Creepylogy Profile picture
Sep 24 47 tweets 8 min read
-Persiapan Kematian-

Di antara serpihan Mei 98...

Izin tag
Terima kasih RT/likes 🙏

@IDN_Horor @bacahorror_id @P_C_HORROR @Penikmathorror @threadhororr @ceritaht
#bacahorror #penikmathorror #ceritahorror #threadhorror
1998 Mei

Bapak baru selesai bercerita Pak Sahran Rambe, tetangga kami, yang bulan-bulan belakangan ini katanya luar biasa berubah. Pak Rambe–begitu biasanya dia disebut–jadi rajin pergi ke masjid, subuh sampai isya, senang mengaji, pula ia gemar menyumbang.
Tiap pekan ada saja makanan ia kirim untuk pengajian dan para peronda. Kata tetangga kami yang lain, dia pernah diberitahu bahwa Pak Rambe kerap menyantuni beberapa keluarga melarat yang tinggal di luar komplek, dengan sembako dan uang.
Dan kata bapak, kemarin lusa Pak Rambe menyumbang uang 20 juta untuk melanjutkan pembangunan masjid.
Pak Rambe adalah tetangga kami yang ramah tetapi kurang senang bergaul. Dia baru pensiun awal 1998, dari perusahaan minyak negara. Umurnya masih setengah baya, tampak sehat, dan senang merawat tanaman. Lelaki itu gemar menyapa orang lewat saat sedang mengurusi halaman.
Tentang sumbangannya ke masjid, aku tertarik bertanya, "Mengapa itu diterima? Bukannya dia baru pensiun dan tidak punya pekerjaan?"

Bapak katakan, "Dia sudah mengucapkan niatnya sebelum pensiun."
Aku berteman dekat dengan Santi, anak Pak Rambe yang sulung. Gadis itu diberi uang jajan tiga kali lebih banyak daripada aku. Maksudku, mungkin sumbangan 20 juta memang tidak memberatkan keluarga itu.
Aku jadi ingat Santi. Maka kutelepon rumahnya untuk mengetahui dia di rumah atau tidak. Tetapi ibunya mengatakan Santi belum pernah pulang sejak sebulan lalu. "Kamu tidak ikut demo?" selidik ibunya. Kujawab, "Besok lusa Ima berangkat lagi."
"Hati-hatilah, Nak," ujar wanita itu. "Semua tentara berpeluru. Kamu lihat di koran, mahasiswi dan mahasiswa dianggap sama saja. Jangan dekat-dekat dengan ABRI, sebab sudah jelas ini lebih besar dari zaman ibu tahun 74 dulu."
"Mungkin tidak dengan Marinir," kucoba berkelakar.

"Itu mungkin benar. Namun kata Pak Heru RT 9, dia Marinir, kan, mereka cuma bertugas di pinggir. Di pusat hanya ada yang siap menembak."
Tak lama kuakhiri telepon. Agaknya semua kami yang hidup di era ini sudah gemas menunggu hari-hari terakhir rezim. Bisa kutebak di mana Santi, pasti tidak jauh dari Harmoni atau Pejambon. Kuliahnya di Atmajaya, salah satu kampus yang pergerakannya paling dihormati di Indonesia.
Atmajaya belum lama ini menjadi salah satu bidan lahirnya salah satu forum organisasi mahasiswa yang paling fenomenal di akhir abad; Forum Kota. Dia kemudian menjadi magnet yang menarik berpuluh-puluh kampus di ibu kota.
Betapa Forkot mulanya dicibir karena potensi konflik fraksis di tengah jalan, bahkan dituduh merah, tetap tidak dimungkiri kehadirannya menjadikan pergerakan makin kuat dan masif.
Teori sederhana, jika ingin menciptakan ledakan massa aksi, persatukan kampus-kampus dengan tradisi pergerakan terkuat yang tidak dapat dibantah. Di antara mereka yaitu Atmajaya, Jayabaya, Universitas Kristen Indonesia, Universitas Nasional, IKIP, ISTN, dan poros Ciputat-Cirendeu
Sebab siapa pun remaja yang telah melangkahkan kakinya ke sana untuk belajar pasti akan segera paham, bahwa setengah ilmu berasal dari buku dan dosen, setengahnya lagi ada di jalanan. Kelahiran Forum Kota juga mengiringi munculnya ratusan forum mahasiswa di seantero negeri.
Hari malamnya Pak Rambe tumben-tumbennya berkunjung ke rumah, menemui bapak. Karena bicaranya nyaring, dan aku sedang belajar di ruang sebelah, maka pembicaraan mereka tertangkap cukup jelas.
Rupa-rupanya dia mengutarakan niatnya hendak membelikan karpet masjid, ampli, juga jam yang ukurannya setinggi manusia. Bahkan saya mendengar bapak jadi keberatan dengan gagasan itu, dengan alasan bahwa masjid sudah punya semuanya walau tidak persis.
"Kalau begitu keramik juga tidak masalah," usul Pak Rambe.

"Begini, Pak. Kondisi Pak Rambe, kan..."

"Pensiun? Apa bedanya pensiun dan bekerja kalau sama-sama punya uang?"

"Bukan, Pak, tetapi bapak, kan..."
"Oh, iya, jangan kuatir. Cuci darah, aku ada asuransi."

"Dengar-dengar setelah lulus ini Santi...."

"Memang dia akan menikah. Itu juga sudah dihitung."
Aku sudah tahu Santi akan kawin setelah diwisuda nanti. Namun baru malam ini aku tahu ayahnya mengidap sakit ginjal kronis. Bapak dan ibu tidak pernah cerita, demikian pula Santi.
Keesokan sore aku diceritakan lagi kalau keramik untuk masjid sudah dipesan, bahkan Pak Rambe ngotot menambahnya dengan ongkos tukang. Masjid di perumahan kami memang baru jadi tiang dan atapnya, tetapi benak ini tertegun mengingat kesungguhan Pak Rambe dalam beramal.
Kemudian datang lagi Pak Rambe ke rumah pada malam selepas isya. Ibu mengatakan, bapak masih di masjid. Tetapi dia mengatakan bukan mau bertemu bapak, melainkan bicara denganku. Dengan penasaran aku menemuinya di ruang tamu.
"Besok kau berangkat demo, Ima? Di mana ada aksi besok?"

"Insya Allah, Om. Senayan. Tapi ada informasi Trisakti akan aksi di sekitar kampus."

"Ya Rabbi ya Karim, kampus itu benar-benar jadi bintang sekarang."
"Mereka sudah menunggu momen ini sangat lama."

"Ha ha! Aku kan Trisakti juga."

"Benarkah? Masih Res Publica? Sempat diajari Pramoedya?" tiba-tiba aku jadi cerewet.

"Aah, bukan! Sudah Trisakti. Dibilang orang kampus Cina."
"Santi ada telepon, Om?"

"Bah! Mana ada dia ingat rumah! Ooo, pernah dua Ahad yang lalu, dari wartel. Apa dia cerita, katanya pernah dipukul orang KISDI. Apa itu KISDI?"

"Sejenis Pam Swakarsa, Om."
"Paok kali! Apa orang-orang Islam itu pikir sampai dia dukung mati-matian rezim, ya?"

"Politik saja, Om. Yang menentang juga sama-sama Islam."
Pak Rambe lalu tertawa gelak-gelak khas orang Sidempuan. "Benarlah itu. Ya sudah, jaga diri baik-baik. Ingat, kau perempuan. Saya titip ini saja, terserahlah kau ini mau kasih siapa, teman-teman pasti perlu untuk makan dan merokok, ya, kan?"
Aku menerima segepok uang pecahan 50 ribu. Mungkin tidak kurang 2 juta jumlahnya. Untuk para demonstran.

Dan lelaki itu melanjutkan, "Jangan lupa pakai juga untuk kau sendiri."
Perginya Pak Rambe dari rumahku tidak menghilangkan sosoknya di kepalaku. Tak habis kupikir, gerangan apa yang sedang menimpanya. Namun perkara ini segera tergantikan oleh yang lain. Koordinator forum Ciputat-Cirendeu meneleponku.
"Syukurlah kamu di rumah."

"Ada apa, Bang?"

"Tidak apa-apa. Aku masih terpikir Refli."

"Refli Pertanian UMJ?"

"Kamu belum tahu?"

"Hilang?"
"Sudah tiga hari. Bersama pacarnya juga. Kata ibunya, terakhir Refli izin pergi ke Situ Gintung. Semoga dia cuma tersangkut di satu tempat yang aman."
Hari cepat bersilih. Pagi-pagi buta aku pamit pergi. Ibu sempat menyangsikan keberangkatanku. Kuberitahu kalau itu tidak mungkin. Aku ketua organisasi cabang. Sekecil-kecilnya peran, aku tidak akan lari dari sejarah.
Sementara bapak, dia adalah seorang aparat negara, yang sudah lebih paham skala masalah hari ini, justru lebih tenang melepasku pergi. Hanya pesannya, "Jangan pernah bangga dengan yang kamu kerjakan hari ini, apa pun hasilnya, kebanggaan akan menghancurkan tujuan."
Senin, 11 Mei, aku berangkat ke Ciputat dan tiba tanpa kurang satu apa pun. Polisi dan tentara telah memasang blokade di sejumlah titik demi menghalangi demonstrasi. Sejumlah reli mahasiswa hari itu dapat diadang, akan tetapi sebagian lain tiba juga di Senayan.
Jelang sore, melalui siaran radio, kami di Ciputat mendengar Trisakti mengadakan aksi di sekitar kampus. Ada desas-desus minor kalau aksi itu agak dipengaruhi kampanye pemilihan ketua BEM. Namun, yang benar saja, tidak ada yang peduli dengan itu, sebab setiap aksi adalah kawan.
Aku menyampaikan amanat Pak Rambe seutuhnya. Dan rupanya ada banyak dukungan pula dari masyarakat, termasuk warung-warung makan di sekitar kampus yang mengirim nasi bungkus untuk mahasiswa.
Hari berikutnya, aku kembali gagal menuju Senayan. Akan tetapi, lagi-lagi Trisakti memaksa reporter bekerja keras. Telah terjadi penembakan brutal terhadap mahasiswa Trisakti sekitar pukul 5 sore, setelah reli mereka menuju Senayan diblokade di S. Parman.
"Empat orang martir," geram seorang kawanku yang sebenarnya sudah lulus sidang skripsi. Dalam teklap malam harinya kami tak berhenti membahas itu. Jika aparat sudah terang-terangan brutal, maka diharapkan mahasiswa takut.
Masalahnya bukan tidak takut, tetapi kami sudah terlalu lama takut. Dus, hari esoknya ribuan massa mendatangi kampus di Kyai Tapa itu untuk memberikan pikiran dan jiwanya, juga menghadiri pemakaman para korban dengan duka sedalamnya.
Lalu kusaksikan, demikian aneh sejarah mengatur dirinya sendiri. Penembakan 12 Mei menjadi pintu untuk memasuki babak penting. Sehari kemudian kerusuhan pecah, sosial dan rasial, dari Tomang, Bendungan Hilir, berkobar sampai ujung Bekasi.
Sukar menjelaskan bagaimana ini terjadi, hanya yang pasti, pada 18 Mei, aku di antara belasan ribu mahasiswa lain berhasil memantati gedung pantat di Senayan. Mereka tidak punya pilihan. Bahkan sekiranya hari-hari di depan bakal lebih buruk, perubahan masih lebih baik.
Berselang tiga hari presiden mengumumkan pengunduran dirinya. Itu adalah headline akhir abad. Untuk sementara semua orang dapat pulang dan beristirahat.
Aku pulang pada 22 Mei malam. Melewati rumah Pak Rambe, lelaki itu tersenyum begitu dalam dari halaman yang dipenuhi anggrek. Tak luput kuingat kebaikannya dan berterima kasih padanya. Kulanjutkan langkah setelah itu. Sekitar 50 meter Santi memanggil, keluar dari pagar rumahnya.
Ia memelukku seeratnya. Menangis. Dan kukatakan, "Ya, kita berhasil, Santi. Mudah-mudahan ada hari yang lebih baik di depan."

Ketika pelukannya sudah longgar, Santi berujar lirih dalam isaknya, memberitahu bahwa papanya meninggal sudah empat hari.
Kukatakan pada Santi kalau sangat kusesali aku tidak mengetahui kabar tersebut. Namun, katanya tidak apa-apa. Dia sendiri baru tahu setelah ibunya menelepon kampus juga semua kontak yang tersedia.
Pak Rambe meninggal karena komplikasi ginjal juga diabetes yang tidak bisa lagi ditangani. Semua itu begitu cepat terjadi. Dengan sendirinya terkilas di pikiranku seseorang yang tersenyum padaku beberapa saat lalu. Dan aku hanya bisa berharap ia memperoleh segala ganjaran baik.
"Aku ingin ke rumah kamu dulu, Santi."

"Ayo. Ada ibu dan saudara-saudara di sana."

"Papamu titip uang padaku untuk demonstran."

"Oh, ya?"

"Sepertinya dia sudah menyiapkan harinya dengan paripurna."

–selesai–

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Creepylogy

Creepylogy Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @creepylogy_

Sep 21
-Kompilasi Horor Riddle-

Buat yang suka cerita agak mikir.
Di-update berkala sampai nanti malam

Izin tag
Terima kasih RT/likes 🙏

@IDN_Horor @bacahorror_id @P_C_HORROR @Penikmathorror @threadhororr @ceritaht
#bacahorror #penikmathorror #ceritahorror #threadhorror Image
Cerita-cerita ini orisinil. Sudah tayang di IG saya (nama akun sama dengan twitter). Yang mau share riddle berikut ini di platform lain (non komersial) silakan.

Mulai deh..
"Gladi Resik"

Entah sebab apa datang cemas. Besok malam pertunjukan tunggal milikku. Aku adalah komedian terbaik. Sekali kesalahan saja, reputasi bakal tercoreng.
Read 19 tweets
Sep 17
Pocong itu sejelek-jeleknya pemandangan yang dapat dilihat. Saya ulangi, bukan saja seram, tetapi sangat jelek! Saya dan Vidi langsung lari, setengah mati kaget, tak lama menyaksikan sosok tersebut rupanya bercokol di sudut kamar yang kami tempati.

***
Sewaktu kuliah, tahun keempat, saya mengikuti satu kegiatan fakultas yang diadakan di Sukabumi. Kegiatan ini sebenarnya tidak banyak bermanfaat, tetapi tidak jelas kenapa, selalu diulang saban tahun.
Read 40 tweets
Aug 20
-Gagal Nikah 3 Kali, Semua Calon Istrinya Meninggal-

Benar-benar kuat mentalnya...

Izin tag
Terima kasih RT/likes 🙏

@IDN_Horor @bacahorror_id @P_C_HORROR @Penikmathorror @threadhororr
#bacahorror #penikmathorror #ceritahorror #threadhorror
Sebelum melangsungkan acara pernikahan beberapa tahun lalu saya mengantarkan sepucuk undangan ke sebuah pesantren. Pengasuh pesantren itulah yang kemudian mengisahkan cerita memilukan sebagaimana berikut:
Seorang santri bernama Jayadi, asli Indramayu. Di umur yang sudah masuk kepala tiga dia mulai gundah oleh karena nasihat—juga tekanan—dari orang lain di sekelilingnya agar Jayadi lekas berkeluarga.
Read 30 tweets
Aug 13
-AMBULANS JENAZAH KORBAN MUTILASI-

Apa yang dialami dua pengantar jenazah dalam kisah ini sukar dijelaskan...

Izin tag
Terima kasih RT/likes 🙏

@IDN_Horor @bacahorror @P_C_HORROR @Penikmathorror @threadhororr
#bacahorror #penikmathorror #ceritahorror #threadhorror
Waluyo, 75 tahun, sepi dalam masa tua. Anak-anaknya sudah mapan dan hidup berjauhan, istrinya sudah meninggal, dan karib kerabat satu persatu tinggal kenangan. Waluyo tak banyak mau, yang penting hidup tenang dan mati dalam damai. Namun, yang sederhana pun kadang sukar terwujud.
Saat istrinya meninggal beberapa tahun lalu putra-putri Waluyo memberi saran agar ayahnya pindah ke panti jompo. Rumah di Kota Bekasi biar saja, nanti bisa dipakai untuk lebaran dan tahun baru atau kapan pun saat berkumpul. Sayangnya Waluyo tidak mendengarkan saran itu.
Read 38 tweets
Aug 6
-KEJADIAN LANGKA DI RUMAH SAKIT-

Gak tau lagi harus bilang apa tentang kisah ini...

Izin tag
Terima kasih RT/likes 🙏

@IDN_Horor @bacahorror @P_C_HORROR @Penikmathorror @threadhororr
#bacahorror #penikmathorror #ceritahorror #threadhorror
Saya sedang menjaga ibu yang dirawat inap lalu bertemu pria ini, Aris namanya, yang juga sedang menjaga ayahnya. Perjumpaan berlangsung beberapa kali di kantin RSUD Bekasi hingga ia menuturkan pengalamannya beberapa tahun sebelumnya yang begitu membekas, bahkan di benak saya.
Aris berkawan lama dengan seorang pria, namanya Hasyim. Kawan sejak kecil sampai SMA. Hubungan mereka lalu terpisah lantaran Aris pindah dari Bekasi ke Indramayu pada awal dekade 1990-an. Di era itu, sekali berpisah anggap saja tidak akan jumpa lagi.
Read 21 tweets
Aug 3
-Rumah Angker Duren Tiga-

Kisah nyata..

Izin tag
Terima kasih RT & likes. 🙏
@IDN_Horor @bacahorror @Penikmathorror @threadhororr
#bacahorror #threadhorror #penikmathorror #ceritahorror Image
Sumber kisah ini adalah klien thesis saya. Dia sendiri yang mengalaminya saat masih kuliah sarjana. Lokasi rumah di Duren Tiga-Perdatam, tidak terlalu jauh dari Potlot, TMP Kalibata, atau TKP polisi tembak polisi.
Ramli, asli wong kito, datang ke Jakarta dari Empat Lawang (dulu Lahat) pada 2005. Seperti banyak perantau, Ramli ikut kerabatnya tinggal. Sebuah rumah besar di Duren Tiga dengan tujuh kamar dan diisi 13 orang. Dengan Ramli genaplah 14.
Read 26 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(