w a h . Profile picture
Sep 21 112 tweets 15 min read
SETELAH ANAKKU MENINGGAL

Part 8 - (Teka-teki)

Benang kusut mengenai teror di desa Glagah perlahan mulai terurai. Teka-teki mengenai asal mula Pocong Guntoro pun mulai hangat dibicarakan.

@bacahorror_id @IDN_Horor @ceritaht #threadhorror #ceritahorror Image
Buat yang baru nemu cerita ini, baca duluan part-part sebelumnya disini, ya
Update besok, ya. Malam ini lagi ada kerjaan kantor yg kudu diselesaikan 🙏🏻 Silakan tinggalkan jejak dulu...

Yg mau baca duluan ada disini karyakarsa.com/wahyuariyantn/…
Seorang laki-laki berlarian tunggang langgang datang dan masuk ke pelataran rumah Ngatinah. Sambil menggedor-gedor pintu rumah Ngatinah, ia memanggil nama Ngatinah dengan suara kencang.
Ia mulai heran, karena tidak juga ada jawaban dari dalam. Karena tak sabar, dia berjalan ke samping rumah Ngatinah, mengecek dari sana. Tapi, setelah disana, tetap tidak ada siapa-siapa. Sambil menggaruk kepala, ia kembali ke depan rumah.
“Iki sing nduwe omah neng endi sakjane? (ini yang punya rumah sebenarnya dimana?)” tanyanya dalam hati.

Wardana, seorang pemuda yang kebetulan lewat dan mendapati laki-laki mencurigakan di depan rumah Ngatinah pun menghampirinya lantas bertanya.
“Enten nopo to, Pak? Njenengan madosi sinten?(Ada apa sih, Pak? Bapak sedang mencari siapa?)” tanya Wardana sambil menghampiri laki-laki tersebut.
“Aku kudu ketemu Bu Ngatinah, Mas. Ono perlu penting. (Aku ingin ketemu Bu Ngatinah, Mas. Ada urusan penting)”

“Bu Ngatinah wau kesah (Bu Ngatinah tadi pergi)”

“Opo? Lungo? (Apa? Pergi?)”

“Nggeh, Pak. Kulo wau papasan (Iya, Pak. Tadi saya kepapasan waktu di jalan)”
“Yowes, tak enteni sak tekane neng kene (Ya sudah, tak tunggu sepulangnya disini)”

“Lho, sebenere wonten nopo, Pak? (Lho, sebenarnya ada apa, Pak?)” Wardana penasaran karena melihat raut wajahnya dan perkataannya yang sepertinya sedang terjadi masalah.
“Aduh. Piye yo jelaskene, Mas? (Bagaimana ya menjelaskannya, Mas?)” ujar laki-laki itu dengan raut wajahnya yang bingung

“Sedulurku, Mas. Anwar. Wonge tingkahe aneh. Jarene bar ketemu Guntoro (Saudaraku, Mas. Perilakunya jadi aneh. Katanya habis bertemu Guntoro)”
“Guntoro? Guntoro sing sampun sedo, Pak? (Guntoro yang sudah meninggal, Pak?)” tanya Wardana

Laki-laki tersebut mengangguk.
Setelah percakapan cukup panjang, barulah Wardana mengetahui, jika laki-laki tersebut bernama Pak Lukman. Dia merupakan saudara Anwar.
“Nggeh sampun, Pak. Kulo konconi (Ya sudah, Pak. Saya temani)” ucap Wardana kepada Pak Lukman.

Mereka berdua di depan rumah Ngatinah menunggu Ngatinah pulang.
Entah selang berapa lama, seorang perempuan tampak dari kejuahan. Ia berjalan sendirian menenteng tas belanjaan. Jalannya mengarah ke rumah Ngatinah. Ya, dia Ngatinah. Pak Lukman yang menyadari kedatangannya pun menyambutnya tanpa rasa sabar.
“Bu..... Bu Ngatinah.....” teriak Pak Lukman setelah Ngatinah semakin dekat.

Mendengar itu, lantas Ngatinah mempercepat langkahnya.

“Pripun, Pak? Njenengan madosi kulo? (Bagaimana, Pak? Bapak mencari saya?)” tanya Ngatinah dengan nafas ngos- ngosan

“Iya, Bu”
“Mlebet, mlebet riyen, Pak, Mas. (Masuk, masuk dulu, Pak, Mas)” ucap Ngatinah.

Setelah di dalam, Pak Lukman lalu mengatakan hal sebenarnya yang ingin ia sampaikan kepada Ngatinah, ibu dari Guntoro.
“Bu, sebelume ngapunten. Kulo Lukman. Sedulure kulo bar ngaku ketemu Guntoro. Saiki tingkahe aneh. (Bu, sebelumnya maaf. Saudara saya mengaku bertemu Guntoro. Tapi, sekarang tingkahnya aneh)” kata Pak Lukman sambil memperkenalkan diri.
Rumahnya yang berada di ujung desa, membuatnya tak banyak bersosialisasi dengan warga yang lain, terkhusus dengan Ngatinah.
“Lho, maksude njenengan pripun to, Pak? (Lho, maksud bapak bagaimana?)” tanya Ngatinah.

“Njenengan ujuk-ujuk dugi mriki kok ngendikane ngoten (bapak datang kesini kok tiba-tiba berkata begitu)” tambah Ngatinah. Ngatinah mulai memperlihatkan wajah kesal
“Ngapunten, Bu. Kulo mboten maksud kados niku. Sedherek kulo, Anwar, ingkang sanjang kados niku (Maaf, Bu. Saya tidak maksud begitu, Saudara saya, Anwar, yang berkata begitu)”
“Kulo mriki, mbok menowo njenengan gadhah solusi kangge sedherek kulo (saya kesini, berharap Bu Ngatinah punya jalan keluar untuk saudara saya)” ujar Pak Lukman
“Njenengan nderek kulo mawon ing griyo (Bu Ngatinah ikut saya saja ke rumah)” ajak Pak Lukman agar Ngatinah mempercayainya

“Nyuwun tulung, Bu (minta tolong, Bu)”
Singkat cerita, setelah memasukkan beberapa barang bawaannya ke dalam rumah, Ngatinah bersedia ikut dengan Pak Lukman ke rumahnya untuk melihat kondisi Anwar.

“Pak, kulo nderek, nggeh? (Saya ikut, ya?)” ucap Wardana. Sepertinya ia penasaran. Pak Lukman mengangguk.
Mereka bertiga berjalan ke rumah Anwar. Meski masih satu desa, tapi jarak antara rumah Ngatinah ke rumah Anwar terpaut cukup jauh.

“Pak Lukman, ampun banter-banter mlampahe (jangan cepat-cepat jalannya)” keluh Ngatinah
Beberapa menit kemudian, Pak Lukman dan Ngatinah sampai di kediaman Anwar. Tampak dua kerabatnya menunggu di depan. Kerabatnya yang tidak lain adalah Joko dan Suntono.
“Bu Ngatinah.....” sapa Joko dan Suntono

“Monggo, Bu Ngatinah. Mlebet. Njenengan sampun dientosi (Mari, Bu Ngatinah. Masuk. Ibu sudah ditunggu kedatangannya)”
Begitu masuk ke dalam rumah, hujan pertanyaan langsung ditujukan kepada Pak Lukman.

“Pak! Neng ngendi wae? Wes ditunggu kawit mau (Kemana saja? Sudah ditunggu dari tadi)” tanya Suntono kepada Pak Lukman.
“Wes lah. Sing saiki penting wes tekan (Sudahlah. Yang penting sudah sampai sekarang)”

“Anwar piye? Wes sadar? (Anwar gimana? Sudah sadar?)” tanya Pak Lukman

“Durung, Pak (belum, Pak)”
Di dalam rumah, ada setidaknya tujuh orang sedang menunggu dan mengelilingi satu orang untuk sadar. Ya, satu orang itu adalah Anwar. Dia pingsan. Tubuhnya terbaring lemas di atas kasur yang sengaja disiapkan untuknya di ruang tengah.
“Agar mudah diawasi” begitu kata keluarganya. Beberapa keluarganya sejak tadi duduk di sampingnya, menjaga-jaga apabila Anwar tiba-tiba terbangun dari ketidak sadarannya.
“Ini, kenopo? (kenapa?)” Tanya Ngatinah. Ia tercekat melihat Anwar yang terbaring dengan wajah pucat.

“Nggeh niki, Bu. Sing kulo ngendika wau (Iya ini, Bu. Yang saya maksud tadi)” jawab Pak Lukman
Mendengar itu, Ngatinah gusar. Dia menggeleng tak percaya dengan perkataan orang-orang disana, tentang keadaan Anwar yang begini disebabkan oleh arwah anaknya.
Ngatinah marah. Karena ia merasa anaknya selalu diberitakan buruk semasa hidupnya, bahkan hingga setelah meninggal oleh banyak orang.
“Memange njenengan ora ndelok kejadian-kejadian neng deso tah, Bu? Akeh sing ngaku diganggu almarhum anake njenengan"
"(Memangnya Bu Ngatinah tidak lihat kejadian-kejadian di desa tah, Bu? Banyak yang mengaku diganggu almarhum anaknya Bu Ngatinah lho, Bu)” ucap salah seorang disana dengan ketus.
Ngatinah mencoba mengelak jika semua itu hanyalah cerita buatan belaka. Meskipun dalam hatinya, ia pun menyadari jika ia sendiri sempat ditemui oleh mendiang anaknya dalam wujud pocong di rumahnya.
Tiba-tiba, diantara ketegangan antara Ngatinah dengan beberapa orang disana yang belum terpecah, bau yang teramat busuk muncul dan menyengat ke setiap orang yang berada di rumah Anwar.
“Ambu opo iki? (bau apa ini?)” sentak Ngatinah. Begitupun dengan yang lainnya.

Seseorang laki-laki tua muncul dari belakang rumah, lalu mengatakan “dek e arep teko meneh (dia akan datang lagi)” . Laki- laki tua itu tidak lain adalah Pak Dulah.
“Teko? Sopo sing teko? (Datang? Siapa yang datang?)” tanya Ngatinah kebingungan. Sementara, orang-orang yang lain sudah mengerti dengan apa yang dikatakan Pak Dulah
“Anakmu, Bu” salah seorang di hadapannya menjawab.

“Anakku?”

“Guntoro” ucap Pak Dulah

Ngatinah tercekat. Matanya melotot mendengar perkataan Pak Dulah. Dia semakin marah dengan perkataan Pak Dulah
“Guntoro wes mati! Kenopo kowe kabeh terus-terusan nggunjing anakku (Guntoro sudah mati! Kenapa kalian terus- terusan menggunjingkan anakku)” gertak Ngatinah.
Kasih sayang seorang ibu memang sangat tulus dan nyata. Meskipun semasa hidupnya banyak membuatnya terluka, tapi, dia akan tetap melindungi anaknya semampu apa yang dia bisa.
Keadaan semakin memanas. Ngatinah semakin tersulut emosinya. Lelah karena merasa terus disudutkan, Ngatinah berniat pergi dan meninggalkan orang-orang disana, Pak Dulah yang berada tidak jauh darinya pun menghalau langkahnya.
“Tutup pintu” suruh Pak Dulah
Anwar yang sejak tadi terbaring tak sadar tiba-tiba menunjukkan perubahannya. Tubuhnya bergerak, lalu terlihat menarik nafas panjang.
“War.... Anwar....”

“Anwar sadar....” Orang-orang bersahutan

Anwar sadar dari pingsannya. Dia langsung bangkit dari posisinya dan duduk dengan tegak. Matanya terbelalak memperhatikan setiap orang yang berada di hadapannya.
Rohmah, kakak perempuan Anwar, yang sejak tadi berada di samping Anwar, langsung sigap mengambil segelas air putih di dekatnya dan hendak diminumkan kepada Anwar.
Namun, yang terjadi selanjutnya membuat Rohmah dan semua orang terkejut. Pasalnya, Anwar menyampar segelas air yang diangkat Rohmah untuk diminumkan kepadanya.
“Huaahhhh.....” teriak Anwar sambil menyampar Air saat berada di depan mulutnya. Gelasnya pun terlempar hingga pecah. Sementara Rohmah, ia terkejut melihat tingkah Anwar yang tiba- tiba berontak.

“Pak, piye iki? (bagaimana ini?)” tanya orang-orang kepada Pak Dulah.
Ngatinah terlihat bungkam, ia bingung harus bersikap apa saat melihat Anwar. Ia tampak keheranan dengan apa yang dilihatnya. Apa yang sebenarnya terjadi di sini?

“Bu Ngatinah, duduklah” suruh Pak Dulah.

Ngatinah yang masih terdiam hanya melakukan yang diperintahkan Pak Dulah.
Tangan Pak Dulah bergerak ke arah kepala Anwar, seakan sedang memasukkan atau menetralisir apa yang ada di dalam tubuh Anwar.

“Pak, njenengan ngopo? (bapak ngapain?)” tanya Rohmah
Setelah hal itu, Anwar mendadak menjadi diam. Kepalanya menunduk, dan nafasnya terengah-engah. Anwar semakin memperlihatkan perbedaan pada dirinya. Pelan-pelan kedua tangan Anwar bergerak, lalu melipatnya tepat di depan dada. Persis dengan yang ia alami sebelumnya.
“Pak, niku (Pak, itu....)” celetuk Suntono dari dekat pintu saat melihat Anwar. Sementara Ngatinah terus terdiam dan melihat Anwar dengan wajah tegang. Orang-orang yang berada di sekeliling Anwar pun demikian, mereka mulai panik.
“Awake karo sikile tetep dicekali (Badan dan kakinya tetap dipegangi)” Perintah Pak Dulah. Tapi, orang-orang terlihat takut untuk menjalankan perintah darinya.
“Mas Suntono, karo Mas Joko... Mrene (Kesini)” panggil Pak Dulah kepada Suntono dan Joko setelah melihat respon orang-orang yang terlihat takut. Suntono dan Joko pun mendekat ke Pak Dulah

“Iki, cekeli awak karo sikile (ini, pegagi badan dan kakinya)”
Suntono dan Joko pun langsung melakukannya tanpa berpikir. Karena, hal ini sudah pernah mereka lakukan kemarin, dengan suasana yang lebih menegangkan dari pada ini.
“Nek ono opo-opo, kalian tetep neng kene. Ojo ono sing lungo (kalau ada apa-apa, kalian tetap disini. Jangan ada yang pergi)” ujar Pak Dulah
Setelah semuanya sesuai dengan apa yang ia inginkan, Pak Dulah kembali beralih kepada Anwar dan fokus menanganinya. Mulutnya mulai merapalkan doa-doa.
Tak berselang lama, Anwar menunjukkan reaksinya. Tubuhnya bergetar. Joko dan Suntono mencoba menggoyang- goyangkan badannya, tapi Anwar bergeming. Saat Suntono menepuk-nepuk pipi Anwar, ia merasakan kulit dingin yang membuat ia semakin khawatir.
Namun, tiba-tiba saja Suntono melihat Anwar seperti sedang berusaha berbicara.

“Bu..... Bu......” ucap Anwar sambil sedikit memiringkan kepalanya ke arah tempat Ngatinah duduk.

“Bu.... Iki aku (Ini aku)”
Mendengar hal itu, Ngatinah tersentak dari duduknya. Semua mata orang-orang disitu pun menatap ke arah Ngatinah.
“A-a-aku sopo? (aku siapa?)” gertak Ngatinah pada Anwar. Ia bingung, apa maksud dari yang diucapkan Anwar kepadanya. Apa mungkin Anwar benar-benar kerasukan arwah Guntoro?

“Guntoro... Anakmu” tukas sosok yang berada di dalam tubuh Anwar.
Seketika orang-orang yang sejak awal berada mengelilingi Anwar, perlahan mundur dan menjauh, menjaga jarak aman. Karena yang berada di depan mereka sekarang bukanlah Anwar melainkan arwah Guntoro yang telah lama meneror desa.
Ngatinah semakin bingung dengan perkataan yang muncul dari mulut Anwar. Ia bingung harus mempercayainya atau tidak.

“Kowe, arep ngomong opo? (kamu, hendak menyampaikan apa?)” kata Pak Dulah
Sesaat setelah Pak Dulah melayangkan pertanyaan itu, sosok arwah Guntoro yang hampir membuatnya celaka kemarin, entah mengapa berubah 180 derajat ketika ada ibunya di dekatnya.
Dia mendadak menangis. Suara tangisannya terdengar pilu keluar dari dalam mulutnya. Walau kepalanya menunduk, tapi, masih ketara dilihat jika ekspresinya sangat sedih.
Melihat dan mendengar itu, Ngatinah bangun dari duduknya, lalu mendekat ke tempat Anwar. Ngatinah melihat Pak Dulah dengan wajah bingung, lalu menatap ke arah Anwar. Rasa bingung dan takut berkecamuk di dalam dirinya, bahkan, mulutnya pun tak sanggup mengatakan apa-apa.
“Iki, ibukmu neng kene. Ngomong wae sing arep mbok omongke (ini, ibumu disini. Bicara saja yang ingin kamu sampaikan)” ucap Pak Dulah
“Bu, ampuni aku.... Ngapunten kangge salah-salah sing terus tak gawe semasa aku iseh urip karo ibu. Aku ora becus dadi anake ibu. Aku ora tau manut karo omonge ibu. Aku nyesel, Bu"
"(Bu, ampuni aku... Maafkan aku untuk semua kesalahan yang terus aku buat semasa aku masih hidup bersamamu. Aku tidak becus menjadi anakmu. Aku tidak pernah mengikuti perkataan ibu. Aku menyesal, Bu)"
Ngatinah menelan ludah. “G-Guntoro....” Ucap Ngatinah lirih memanggil nama anaknya.
“Bu. Aku iseh pengen urip karo ibu. Aku koyo ngene karna ono sing niat elek karo aku. Aku ditumbalke kanggo niat eleke, Bu (Bu. Aku masih ingin hidup denganmu. Aku menjadi seperti ini karena niat jelek seseorang kepadaku. Aku ditumbalkannya, Bu)”
ujar Anwar yang di dalamnya bersemayam arwah Guntoro. Dia mengatakannya dengan suara sedih dan menangis. Tetapi, tidak ada air mata yang keluar.
Ngatinah melirik ke arah Pak Dulah. “Pak, iku opo maksude? (apa maksudnya?)”

“Opo maksudmu? Sopo sing numbalke awakmu? (apa maksudmu? Siapa yang menumbalkanmu?)” ucap Pak Dulah
Perkataan arwah Guntoro yang keluar dari mulut Anwar semakin membuat orang-orang bingung, khususnya Ngatinah dan Pak Dulah yang ingin memecahkan masalah ini.
“Bu Ngatinah, bicaralah” suruh Pak Dulah

“Ngomong opo, Pak? (bicara apa, Pak?)” jawab Ngatinah. Dia takut.

“Guntoro?” Anakku? ucap Ngatinah dengan suara pelan.
Mendengar itu, suara tangis yang keluar dari mulut Anwar semakin pecah. Dia merengek bagai anak kecil yang menyesali perbuatannya kepada orang tuanya.
“Sopo sing gawe kowe koyo ngene? (siapa yang membuatmu begini?)” tanya Ngatinah

“Aku gak wani nyebut, Bu (aku gak berani menyebutnya, Bu)”
Sosok yang terkenal menyeramkan oleh warga desa, kini menjadi sosok yang lemah saat berada di hadapan ibunya sendiri.

“Tolong aku, Bu”
Setelah mengatakan itu, tiba-tiba Anwar membuka mata dan tangannya normal kembali. Setelahnya ia jatuh tersungkur dengan kondisi lemas. Kesadarannya pun kembali.
“Huhh.... Huhh..... Pak.... Pak Dulah.... Guntoro, Pak.....” ucapnya saat baru saja membuka mata dengan nafas yang terengah-engah. Membuat orang-orang yang melihatnya bingung.
Rohmah mencoba menenangkan Anwar, dengan menepuk-nepuk pundaknya.

“Tenang disek, War (tenang dulu, War)” ucap Rohmah

“Gun, Guntoro kenopo, Mas? (Guntoro kenapa, Mas?)” tanya Ngatinah dengan wajah cemas
“Aku gak ngerti piye asale aku iso ngerti. Tapi, Guntoro nyuwun di dongake awake dewe kabeh sedeso, Bu. Ben arwahe tenang (aku gak tau bagaimana asalnnya aku bisa tau. Tapi, Guntoro njaluk didoakan oleh kita semuanya warga desa, Bu. Agar arwahnya tenang)”
“Opo dongaku tiap dino iseh kurang? (apa doaku setiap hari masih kurang?)” tanya Ngatinah

“Gak ono salahe dewe ngelakuni opo sing diomongke Anwar (gak ada salahnya kita melakukan apa yang dikatakan Anwar)” ucap Pak Dulah
Semua orang mengangguk mendengar ucapan Pak Dulah. Karena, menurut mereka, jika itu akan membuat desa Glagah kembali aman, akan mereka lakukan dan usahakan.

Kejadian itu membuat orang-orang disana khususnya Pak Dulah dan Ngatinah merasa mendapatkan sebuah pesan dan teka-teki.
“Mas Suntono, Mas Joko. Ayo dewe ng omahe Petinggi (Ayo kita ke rumah Petinggi)”

“Njenengan juga, Bu (Bu Ngatinah juga)” tambah Pak Dulah.
Setelah memastikan semuanya akan aman, Pak Dulah dengan Suntono, Joko dan Ngatinah pun langsung menuju rumah Petinggi desa Glagah.
Untuk menyampaikan apa yang baru saja terjadi pada Anwar dan menyampaikan rencana yang akan dilakukannya setelah ini. Beruntung, karena waktu sudah hampir sore, Petinggi sudah berada di rumahnya.
“Pak.. Assalamualaikum” seru Suntono.
Gak lama, Petinggi keluar rumah. Dia agak terkejut melihat kedatangan mereka yang tanpa memberi kabar sebelumnya.

“Mlebu... mlebu (masuk...masuk)”
“Ono opo iki, Sun? Kok ujuk-ujuk tekan omahku? (Ada apa, Sun? Kok tiba-tiba sampai di rumahku)” tanya Pak Dulah terlebih dulu kepada Suntono

“Pak Dulah” ucap Suntono
Pak Dulah mulai menjelaskan jika kedatangannya masih bersangkutan dengan teror pocong Guntoro. Pak Dulah menjelaskan kronologi paska Pak dia bersama dengan Suntono, Anwar dan Joko keluar dari rumah Petinggi kemarin, hingga kejadian siang tadi di rumah Anwar.
Menanggapi perkataan Pak Dulah, Petinggi juga menceritakan, jika tadi ada warga yang datang ke balai desa melaporkan jika ada warga yang hampir celaka karena diganggu oleh pocong Guntoro. Petinggi tidak habis pikir, jika akan sampai seperti ini.
“Terus awake dewe kudu piye, Pak? Aku ora paham nek masalah koyo ngene (lalu, kita harus bagaimana, Pak? Aku tidak paham jika masalah begini)” ujar Petinggi kepada Pak Dulah
Pak Dulah kemudian memberikan saran, agar desa menggelar sebuah pengajian dengan skala besar di desa Glagah. Dan digelar di tengah desa dan salah satunya digelar di makam Guntoro.
“Setuju, Bu?” tanya Pak Dulah kepada Ngatinah yang dari tadi hanya diam.
Ngatinah mengangguk. Menurutnya, jika cara ini adalah yang terbaik untuknya dan anaknya, terutama untuk seluruh warga desa.
“Tapi, Pak. Opo warga-warga gelem? (apa warga-warga mau melakukannya?)” tanya Ngatinah
“Ben aku sing gawe wara-wara, Bu. Insya Allah, warga- warga ora keberatan. Iki juga kanggo keamanan desa (Biar aku yang buat pengumuman, Bu. Insya Allah, warga-warga tidak keberatan. Ini juga untuk keamanan desa)” tutur Petinggi
“Njur kapan, Pak? (lalu kapan, Pak?)” tanya Petinggi

“Kamis, minggu ngarep (Kamis, minggu depan)” jawab Pak Dulah

“Malem Jumat?”

Pak Dulah mengangguk.
“Sing neng deso, arep digelar neng endi? (Yang di desa, mau digelar dimana?)”

“Neng ngarep omah ae, latarku ombo (Di depan rumah saja. Halamanku luas)” tukas Petinggi. Semuanya sepakat.
Pertemuan Pak Dulah, Joko, Suntono dan Petinggi terjadi di hari Minggu. Artinya, masih ada empat hari lagi untuk mengumumkan ke warga desa, jika malam jumat besok akan diadakan pengajian besar untuk kemanan desa.
-Bersambung-
Cerita "Setelah Anakku Meninggal" menemui ujungnya pada Part 9 - Malam Pertaruhan. Part 9 sudah tersedia di @karyakarsa_id , Bagi yg ingin baca duluan silakan klik tautan di bawah, ya!

karyakarsa.com/wahyuariyantn/…
Bagi yg membaca di @karyakarsa_id , disana tersedia juga Extra Part yg hanya saya tulis di sana (di twitter tidak). Extra Part berisikan tentang potongan terakhir teka-teki tewasnya Guntoro

karyakarsa.com/wahyuariyantn/…
Cuplikan Part 9 - Malam Pertaruhan

Warga Desa Glagah satu persatu muncul dan berkerumun, mereka bertanya-tanya, apa gerangan yang membuat mobil itu keliling di tengah siang bolong.
Warga yang berkerumun saling menatap dan bertanya- tanya karena penasaran.
Melihat warga yg ramai keluar rumah, toa pengeras suara pada mobil bak terbuka yg semula melintas pelan menjadi berhenti. “Selamat siang bapak-bapak dan ibu-ibu, hari Kamis pukul 19.00, akan diadakan pengajian di rumah Petinggi. Diharapkan bapak-bapak dan ibu-ibu semuanya datang”
Dari balik rumahnya yang sepi, Ngatinah diam sambil menatap kaca di depan wajahnya.

“Opo sing bakal terjadi bengi iki? (apa yang akan terjadi mala mini?)”
“Le, ibu selalu ndongake kanggo keselametanmu dunia akhirat. Sing tenang yo, Le (nak, ibu selalu berdoa untuk keselamatanmu dunia dan akhirat. Yang tenang ya, Nak)”
Ada kengerian disini, ada keheningan yang menyimpan misteri disini, dan rasa takut disetiap orang yang datang kesini. Setiap warga yang berada disini, tidak bisa menutupi wajah paniknya. Di situasi begini, waktu terasa lama sekali berputar.
Malam semakin larut, suara untaian-untaian kalimat suci masih terus dibacakan. Namun, beberapa saat selanjutnya, keanehan mulai terjadi. Suasana yang semula panas, seketika berubah tanpa aba-aba. Angin berhembus sangat kencang, sampai mematikan lilin-lilin disana.
Rasa panik mulai merasuk, mereka pun saling pandang dan merasa jika akan terjadi sesuatu sebentar lagi.
Sebuah suara tiba-tiba muncul. Suaranya lirih, merintih meminta tolong kepadanya. Suara itu terdengar sangat jauh. Tapi jelas di telinga Ngatinah.
Berkali-kali Ngatinah mendengarnya. Sementara, yang ada di depan matanya hanyalah kegelapan yang tidak terlihat apa- apa.
Ngatinah berusaha mencari dari mana arah suara itu berasal.
Hingga, di satu waktu, suara itu terdengar lebih jelas dari sebelumnya.
Ngatinah terus berjalan dengan tangannya yang meraba-raba seperti orang buta. Hingga, setitik cahata kecil menyorotnya dari kejauhan. Melihat itu, Ngatinah segera berlari ke arahnya sambil berteriak

Bagi yg ingin langsung baca part terakhir, langsung ke @karyakarsa_id , ya!
karyakarsa.com/wahyuariyantn/…

Bocoran sedikit ; part akhir memiliki halaman yg lebih banyak dari part-part sebelumnya. Dan ada Extra Part yg hanya saya tulis di sana dan tidak di update di twitter.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with w a h .

w a h . Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @wahyuariyantn_

Sep 13
SETELAH ANAKKU MENINGGAL

Part 7 - Perlawanan

Perlawanan pun dimulai. Malam itu, area kuburan seakan menjadi sebuah arena pertempuran antara sekumpulan manusia dengan setan yang terus-terusan meneror desa.

@bacahorror_id @IDN_Horor @ceritaht #threadhorror #ceritahorror Image
Seperti biasa, ya. Silakan RT, like dan tinggalkan jejak terlebih dulu, agar tidak ketinggalan update ceritanya
Setelah beberapa minggu terbengkalai, akhirnya naik postingan juga cover cerita ini 😆
Read 94 tweets
Aug 30
MENDAKI DIANTARA DUA DUNIA

Chapter 3 - Tersesat

"Tinggallah bersamaku. Disini, semua yang menjadi keinginanmu, akan dengan mudah terkabul"

@IDN_Horor @bacahorror_id #bacahoror #threadhorror #ceritahorror Image
Yang baru bergabung, silakan baca dulu chapter sebelumnya disini
Seperti biasa, silakan RT, like dan tinggalkan jejak terlebih dulu. Saya akan mulai nanti. Kapan? Yang sudah biasa baca tulisan saya, mestinya sudah hafal :)
Read 89 tweets
Aug 21
MENDAKI DIANTARA DUA DUNIA

Chapter 2 - Gerbang

Langkahku dicegat oleh keberadaan laki-laki misterius di tengah hutan, lalu memintaku untuk tinggal bersamanya. Tapi....

@bacahorror_id @IDN_Horor #bacahorror #threadhorror #ceritaserem #pendakianhorror Image
Buat yang baru gabung, silakan baca chapter sebelumnya dulu, ya
Saya tidak mulai cerita malam ini. Silakan RT, like, dan tinggalkan sebanyak-banyaknya terlebih dahulu.
Read 87 tweets
Aug 18
SETELAH ANAKKU MENINGGAL

Part 6 - Terjebak

Situasi semakin sulit, sebaiknya segera pergi dari sini. Sebelum semuanya terlambat

@bacahorror_id @IDN_Horor #bacahorror #threadhorror #ceritaserem Image
Silakan RT, like dan tinggalkan jejak sebanyak-banyaknya. Saya akan mulai saat sudah agak ramai
Saya terlewat menjelaskan terkait hal ini ; Pak Dulah adalah orang yang memeluk agama islam. Namun, islam yang dianutnya adalah yang lekat dengan adat-adat kejawen.
Read 78 tweets
Aug 12
MENDAKI DIANTARA DUA DUNIA

Pendakian kali ini, mengantarkanku ke sebuah tempat yang tidak semestinya aku datangi

- a thread

@bacahorror @IDN_Horor #bacahoror #threadhorror #ceritaserem #ceritahorror Image
Silakan RT, like dan tinggalkan jejak terlebih dulu. Saya mulai kalau sudah agak ramaian.

Yg nunggu cerita teror hantu sugus, sabar dulu, masih belum selesai ditulis 🙏🏻
Mulai besok, ya. Malam ini #TimnasDay dulu 🙏🏻😁
Read 73 tweets
Jul 19
SETELAH ANAKKU MENINGGAL

Part 5 - Jaga Malam & Pak Dulah

Tolong.. Tolong aku... Suaranya menggelegar diantara hening malam itu. Tubuhnya dingin, dan dirundung rasa takut yang teramat dalam

@IDN_Horor #bacahorror #threadhorror #horror Image
Yang baru bergabung, bisa baca duluan part sebelumnya.

Disini, ya!
Seperti biasanya, malam ini flyer nya terlebih dulu. Mulai ceritanya? Ya, seperti biasanya juga. Tapi, buat kamu yang ingin baca duluan, bisa langsung ke @karyakarsa_id ,ya! Tautan ada di bawah ini karyakarsa.com/wahyuariyantn/…
Read 110 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(