Senin harinya universitas kembali hidup. Orang-orang ada di mana-mana dengan dengan kepentingannya sendiri-sendiri. Kenduri datang pagi karena ia punya jadwal perkuliahan paling awal.
Dua puluhan mahasiswa berkerumun di Kelas C kuliah agama Islam. Alih-alih dosen datang tepat waktu, para mahasiswa malah berlama-lama senda gurau. Waktu satu SKS terbuang percuma, sedangkan dosen tak kunjung tiba.
Dan akhirnya satu petugas tata usaha mengumumkan di akhir waktu bahwa hari itu dosen agama berhalangan hadir dan jadwal pengganti dikatakan segera menyusul. Tentunya itu sangat menjengkelkan.
Kenduri masih punya kelas hari itu, siang pukul 13.30. Agar memperjelas betapa hari itu amat menyebalkan, perlu diketahui dari sekarang bahwa kelas yang dimaksud siang nanti ialah kelas Agama Islam. Itu berbentrokan dengan mata kuliah lain yang bahkan sama-sama kuliah pengganti.
Namun sekesal-kesalnya menghadapi kenyataan seperti itu, banyak yang berkata kalau itu bukan masalah serius, melainkan hanya perkara waktu. Maksudnya adalah dengan berjalannya waktu setiap orang bakal berlapang dada menerima ketidakdisiplinan.
Dari sekarang masih empat jam lagi menuju jadwal berikutnya, sehingga Kenduri harus menemukan cara menunggu dengan hemat dan kalau bisa bermanfaat.
Yang pasti kantin bukan tempat yang tepat untuk menunggu, sebab siapa pun yang ke sana hendaknya mengeluarkan uang. Maka Kenduri memilih pulang sebentar. Berjalan dia ke arah taman lalu berbelok ke kiri dan memutari gedung kampus lewat jalan pinggir yang tembus pintu belakang.
Sesudah itu tampak Jalan Ken Dedes dengan bisingnya yang begitu khas, bunyi knalpot, klakson, tawa dan percakapan orang-orang, juga pedagang yang disibukkan dagangannya.
Secara kebetulan Kenduri melihat Pipit yang hampir tenggelam di keramaian. Kenduri dan Pipit satu kelas di mata kuliah agama, tetapi Kenduri tadi tak melihat gadis pendek itu datang.
Malah ia ada di jalanan, mengobrol akrab dengan sembarang orang sembari memilih-milih kunciran rambut warna-warni.
Mengingat dirinya punya rencana yang harus diwujudkan, segera terlintas di benaknya untuk mengajak Pipit bicara. Jadi ia segera mendekat untuk menegurnya.
"Hai!" sahut Pipit bersemangat. "Kamu suka kunciran juga? Ya, beginilah kalau enggak ada dosen. Aku lumayan suka suasana di sekitar sini karena banyak yang bisa dibeli. Yang biru ini bagus. Menurutmu?"
"Aku tidak pakai kuncir rambut."
Pipit langsung menyerongkan kepala, dan yang terjadi setelahnya anak itu tertawa gelak-gelak.
"Astaga! Ya, rambut kamu lebih pendek dari Polwan," pingkalnya.
"Tapi itu bagus buatmu tampaknya."
"Yang mana? Yang kuning nyala itu, benarkah?" Pipit cepat sekali memindahkan tangannya ke satu rak pajangan di samping kiri.
"Benar, itu sangat cocok," puji Kenduri.
"Aaah, aku juga sangat suka Pikachu! Kamu tahu aku suka Pikachu?"
"Hanya menebak," tukas Kenduri.
Pipit melipat senyumnya, "Oh, ya, tentu saja. Tapi aku suka mendapatkan ini."
"Kamu sudah makan?"
Pipit mengangguk, "Tapi aku senang kalau makan lagi bersamamu."
"Baiklah," ujar Kenduri, "aku punya kupon diskon 50 persen. Kurasa kita bisa ke sana." Anak itu merogoh dompet lalu menunjukkan diskon yang di maksud.
"Bukannya kamu ingin makan?" heran Pipit.
"Benar. Aku suka mi dengan telur dan kornet. Tempatnya dekat dari sini, kan?"
Pipit menggasak kertas kupon dari celah jemari Kenduri sehingga makin-makinlah gadis pendek itu heran.
"Untuk minimal tiga jam," sebut Pipit dengan nada tak percaya.
"Tentu. Kita tidak akan menghabiskan empat jam di sana."
"Benar, warung internet. Indomie telur kornet. Semacam warung kopi, kamu tidak tahu?"
Dan pipit pun harus tertawa hingga sadarnya hilang. Sekarang giliran Kenduri yang heran. "Di mana lucunya?"
Tawanya kedengaran kian keras.
"Pipit!" nyaring Kenduri, tetapi ia hanya tidak mengerti, bukan kesal.
Setelah gelak tawanya habis, Pipit mengatur napas agar ia bisa mengontrol pikirannya. Lalu berkata, "Begini, Ken, hmm...aku maklum bahwa kadang-kadang kemajuan zaman itu tidak merata."
"Apa maksudmu? Langsung saja."
"Pernah kamu mendengar internet."
"Adakah arti lain dari internet selain yang kupahami?"
"Kamu suka membaca tentu?"
"Ya."
"Koran, artikel?"
"Ya."
"Nah! Internet seperti itu, tapi di komputer."
"Komputer bukan saja untuk mengerjakan tugas?"
"Tepat seperti itu! Komputer juga bisa untuk mengakses informasi."
"Lalu buat apa koran?" Kenduri melempar pandangnya ke satu loper koran di seberang jalan.
"Koran tetaplah koran, paling tidak sekarang."
"Apa pun itu, intinya kupon ini bukan diskon makanan?"
"Bukan."
"Artinya itu hanya tempat penyewaan komputer?"
"Komputer yang sudah dipasangi jaringan internet."
"Sepertinya menarik. Berapa sewanya?"
"Biasanya 3000 sampai 4000 per jam."
"Ooh, kupikir itu bukan teknologi yang menarik untuk sekarang."
"Bagaimana dengan minum jus?" Pipit menawarkan ide.
"Itu juga tidak menarik," tukas Kenduri, "aku ingin makan."
"Tentu saja ada makanan. Ayo kuunjukkan satu tempat. Ini sangat langka."
"Apanya yang langka?"
"Kamu."
"Aku?"
"Belum pernah kulihat kamu bersama orang lain seperti sekarang."
***
-Bagian 14-
Warung Sri namanya. Tertulis "Sedia nasi rames, jus buah-buahan dan lain-lain". Tempatnya lumayan lapang. Ada sepuluh meja dan kursi-kursi. Banyak juga mahasiswa datang ke sana, meski kata Pipit itu belum terlampau penuh karena belum terlalu siang.
Kenduri pesan nasi setengah porsi, satu jenis sayur, satu bakwan jagung, dan Pipit serta merta memuji pesanannya, "Aku tahu akhirnya kenapa badanmu begitu kurus dan bagus. Aku juga iri pada kakimu."
"Kamu pun sudah sekurus itu," timpal Kenduri.
"Tidak juga. Kemarin aku baru tahu beratku bertambah dua kilo."
Sementara Kenduri makan, pesanan Pipit diantar tak lama kemudian. Kedua gadis itu pun berhenti bicara sampai salah satu dari mereka menyudahi makannya.
"Omong-omong," Kenduri memulai, "kamu sudah tahu dosen kuliah agama tidak masuk hari ini."
Pipit mengulum senyum lalu berujar, "Dia tidak akan hadir sampai nanti sudah sehat."
"Dia sakit apa?"
"Prostat. Kabarnya sakit cukup serius. Dosen penggantinya baru pindah ke Solo sebagai dosen tetap. Kamu tidak ada kuliah lagi hari ini."
"Ya ampun, kamu tahu sangat banyak dan, eh, aku lupa," Kenduri tidak meneruskan ucapannya.
"Karena aku tahu jadwal kuliahmu?"
"Oh, bukan, bukan itu," dusta Kenduri.
"Jangan salah paham. Aku tahu karena seseorang terlalu sering mengungkit kamu."
Kenduri menangkap dengan cepat, "Pasti kakak kelas itu, Reby?"
Pipit mengangkat senyum dan celik matanya sebagai tanda setuju, "Kupikir dia punya rasa padamu."
Kenduri melenguh. Tak berharap Pipit begitu terus terang sekalipun dirinya sendiri suka berterus terang.
"Kalau kamu tidak keberatan aku mau tahu apa yang dia bicarakan?"
"Entahlah," geleng Pipit. "Memang dia banyak sekali mengungkitmu, tetapi sejujurnya aku belum paham garis besarnya kecuali mungkin dia menaruh perhatian besar padamu. Apa lagi namanya kalau bukan naksir?"
"Dia belum pernah mendekatiku sebelumnya sampai kamu memperkenalkan aku dengan dia. Jarak kami juga cukup jauh untuk berpacaran. Kurasa bukan itu maksudnya."
"Benar, tetapi selalu ada yang pertama kali untuk setiap hal. Dan banyak pria suka bertindak cepat."
Kenduri mengingat kata-kata Barry kemarin yang hari ini diucapkan Pipit. Selalu ada yang pertama dalam setiap hal. Dengan itu ia jadi agak melamun karena memorinya bercampur aduk dengan kejadian-kejadian di belakang.
"Apakah ucapanku salah?" Pipit membuyarkan lamunan singkat itu.
"Tidak," geleng Kenduri, "aku hanya berpikir yang lain sejenak."
"Kurasa kalian sudah bertemu beberapa kali sejak perkenalan pertama," lugas Pipit.
"Astaga, itu tidak benar."
"Bagaimana kalau aku yang benar?"
Kenduri mengira bahwa sudah semestinya ia memperhitungkan kualitas Pipit. Amat jelas mahasiswi itu punya kelebihan yang tidak dimilikinya. Banyak kenalan artinya mudah memperoleh informasi.
Kalau pun informasi itu berasal bukan dari Reby, mungkin saja ia cukup akrab dengan tukang fotokopi atau orang lain yang tidak diketahui oleh Kenduri.
"Jadi, itu memang benar," Pipit mengulas senyum senang.
Kenduri mengangguk akhirnya, "Dari mana kamu tahu?"
"Hanya menebak!"
"Sialan!"
Kedua perempuan itu tertawa-tawa akhirnya.
"Tapi...," lanjut Kenduri dengan ragu, "boleh kutanya lebih banyak tentang lelaki itu?"
Sontak Pipit menghunus jarinya ke arah Kenduri, "Jangan bilang kamu juga kepincut!"
"Kamu terganggu dengan itu?"
"Maksudmu, aku...astaga! Aku dan dia sama sekali bukan apa-apa dan tidak apa-apa."
"Aku pun tidak menaruh apa-apa padanya. Tetapi ini penting kurasa."
Pipit membenarkan duduknya yang sebenarnya tidak salah, kecuali ia merasa bahwa lawan bicaranya akan mengatakan hal serius.
"Apa itu?"
Kenduri berujar setengah berbisik, "Kamu pernah dengar sesuatu yang lain tentang dia. Sebab aku pernah mendengarnya. Tapi, maaf, kalau kamu belum tahu, aku takkan bercerita soal itu."
"Aku tahu," sahut Pipit seketika.
"Jangan main-main tebakan lagi."
"Sudah kubilang aku tahu."
"Tentang apa?"
"Kabar itu."
"Kabar apa?"
"Dia pernah menculik mahasiswi semester satu lalu menyekapnya di kamar kos."
"Jadi, itu memang kenyataan?" ujar Kenduri seolah-olah ragu.
"Tergantung yang kamu yakini."
"Aku mulai yakin itu benar."
"Itu hakmu."
"Kedengarannya kamu punya pendapat lain."
"Jujur saja, aku tak punya pendapat, kalaulah ada, pendapatku tak penting."
"Kamu tidak merasa terganggu soal itu?"
"Hey, kamu sengaja mau membahas ini?" Pipit mengangkat suara.
"Kamu sendiri yang mengatakan dia punya perhatian besar padaku. Tidakkah wajar aku ingin tahu banyak?"
Pipit mengangkat gelas lalu menyeruput isinya sebanyaknya. Kemudian ia berdiri dan tampaknya siap-siap pergi.
"Jangan pergi dulu," Kenduri melunak. "Aku berjanji takkan membahas dia lagi."
Giliran Pipit yang sekarang merasa tidak enak hati, sehingga ia kembali ke kursinya.
"Aku bosan dengan cowok itu," ketus Pipit. "Biar kuberitahu, terserah kamu akan berpikir seperti apa, yang jelas dia sangat-sangat terobsesi padamu. Setiap harinya dia berusaha menggangguku. Dan kamu tahu apa yang dikatakannya padaku?...
Seperti kubilang tadi, bahkan aku tak mengerti kata-katanya. Dia sering mengungkit kamu dan terkadang ia bicara seolah-olah bakal kehilangan dirimu. Aku tahu semestinya tidak ada apa-apa di antara kalian, dan itulah yang membuatku kesal."
Kata-kata sejenak lenyap dari dua perempuan itu. Tiap-tiap kepala terlalu sibuk mengurai gejala. Alih-alih tercerahkan Kenduri kini merasa penglihatannya terhadap perkara ini malah kian buram seperti cahaya lampu minyak yang terhalang jelaga.
"Pernahkah kamu diikuti lelaki itu?" Pipit bertanya sesuatu yang amat membuat kaget lawan bicaranya.
"Ya. Dua kali."
"Dia pun pernah membuntutiku, akan tetapi aku segera melabraknya, dan ternyata ia hanya ingin bercerita sampai malam. Tentu dia juga menyinggung kamu."
***
Bersambung…
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Kenduri merasa sudah mengerjakan banyak hal, tetapi waktu belum sampai pukul 5 petang. Agar Sabtu dan Ahad lekas berlalu, ia mesti menemukan cara yang tidak membosankan.
Akhir pekan akan terasa lebih panjang bagi siapa yang tidak punya rencana cukup baik. Demikian yang dirasakan Kenduri. Dua hari tersebut selalu menyebalkan karena ia tidak pernah tahu cara melewatkannya dengan baik.
Rumah kos nomor 29 tak berbeda siang maupun malam. Sepi. Bahkan terasa lebih sepi dari lorong rumah sakit di malam hari. Hanya sewaktu-waktu terdengar siaran radio atau musik, dan musik yang diputar pun musik aneh, seperti lagu mengandung kepedihan juga keputusasaan.
Kenduri tidak langsung keluar dari bilik telepon. Ia tak habis pikir dengan tingkah bapaknya yang di luar nalar dan iman. Menurutnya bukan waktunya lagi orang segaek itu bermain-main dengan klenik.