#BangEn Profile picture
Dec 5 44 tweets 8 min read
Kacau, pikiran Retno kali ini benar-benar kacau, di saat dia sudah yakin untuk pulang, kendaraannya lenyap begitu saja tanpa jejak, seperti takdir menahannya untuk tetap berada di desa.

"Gimana, Ret?" tanya Wawan memecah keheningan yang cukup lama terjadi.
Retno terlihat bingung, kali ini dia tak tahu harus melakukan apa, seolah otaknya tak berfungsi dengan baik setelah bertemu dengan Santi.
Sempat terpikir untuk bertanya kepada warga sekitar terkait motornya, tetapi perlakuan yang mereka dapati sebelumnya, membuat Retno mengurungkan niat tersebut, karena yakin tak akan ada yang mau membantunya.
Bersamaan dengan matahari yang perlahan terbenam, hari pun mulai menggelap. Azan Magrib berkumandang dari musala desa yang tak jauh jaraknya dari mereka.

Retno menghela napas. "Ayo!" ajaknya.

Wawan mengerutkan dahinya. "Ke mana?"
"Sholat, aku mau menjernihkan pikiranku kembali."

"Menjernihkan kembali?" gumam Wawan yang belum mengerti sepenuhnya.
Sama seperti sebelumnya saat mereka melangkah menuju rumah Santi, dalam perjalanan menuju musala pun mereka mendapati tatapan ngeri dari Warga,
bahkan mereka yang terlihat sudah mengenakan baju salat dan hendak pergi salat ke musala, membatalkan niat dan masuk kembali ke dalam rumah.

Tak lama mereka pun tiba di sebuah musala, tak terlalu besar, tetapi terlihat cukup indah dan bersih.
"Sepi, Ret. Sebegitu takutnya mereka dengan kita?"

"Mereka tak takut dengan kita, tetapi takut pada makhluk yang kemungkinan mengikuti kita."

Wawan terdiam mendengarnya. "A-ada yang mengikuti kita?"

"Berdoa saja, semoga tak ada," tambah Retno.
Mereka melangkah masuk ke dalam musala setelah mengambil air wudu, dan benar saja, hanya ada mereka dan seorang pria paruh baya yang barusan mengumandangkan azan di dalamnya, tak ada orang lain lagi.
Suasana begitu tenang, keheningan berpadu dengan suara ombak yang memecah dinding-dinding penghalang abrasi, membuat ibadah mereka terasa sangat khusyuk.
"Aamiin ...." Retno mengusapkan kedua tangan ke wajahnya usai berdoa. Dia melihat ke kanan dan kiri, mencari keberadaan sahabatnya, tetapi tak ketemu juga.
Cepat dia bangkit, melangkah keluar musala, mencari di mana Wawan berada. Cukup motornya saja yang hilang, jangan bertambah menjadi Wawan juga, pikirnya.

"Alhamdulillah," ucap Retno pelan saat melihat Wawan sedang mengobrol dengan imam salat tadi, di parkiran musala.
"Eh, Ret, sudah doanya?"

"Kau buat aku khawatir tadi, kupikir kau hilang juga!" seru Retno membuat Wawan tertawa.

"Kau tadi khusyuk sekali berdoanya, dan aku tak mau mengganggu. Oh, ya! Ini Pak Abduh, beliau memang bertugas sebagai imam di mushola ini."
Retno menyalami tangan Pak Abduh.

"Eh, Wan, beliau tak masalah dengan ...?" tanya Retno terjeda.

Wawan yang paham maksudnya lantas berkata, "Udah aku ceritakan semuanya ke Pak Abduh, dan beliau merasa tak perlu takut kepada kita seperti yang lainnya."
"Alhamdulillah." Retno mengembuskan napas lega.

Mereka bertiga melanjutkan obrolan di teras musala. Pak Abduh ternyata orang yang menjadi penanggung jawab penguburan Santi saat itu.
"Jadi begitu ceritanya, Pak?" tanya Retno usai Pak Abduh menceritakan kembali kejadian mati suri yang dialami Santi dengan detail.
"Iya, seperti itulah. Tak ada hal yang aneh sebelum kami tiba di liang kubur dan memasukkannya, tetapi begitu hendak dikubur, semua orang terkejut dengan apa yang terjadi," jelas Pak Abduh. "Apa benar dia bukan Santi seperti katamu?"
Retno membenarkan posisinya saat mendengar pertanyaan dari Pak Abduh, mencoba mengambil posisi yang membuatnya tenang, untuk menceritakan pengalaman mengerikan yang terjadi padanya tadi.
"Dari pengalaman saya bersinggungan dengan 'mereka' selama ini, saya yakin dia ... bukan Santi lagi, dan saya merasakan kehadiran makhluk tak kasatmata lain di dekatnya."

Pak Abduh mengangguk.
"Begitu ternyata, pantas jika mereka yang mengunjunginya mengalami hal aneh dan diganggu ketika pulang dari sana," ucap Pak Abduh lagi.
Obrolan mereka berlanjut ke soal keanehan yang dialami warga desa, setelah pulang berkunjung dari rumah Santi. Dari semua yang terjadi memang belum ada yang sampai merenggut nyawa, tetapi tetap saja mengganggu ketenangan mereka.
Bagaimana tidak? Saat mereka terjaga dari tidur di malam hari dalam kamar mereka, makhluk tak kasatmata menampakkan dirinya, melihat mereka dengan tatapan mengerikan, sambil tersenyum di sudut kamar,
belum lagi suara-suara aneh yang selalu terdengar di dalam ataupun di luar rumah mereka.

"Apa yang harus kami lakukan, Nak?" tanya Pak Abduh kepada Retno.
Retno tertunduk lemas. "Maaf, Pak, saya memang biasa bersinggungan dengan mereka, tetapi saya tidak bisa melakukan sesuatu agar mereka pergi, saya tidak sehebat itu!"

Raut wajah kecewa tak dapat ditutupi Pak Abduh saat mendengarnya.
"Baiklah, memang sepertinya harus mencari solusi lain, karena bagaimanapun, Santi sebenarnya sudah meninggal, tak baik jika membiarkan makhluk yang merasukinya, menguasai tubuh Santi berlarut-larut."
"Baiklah, Pak, kalau begitu kami permisi dulu, hari sudah makin malam," potong Retno.

"Mau ke mana, Ret?" bisik Wawan.
"Oh, iya, saya sampai lupa waktu. Di sini tak ada penginapan, dan percuma saja kalian bertanya ke rumah warga untuk menginap, melihat kalian di sini saja membuat mereka enggan sholat di musala."
"Kalau begitu, boleh kami menumpang semalam di sini? Besok kami akan mencari tumpangan buat kembali ke Ketapang," ucap Retno meminta izin.
"Bukan melarang kalian menginap di sini, tetapi izinkanlah saya menjamu tamu di desa ini dengan lebih layak. Di rumah saya masih ada satu kamar kosong, kalian bisa menempatinya selama apa pun kalian mau, selama berada di sini."

Wawan tersenyum lega mendengarnya.
"Udah jangan banyak pikir lagi!" seru Wawan kepada Retno.

"Baiklah kalau begitu, kami terima tawarannya. Terima kasih, Pak," ucap Retno lantas menyalami tangan Pak Abduh.
Selepas sholat Isya mereka beranjak menuju rumah Pak Abduh, rumahnya sederhana, tak seperti rumah Santi, tetapi cukup nyaman dan sejuk kala malam hari. Istri Pak Abduh menyambut mereka dengan senang hati, dan mempersiapkan makan malam untuk mereka.
Retno dan Wawan bersyukur masih dapat menemui warga yang tidak takut dengan mereka.

"Maaf, Pak, Bu, kenapa anaknya enggak diajak makan?" tanya Retno di sela-sela makan malam di dapur.

"Anak?" Pak Abduh mengerutkan dahinya lantas menatap sang istri.
Wawan menghentikan makannya, meletakkan sendok kembali ke piring.

"Kenapa? Itu anak Bapak dan Ibu, kan? Yang sedang coret-coret dinding?" Jari telunjuk Retno menunjuk ke arah dinding kamar dekat ruang tamu, tak jauh dari tempat mereka berada.
Pak Abduh, Bu Diah, dan Wawan menoleh ke arah yang ditunjuk.

Retno melambaikan tangan sambil tersenyum ke arah yang dia tunjuk. "Anaknya cantik. Berapa umurnya?" tanyanya lagi kepada si pemilik rumah.
Bu Diah menggenggam erat tangan suaminya, sementara Wawan mencoba menendang kaki Retno dari bawah meja.

"Kau serius, Ret?" tanya Wawan.

"Lah, emangnya kenapa? Itu dia anaknya!" tunjuknya lagi sambil tersenyum.
"K-k-kami memang punya anak umur lima tahunan, tetapi dia sudah ... meninggal sepuluh tahun yang lalu," ucap Pak Abduh kemudian.

Retno terhenyak mendengarnya. Awalnya dia tak percaya, tetapi untuk apa Pak Abduh berbohong?

"Kalau begitu, yang ada di hadapan saya ...?"
Anak itu menoleh ke arah Retno perlahan-lahan, wajahnya yang semula baik-baik saja, berubah merah karena darah yang keluar dari balik belahan di kening, semakin memerah saat belahannya semakin menganga.
Retno membelalak. "M-meninggal k-karena ... apa?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan.

"Tertabrak motor yang melintas, waktu dia menyebrangi jalan," jelas Pak Abduh.

"K-kepalanya ... r-retak?"

"I-iya! Bagaimana ... kamu tahu?" tanya Bu Diah.
"K-karena s-saya ... melihat kepalanya terbelah, d-dan mengeluarkan banyak darah di sana!" serunya dengan suara bergetar, lantas memejamkan mata, bukan karena takut, tetapi Retno tak tega melihatnya.

Bu Diah menjerit tiba-tiba, merengkuh bahu suaminya dan menangis.
"Kau serius, Ret? Karena kami tak melihatnya!"

"A-aku ... aku pun, tak ingin melihatnya j-jika tahu dia ... sudah meninggal!"
Tangis Bu Diah memecah sunyi malam ini, sementara para lelaki di sana terdiam saling tatap.

Malam belum terlalu larut, tetapi teror itu sudah dimulai.

Bersambung....

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with #BangEn

#BangEn Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @Enrickohendaya1

Dec 7
Santi mulai menceritakan tentang hidupnya kepada Retno, cerita tentang awal mula ayahnya yang baik berubah menjadi seperti saat ini, menjadi sosok ayah yang rela menumbalkan keluarganya demi kekayaan semata.
Read 41 tweets
Dec 6
Suasana di meja makan yang semula hangat, berubah mencekam begitu saja. Retno kini mengerti kenapa warga sangat takut dengan Santi, bahkan hanya untuk sekadar membicarakannya.
Read 42 tweets
Dec 4
Retno memutuskan untuk tetap maju, meski dia sudah mendengar cerita dari Bu Desi-ibunya Santi, terkait keadaan anaknya, juga tentang hal yang akan terjadi jika dia bertemu Santi secara langsung.
Read 42 tweets
Dec 3
Hujan menyambut kala Retno dan Wawan memasuki desa Pagar Mentimun. Bukan hal aneh di daerah Ketapang perubahan cuaca yang mendadak seperti ini, tetapi tetap saja mengganjal di hati mereka apalagi baru mengalami peristiwa yang juga aneh sebelumnya.
Read 50 tweets
Dec 2
Tangis terdengar sahut-menyahut dari pihak keluarga, diiringi tahlil yang dilantunkan para pria pembawa keranda.
Santi, perempuan muda nan cantik, terbaring tanpa nyawa di dalam keranda yang sedang dipikul. Entah apa penyebab sebenarnya, masih belum diketahui, dia ditemukan sudah dalam keadaan tak bernyawa di dalam kamarnya pagi tadi.
Read 61 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(