Pambakal Sarip duduk termenung di halaman belakang rumahnya. Duduk di atas kursi rotan dan berteman segelas kopi, ia menatap sekumpulan ayam peliharaan yang tengah mematuk benih padi.
Meski tubuhnya ada di situ, pikirannya berada di tempat lain.
Jauh di lubuk hati, kepala desa itu merasa senang dengan kematian Apri. Setidaknya, pemuda tak jelas masa depan itu tidak lagi mengganggu anaknya yang telah bersuami. Sebenarnya, bukan kedudukan atau harta yang membuatnya tidak merestui hubungan Atul dan Apri.
Namun, perilaku Apri lah yang membuatnya tak senang.
Pambakal Sarip tahu betul perilaku pengangguran itu. Pemuda itu suka meminum tuak, berkelahi dan juga mencuri. Sudah berkali-kali ia berbuat onar dan merepotkan penduduk desa.
Sarip tak habis pikir, apa kelebihan pemuda itu hingga membuat putrinya tergila-gila. Sebagai seorang ayah, tentu ia ingin yang terbaik bagi anaknya, meski kadang si anak salah tanggap.
Karena itulah, dia langsung mengiyakan sewaktu Jaya mengutarakan niat hendak mempersunting Mariatul. Baginya, tak masalah putrinya menjadi istri kedua. Di kampung ini, adalah hal biasa bila seseorang punya istri lebih dari satu.
Menjadi istri kedua, jauh lebih baik daripada melihat putrinya hidup menderita. Apalagi setelah 12 tahun menikah, mendiang Misnah tetap tak bisa memberikan keturunan bagi Jaya.
Namun, tetap saja pambakal Sarip merasa heran. Menurutnya, tak mungkin Apri meninggal karena hantu Misnah.
Ada hubungan apa antara Misnah dan Apri, hingga mayatnya bangkit dari kubur dan menuntut balas?
Ia kemudian teringat perkataan julak Sarkani tadi malam, bahwa ada beberapa nyawa lagi yang akan mengiringi kematian Misnah ke alam kubur. Seketika pambakal Sarip memegang tengkuknya yang tiba-tiba merinding tanpa sebab. Wajahnya cemas dan tubuhnya mulai gemetar.
Aku harus bertemu Nini Tuha," bisiknya pada diri sendiri.
"Kak, ada polisi di depan."
Istrinya yang tiba-tiba berada di samping membuat pambakal Sarip terlonjak dari kursi. Ia mengatur nafas dan mengelus dada karena jantungnya berdetak kencang.
Setelah cukup tenang, pambakal Sarip melangkah untuk menemui sejumlah polisi yang menunggu di depan rumah.
*****
Atul yang masih merasa sedih di kamar, mendengar suara berisik di lantai atas. Tepatnya, di kamar Misnah. Ia beranjak dari ranjang lantas merapikan rambut yang berantakan, menyeka air mata lalu melangkah ke lantai dua.
Rasa penasaran membuatnya ingin tahu ada apa di kamar madunya itu.
Setibanya di kamar Misnah, Atul terheran-heran melihat Jaya, julak Sarkani dan amang Husni mengacak-ngacak kamar istri pertama suaminya itu.
Melihat Atul di depan pintu, Jaya bergegas menghampiri dan mengelus-elus mesra rambut istri mudanya.
"Tidak apa-apa, ada yang kami cari di sini," kata Jaya lembut.
Misnah hanya mengangguk-angguk dalam pelukan suami.
Dilihatnya kamar Misnah berantakan, lemari dan ranjang sudah tidak karuan susunannya.
"Jaya! Apa yang kalian lakukan?"
Suara hajah Diana yang baru datang menggelegar, membuat semua orang menjadi kikuk.
Julak Sarkani tertunduk lesu, merasa bersalah karena telah mengacak kamar mendiang Misnah tanpa ijin mertuanya.
"Jaya, tak cukupkah kau buat sakit hati si Misnah? Kamarnya pun kau acak-acak, apa maumu!?"
Walau pun wajahnya masih pucat, tapi galaknya hajah Diana cukup membuat yang lain ketakutan. Bolangnya yang berwarna merah menyala ikut bergoyang-goyang mengikuti gerakan kepalanya.
"Ma, dengar dulu. Ada yang kami cari di kamar Misnah."
"Aku tidak sembarang menuduh. Kau sadar, kenapa kau kesurupan tadi malam? Apa kau tahu, kalau jasadnya telah hilang dari kubur. Sekarang, Misnah telah bergantayangan menjadi Sandah.
Ia akan menuntut balas, pada siapapun yang membuatnya sakit hati."
Hajah Diana tersentak, lalu duduk bersandar di tembok kamar kehilangan tenaga. Bolangnya menjadi miring karena tergeser dinding.
Atul dan acil Lela langsung menghampiri, mengelus-elus pundak wanita berumur itu supaya lekas tenang.
"Ibu, sudahlah. Biarkan julak mencari minyak sialan itu," ungkap Jaya merayu ibunya.
Hajah Diana mengangguk lesu.
"Sarkani, temukanlah minyak itu. Jangan sampai, hantu menantuku mencelakai seluruh keluarga ini."
*****
Sudah hampir satu jam mereka mengacak-acak kamar Misnah, tapi benda yang mereka cari belum juga ketemu. Tiap sudut kamar dari kolong ranjang, celah lemari hingga lubang angin sudah mereka periksa, minyak perunduk itu tidak juga mereka dapatkan.
Julak Sarkani sudah mulai putus asa, butir-butir keringat tampak membanjiri wajahnya yang mulai keriput.
"Julak, kalau memang tidak ketemu, kenapa tidak dibiarkan saja minyak itu ada di rumah ini," cerocos acil Lela seraya membawakan segelas air putih.
Julak Sarkani menggeleng lalu meminum air putih tadi.
"Selama minyak itu ada disini, hantu Misnah akan terus kembali ke rumah ini. Minyaknya harus segera ditemukan sebelum malam ke-40. Kalau tidak, Misnah akan terus bergentayangan selamanya.
Bukan hanya kalian, seluruh kampung akan terkena akibatnya," kata julak seraya mengembalikan gelas yang telah kosong pada acil Lela.
Namun, julak mendadak mengurungkan niatnya. Ia menatap leka-lekat gelas kosong tadi dengan mata melotot.
*numpang promote yak. Novel Parang Maya sudah bisa dipesan di tokped, shopee dan TBO lainnya* 😇🙏
Setelah beberapa saat, acil Lela telah kembali membawa segelas air putih dan menyerahkannya pada julak.
"Gelar seprainya!" perintah julak.
Meski kebingungan, Jaya, amang Husni, amang Idar dan acil Lela bergerak cepat melaksanakan perintah julak. Seprai berwarna putih itu dibentangkan di dalam kamar, di antara tumpukan baju yang berserakan di lantai.
Setelah membacakan doa-doa, julak memercikan air dari gelas tadi ke seprai di depannya. Setelah percikan ketiga, semua yang ada di kamar langsung terperangah. Mata mereka terbelalak dengan apa yang dilihat, diiringi ucapan istighfar tanpa henti.
"Astaghfirullahul azim…! Astaghfirullahul azim…!"
Di hadapan mereka, di atas seprai putih tadi terbentuk jejak langkah kaki. Namun, bukan jejak biasa, tapi jejak darah. Perlahan, jejak itu muncul satu-persatu, jejak langkah mengarah keluar kamar.
"Geser seprainya! Tapi, jangan sampai terangkat dari lantai," perintah julak.
Jaya dan beberapa orang pesuruh menggeser seprai itu perlahan, hingga jelas terlihat jejak darah itu menuruni tangga menuju area halaman belakang.
Sewaktu memudar, julak beberapa kali memercikan air dan jejak itu kembali terlihat jelas.
Jejak-jejak tampak bertumpuk, hingga julak meminta seprai lain untuk disambung.
"Julak, seprai putihnya habis," kata acil Lela.
Apa saja yang warna putih, taplak meja atau handuk, tidak masalah!"
Acil Lela bergegas mencari kain putih dan kembali lagi membawa handuk, taplak meja dan dua buah daster. Dengan hati-hati, mereka membentangkan handuk itu di ujung seprai tadi.
Setelah dipercikan air, jejak darah kembali muncul di atas handuk putih yang kusam.
Atul menjadi cemas, karena kini jejak itu sepertinya melangkah melewati selasar menuju ke kamarnya. Tangis bayi mungilnya pecah, Atul berlari untuk menenangkan buah hatinya yang menjerit kncang.
Dengan penuh pertanyaan, julak Sarkani mengikut jejak langkah itu sembari menggeser handuk berhati-hati. Handuk sudah penuh bekas tapak kaki penuh darah, lalu disambung dengan taplak meja, daster dan seprai baru dari kamar hajah Diana.
Semua terhenyak, ketika jejak itu berhenti tepat di depan pintu kamar Atul. Tapi jejak itu bukan menunjukkan bekas langkah, melainkan jejak sepasang kaki yang berdiri mematung. Julak Sarkani panik, menarik-narik kain putih itu supaya bergeser.
Namun, seprai lebar itu tidak bergerak sedikit pun seolah ada yang berdiri di situ. Kecemasan mulai terlihat di wajah semua orang, sewaktu jejak penuh darah itu perlahan bergeser setapak demi setapak.
Semua menahan napas, penasaran kemana arah jejak kaki penuh darah itu akan melangkah.
Hajah Diana yang sedari tadi mengikuti, tidak berhenti mengucapkan istighfar. Tubuh lemahnya tertatih, dipapah oleh acil Lela dan acil Ijum.
Jejak berdarah itu mendadak berhenti, tepat menghadap ke arah Atul yang di dalam kamar. Atul yang sedang menggendong bagi seketika panik. Raut ketegangan jelas terpancar di wajahnya putih susu. Tubuhnya gemetaran dan jantungnya deg-degan.
Dengan suara putus-putus, ibu muda itu mulai membaca ayat kursi, sambil mendekap erat bayinya yang menangis sangat kencang.
Kini Atul tersadar, Misnah telah berdiri di hadapannya, siap untuk menuntut balas.
Tanpa diduga, hajah Diana merangsek ke depan penuh amarah dan kebencian. Wanita itu melompat, hendak menerkam sang menantu. Jari-jarinya yang kurus membentuk cakar, menyasar leher si Atul yang tengah terpojok sambil mendekap bayi di pojokan.
Atul menangis ketakutan, menjerit sekencangnya dengan tubuh gemetaran.
Braak…!
Julak Sarkani bertindak cepat. Ia berhasil menerjang hajah Diana tepat beberapa senti sebelum wanita itu bisa mencelekai si ibu dan bayinya.
Matahari belum terlalu tinggi, pagi-pagi sekali julak Sarkani sudah terlihat gelisah di depan rumah hajah Diana. Sejurus kemudian, orang yang ditunggunya telah berdiri di depan pintu.
Jaya terlihat kesal karena dibangunkan sepagi ini. Kejadian yang dialami si ibu dan istri kedua sungguh membuatnya pusing. Akan tetapi, rasa kesalnya pada julak Sarkani langsung sirna detik itu juga. Mendengar penuturan pak tua itu, amarah Jaya seketika menggelegak.
Bak wabah penyakit, kabar proses pemakaman Misnah yang ganjil langsung tersebar ke segala penjuru kampung. Baru tadi pagi ia dimakamkan, sore hari seluruh penduduk sudah tahu kabar tentang Jaya yang harus melangkahi mayat istri pertamanya.
Sudah tiga kali jasad Misnah dihadapkan ke arah kiblat, tapi lagi-lagi jasad itu kembali ke posisi semula, berbaring dalam kondisi terbujur kaku di liang lahat. Sungguh ganjil, baru kali ini ada mayat yang menolak dihadapkan ke arah kibla
Selamat pagi/ siang/ malam. Kali ini saya kembali lagi dengan kisah horor dari Kalimantan. Pada kisah kali ini, saya mengangkat cerita tentang hantu Sandah. Sandah adalah salah satu dari tujuh jenis Kuntilanak / Kangkamiyak.
Namun, yang membedakan dari Kuntilanak lainnya, Sandah memiliki wajah yang lebar, selebar nyiru penampi beras. Konon, wajah lebar itu adalah kutukan, sebagai penanda karena ia telah berbuat durhaka pada suami.
So...selamat menikmati kisah horor saya kali ini.
Tabe.
Rumah pak Gerson tiba-tiba gelap, hanya ada cahaya temaram lilin yang semakin pendek di dalam mangkok malawen. Aku berdiri mematung seraya mengucapkan dzikir dan shalawat. Suaraku putus-putus karena dicekam ketakutan.
Rumah pangggung itu sangat gaduh karena suara perkelahian. Jerit tangis istri dan mertua pak Gerson silih berganti dengan teriakan panik orang-orang di dalam rumah. Malam itu, rumah pak Gerson tak ubahnya ladang pembantaian.