#BangEn Profile picture
Dec 6 42 tweets 8 min read
Suasana di meja makan yang semula hangat, berubah mencekam begitu saja. Retno kini mengerti kenapa warga sangat takut dengan Santi, bahkan hanya untuk sekadar membicarakannya.
"Pak, cobalah bicara dengannya, siapa tahu dia akan mendengar ucapan orangtuanya, jika benar dia anak Bapak," pinta Retno yang sudah berdiri dan mendekat perlahan ke arah arwah si anak.

"B-bicara?" tanya Pak Abduh.

"Ya!"

"Bicara apa?"
"Apa saja, Pak!" sahut Retno lagi, yang kini sudah berdiri tepat di depan arwah si anak.

"Amira, Amira ada di sini ...?" Pak Abduh mencoba melakukan apa yang Retno pinta. "Kalau Amira benaran ada di sini, bapak minta Amira jangan mengganggu tamu bapak, mereka orang yang baik."
"Bagaimana reaksinya?" tanya Wawan.

"Dia melihat ke arah Pak Abduh sekarang!"

Tangis Bu Diah tak berhenti, sangat terasa sesal yang mendalam di hatinya.

"Terus, Pak! Tanyakan hal apa yang masih membuatnya berada di alam ini?"
"Amira, kenapa Amira masih di sini? Apa ada yang masih menahan Amira?"

"Bagaimana kali ini?" Wawan bertanya kepada Retno kembali. "Ret? Kenapa diam?"

Retno tiba-tiba memutar badannya, menghadap ke arah Pak Abduh dan Bu Diah, kemudian menangis.
Wawan bangkit dari kursi melihat tingkah sahabatnya itu. "Ret! Jangan bercanda!"

Retno tak menggubris perkataan Wawan, dia masih menangis, hanya saja suaranya bukan suara Retno, melainkan suara tangisan anak perempuan.

"A-A-Amira ...?" tanya Pak Abduh sambil menatap Retno.
Retno mengangguk manja, persis seperti anak kecil.

"Apa yang kamu mau, Nak?"

Retno menunjuk ke arah Bu Diah.
Pak Abduh menggenggam kuat tangan istrinya. "Ibumu? Kamu ... mau apa dari ibumu?" tanya Pak Abduh dengan suara bergetar, dia takut jika Amira menginginkan ibunya untuk pergi bersamanya ke alam lain.
Tak ada jawaban, ataupun gerakan dari Retno lagi. Tubuhnya tiba-tiba lunglai dan hampir jatuh jika Wawan tak sigap mengejar dan menangkapnya.

Wawan mendudukkan Retno kembali ke kursinya.
Tak lama, Retno membuka matanya kembali, lantas menyeka air mata yang membasahi wajahnya dari tadi.

"I-ini dirimu, kan, Ret?" tanya Wawan yang hanya dibalas anggukan.
"Amira ingin Ibu merelakan kepergiannya, dan berhenti menyalahkan diri sendiri atas apa yang menimpanya, karena itu yang membuatnya tak tenang," ucap Retno.

Sekarang mereka paham mengapa arwah Amira belum bisa kembali dengan tenang.
Mendengar itu, Bu Diah langsung memeluk erat suaminya. Air matanya tak henti mengalir, seperti menumpahkan seluruh air mata yang tertahan sepuluh tahun lamanya.
Pak Abduh mencoba menenangkan istrinya, menepuk-nepuk pundaknya dengan lembut. "Bicaralah, Bu! Bicara dengan Amira yang mungkin masih ada di sini."

"Dia masih di sini?" tanya Bu Diah yang masih terisak-isak, kepada Retno.
"Masih, bahkan sekarang dia sedang memegang tangan Ibu." jawab Retno. "Wajahnya pun sudah tak semengerikan tadi."

Tak terlihat sedikit pun raut ketakutan di wajah Bu Diah, malah senyum yang berbalut tangisanlah yang terpampang.
"Amira ... ibu minta maaf kalau ... ketidakrelaan ibu, membuat Amira tak tenang selama ini. Ibu hanya teramat sayang, teramat merasa kehilangan anak ibu satu-satunya. Maaf, maafkan ibu, Nak.
Sekarang ... kembalilah dengan tenang ke alammu, ibu janji tak akan menangis di setiap malam lagi, ibu berjanji ...."

Kehilangan orang yang kita cintai memang tak mudah, apalagi mengikhlaskan segala kenangan yang tak akan dapat terulang, itu teramat sulit.
"Dia sekarang melayang, mencium kening ibu dengan lembut," ucap Retno.

Bu Diah sedikit terkejut, bukan takut, tetapi dia merasakan hangat di keningnya.
"Terima kasih, Nak, terima kasih. Sekarang pergilah ... ibu ikhlaskan kamu," ucap Bu Diah yang mulai bisa menahan emosi dan tangisannya.

Retno tersenyum menatap ke arah arwah Amira. "Dia bilang, 'tersenyumlah selalu, Bapak, Ibu'."
Arwah Amira pun menghilang, kembali ke tempat seharusnya dia berada selama ini, usai mengucapkan kata-kata terakhirnya.

Pak Abduh memeluk erat Bu Diah kini. Diusapnya lembut kepala Bu Diah, membisikkan kata yang mampu menenangkan hingga membuat Bu Diah berhenti menangis.
"Sudah selesai?" tanya Wawan kepada Retno.

"Untuk saat ini ... untuk saat ini!" Retno menepuk bahu Wawan.

"Untuk malam ini saya rasa cukup," ujar Pak Abduh. "Silakan kalian beristirahat dan tidur. Besok saya akan bantu mencari motor kalian."
"Gak usah repot-repot, Pak!" pinta Retno.

"Enggak repot, kok, biar bagaimanapun, arwah anak saya bisa tenang sekarang karena kalian, anggaplah sebagai balas budi."

Retno tahu jika dia menolaknya, bakal membuat Pak Abduh kecewa. "Baiklah, sekali lagi terima kasih, Pak."
Malam makin larut, tanpa sadar Retno pun semakin hanyut, mengetik hal-hal yang mereka alami sejak dari Padang 12 hingga di desa ini, di laptopnya.
Retno menghela napas, matanya menatap kosong ke layar laptop. Semua terjadi begitu cepat, hal yang tak terpikirkan sebelumnya di otak Retno, membuat tenaganya terasa terporsir seluruhnya.

"Kenapa berhenti?"
Retno menoleh ke kanan-kiri mencari asal suara, tak ada siapa pun selain dia yang masih terjaga saat ini, Wawan pun sudah terlelap dari tadi, lagipula yang dia dengar sekarang adalah suara seorang wanita muda.

"Siapa itu?" tanya Retno.
"Aku ... Santi!" serunya lantas menampakkan diri tepat di hadapan Retno.

Retno terdiam, memandang dengan saksama wanita yang tiba-tiba muncul di hadapannya.
Semuanya sama, penampilannya dengan Santi yang Retno jumpai di rumahnya waktu itu tak ada beda, hanya saja wajah Santi yang ada saat ini sangat pucat.

"K-Kau sungguh ... Santi?" Retno refleks bangkit dari kursinya.

"Apa yang bisa membuatmu percaya?"
Retno berpikir sejenak, logikanya masih kacau balau. "K-k-kalau benar ... kamu Santi, ceritakan sedikit tentangmu," ucapnya pada akhirnya.

"Hanya sedikit? Aku bisa menceritakan semuanya kepadamu."

"Sungguh?" Mata Retno membulat.

Arwah Santi tersenyum. "Tetapi ada satu syarat!"
Retno lupa bahwa tak ada hal yang cuma-cuma di dunia, bahkan saat berurusan dengan mereka yang tak kasatmata.

"Apa itu?" tanya Retno dengan tatapan serius.

"Bunuh Ayahku! Aku tak ingin Ibu menjadi korban selanjutnya!" teriaknya.
Retno melangkah mundur mendengarnya, menjaga jarak aman, bagaimanapun Retno hanya manusia biasa, tak akan mampu menghadapi amarah makhluk tak kasatmata.

"Astagfirullah!" ucap Wawan yang terbangun karena suara teriakan Santi. "D-d-dia ...? Kenapa Santi ada di sini?"
"Dia, Santi yang sebenarnya," jawab Retno.

"Yang sebenarnya?" gumam Wawan dengan dahi mengerut. "M-m-maksudmu dia ...."

"Kau mau atau tidak?" tanya arwah Santi kembali.

Retno menelan ludah. "Tentu saja, tetapi tidak dengan membunuh!"
"Membunuh? Siapa yang mau dibunuh?" sela Wawan lagi.

"Kalau begitu kau tak akan dapat apa pun!" ancam Santi.

"Nyawa manusia tak sebanding dengan apa yang akan kau berikan!"

"Lantas nyawaku? Apa sebanding dengan harta yang dia dapatkan?" tanya arwah Santi, lantas menangis.
"Harta siapa?"

Retno menoleh ke arah Wawan. "Lebih baik kau diam dulu, Wan, nanti akan kuceritakan!" serunya kesal karena pembicaraan dipotong Wawan dari tadi.

"O-oke ... lanjtukan," ucap Wawan sekenanya.
Retno menatap kembali wajah pucat Santi. "Jadi benar kau tumbal dari pesugihan? Ayahmu?"
"Ayahku jauh berubah sejak dia pulang dari pulau Jawa, entah apa yang dia lakukan di sana. Ada yang berkata dia melakukan pesugihan di Gunung Kawi,
tetapi kami tak begitu saja percaya, hingga semua usaha yang dia lakukan membuahkan hasil, harta kami dari hari ke hari semakin menumpuk." Dia berhenti bicara, kepalanya menunduk.

"Di mana ayahmu? Karena kami tak melihatnya ketika berkunjung ke rumahmu,"
Arwah Santi membelakangi Retno dan Wawan, menatap ke arah luar jendela kamar.

"Dia berada di sebuah pondok, jauh di dalam perkebunan sawit milik kami, yang ada di sekitar sini."

"Apa yang dia lakukan?" kejar Retno lagi.
"Tumbal kedua, dia tengah mempersiapkannya! Aku yakin dia mengincar Ibu," ucap arwah Santi sendu. "Jadi, kau terima tawaran-?"

"Tidak, tidak akan! Tetapi aku punya penawaran yang lebih baik!" tukas Retno dengan penuh keyakinan.

"Apa itu? Apa yang lebih baik dari itu?"
"Menghentikan perbuatan ayahmu, dan menyelamatkan ibumu!"

Hening tercipta, tak satu pun dari mereka berbicara, termasuk Wawan yang dengan patuhnya menuruti perintah Retno.
"Baiklah, aku setuju," ucap arwah Santi pada akhirnya.

Retno kembali duduk di kursi, membuka laptop, dan menghidupkannya kembali. "Kalau begitu ceritakan padaku, kisahmu!"

Bersambung....

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with #BangEn

#BangEn Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @Enrickohendaya1

Dec 7
Santi mulai menceritakan tentang hidupnya kepada Retno, cerita tentang awal mula ayahnya yang baik berubah menjadi seperti saat ini, menjadi sosok ayah yang rela menumbalkan keluarganya demi kekayaan semata.
Read 43 tweets
Dec 5
Kacau, pikiran Retno kali ini benar-benar kacau, di saat dia sudah yakin untuk pulang, kendaraannya lenyap begitu saja tanpa jejak, seperti takdir menahannya untuk tetap berada di desa.

"Gimana, Ret?" tanya Wawan memecah keheningan yang cukup lama terjadi.
Read 44 tweets
Dec 4
Retno memutuskan untuk tetap maju, meski dia sudah mendengar cerita dari Bu Desi-ibunya Santi, terkait keadaan anaknya, juga tentang hal yang akan terjadi jika dia bertemu Santi secara langsung.
Read 42 tweets
Dec 3
Hujan menyambut kala Retno dan Wawan memasuki desa Pagar Mentimun. Bukan hal aneh di daerah Ketapang perubahan cuaca yang mendadak seperti ini, tetapi tetap saja mengganjal di hati mereka apalagi baru mengalami peristiwa yang juga aneh sebelumnya.
Read 50 tweets
Dec 2
Tangis terdengar sahut-menyahut dari pihak keluarga, diiringi tahlil yang dilantunkan para pria pembawa keranda.
Santi, perempuan muda nan cantik, terbaring tanpa nyawa di dalam keranda yang sedang dipikul. Entah apa penyebab sebenarnya, masih belum diketahui, dia ditemukan sudah dalam keadaan tak bernyawa di dalam kamarnya pagi tadi.
Read 61 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(