"Gerson, apa yang kau sembunyikan," ujar pak Salundik lirih, hampir tidak terdengar.
"Sepertinya aku harus bertemu Gerson. Firasatku mengatakan ada yang ia sembunyikan. Mungkin, ada jawaban siapa pengirim parang maya misterius itu," lanjutnya.
Setelah pamit, rombongan kami lantas meninggalkan rumah duka, menyusuri jalan desa menuju rumah pak Gerson. Kali ini, pak Sekdes juga ikut, entah apa tujuannya.
Setelah beberapa menit berjalan, akhirnya kami tiba di rumah pak Gerson.
Kedatangan kami disambut gembira oleh pak Gerson dan keluarga. Namun, begitu melihat ada pak Sekdes dalam rombongan, raut wajah pak Gerson dan istri seketika berubah menjadi kecut.
Begitu kami duduk di ruang tamu, pak Gerson langsung buka suara dengan nada penyesalan.
"Aku sudah mendengar apa yang terjadi dengan Dehen. Jauh di lubuk hati, aku turut berduka. Sungguh miris mendengar apa yang menimpanya," ucapnya bergetar.
"Kenapa kau belum datang melayat. Bagaimanapun juga, kita ini satu kampung," sergah sekdes.
Pak Gerson menghela napasnya sejenak, menikmati tiap isapan rokok lalu kembali berucap.
"Kau tahu, aku tidak datang bukan karena aku membencinya. Tapi, siapa yang menjamin keselamatan keluargaku.
Keluarganya Dehen pasti menuduhku pelaku kematiannya. Bisa saja, saat aku tiba di sana mereka berbuat nekat."
Pak Sekdes terdiam tidak berkutik. Namun tak lama, suasana di ruang tamu berubah ketika ibu mertua pak Salundik yang datang dari dapur mendadak histeris.
Wajah keriputnya berbinar melihat benda di tangan pak Salundik.
"Salundik, kau dapat dari mana mandau itu. Itu pusaka milik mendiang suamiku," selorohnya.
Pak Salundik menghela napasnya sejenak. Matanya menatap tajam ke ibu mertua pak Gerson.
"Mandau ini hampir menebas batang leherku beberapa hari lalu. Untung saja aku sigap."
Ibu mertua pak Gerson terlonjak kaget. Wajahnya seketika tertekuk karena salah tingkah.
"Mandau itu dicuri 6 bulan lalu. Itulah kenapa jendela si Bawi dipasang palang kayu, karena pencurinya masuk lewat situ," sambar pak Gerson.
Pak Salundik menoleh ke pak Gerson, menatap tidak percaya. Tatapannya penuh selidik seakan menembus hingga ke dalam kulit.
"Bukankah seharusnya mandau ini berada dalam tanggung jawab Ukar? Kenapa pusaka keluarga bisa hilang?" cecar pak Salundik.
"Mandau itu hilang sewaktu kami ke Banjarmasin untuk mengobati Bawi. Ketika pulang, rumah sudah dalam keadaan berantakan.
Anehnya, yang dicuri hanyalah mandau mantikei. Barang berharga lainnya masih tetap ditempat."
"Dimana Ukar sekarang?" tanya pak Salundik sembari menyerahkan mandau pada mertua Gerson.
"Dia pergi ke ibukota kabupaten dua hari lalu. Ada berkas lamaran kerja yang harus dilengkapi. Mungkin dia akan kembali 3 hari lagi. Setelah itu, ia akan bekerja pada salah satu perusahaan tambang di daerah ini," sahut pak Gerson.
Pak Salundik mengangguk, hingga sejurus kemudian istrinya Gerson kembali ke ruang tamu dengan nampan berisi gelas kopi. Wanita paruh baya itu masih terlihat sayu seperti kemarin. Bahkan, tubuhnya tampak lebih kurus dari sebelumnya.
"Mina, Bagaimana keadaan Bawi? Ada perkembangan?" tanyaku penuh simpati.
Istri pak Gerson hanya menggeleng dengan wajah lesu. Garis kecantikan di wajahnya telah padam laksana malam tanpa bintang. Melihat keadaannya tiba-tiba aku merasa bersalah.
Pertanyaanku ternyata hanya menambah deritanya.
"Bawi masih ada harapan. Walau sulit, putrimu masih bisa disembuhkan," ungkap pak Salundik seraya menyeruput kopi di hadapannya.
Istri pak Gerson dan anggota keluarga lainnya mendongak. Mata mereka berbinar mendengar ada secercah harapan bagi sang buah hati.
"Be-Benarkah?" tanya istri pak Gerson.
"Ya, mungkin aku bisa membantu. Asalkan aku bisa bertemu dengan orang yang menyarankan aku untuk menyembuhkan Bawi. Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan langsung padanya," balas pak Salundik.
Pak Gerson dan istri saling pandang, terpancar isyarat penuh keraguan di wajah mereka. Melihat pak Gerson dan istri takut untuk bicara, sang ibu mertua akhirnya buka suara.
"Carilah Indu Pipin. Ia tinggal di kaki bukit telunjuk."
"Indu pipin?" sela pak Sekdes.
Nenek tua di hadapan kami ini mengangguk pelan.
"Ukar yang membawanya kemari. Dan indu Pipin lah yang menyuruh menantuku untuk memanggilmu, apabila dalam 40 hari setelah ia datang tapi Bawi tak juga membaik," terang ibu mertua Gerson.
Pak Salundik mengangguk-angguk seraya mengisap rokoknya dalam-dalam. Sepertinya ia telah menemukan apa yang ia cari.
"Apa alasannya, hingga menyebut namaku?"
Ibu mertua pak Gerson menatap pada sang menantu.
"Tanyakanlah pada menantuku," ujarnya.
Pak Gerson tampak gelisah. Ia tergagap mendengar ucapan ibu mertuanya yang seperti memojokkan.
"Ti-tidak ada alasan khusus. Wanita itu hanya bilang, bahwa hanya kamulah yang bisa menyelamatkan Bawi," sahut pak Gerson terbata.
"Tidak apa-apa. Biar kutanyakan langsung padanya. Bisa kau antarkan kami ke tempatnya?"
Kami yang mendengar percakapan itu hanya bisa mendengarkan, karena belum sepenuhnya memahami arah pembicaraan pak Salundik.
"Ma-maaf pahari. Bukannya aku tidak mau mengantarkan. Indu Pipin telah berpesan agar kami tidak boleh lagi bertemu dengannya setelah mengobati Bawi tempo hari.
Tidak pula mengantarkan orang lain untuk bertemu dengannya.
Tidak jelas alasannya, ia hanya bilang akan terjadi hal buruk bila kami melanggar perkataannya. Sepertinya, ia telah menduga hari ini akan terjadi," ungkap pak Gerson panjang lebar.
Pak Salundik tercenung, hingga akhirnya pak Sekdes mengusulkan membantu.
"Biar aku yang mengantarkan. Aku tahu tempatnya. Bila lewat jalan pintas, kita akan sampai paling lama 30 menit. Kalau lewat jalan desa, kita harus menggunakan sepeda motor dan memutar jauh."
Pak Salundik tersenyum mendengarkan perkataan pak Sekdes. Tanpa pikir panjang, ia pun setuju usul itu.
*****
10 menit berlalu, jumlah rombongan kami sebanyak 8 orang berjalan menyusuri jalan setapak yang membelah hutan belantara. Paling depan adalah pak Sekdes yang bertugas sebagai penunjuk jalan. Tujuan kami adalah rumah indu Pipin yang berada di bawah kaki bukit telunjuk.
Yang dimaksud dengan indu Pipin, artinya adalah ibunya si Pipin. Memang, kebiasaan orang Dayak untuk memanggil orang tua dengan nama anak tertuanya. Sedangkan bukit telunjuk, disebut demikian karena bentuknya yang terlihat seperti telunjuk manusia yang menyembul dari dalam tanah.
Kata pak Sekdes, bukit itu berupa batu andesit besar yang dikelilingi hutan belantara.
Kami pun melangkah cepat di bawah rindang pepohonan, diiringi riuh suara serangga yang terus bersuara. Sepanjang perjalanan, benakku dihantam berbagai pertanyaan terkait maksud pak Salundik.
Karena sudah tidak sanggup lagi kutahan rasa penasaran, aku akhirnya bertanya pada pak Salundik.
"Pak, sebenarnya ada apa dengan indu Pipin? Sepertinya bapak curiga dengan beliau."
Di depan, kaki pak Salundik terus menapak di atas tanah liat yang tertutup rerumputan kering.
Setelah beberapa saat, ia akhirnya buka suara sembari mengatur nafas.
"Saat ini aku memang curiga pada semua orang...," sahutnya sembari sesekali menyeka keringat.
"Tubuh Bawi bukan hanya jadi sarang kamiyak. Tapi lebih dari itu, inang panah berantai, parang maya kuno.
Siapapun yang jadi inang, akan membawa kutukan bagi orang di sekitarnya. Orang-orang akan mati dengan berbagai cara tidak wajar, seperti Dehen," lanjutnya.
"Tapi, Dehen kan tewas karena dibunuh anjing kesurupan," sanggahku.
"Karena itulah, kubilang ini parang maya kuno. Bukan parang maya biasa yang membunuh dengan serpihan kayu peti mati dan korban tewas 40 hari kemudian. Parang maya ini akan terus menyebar kematian hingga tubuh inangnya tidak lagi kuat dan tewas mengenaskan.
Parang maya ini akan memancing berbagai mahluk halus untuk datang dan mencelakai siapa saja. Tujuan utamanya adalah anggota keluarga. Tapi, satu kampung pun bisa binasa karena sulit dikendalikan.
Orang-orang akan tewas dengan berbagai cara tragis. Terbunuh dalam perkelahian, tenggelam di sungai atau tertabrak mobil. Hanya yang mengirimnya lah yang bisa menghentikan."
Pak Salundik terdiam sesaat seraya terus mengikuti langkah pak Sekdes di depan. Hutan pun menjadi riuh karena kedatangan manusia. Di dahan-dahan pohon, sekelompok owa-owa melompat kesana kemari layaknya pemain akrobat sirkus.
"Yang belum kupahami, kenapa ada kamiyak di tubuh Bawi. Sepertinya, ada orang yang sengaja mengurung kamiyak di tubuh gadis malang itu. Karena itulah roh bawi tidak bisa kukembalikan ke badannya.
Namun, ia tidak hanya mengurung kamiyak di situ. Tapi, menjadikan tubuh Bawi sebagai umpan untuk menyerangku dan anak-anakku."
"Jadi, maksud pahari, indu Pipin memanfaatkan Bawi untuk mencelakaimu?" tanya Pambakal Bahat yang berjalan di sampingku.
"Semua akan jelas, saat aku berjumpa dengannya" jawab pak Salundik yang sudah kelelahan.
"Kalaupun yang kau duga benar adanya, aku tidak yakin wanita itu akan berkata jujur," tambah pambakal.
"Lihat saja nanti. Dia takkan bisa mengelak saat bertatap mata denganku."
*****
Setelah perjalanan yang lumayan menguras tenaga, kami akhirnya tiba di sebuat ladang yang dikelilingi hutan belantara. Kami melangkah hati-hati melewati sayuran katu yang tumbuh subur, menuju sebuah pondok yang ada di ujung ladang.
Di samping pondok, tampak seorang pemuda sedang membelah kayu bakar menggunakan kampak. Tubuhnya yang tidak mengenakan baju terlihat basah bermandikan keringat, sedangkan bagian bawah tubuhnya mengenakan celana pendek jeans yang dipotong bagian lutut.
Begitu jarak kami hanya lima langkah, pemuda yang bernama Pipin itu langsung menoleh. Mengetahui ada tamu datang, ia tidak menggubris dan kembali membelah kayu bakar.
"Kalian terlambat 30 hari," ucapnya datar.
Kami yang baru saja tiba, dibuat terheran-heran dengan ucapan pemuda itu.
"Ibuku telah tewas 30 hari lalu. Ia tewas karena hendak menyelamatkan Bawi dari Kamiyak yang bersarang di tubuh gadis kecil itu.
Kata mendiang ibuku, Kamiyak itu hendak membunuh pak Gerson melalui tubuh anaknya sendiri. Namun sayang, ibuku justru malah dicabik-cabik tanpa ampun."
Pemuda itu berhenti membelah kayu lalu menatap tajam ke pak Salundik.
"Dan sepertinya, kau tanpa sengaja beberapa malam lalu telah membebaskan Kamiyak dari tubuh Bawi. Sekarang, ia akan bebas keluar masuk dari tubuh gadis malang itu. Arwah penuh dendam itu, akan terus menebar kematian hingga tubuh inangnya juga mati."
Pak Salundik terkesiap mendengar ucapan pemuda itu. Tubuhnya gemetar seakan baru saja menyadari kesalahan fatal yang ia perbuat. Matanya berkaca-kaca dan nafasnya mulai sesak.
Dalam keadaan putus asa, pak Salundik duduk tersungkur di atas tanah dengan wajah tertunduk lesu.
Terdengar suara teriakan seorang wanita dari dalam pondok. Suaranya terdengar parau dan lemah seperti orang sakit.
"Itu nenekku. Sudah 15 tahun ia tidak menginjak tanah. Ia hanya terbaring di atas kasur karena sakit.
Sekarang, hanya akulah yang merawatnya setelah kematian ibuku. Masuklah, mungkin ada sesuatu yang akan beliau sampaikan," ajak Pipin yang telah melangkah ke depan pintu.
Aku dan pambakal Bahat bergegas menghampiri pak Salundik yang masih duduk terkulai di atas tanah.
Kami berdua lantas memapah tubuhnya yang lemah menyusul Pipin ke dalam pondok.
Rupanya hanya kami bertiga yang ikut ke dalam pondok, sedangkan yang lain menunggu di luar sembari menikmati rokok.
Di dalam ruangan yang reot dan sempit, tergeletak seorang wanita tua di atas kasur kapuk. Tubuhnya sangat kurus, dengan kulit keriput yang membungkus tulang. Nenek itu hanya mengenakan tapih bahalai untuk menutup tubuh, dengan wajah pucat karena sakit menahun.
"Anakku sudah meninggal 30 hari lalu. Suatu pagi, tubuhnya ditemukan tercabik di ujung ladang ini. Aku dan cucuku tidak tahu apa yang terjadi, karena malam sebelumnya kami bertiga tidur di pondok ini.
Hanya saja, ia sempat berucap kalau ada Kamiyak yang mengincar kami," kata nenek lirih.
Ia hanya berbaring sembari menatap kosong ke langit-langit. Air matanya seketika mengalir, tanpa menoleh sedikitpun ke arah kami yang duduk di sampingnya.
"Anakku itu nasibnya sungguh malang. Dahulu, suaminya meninggal sewaktu ia mengandung Pipin. Sendirian ia pontang-panting merawatku yang sakit. Suatu ketika, ia pamit untuk balampah di gunung bondang.
Katanya ingin semedi, berguru agar bisa mengobati orang-orang miskin yang sakit. Agar kejadian nahas yang menimpa suaminya, tidak dialami orang lain."
Si nenek hanya diam sewaktu sang cucu menyeka air matanya.
Wanita tua itu kemudian menoleh kepada kami yang hanya diam mendengar ceritanya yang menyayat hati. Sungguh aneh, nenek itu tiba-tiba melemparkan senyum misterius. Melihatnya, aku sampai merinding.
"Tidak ada yang bisa kalian lakukan, cu. Kamiyak itu sekarang sudah berkeliaran. Ia akan terus menebar kematian hingga tubuh Bawi melemah lalu jantungnya berhenti berdetak."
Pak Salundik terdiam, mungkin merasa bersalah.
Karena tidak ada jawaban yang kami cari hari ini, kami pun pamit undur diri.
Saat beranjak, tanpa sengaja aku menatap ke arah cermin kecil yang tergantung di dinding. Hanya sekilas, aku melihat pantulan tubuh nenek di dalam cermin adalah wanita paruh baya sekitar 40an tahun.
Namun karena hanya sekelebatan, tak kuhiraukan penglihatanku tadi. Mungkin saja aku salah lihat, ujarku dalam hati.
Matahari semakin tinggi, rombongan kami kembali menyusur jalan setapak yang membelah hutan menuju desa.
Kulirik, Sedari tadi pak Salundik tidak banyak bicara, larut dalam pikirannya yang buntu.
"Manajah antang. Besok siang aku akan manajah antang," ungkap pak Salundik memecah keheningan.
"Baiklah, bila itu keputusanmu," timpal pambakal.
*****
Keesokan siang saat matahari tepat berada di atas kepala, beberapa orang warga telah berkumpul di sebuah tanah lapang yang terletak di pinggiran desa.
Beberapa orang sengaja datang untuk mengikuti ritual manajah antang, beberapa orang lagi hanya sekedar ingin tahu jalannya prosesi ritual berlangsung.
Di masa lalu, manajah antang kerap dilakukan suku dayak untuk mengetahui dimana keberadaan musuh bersembunyi.
Bisa juga meminta petunjuk dimana tempat bersembunyi yang aman dari kejaran musuh. Di masa sekarang, ritual ini kerap dilkakukan untuk mencari keberadaan orang hilang atau tempat yang baik untuk membuka ladang.
Konon, arwah leluhur orang dayak akan memberi petunjuk melalui burung elang yang terbang di area ritual. Kemana burung itu pergi, di situlah petunjuk yang dicari.
Di bawah terpal, pak Salundik telah memulai ritual dengan duduk bersila di depan sesaji.
Pak Salundik mengenakan pakaian adat serta topi rotan berhiaskan tiga helai bulu ekor burung tingang.
Sesaji berupa beberapa ekor ayam ingkung, ketan, kue dan lain-lain disajikan dalam nyiru terpisah.
Suasana sakral langsung terasa sewaktu lantunan doa keluar dari mulut pak Salundik. Semerbak wangi kayu gaharu yang dibakar di tungku parapen membuat semua orang ikut khidmat dalam ritual siang itu.
Selang beberapa waktu, pak Salundik meletakan mangkok di telapak tangan. Mangkok keramik berisi beras, telur dan berhiaskan bulu ekor burung tingang, ia putar-putar di atas asap putih yang mengepul dari tungku parapen.
Usai melantunkan doa, pak Salundik kemudian berdiri di tengah tanah lapang, di samping rumah-rumahan berbentuk panggung lengkap dengan tangga yang juga terdapat sesaji. Tujuh butir beras dibungkus kain putih telah diikat di empat sisi rumah-rumahan itu.
Pak Salundik berdiri memandang langit sembari memanggil-mangil burung elang di udara dengan bahasa Dayak. Pambakal Bahat, mantir Tuweh serta beberapa orang turut berdiri di samping pak Salundik.
Mereka semua mengedar pandang ke arah langit, mencari keberadaan burung elang yang dinanti.
Aku yang penasaran juga turut menatap ke arah langit, berharap ada burung elang yang terlihat.
Konon, yang dipanggil bukanlah burung elang biasa, tapi antang ganang tajahan. Yaitu burung elang sakti yang dipercaya dulunya sosok manusia gaib dari alam lain.
Menit demi menit berlalu hingga akhirnya lebih dari setengah jam, tidak ada tanda-tanda kemunculan burung elang di udara. Bisik-bisik tak enak dari warga yang menonton mulai terdengar.
Samar-samar, warga mulai menganggap ritual yang dilakukan pak Salundik tidak ditanggapi oleh para leluhur.
Keragu-raguan warga tampaknya semakin jelas, saat langit yang begitu terik tiba-tiba turun hujan panas.
Apalagi, hujan panas menurut kepercayaan orang Dayak adalah pertanda tidak baik. Pak Salundik tertunduk lesu, kembali ke dalam tenda untuk berteduh.
Warga yang tadi berbisik telah bubar menyelamatkan diri, sisalah kami yang kini hanya bisa meratap di bawah terpal.
"Bagaimana pahari, apa yang kita lakukan sekarang?" tanya pambakal.
Pak Salundik masih diam, jelas sekali kalau ia sedang dilanda kebingungan. Ia hanya bisa menatap kosong ke pambakal tanpa tahu harus berkata apa. Kali ini, pikiran pak Salundik benar-benar telah buntu.
Berbagai upaya telah ia lakukan untuk menyembuhkan Sarunai, Agau dan warga lain, tapi selalu mentok.
"Entahlah, aku juga sudah tidak tahu harus berbuat apalagi. Mungkin, sangiang sudah tidak lagi percaya padaku," balasnya putus asa.
Kami semua ikut terdiam dan tertunduk lesu hingga hujan panas perlahan mereda. Pak Salundik pun memerintahkan untuk membereskan berbagai perlengkapan ritual termasuk tenda terpal.
Saat seluruh perlengkapan sudah selesai dikemas, tiba-tiba seorang warga yang membantu berteriak histeris. Warga itu menunjuk-nunjuk ke udara sembari mengucap kata antang berulang-ulang.
"Antang! Burung antang, di sana!" teriaknya.
Serempak kami memandang ke arah yang ditunjuk pria itu. Di langit, terlihat siluet seekor burung elang terlihat terbang mendekat. Semakin lama, burung elang itu terlihat jelas. Seekor elang hitam dengan kepala hingga leher berwarna putih, terbang mengelilingi kami tiga kali.
Kami pun seketika sumringah, ritual hari ini akhirnya mendapat jawaban dari leluhur. Terlebih pak Salundik, ia tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar melihat burung elang menari-nari di atas kepala kami.
Namun, gurat bahagia di wajahnya hanya beberapa detik sebelum berubah menjadi cemas.
"Ada apa, pahari?" tanya pambakal heran.
"Lihat, burung elang itu kesulitan terbang. Ia kesulitan mengembangkan sayap, terbangnya pun tidak gagah seperti biasa. Pertanda buruk," jawab pak Salundik bergetar.
Kami semua tercenung mendengar penuturannya, memperhatikan burung elang yang tampak kesusahan terbang di udara sebelum menghilang di balik pepohonan.
"Matahari terbit! Burung elang itu terbang ke arah matahari terbit, artinya sungai Barito! Ada petunjuk di sana, tapi penuh resiko," racau pak Salundik tidak jelas.
"Apa artinya, pahari?" kali ini mantir Tuweh yang penasaran.
"Aku harus melakukan ritual lagi di sungai Barito. Ritual pakanan batang danum. Hanya saja, sepertinya cukup berbahaya. Karena itu, aku memerlukan bantuan Kasno senja nanti."
Dengan terpaksa aku mengiyakan permintaan pak Salundik untuk menebus kesalahan kemarin malam. Walau aku sendiri belum sepenuhnya mengerti entah kenapa pak Salundik selalu melibatkan aku dalam urusannya, tapi demi Sarunai akan kulakulan apa saja.
Senja nanti, entah bahaya apa yang akan kami hadapi, tapi aku telah siap meski nyawa jadi taruhan.
...berkentang...
Sampai Jumpa Malam Rabu yak. Yang ingin sekedar mendukung atau ingin baca dulu bab selanjutnya, mampir ke @karyakarsa_id
Jambri rupanya tak bisa berharap banyak pada aparat kepolisian yang lamban. Dengan segenap tekad, ia bergerak melakukan penyelidikan hingga akhirnya berhasil meringkus pembunuh anak dan cucunya.
-Utas-
Kamis (10/10/24) sekira pukul 09.00 WIB, Jambri dilanda gelisah. Sedari pagi, anak perempuannya yang bernama Vina belum juga datang. Pesan whatsapp yang ia kirim hanya centang satu.
Padahal, anak pertamanya itu sudah berjanji akan datang pagi-pagi sekali untuk membantu ibunya membuat kue. Selain itu, Jambri dan istrinya juga sudah tak sabar hendak bertemu cucu mereka.
Mansur (57) alias Terosman alias Kete membunuh majikannya Dasrullah (45) dengan sadis. Sesudah itu kelamin korban dipotong, diiris-iris, direbus, dikasih garam dan bawang lalu dijadikan lauk makan nasi.
-Utas-
Mansur adalah lelaki yang dikutuk kemiskinan. Keadaan yang demikian membuatnya jadi bengis, sadis dan penuh amarah menyala.
Jauh sebelum jadi pembunuh,-lalu menyantap kemaluan korbannya,- Mansur hanyalah buruh upah tani. Hasilnya pas-pasan.
Sehari makan nasi, dua hari makan angin. Begitulah setiap hari.
Jika ada panggilan, ia membantu menanam atau menuai padi. Jika tidak ada, Mansur menjadi pencuri kelas teri. Apapun ia curi demi mengganjal perut anak dan istri.
Kamis 26 September 2019 adalah hari yang kelam bagi KM (17). Jam menunjukan pukul 07.30 pagi, KM menggali lubang sedalam 30 sentimeter menggunakan cangkul dan linggis di pekarangan pondoknya yang reot.
Di belakang, sang ayah Robendi (43), mengawasi dengan mata merah menyala.
“Barake! Mun jida, ikau ji pateikuh! (Cepat! atau kamu yang kubunuh!)” ancam Robendi dengan suara menggelegar.
Dengan tangan gemetar, remaja pria itu memasukan jasad adik sekaligus keponakannya ke dalam lubang galian.
Sesekali ia meringis, babak belur di sekujur badan akibat gebukan ayah kandung belum sepenuhnya pulih.
Jumat malam 23 September 2022, hujan gerimis mengguyur kota Palangkaraya. Suasana malam terlihat sepi di kawasan Jalan Cempaka, Kelurahan Langkai. Tidak ada lalu lalang kendaraan, tidak pula orang-orang yang berkeluyuran.
Dinginnya cuaca membuat warga memilih tidur lebih awal di balik selimut yang hangat.
Jam menunjukkan pukul 22.30 WIB ketika MY (17) terbangun dari tidur. Suara bantingan keras di kamar sebelah membuatnya terjaga. Seketika ia merinding.
Samar-samar ia mendengar suara rintihan manusia dan tebasan parang mengoyak daging. Remaja putri itu langsung tercekat, terdengar suara jerit kesakitan sang ayah.
MY lantas beranjak dari kasur dengan perasan cemas.
Hantu sandah merupakan salah satu hantu khas kalimantan tapi kurang populer dibandingkan kuyang. Sandah merupakan salah satu jenis kuntilanak dengan ciri khas wajah selebar nyiru.
Konon, wajahnya yang lebar merupakan kutukan karena telah mengguna-gunai / menundukan suaminya dengan cara yang kotor.
Kata orang, semasa hidup hantu sandah memberi makan/ minum suaminya menggunakan minyak perunduk yang dicampur darah haid, pakaian dalam-.
"Ritual Pesugihan Sate Gagak di Makam Massal Korban Kerusuhan"
Sebuah kisah dari seorang kawan yang kini mendekam di penjara.
@IDN_Horor @bacahorror @P_C_HORROR
#bacahoror #threadhoror #ceritaserem #malamjumat
-Bismillah, kita mulai...
30 menit menuju pukul 12 malam, kami berlima harap-harap cemas. Sejak magrib, kami memang berkumpul di sini, di komplek kuburan massal korban peristiwa berdarah belasan tahun silam.
Semakin malam, udara terasa semakin dingin, sementara suara serangga, burung hantu dan hewan-hewan malam semakin riuh. Pohon-pohon yang mengelilingi kumpulan nisan tanpa nama ini bergoyang pelan tertiup angin, membuat suasana malam ini terasa semakin meresahkan.