Santi mulai menceritakan tentang hidupnya kepada Retno, cerita tentang awal mula ayahnya yang baik berubah menjadi seperti saat ini, menjadi sosok ayah yang rela menumbalkan keluarganya demi kekayaan semata.
Dulu semua berjalan indah, walau hidup dalam kekurangan, rumahnya selalu dipenuhi dengan senyuman dan rasa cinta dari kedua orangtuanya setiap saat.
Ayahnya seorang pekerja keras, apa pun dia kerjakan asal menghasilkan uang untuk kebutuhan hidup keluarga, yang penting halal. Sementara ibunya seorang perempuan berhati lembut dan penyabar dalam menyikapi tingkah laku anak dan suaminya yang terkadang menguji kesabaran.
Hingga tiba suatu masa, saat Santi sudah duduk di bangku SMA, hasil kerja keras ayahnya terkumpul cukup banyak.
Ternyata tanpa sepengetahuan mereka, ayahnya menyisihkan dikit demi sedikit uang hasil kerja untuk membangun sebuah warung, mengikuti usaha warga lainnya yang sudah memulai duluan, dan usaha barunya tersebut berbuah manis.
Hidup mereka perlahan berubah, dari yang hidup serba susah, menjadi serba berkecukupan. Ayahnya pun membeli lahan perkebunan sawit yang ada di desa mereka, mulai dari hanya sekaveling hingga membeli hampir separuh lahan kebun sawit yang ada.
Warga sekitar pun menghormati dan segan kepada ayah Santi, karena dia terkenal dermawan dan tak segan membantu warga yang membutuhkan tanpa pamrih.
Akan tetapi, kebahagiaan mereka tak berlangsung lama, rusak sejak desa kedatangan warga baru dari luar, seorang pria bernama Arsyad, tuan tanah dari Desa Kendawangan yang mencoba mencari peruntungan di Desa Pagar Mentimun.
Arsyad membangun warung makan yang besar, dengan fasilitas lebih lengkap dibanding dengan warung-warung milik warga setempat, tetapi bukan hal itu yang menyebabkan ayah Santi berubah, melainkan persaingan tak sehat yang dilakukan Arsyad kepadanya.
Di antara warung pinggir pantai yang ada, warung milik ayah Santi dan milik Arsyad saja yang masih ramai akan pengunjung, sementara warung lainnya mulai kehilangan pengunjung, tak sedikit malah yang menutup usaha warungnya.
Memanfaatkan hal tersebut, Arsyad mulai menyebarkan isu tak benar tentang ayah Santi, dia menuduh ayah Santi menggunakan penglaris untuk usaha warungnya, dan meyakinkan warga bahwa ayah Santi juga penyebab usaha mereka sepi.
Semula warga tak percaya dengan perkataannya, karena mereka tahu ayah Santi seorang yang baik hati, tetapi seiring perekonomian yang makin sulit dan persaingan yang semakin tak sehat di sana, beberapa warga mulai terpengaruh dan percaya dengan ucapan Arsyad.
Retno memainkan jari telunjuk tangan kanannya di bibir. "Apa mungkin Arsyad menghasut warga untuk menutup paksa usaha ayahmu?"
"Itulah penyebab sebenarnya! Karena termakan hasutan Arsyad, warga meminta Ayah untuk menutup usaha warung milik kami, tetapi Ayah menolak, karena itu satu-satunya sumber penghasilan keluarga kami setelah perkebunan sawit milik Ayah tak menghasilkan lagi dengan anehnya.
"Akan tetapi, sekeras apa pun Ayah menghalangi, dia tak mampu menghadapi warga yang sudah tersulut emosi, mereka lantas membakar warung milik kami beserta isinya hingga rata dengan tanah."
Jari Retno berhenti mengetik saat mendengarnya. Dipalingkannya tatapan dari laptop ke arah Santi.
"Seluruh warga desa terlibat?"
Santi menunduk lesu.
"Hanya keluarga Pak Sugeng—ketua RT pada saat itu, dan keluarga pemilik rumah ini saja yang tidak ikut dalam aksi pembakaran, mereka dijebak Arsyad dan dikunci di rumah Pak RT agar tak bisa menghentikan aksi mereka, sisanya termakan bulat-bulat oleh fitnah itu."
Retno dan Wawan terdiam, mereka jadi memaklumi perubahan yang terjadi kepada ayah Santi, walau tetap saja mengorbankan keluarga sendiri bukanlah hal yang bisa mereka maklumi.
"Wah, aku tak menyangka warga di sini bisa sekejam itu! Apa yang terjadi kemudian?" tanya Wawan.
Santi menatap Wawan lantas melanjutkan kembali ceritanya.
"Berhari-hari Ayah hanya melamun, tak mau makan dan minum, bahkan bicara, hingga suatu malam, entah ada angin apa, Ayah berbicara kepada kami, dia pamit dan berkata hanya pergi sebentar untuk meminjam uang kepada kerabatnya di Jawa.
Ayah memberikan semua sisa uang yang masih kami punya kepada Ibu. Cukup lama hingga akhirnya dia pulang, membangun kembali usahanya yang dengan ajaibnya berhasil dan terus meningkat.
Saat itu pun perubahan sikap Ayah terjadi secara perlahan dari waktu ke waktu, hingga berakhir seperti sekarang."
Suara lolongan anjing terdengar sahut menyahut dari luar rumah, usai Santi bercerita.
Wawan beranjak dari tempat tidur dan mendekat ke arah Retno. "Duh, apalagi sekarang, Ret?"
"Aku juga gak tau, Wan!" Retno menutup laptopnya dan berdiri.
Lolongan terdengar makin nyaring dan riuh, memekakkan telinga mereka.
Wajah Santi terlihat ketakutan. "Maaf, aku harus segera pergi. Ingat kesepakatan yang telah kita buat!"
"Tunggu sebentar!" tahan Retno. "Apa yang terjadi?"
"Kalian harus menghadapinya sendiri!"
Santi menghilang begitu saja dari hadapan mereka. Entah apa yang akan terjadi, tetapi Santi sendiri pun takut dan pergi.
Ketukan terdengar dari luar kaca jendela kamar.
"Ret, a-pa itu?"
"Mana kutahu, Wan!"
Makin lama makin kuat bunyi ketukan di jendela tersebut, membuat Retno dan Wawan melangkah mundur, menjauh dari jendela.
Kaca jendela pecah, lampu pun tiba-tiba padam.
"Astagfirullah al'azim!" ucap Retno.
Udara malam menyeruak masuk dari kaca yang pecah, lebih dingin dari biasanya. Lolongan anjing pun menguap begitu saja tanpa tersisa.
"R-Ret, kau ... melihatnya?"
"Apa?"
"Di depan j-jendela!" seru Wawan.
Retno menyipitkan matanya, melihat apa yang Wawan maksud, dan mendapati banyangan sesosok manusia berdiri menatap mereka dari luar jendela.
"Siapa kau?" tanya Retno panik.
Terdengar suara tawa dari bayangan tersebut, tawa yang mampu membuat bulu kuduk mereka berdiri.
"Pertanyaannya, siapa kalian? Dengan lancangnya ikut campur urusan kami!" seru si bayangan.
"Kami?" gumam Retno. "K-kami hanya ingin mecari tahu cerita soal Santi yang sebenarnya."
"Apa pentingnya bagi kalian? Seharusnya kalian tak ke sini!" bentak sosok tersebut dengan suara yang nyaring.
"Apa yang ... harus kita perbuat sekarang, Ret?" bisik Wawan.
Dia tertawa kembali. "Karena kelancangan kalian, rencana 'kami' akan dipercepat! Seluruh warga di desa ini, harus merasakan akibatnya!"
"A-apa maksudmu?" tanya Retno.
"Kalian akan tahu maksudku segera! Untuk permulaan, pemilik rumah ini yang akan menjadi korban!" seru sosok itu sambil tertawa, lantas menghilang.
Lampu pun menyala kembali seperti sedia kala.
"Apa maksudnya tadi, Ret?" tanya Wawan, dengan keringat dingin di wajahnya.
Retno menelan ludah. "Aku juga tidak tahu!"
Mereka saling tatap, lantas berlari ke luar kamar, tujuan mereka kamar pemilik rumah ini.
Ancaman sosok itu terdengar sangat serius. Retno dan Wawan terlalu takut untuk membayangkan apa yang akan terjadi.
"Assalamu'alaikum, Pak! Pak Abduh! Bisa bicara sebentar?" tanya Retno. Tak ada jawaban yang terdengar.
"Buka saja, Ret!" saran Wawan.
"Tapi kalau kita salah duga bagaimana?"
"Kau masih berpikir sosok itu mempermainkan kita?"
"Kau benar!" seru Retno.
Retno mencoba membuka pintu sesuai saran Wawan, tetapi terkunci, lantas tanpa pikir panjang lagi dia mendobrak pintu beberapa kali hingga berhasil terbuka.
"Ke mana mereka, Ret?" Tak telihat orang yang mereka cari di dalam kamar. "Apa mungkin mereka keluar rumah?"
"Ke mana mereka semalam ini, di desa sepi ini, Wan?" tanya Retno.
"Lalu?" Wawan mengernyitkan dahi.
Retno mencoba mengatur napasnya sejenak. "Sepertinya mereka dibawa oleh sosok tadi!"
"M-maksudmu? Mereka hilang karena dibawa olehnya?"
"Aku tak tahu! Aku tak tahu pasti, Wan! Tetapi ... sepertinya begitu."
"Jadi bagaimana?" tanya Wawan lagi.
Setelah merenung sejenak, Retno berucap, "Aku rasa kita memang harus kembali ke rumah Santi untuk mendapatkan jawabannya!"
Wawan menatap sahabatnya itu. "Kembali ke sana? Kau Yakin?"
"Sangat yakin! Sebelum seluruh warga mengalaminya! Dia bilang keluarga rumah ini hanya permulaan, kan?" ucap Retno.
Kali ini mereka tak bisa pergi meninggalkan desa begitu saja, ada orang-orang yang tak bersalah akan menjadi korban jika mereka tak bergerak.
Suasana di meja makan yang semula hangat, berubah mencekam begitu saja. Retno kini mengerti kenapa warga sangat takut dengan Santi, bahkan hanya untuk sekadar membicarakannya.
Kacau, pikiran Retno kali ini benar-benar kacau, di saat dia sudah yakin untuk pulang, kendaraannya lenyap begitu saja tanpa jejak, seperti takdir menahannya untuk tetap berada di desa.
"Gimana, Ret?" tanya Wawan memecah keheningan yang cukup lama terjadi.
Retno memutuskan untuk tetap maju, meski dia sudah mendengar cerita dari Bu Desi-ibunya Santi, terkait keadaan anaknya, juga tentang hal yang akan terjadi jika dia bertemu Santi secara langsung.
Hujan menyambut kala Retno dan Wawan memasuki desa Pagar Mentimun. Bukan hal aneh di daerah Ketapang perubahan cuaca yang mendadak seperti ini, tetapi tetap saja mengganjal di hati mereka apalagi baru mengalami peristiwa yang juga aneh sebelumnya.
Tangis terdengar sahut-menyahut dari pihak keluarga, diiringi tahlil yang dilantunkan para pria pembawa keranda.
Santi, perempuan muda nan cantik, terbaring tanpa nyawa di dalam keranda yang sedang dipikul. Entah apa penyebab sebenarnya, masih belum diketahui, dia ditemukan sudah dalam keadaan tak bernyawa di dalam kamarnya pagi tadi.