NuugroAgung Profile picture
Aug 26 183 tweets 20 min read
Segalanya mulai terjawab, jalan terang mulai terlihat. Namun entah mengapa gelap kembali datang, kembali mengancam dengan terror yang semakin tak masuk akal.

OYOT MIMANG | PART 8

-A Thread-

Akhir Sebuah Tujuan

@bacahorror_id

@IDN_Horor

#bacahorror #threadhorror
Silakan like dan QRT terlebih dahulu, siapkan kopi dan gorengan biar lebih syahdu. Oyot Mimang akan saya tutup segera, terima kasih yang sudah mengikuti cerita ini 🙏
Sekali lagi, ini adalah part akhir dari Oyot Mimang. Selamat membaca 🙏
Pikiran penuh tanya melihat Anna tergeletak lemah, tubuhnya layu dipangkuan Bapaknya. Seluruh tubuh bergetar hebat, kucoba semampuku menahan untuk tidak berteriak histeris melihat calon istriku yang sudah tak sadarkan diri.
Dalam diam aku terus menekan gigi berusaha agar mulut ini tak terbuka.
Ibu terus menangis melihat anak perempuannya lemas tak ada daya, entah karena apa, asumsi kami semua ia pingsan karena keleahan, segera setelah diam melihat keadaannya, Ibu menjawab tanya yang ku ajukan.
“Embuh, Ibu tidak tahu, tadi setelah keluar dari kamar mandi tiba-tiba badannya lemas, lalu jatuh, untung ada Bapak yang kebetulan lewat, langsung ditangkap Bapak...” jawab Ibu dengan tatapan penuh khawatir.
"Sudah Gung, ayo segera kita angkat!” perintah Mas Bambang.
Aku masih tertegun melihat Anna tergeletak lemas dihadapanku, sebenarnya ada permainan apa di balik semua ini, tak ingin berlama-lama tenggelam dalam pikiran penuh tanya, segera aku angkat Anna.
Aku coba mengangkatnya, setelah sebelumnya ku pegang tangannya, tubuhnya masih hangat, nafasnya masih normal, mungkin benar dia pingsan karena kelalahan. Tiba-tiba hal yang tak diduga aku rasakan, pandangan tiba-tiba buram,
sayup-sayup suara yang aku dengar perlahan menjauh, terus jauh dan semakin menjauh. Setelahnya segala yang aku rasakan berubah drastis, tubuhku bagai terjatuh di tempat gelap, kini hanya hitam yang bisa aku lihat. Kesadaran masih aku rasakan,
tapi tubuh tak bisa lagi aku kendalikan, gelap segalanya menjadi gelap untuk sesaat. Aku terus berusaha membuka mata, berusaha mengendalikan tubuhku, namun hasilnya tetap sama, hanya hitam yang terus nampak dalam pandangan.
Dingin terasa menyelimuti seluruh tubuh, terdengar suara binatang malam. Pelan-pelan kini aku bisa kembali membuka mata. Hembusan angin bergerak kencang menampar wajah, membuatku segera terbangun. Pandangan belum terlalu jelas,
tapi bisa aku rasakan ini adalah tempat yang berbeda dengan suasana malam padahal sebelumnya tak lama pagi telah tiba.
Saat pandangan kembali normal, nampak dua sosok besar berbulu hitam berjalan menuju arahku, wajahnya mengerikan, seperti binatang buas dengan taring yang keluar dari mulutnya. Aku terkejut membuat tubuhku kaku tak bisa digerakkan, rasa takut terasa menyelimuti seluruh badan.
Mereka segera mengangkatku yang masih lemas, menyandarkanku di sebuah pohon basar di tengah perkebunan salak. Kini seluruhnya nampak jelas, aku benar-benar tak lagi berada di rumah.
“Sopo koe? Aku neng endi?” (“siapa kamu? Aku dimana?”) dengan rasa takut yang masih menyelimuti, aku memberanikan diri untuk mengajak dua sosok itu berbicara. Tanpa menjawab pertanyaan, salah satu dari mereka menampar wajahku dengan keras,
darah segar mengalir dari lubang hidungku, dilanjutkan dengan sosok yang satunya lagi, menarik kaki, mengangkat tubuhku ke atas dengan kondisi kepala dibawah, kini aku bertatapan dengan wajah seram mahkluk hitam tersebut dengan posisi terbalik.
Taring panjang dan mata memerah, dengan kepala yang terus bergerak menatapku. Tak lama aku dilempar hingga terbang jauh dan jatuh menabrak pohon salak, durinya menancap di kulitku, membuat perih dan linu begitu terasa.
Kini aku sadar tubuh ini benar-benar tak punya daya, namun jika aku tetap terdiam seperti ini tak akan ada yang berubah.
Dua sosok makhluk besar kini nampak menjauh dari badanku menuju arah yang lain, terlihat batu besar diatasnya duduk seorang perempuan dengan posisi tangan terikat, tak salah lagi itu adalah Anna.
Aku berdiri dengan keadaan kaki yang masih bergetar hebat, aku tak lagi mempedulikan pertanyaan yang terus berkecamuk di dalam kepalaku tentang apa, kapan, dimana saat ini berada.
Aku mencoba terus menguatkan mentalku, keberanian seseorang akan bangkit, jika melihat sosok yang dicintainya dalam bahaya, kini aku tak peduli, apakah ini mimpi atau nyata adanya.
“WOOOIII!!!, Memedi Ireng, ingon-ingone sopo koe? Salahku opo nganti wani ganggu aku karo calon bojoku?!!” (“WOOIII!! Memedi Ireng, peliharaan siapa kamu? Sampai berani menganggu aku dan calon istriku?!!”) aku berteriak kencang pada dua makhluk hitam itu.
Mereka nampak kegirangan, melompat-lompat, bertepuk tangan di sebelah Anna yang melihatku dan hanya bisa terdiam dengan wajah penuh ketakutan, air mata terus mengalir keluar dari kedua matanya.
Salah satunya berlari ke arahku, mencoba menyerangku, aku segera lari menjauh darinya, buru-buru aku terus memikirkan banyak cara. Terlihat ada batu sebesar genggaman orang dewasa dengan sigap aku mengambil batu tersebut, panas kini aku rasakan di tangan kananku,
lekas aku lempar batu itu dan untungnya tepat mengenai mukanya. Sosok tersebut jatuh terseungkur ke tanah. Ia bangkit lagi berusaha datang ke arahku. Ada hawa lain yang aku rasakan di sekitaran tubuhku, batu biru yang berada di kantung celana tiba-tiba menyala.
Aku terus berlari, menggerakkan tubuh semampuku. Akar pohon seperti tiba-tiba ada di sekitaran kakiku, menyulitkan gerak kaki dan membuatku terjatuh, tak ingin terlalu lama dalam posisi ini, segera aku bangkit dan mengindar dari makhluk hitam yang jaraknya semakin dekat.
Tepat sebelum bangkit segera tangan ini mengambil batu lagi, aku melempar kuat-kuat batu itu, yang sebelumnya sempat dibacakan doa sebisaku. Batu melesat kencang, kini tepat mengenai kepala makhluk hitam itu, yang aku pikir dia adalah memedi ireng. Gerakannya terhenti,
tubuhnya ambruk ke tanah, pelan-pelan badannya mulai menghilang, melebur dengan angin yang berhembus melewati sela-sela pohon salak, rasa percaya diri hadir kembali, manusia tak seharusnya takut dengan makhluk jadi-jadian seperti itu.
Aku tak tahu dengan apa yang terjadi saat ini, yang bisa dilakukan, sebisa mungkin aku melawan, sebisa mungkin aku segera melepaskan akar yang membelenggu Anna.
“Tak takon sepisan maneh, ingon-ingone sopo koe? Ngopo ganggu aku karo calon bojoku?” (“Aku tanya sekali lagi, peliharaan siapa kamu? Kenapa menganggu aku dan calon istriku?”) ucapku lantang.
“Wani-wanine kon mateni ingonku!!” (“berani-beraninya kamu membunuh peliharaanku!!) suara seorang laki-laki bergema memenuhi penjuru hutan.
“Sopo koe?! Opo salahku, opo salah calon bojoku?!” balasku bertanya. Tak ada lagi jawaban, Suara itu hilang bagai tersapu sepinya malam, tinggal satu lagi memedi ireng yang kini berdiri dan terus menatapku, sepertinya ia bersiap untuk menyerang.
Memedi Ireng yang masih berdiri kini berlari kearahku, mencoba untuk menyerang. Mau tak mau harus aku hadapi, aku mencoba membuat jarak, agar aku bisa melemparnya dengan batu,
namun secara tiba-tiba akar pohon lagi-lagi seperti melilit pergelangan kakiku, mencoba menahan gerekanku dan membuatku terjatuh kembali.
Makhluk itu dengan cepat menghampiriku, mengangkatku, kedua tangannya mencengkram pundak, wajah seramnya menatapku, mulutnya terbuka dengan taring panjang dan bau busuk yang keluar dari nafasnya, daya cengkramnya kuat membuatku tak bisa bergerak,
pikirku mungkinkah aku akan mati di tempat ini. Tiba-tiba gerakannya terhenti, tepat di depan wajahku aku melihat sebuah ujung keris menembus dadanya dengan darah hitam yang keluar. Keris itu berkali-kali ditancapkan ke dalam tubuh makhluk hitam tersebut, terus ditancapkan,
teriakan keras menggema mengisi seluruh hutan. Suaranya terhenti, cengrakman tangannya tak sekuat tadi, akhirnya sosok itu menghilang menjadi debu yang terbang tersapu angin.
“Bapaaaak!!, niki bener Bapak?” ucapku mencoba mempercayai apa yang aku lihat, sosok seorang pria yang tak asing berdiri di depanku.
“Iyo Le, aku Bapakmu, untung leh ku teko tepat waktu, awakmu isih iso slamet...” (Iya Le, aku Bapakmu, untung saat aku datang tepat waktu, kamu masih bisa selamat”) ucap Bapak dengan tenang, sosoknya berbeda dari biasanya, mengenakan baju tradisional Jawa berwarna hitam,
dengan blangkon beliau kenakan. Hal pertama yang membuat aku ragu sosok tersebut adalah Bapak, ketika melihat kedua kakinya sempurna, sedangkan Bapak yang aku kenal adalah seorang difable dengan satu kakinya yang kurang sempurna.
“Iki wujudku neng kene, ojo kaget yo Le, ameh diomongke iki mimpi, yo mungkin, tapi sing jelas koe digowo neng alam demit karo wong sing ora seneng marang keluarga calon bojomu” (“ini wujudku di sini, jangan terkejut ya le, kalau dikatakan ini mimpi,
ya mungkin, tapi yang jelas kamu dibawa di alam demit dengan orang yang tidak senang sama keluarga calon istrimu.”) Ucap Bapak menjelaskan.
Aku segera menuju ke arah Anna, namun akar pohon itu terlalu kuat mengikat tangannya, membuatku bersusah payah untuk membukanya. Belum juga aku selesai melepaskan ikatannya,
aku melihat banyak ular berwarna hitam pekat keluar dari dalam hutan, jumlahnya yang banyak membuat kami semua terkepung.
“Bapak, ular datang banyak sekali...!” aku mencoba memperingatkan Bapak.

“Ora usah wedi, iki mung tipu daya dukun gemblung, ora usah mundur...” (“tidak usah takut, ini cuma tipu daya dukun gemblung, tidak usah mundur...”
Kini Bapak duduk dengan posisi menyila, mulutnya seperti sedang mengucap sesuatu, entah mantra atau doa, aku tak tahu. Ular-ular dengan berbagai ukuran terus bergerak ke arah kami dengan cepat, membuat ruang gerak kami sempit, seakan mereka ingin menyudutkan kami.
Bapak duduk menyila, keris ditangannya diangkat tinggi keatas, setelahnya dengan cepat keris Bapak tancapkan ke tanah, ular-ular yang bergerak perlahan berhenti sesaat. Selanjutnya kelompok ular tersebut berbalik arah, menuju tempat asal mereka.
“Dudohno raimu nek wani, ojo mung ngumpet neng tempatmu, koe wes wani ganggu keluargaku, adepi aku saiki!” (“tunjukkan wajahmu kalau berani, jgn cuma bersembunyi di tempatmu, km sudah berani ganggu keluargaku, hadapi aku sekarang!”) ucap Bapak dgn suara lantang ke segala penjuru.
“Aku dudu wong goblok kaya sing sampean pikir, aku ngerti wujud apa sing ana neng mburine sampean...”( “Saya bukan orang goblok seperti yang sampean pikir, saya tahu sosok apa yang ada di belakangnya sampean...”) suara itu keluar kembali dari sudut hutan.
“Sebenere ono urusan opo koe ganggu keluargaku?” (“sebenarnya ada urusan apa kamu mengganggu keluargaku?” tanya Bapak ke semua penjuru.
“Sampean ora perlu ngerti, urusane karo keluargane cah wadon kui, dudu karo anakmu, aku dendam karo keluarga kui wes sui, aku pengen keluarga wong wadon kui ancur alon-alon” (“sampean tidak perlu tahu, urusanya dengan keluarga anak perempuan itu,
bukan dengan anakmu, aku dendam dengan keluarga itu sudah lama, aku ingin keluarga anak perempuan itu hancur pelan-pelan” ) ucap sosok suara tersebut penuh amarah
“Dudu hakmu, nasib wong ora ditentuke karo tindakanmu, saiki sampean pilih, balekke anak-anakku, utowo saiki metu ngadepi aku?!”
(bukan hakmu, nasib orang tidak ditentukan dengan tindakanmu, sekarang sampean pilih, kembalikan anak-anakku, atau sekarang keluar menghadapi aku?!”) tantang Bapak pada sosok tersebut.
“Aku ora bakal rampung neng kene, nek teka wayahe, aku bakal teka maning, aku rak seneng keluargamu melu cawe-cawe, aku bakal teka maning...”
(aku tidak akan usai di sini, saat datang waktunya, aku akan datang lagi, aku tidak senang keluargamu ikut campur, aku akan datang lagi...”) ucap sosok suara dibalik kegelapan.
“Yowes, nek ngono, balekno anak-anakku, tak peringatke, ojo wani-wanine ganggu meneh, teko’o meneh nek iso, mulai saiki opo sing nyerang anakku tak balekke kabeh neng awakmu..”
(“ya sudah, kalau begitu, kembalikan anak-anakku, ku beri satu peringatan, jangan berani-berani mengganggu lagi, mulai sekarang apa yang menyerang anakku aku kembalikan lagi..”) pinta Bapak dengan sosok suara tersebut.
Suara itu tak terdengar lagi, seperti hilang bersama pekatnya malam, Bapak kini datang ke arah kami berdua, dengan kerisnya beliau melepaskan Anna dari akar pohon yang mengikatnya.
“Bapak, kenapa tidak diberi pelajaran atau dihabisi saja, orang-orang seperti itu bukannya berbahaya saat dilepaskan?” tanyaku pada Bapak.
“Udu hakku Gung, manusia tidak punya hak mengambil nyawa orang lain dengan sengaja...” ucap Bapak serius.
“Tapi Pak—”
“Kamu tenang, dia tak akan datang lagi, tak akan kembali lagi, ada hal yang nantinya perlu kamu lakukan..” ucap Bapak yang memotong kata-kataku.
“Hal apa Pak yang perlu saya lakukan?” tanyaku kembali.
“Ono sing meh teko, ada yang akan datang, biar beliau yang menjelaskan, dari beliau kamu dapat batu itu, sini sekarang kalian berdua duduk menyila di depankuku...” ucap Bapak sambil mengarahkan posisi kami untuk duduk.
Kami melakukan apa yang Bapak minta, aku dan Anna duduk sejajar tepat di depan Bapak yang masih berdiri. Aku pikir mungkin ini cara yang dilakukan Bapak agar kami berdua bisa kembali ke tempat semula.
“Cah bagus, cah ayu, putuku, ono sing ameh gawe ciloko awakmu...” (“Cah bagus, cah ayu, putuku, ada yang mau membuat dirimu celaka...”) Suara perempuan terdengar dari arah belakangku, bau wangi bunga disertai dengan gemrincing gelang kaki yang juga terdengar semakin mendekat.
Hawa aneh seperti menyelimuti tubuhku, kepala tak bisa aku gerakan ke belakang, bermaksud melihat sosok tersebut. Kini langkahnya melintas di sebelahku, kain batik yang ia kenakan mengingatkanku akan sosok yang muncul di rumah.
“Le, opo sing tak reti, beneran kedaden yo? Koe kepancing metu lan langgar pingit, untung awakmu ono pagere, untung koe isih ngerti batas sing bakal mbok lewati, ambumu wangi, getihmu manis, gawe akeh memedi kepingin..”
(“le, apa yang aku ketahui, ternyata benar terjadi ya? kamu terpancing keluar dan melanggar pingit, untung dirimu sudah dilindungi, untung kamu masih mengerti batas yang akan kamu lewati, baumu harum,darahmu manis, banyak memedi yang menginginkan kamu..”) katanya halus mendayu.
“Njenengan sinten? Anda siapa?” tanyaku penasaran.
“Opo Bapakmu ora cerito? Opo koe lali? Wong wedok tuo sing lungguh aben wayah wengi neng pojokan omah?” (“apa bapakmu tidak cerita? apa kamu lupa? wanita tua yang duduk saat malam di pojokan rumah?”) ucap sosok wanita itu dengan senyum manisnya.
“Ngapunten, kulo mboten terlalu paham...” (maaf, “saya tidak terlalu paham..”) ucapku dengan bibir bergetar.
“Ora masalah, ora popo, sebut wae aku Nyai Sekar Banuwati, aku wes nitip watu biru kui sing mbok gowo, gunakno sesuai opo sing diarahke Bapakmu yo Le...” tutur halus sosok wanita tersebut.
“Dawuh Nyai...”(“iya Nyai...”) ucapku dengan kepala yang masih tertunduk.
“Nduk cah ayu, dampingono putuku yo, dadio Garwo Kinasih, dadio pendamping sing setyo susah lan seneng, bebarengan nganti tuo, nganti pati misahke wong loro...”
(“Nduk cah ayu, jadilah pendamping cucuku, jadilah istri yang terkasihi, pendamping yang setia, susah dan senang, menua bersama, sampai mati memisahkan kalian berdua...”)
“Injeh Nyai...” jawab calon istriku lirih, dengan mulut yang juga bergetar. Sosok itu lalu mengelus kepala kami berdua, lalu berjalan kembali ke arah belakang kami. Gembrincing gelang kaki yang ia kenakan terdengar semakin menjauh,
bau wangi yang tadinya menyeruak seperti ikut mengantar kepergiannya, kini keberadaanya tak kurasakan lagi.
Bapak masih berdiri, pandangannya tak lepas menyorot ke arah kami. Sepertinya akan ada pesan yang ingin disampaikan Bapak padaku.
“Gung, setelah kembali nanti, tanam batu biru itu di dalam rumah calon mertuamu, lalu adakan pengajian di setiap malam jumat, doa yang dipanjatkan akan membantu rumah itu terbebas dari orang yang tidak senang dengan keluarga calon istrimu...” Ucap Bapak dengan nada serius
“Sendiko dawuh, kula estokaken, mangke kula sanjangaken tiyang ing griya..” (“Baik Bapak, akan saya laksanakan, nanti saya sampaikan pada orang dirumah..”) ucapku, mengerti akan apa yaang diperintahkan Bapak.
“Balio, wes akeh sing nunggu, wes akeh sing khawatir, pejamkan mata kalian sekarang..” (Pulanglah, sudah banyak yang menunggu, sudah banyak yang khawatir...”) perintah Bapak padaku.
Aku mengikuti apa yang diarahkan oleh Bapak. Kini kami berdua menutup mata masing-masing. Hembusan angin terasa berbeda, dinginnya begitu menusuh tulang, suara angin semakin kencang, membuat aku tak bisa mendengar apapun.
Sedikit demi sedikit kesadaranku mulai menghilang, aku benar-benar tak merasakan apa-apa, tubuh menjadi mati rasa.
Lambat laun aku mulai bisa merasakan tubuhku, hangat kini terasa di seluruh badan. Sayup-sayup terdengar suara tangis dan orang-orang yang sedang membacakan ayat suci. Tak ingin berlama-lama menimbun tanya, segera ku buka mata perlahan.
Langit-langit rumah dengan lampu menyala adalah hal yang pertama kali aku lihat, aku mencoba bangkit dari tidurku. Tak lama berselang pelukan hangat aku rasakan dari Anna yang menangis sesenggukan.
“Aku takut sekali Le, aku harap semua yang terjadi tadi mimpi...” ucap Anna menyadarkanku yang saat ini mulai paham, aku sudah kembali lagi di tempat semula yaitu rumah.
“Ya Allah, akhirnya kalian berdua sadar juga, kami semua khawatir, Pak Mantri bilang kalau kalian seperti mengalami koma...” ucap Ibu calon mertuaku.
“Gung ono opo sebenere? Iso-sione loh wong loro tumbang bebarengan? Ada apa? Kalian berdua bisa pingsan bareng?” tanya Mas Bambang padaku yang masih kebingungan.
Aku melihat keluarga calon istri sudah berkumpul, seperti terjadi sesuatu. Hal terakhir yang kuingat dari rumah ini adalah aku jatuh saat ingin menolong Anna.
“Mas Jam berapa sekarang?” ucapku pada Mas Bambang.
“Sudah mau sore ini, sudah hampir jam lima.”ucap Mas Bambang santai sambil terus memperhatikanku.
“Ada yang ingin saya lakukan, tolong bantu saya... “ pintaku dengan keadaan masih setengah sadar.

“Tolong buat lubang di tengah rumah ini, pecahkan satu keramik agar bisa membuat lubang...” perintahku pada Mas Bambang.
“Go opo to Gung? Buat apa? Jangan mulai aneh-aneh loh, fokus sama pernikahanmu..” ucap Mas Bambang.
“Nurut saja Mas sama apa yang diperintahkan oleh Agung, biar nanti saat dia sudah baikan, dia bisa menjelaskan lebih banyak...” sambung Mbak Siwi yang datang dengan membawa dua gelas teh hangat.
“Buk, boleh saya lakukan apa yang diperintahkan oleh Agung?” tanya Mas Bambang pada Ibu calon mertua.

“Lakukan saja Mbang, aku percaya ada hal baik yang ingin disampaikan anak itu...” ucap Ibu calon mertua menyetujui.
Mas Bambang bergegas pergi ke belakang mengambil lenggis, setelahnya bunyi gaduh keramik yang beradu dengan besi terdengar setelah ia menentukan posisi mana yang ingin dilubangi. Aku masih terdiam dan termenung, terus mengingat ada sesuatu yang sepertinya kurang dalam pikirku.
“Ya Allah Bu, benar ini sudah jam 5 sore, Aldi bagaimana?” tanyaku dengan rasa khawatir yang terus naik.
“Di minum dulu tehnya, biar kamu tenang, kamu juga An, minum dulu tehnya, nanti sambil dijelaskan...” ucap Mbak Siwi.
Aku langung meminum teh hangat yang sudah disediakan, mengobati rasa dahaga dan menambah hangat tubuh di suasana dingin pegunungan. Sambil minum aku terus memperhatikan wajah calon istriku, yang kini terlihat lebih tenang dari sebelumnya.
“Wes yo tak jelaske...” ucap Bapak calon mertua.

“Monggo Pak, silakan, saya akan dengarkan...” ucapku
“Gung, masalah sedulurmu wis rampung, masalah yang dihadapi Aldi dan yang lainnya itu sudah selesai, ternyata benar mereka tersesat di Desa Atas, yang anehnya mereka benar-benar seperti terkepung,
depan jurang kanan kiri kebun salak, belakang tanjakan panjang yang membuat mobil susah bergerak...” ucap Bapak perlahan sambil mengatur nafas.
“Beberapa saudara tadi pagi berangkat membantu proses evakuasi, ada sekitar sepuluh orang yang meluncur ke tempat tersebut, mereka menggunakan mobil jenis colt agar bisa mencapai medan itu, jalan di sana masih rusak total akibat tanah longsor yang terjadi bulan maret lalu,
kabarnya pemerintah Kabupaten sudah menyusun rencana untuk perbaikan. Selanjutnya biar Tono yang menjelaskan lebih lengkap..“ lanjut penjelasan dari Bapak calon mertuaku.
“lalu bagaimana proses evakuasinya tadi?” tanyaku yang semakin penasaran.
“Gini Mas, memang sudah tidak masuk ke nalar, posisi mobil itu sudah melewati Desa Atas, berada di perkebunan dekat situ, yang jadi pertanyaan itu mobil kok bisa tidak merasakan jalanan yang hancur, kami yang tadi membantu,
juga mendapatkan jawaban yang sama dari sedulure njenengan, jalanan yang mereka lewati halus dan bagus...” ucap Mas Tono, salah satu saudara yang ikut membantu proses evakuasi.
“Warga Desa Atas juga sudah berkumpul saat kami tiba, mereka juga sudah membantu menarik dengan truk dengan tali tambang yang yang dikaitkan ke mobil dan truck tapi mobil tidak bisa bergerak, akhirnya kita coba dengan menggunakan mobil colt, hasilnya sama saja,
tanah basah membuat ban mobil slip, kami kesusahan dalam menarik mobil selure njenengan” ucap lagi dari Mas Tono.

“Lalu akhirnya bagaimana?” tanyaku kembali.
“Saat warga mulai ramai, ada suara dari seorang lelaki yang berteriak,” sudah pakai tangan saja, ditarik bareng-bareng talinya”, akhirnya sekitar tiga puluh orang menarik mobil tersebut secara gotong royong,
alhamdulillah mobil bisa kembali ke jalan yang benar...” lanjut Mas Tono dengan senyum di wajahnya, membuatku lega mendengarkannya.
“Ada yang aneh loh Mas tadi..” celetuk kembali Mas Tono.
“Aneh bagaimana Mas?” tanyaku penasaran

“Orang yang teriak tadi kami kira warga Desa Atas, lah warga setempat malah tanya, bukannya orang yang teriak tadi warga Desa Bawah,
kami semua kebingungan karena setelah mobil berhasil di kembalikan ke jalur oramg tersebut sudah tidak terlihat lagi, tapi ya sudahlah, yang penting proses evakuasi berjalan lancar...” ucap Mas Tono
“Lalu, proses evakuasi rampung jam berapa Mas?” tanya Anna pada Mas Tono.

“Rampung jam 10an, kita berangkat dari sini Jam setengah delapan pagi, agak susah, setelah sampai bawah jembatan yang longsor itu,
mobil juga kembali di tarik lewat jalan darurat, angel wes, susah itu jalannya kan hancur...” jawab Mas Tono atas pertanyaan Anna.
“Setelah itu Tono dan yang lainnya menuntun mereka sampai jalan provinsi, takut kalau kesasar lagi...”Sambung Bapak menutup cerita proses evakuasi.
“Ouy Gung!! Iki wes rampung, sudah selesai ini, tanahnya sudah di gali..” ucap Mas Bambang

Aku langsung berdiri dari tempatku duduk, ku singkirkan semua slimut dan kain yang sedari tadi membalut tubuhku.
“Pan go apa sih jane? Mau buat apa?” Tanya Mas Bambang penasaran.
Aku diam tak menjawab pertanyaan Mas Bambang terlebih dahulu, ku keluarkan bungkusan kain putih dari kantong celana. Setelah aku buka, batu biru itu memancarkan sinar tipis, yang mambuat semua orang yang berada di rumah itu melihat ke arahku.
“Saya tanam batu biru di rumah ini, semoga bisa membawa hal baik dan jadi tolak bala, ada orang yang tidak suka dengan keluarga ini terkait dendam saat kalah perebutan lahan garapan...” ucapku mengumumkan pada semua yang hadir.
“Oh sebenere ko wes ngerti Gung?” (Oh, sebenarnya kamu sudah tahu Gung), orang itu yang selama ini menganggu dan membuat susah keluarga kami, segala usaha sudah dilakukan, tapi selalu diganggu sama orang tersebut...” ucap Ibu calon mertua.
“Saya hanya dapat pesan dan melaksanakan perintah Ibu..” ucapku.

“Apa pan disikat bae wong kaya kue?” (“apa mau dihajar saja orang seperti itu?”) ucap Mas Bambang emosi.
“Tidak usah Mas, segala hal jahat pasti akan ada balasan dari Sang Pencipta, mulai dari sini, mudah-mudahan tidak ada gangguan lagi, setelah batu ini aku tanam, tolong setiap jumat malam diadakan pengajian,
lantunkan doa dan salawat, agar rumah semakin hangat dan dapat terhindar dari marabahaya...” ucapku pada semua.
Setelah pembicaraan itu, aku bungkus kembali batu biru itu dengan kain putih, segera aku tanam ke dalam tanah yang sudah dilubangi. Selanjutnya aku tutup kembali lubang tersebut dengan bantuan Mas Bambang, perintah dari Bapak sudah aku laksanakan.
Segalanya telah terjadi, kini aku masih terduduk lemas memikirkan rentetan peristiwa yang bisa aku katakan tak masuk akal, namun pada kenyataannya terjadi. Tapi dalam diam aku bersyukur semuanya bisa aku lalui.
Calon istriku masih tampak terpukul, terduduk lesu sambil terus memeluk bantal yang ada didepannya.
“Nduk, kamu tenang, sekarang kita sudah kembali, istirahatlah, masih banyak yang perlu kita lakukan esok hari...” ucapku menenangkan Anna.
“Iya, tidak ada yang kurang apapun dari kita, aku ke kamar dulu ya, aku istirahat sekarang” ucap Anna berpamitan.
“Ya sudah, aku telpon Aldi dulu, aku harus tau kabarnya, kemungkinan saat ini sudah dirumah, kalau berangkat tadi pagi...” pungkasku mengakhiri pembicaraan.
Selanjutnya aku segera menghubungi Aldi, mungkin saat ini dia sudah beristirahat tenang di rumahnya. Berangkat dari banjar sedari pagi, jika perjalanan lancar, dia tiba di Tegal saat siang hari.
“Assalamualaikum, Halo Di....” aku mengawali pembicaraan.

“Waalaikumussalam Mas Agung, bagaimana Mas? ini aku barusan sampai Tegal...” sambung Aldi dari balik telepon.
“Loh Di, kamu baru sampai Tegal saat ini? Kok bisa?” tanyaku pada Aldi dengan penasaran.

“Mas, hal aneh terjadi tadi...” Aldi berkata buru-buru.

“Apa lagi Di? Kenapa lagi?” tak sabar aku menunggu jawaban dari Aldi.
“Kami semua kelelahan, tertidur di perjalanan pulang, semalaman kami semua belum tertidur. Kendali kemudi masih di pegang oleh Pak Supir, kami percaya karena beliau paling siap dalam keadaan saat itu...” Jelas Aldi
“Lalu apa yang terjadi saat perjalanan pulang, tolong katakan segera jangan bertele-tele...” kataku yang kini sudah hilang sabar.
“Kami semua lewat jalur yang sama, beberapa kali aku terbangun tapi mobil masih terus berjalan, rasanya perjalanan pulang kali ini sangat panjang, sadar-sadar saat aku melihat jam tangan, ternyata sudah sore,
sedari tadi Pak Supir terus membawa kami berputar-putar Kota Tegal, aku tau itu setelah mobil melewati tiga kali tempat yang sama...” jawab Aldi yang terus menjelaskan peristiwa aneh yang terjadi.
“Loh, beneran muter-muter? Itu supir kenapa sih, apa kalian tidak ada yang terbangun gitu?” tanyaku memastikan.
“Tidak Mas, kami semu tertidur pulas, entah karena kelelahan atau hal lain, saat mobil sudah tiga kali melewati tempat yang sama, aku segera membangunkan Mas Min. Lalu aku ceritakan apa yang terjadi, Pakde Ndulug sempat emosi,
hampir terjadi ketegangan, namun Mas Min menyadarkan Pak Supir dengan menepuk pundaknya...” sambung Aldi.
“Lalu?” tanyaku singkat.

“Pak Supir tersadar dengan raut muka kebingungan, seperti orang linglung, akhirnya kami semua mengarahkan jalan, agar Pak Supir segera mengantarkan kami ketempat tujuan...” ucap Aldi mengabarkan.
Aku hanya bisa membatin, sampai di Tegal pun mereka masih mendapat gangguan oleh hal-hal yang tak masuk akal, duh Gusti, sebenarnya rencana apa yang ingin Engkau berikan.
“Terus sekarang keadaanmu bagaimana? Apa sudah sampai rumahku?” kembali aku bertanya.
“Sudah Mas, sampai sudah sore sekali ini, sekarang kitsa semua masih di kasih wejangan sama Pak De, sembari dibersihkan, taku masih ada yang ikut...” Kata Ald menjelaskan, sayup-sayup aku mendengar suara adzan magrib berkumandang. Tak terasa peristiwa ini berjalan selama itu.
“Di bolah kamu kasih telponnya ke Bapakku, ada hal yang ingin aku tanyakan...” pintaku pada Aldi.

“Baik Mas...” selanjutnya Aldi menyerahkan handphonenya ke Bapak.
“Halo Le, Gung... gimana? Kamu sudah baikan di sana?” tanya Bapak mengawali pembicaraan.

“Alhamdulillah Pak, sudah baikan di sini, sudah aku laksanakan apa yang Bapak perintahkan tadi..” balsaku
“Ya sudah, kamu sekarang bisa tenang, mudah-mudahan itu semua bisa bekerja dengan baik, tak ada lagi gangguan, semuanya kita serahkan pada Sing Gawe Urip, kita hanya bisa berusaha, Gusti Allah yang memutuskan ya Le...?” tanya Bapak
“Injeh Pak, iya Pak benar, bagaimana keadaan para saudara di situ?” tanyaku pada Bapak.

“Baik semua, Aldi, Ndulug sama Min, masih aman, yang kasian Pak Sopir...” ucap Bapak menggantung kata.
“Memangnya kenapa Pak?” tanyaku penasaran

“Ya semua kan ada sangkut pautnya, semua ada sebab dan akibatnya, Pak Supir itu ketempelan dua makhluk halus...” Jawab Bapak yang membuatku termenung.
“Loh Pak, bisa gitu ya? aku sudah beberapa kali pada Pak Supir untuk klakson saat lewat pohon besar atau jembatan, ya kalau memang tidak percaya hal mistis, apa susahnya kalau dilakukan? Apa dosanya?” tanyaku pada Bapak.
“Apa yang diyakini seseorang memang tidak bisa dipaksakan Gung, yo mungkin ini sudah jalannya, yg penting kamu dan yang lain selamat. Pak Supir pertama kali kena di jalan sekitaran Pemalang, lalu ada yg nambahin lagi di sekitaran pohon salak, kayaknya meamang sengaja...” ucapnya
“Sengaja gimana Pak?” tanyaku lagi

“Yang suka ganggu keluarga istrimu, seperti sengaja membuat kamu sampai melanggar pingit, agar kalian celaka, tapi untungnya semua bisa dihindari...” terang Bapak.
“Licik sekali, kalau tidak suka kenapa tidak diselesaikan secara baik-baik saja...” ucapku kembali.
“Ya kamu sudah tahu jawabannya, orang itu punya dendam, ingin menyiksa keluarga Anna secara perlahan sampai puas, orang punya dendam tak akan mau merampungkan masalah, sebelum semua nafsunya akan hal itu terbayar tuntas,
ya sudah, mungkin tugsamu, dan tugas keluarga kita, untung memotong tali dendam yang tak ada ujungnya. “Ucap Bapak perlahan.
“Leres Pak, benar sekali, yang penting niatan kita baik...” jawabku.
“Ya sudah, konsentrasi sama pernikahanmu, besok kami semua datang, tolong bilang ke smua orang yang terlibat, jangan ceritakan kejadian ini,
Bapak juga sudah bilang pada Aldi dan semuanya untuk tidak usah menceritakan hal ini ke yang lain, takut malah membuat semuanya was-was...” perintah Bapak.
“Dawuh Pak, baik saya akan bicarakan hal ini pada yang terlibat proses evakuasi juga..” jawabku.

“Yowes, kamu istirahat, aku tutup ya teleponnya, jangan lupa jaga kondisi kamu, ingat besok proses Akad, jangan lupa saat mengucapkan kalimantnya...” ucap Bapak
“Gak lupa, sudah dihafalkan berulang kali, ya sudah salam untuk semua, saya tutup teleponennya, sehat selalu Pak...” sambungku mengakhiri percakapan.
Langit sudah berubah gelap kembali, malam bertemu malam lagi aku harus menuntaskan tugas yang ternyata berkaitan dengan pernikahan serta keluarga calon istriku.
Tak menunggu lama segera aku katakan pada semua tentang pesan dari bapak, beruntung saat ini mereka masih berbincang di ruang tengah keluarga.
Hari itu menjadi hari paling diingat dalam hidup untukku dan juga calon istriku, segalanya yang aku alami benar-benar tak bisa masuk di nalar manusia, semuanya terasa janggal namun ada pada kenyataannya. Hidup memang selalu punya misterinya sendiri,
kini aku berusaha sesegera mungkin untuk melupakan hal yang telah terjadi walaupun sulit. Pernikahan dan prosesi akad sudah menanti di depan mata, fokus pikiranku adalah hal tersebut. Kini malam telah tiba, kami bisa beristirahat, walaupun sesekali mimpi buruk masih menghantui.
Kokok ayam berbunyi nyaring ditelinga, sinar mentari mulai muncul malu-malu di balik mega. Aku sudah sibuk dengan segala persiapan yang ada, rasanya ada yang berbeda saat ini, perasaan senang timbul dalam hati, namun harus bercampur dengan persaaan trauma yang masih menyelimuti.
Bunyi iring-iringan mobil terdengar dari luar rumah. Saat suara berhenti, terdengar seseorang yang memangil dari kejauhan.

“Gung, anakku....” Ucap Ibu sambil berjalan terburu-buru ke arahku.
“Ibu, sudah datang semua ya...” sambutku sambil memperlihatkan wajah Ibu seperti menahan tangis.

“Kamu gak papa le? Ibu sudah dengar semua dari Bapak, kamu sama Anna gak apa-apa kan Le?” tanya Ibu khawatir.
“Ibu, tolong jangan bahas itu di sini, Bapak suah weling, Bapak sudah memberi pesan Buk...” kataku pada Ibu.

“Wes paham aku Le, sudah paham, tapi Ibu mana yang bisa menyembunyikan rasa khawatir pada anaknya yang hampir saja celaka...” sambung Ibu.
“Sudah Ibu, malah nanti buat sanak saudara yang lain bertanya-tanya, hapus air mata Ibu sekarang, anakmu sekarang baik-baik saja.” Tutupku meyakinkan Ibu.
Ibu terdiam di susul dengan Bapak yang datang serta adik-adiku, mereka kini berkumpul di sekitaranku, Bapak mengingatkan kembali untuk menyimpan cerita ini terlebih dahulu. Terlihat pula Aldi dari kejauhan melambaikan tangannya,
di sampingnya ada Pakde Ndulug dan Mas Min, tersenyum ke arahku di sambung mobil yang sebelumnya mereka gunakan.
“Pak Supir tidak ikut Pak?” tanyaku pelan pada Bapak.

“Kondisinya tidak memungkinkan, setelah pulang dari sini Bapak akan membantu dia pemulihat, butuh seminggu untuk orang itu pulih kembali...” ucap Bapak.
“Eh Gung, kamu kepingin tahu orang yang jahil sama keluarga calon istrimu?” tanya Bapak tiba-tiba.

“Sinten Pak, ada di sini orangnya?” tanyaku penasaran.
“Gak usah penasaran seperti itu, tanya saja sama keluarga Anna sekarang, siapa yang besok sakit keras sampai tidak bisa bangun dari tempat tidurnya...” ucap Bapak.

“Loh Bapak ngirim sesuatu ke orang tersebut? Katanya---” kalimat terpotong dari mulutku
“Enggak Bapak kirim, Cuma bapak balikan apa yang dia kirim, wes ayuk persiapkan semua, saatnya kamu melangkah ke hal lain dalam hidupmu..” Ucap Bapak mengakhiri pembicaraan.
Pagi itu, November 2016 tepat pukul 09:00 WIB aku mengucap sumpah suci dengan Anna, untuk bersama melangkah pada tahapan yang lebih tinggi dalam hubungan kami, menua bersama sampai ajal memisahkan. Namun tak disangka tangis Anna pecah di saat aku selesai mengucap sumpah.
“Le, aku tak tahu harus apa sekarang, kejadian semalam bagaikan mimpi buruk” bisiknya lirih, dengan segera aku memeluknya erat. Aku tahu pasti ada imbas yang akan terjadi setelah kejadian malam itu, menimbulkan trauma mendalam pada dirinya.
Jauh dalam hati, saat itu aku tidak bisa memproses emosi mana yang harus dirasakan, ketakutan, rasa khawatir, bingung seketika berubah dalam beberapa jam menjadi kebahagiaan, namun tetap saja bayang-bayang akan peristiwa itu tidak bisa hilang begitu saja.
Segalanya bisa dihadapi bersama, kini kami sudah dipersatukan dalam ikatan untuk terus menaiki satu kapal yang melaju mengarungi lautan kehidupan, hujan badai, debur ombak, angin yang terus bertiup harus kemi terima dan dihadapi bersama.
Bertumbuh dalam kasih dan terus berbagi dalam kesederhanaan, hidup untuk menua bersama hingga akhir usia memisahkan.
Oyot Mimang Selesai
Terima kasih kepada teman-teman yang sudah mengikuti cerita saya. Silakan berikan like, qrt sapa saya di kolom komentar.
Silakan yang mau follow karyakarsa saya, atau sekedar memberi dukungan, ada wallpaper gratis saat ini.

Sehat selalu untuk semua
karyakarsa.com/nuugroagung
Untuk yang mau baca versi lengkap, sudah saya urutkan dari awal ya. 🙏

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with NuugroAgung

NuugroAgung Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @nuugroagung

Aug 12
Gangguan datang silih berganti, malam itu cuaca tak berpihak pada kami, kejanggalan semakin menjadi, tatkala mendengar kabar yang telah terjadi.

OYOT MIMANG | PART 7

-A Thread-

Harapan yang Semakin Pudar

@bacahorror

@IDN_Horor

#bacahorror #threadhorror Image
Halo, aku update cerita hari ini tipis-tips ya, sedang persiapan melakukan perjalan jauh. Mohon doanya 🙏🙏
Mataku terbelalak, melihat jembatan terpotong, keadaannya sudah hancur total, jalan satu-satunya menuju Desa Atas terputus, menyisakan bagian depan jembatan. Sudah jelas perjalanan tidak mungkin kami lanjutkan, melihat dari kondisinya,
Read 192 tweets
Aug 4
Segalanya berubah, jalanan yang lurus, aspal halus yang kami rasakan, seakan hilang. Kini semua berganti tanah dan barisan pohon salak. Kami terjabak malam.

OYOT MIMANG | PART 6

-A Thread-

Mereka yang Tersesat Gelap

@bacahorror

@IDN_Horor

#bacahorror #threadhorror Image
Hai, aku upload dulu covernya ya, kita bertemu malam nanti, sekalian nunggu ramai. Jangan lupa tinggalkan like, retweet, qoute retweet dan boleh kok yang mau berkomentar. Sehat-sehat selalu semua 🙏🙏
Read 178 tweets
Jul 25
Mereka yang berangkat malam itu, tak satupun dari kami yang tahu dimana keberadaannya. Segalanya masih ambigu, ketidakjelasan menyelimuti malam ini.

OYOT MIMANG | PART 5

-A Thread-

Yang Datang Bertubu-tubi

@bacahorror

@IDN_Horor

#bacahorror #threadhorror Image
Hai, malam ini aku akan update certia, terima kasih sudah mendukung karya saya. Boleh untuk like, RT, QRT, biar malam ini updatenya lebih semangat.
Read 167 tweets
Jul 19
"Bapak sudah weling, pulang ke Tegal setelah subuh saja jangan nekat ini sudah malam..." Ucapku pada Mas Min, namun tetap saja, Pak Supir bersikeras untuk segera kembali.

OYOT MIMANG | PART 4

-A Thread-
Keputusan yang diambil

@bacahorror @IDN_Horor
#bacahorror #threadhorror Image
Halo.., akhirnya Part 4 ya, sini aku urutin dulu biar ynag belum baca bisa mudah mencarinya.
Part 1:
Part 2:
Part 3:
Part 4: On going twitter
Part 5: karyakarsa.com/nuugroagung
Setelah kamis malam upload, hari selasa ini bisa upload lagi, suwun untuk teman-teman semua, tanpa kalian aku hanya remukan keripik tempe. Jangan lupa like, RT, QRT, komen dipersilahkan, Yang mau mendukung silakan ke karyakarsa.com/nuugroagung agar karya saya semakin berkembang
Read 142 tweets
Jul 14
"OYOT MIMANG"
Petaka Sebelum Pernikahan

Part 3: Kesialan Bermula

-A Thread -

Hal tak masuk akal muncul satu per satu, semuanya seakan menjadi tanda petaka dimulai.

Tag :

@IDN_Horor

@bacahorror

#bacahoror #bacahoror #threadhorror #ceritahoror #ceritahoror #jumatkliwon Image
Halo semua, terima kasih yang sudah mendukung karya saya di @karyakarsa_id , terima kasih juga untuk yang sudah membaca, like, RT, QRT karya saya di twitter. Part 3 akan segera saya bagikan, mohon dukungannya ya, silakan like, RT dan QRT postingan ini. Mari kumpul dulu...
Buat teman yang mau baca dari awal, biar saya urutkan dulu ya
Part 1:
Part 2:
Part 3: On Going Twitter
Part 4: karyakarsa.com/nuugroagung/oy…
Read 34 tweets
Jul 8
"OYOT MIMANG"
Petaka Sebelum Pernikahan

Part 2: Pertanda

-A Thread -

Ada yang datang, memberi pertanda tentang petaka yang mungkin bisa dihindari.

Tag :
@IDN_Horor

@bagihorror

#bacahoror #bacahoror #threadhorror #ceritahoror #ceritahoror #jumatkliwon Image
Setelah dua minggu tidak upload cerita, akhirnya hari ini bisa lanjut Oyot Mimang Part 2, terima kasih untuk yang sudah membaca cerita saya, baik di sini atau di @karyakarsa_id
Silakan like, retweet, quote retweet postingan ini sebelum lanjut 🙏
Kabari kalau sudah pada kumpul, nanti saya lanjutkan ceritanya.
Read 111 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(