikumandangkan, hingga bertemu dengan azan isya.
Read 79 tweets
Jun 23
Kisah ini terinspirasi dari sebuah legenda di desa kecil, di daerah Tapal Kuda.

[A Thread]

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI
Ditulis Oleh : Daniel Ahmad

CHAPTER 1

@bacahorror @IDN_Horor
#threadhorror #bacahorror #timurtrilogi Image
Pengantar

Kisah ini sudah ditulis ulang, dan sedikit berbeda dengan thread Kaskus sebelumnya.

Ditulis sebagai bacaan, hiburan, serta tidak ada niat saya untuk menyinggung kondisi fisik dan mental seseorang.
Gang tanpa nama. Kusebut begitu karena memang tidak ada namanya, atau aku saja yang tidak tahu. Gang itu berada di pinggir jalan utama Desa Sumbergede, tepatnya di sebelah timur, berhadapan dengan hamparan ladang jagung luas yang jika sedang musim tebang--
Read 50 tweets
May 28, 2020
PENGEMIS KAMPUNG BAYANG (HORROR STORY)
BASED ON URBAN LEGEND.

Ditulis oleh, Daniel Ahmad.

BAGIAN 1 DAN BAGIAN 2

#PengemisKampungBayang #DanielAhmad #ceritahoror #ceritahorror #CeritaHororTwitter Image
Saya akan berbagi kisah tentang sebuah kampung di dataran tinggi kota Gambir. Kisah ini akan di-update secara berkala setiap malam jumat, atau setiap kali saya mau.

Mari kita mulai.
BAGIAN 1

Malam ini saya tidak bisa tidur. Hujan yang katanya ampuh mengundang lelap, kini justru terdengar menakutkan. Atap rumah seperti digempur jutaan kerikil. Benar-benar berisik. Belum lagi gelegar petir yang terdengar hampir setiap lima menit sekali.
Read 187 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(