Tanpa diduga, hajah Diana merangsek ke depan penuh amarah dan kebencian. Wanita itu melompat, hendak menerkam sang menantu. Jari-jarinya yang kurus membentuk cakar, menyasar leher si Atul yang tengah terpojok sambil mendekap bayi di pojokan.
Atul menangis ketakutan, menjerit sekencangnya dengan tubuh gemetaran.
Braak…!
Julak Sarkani bertindak cepat. Ia berhasil menerjang hajah Diana tepat beberapa senti sebelum wanita itu bisa mencelekai si ibu dan bayinya.
Julak Sarkani dan hajah Diana berguling di lantai, menimbulkan suara berisik bak kucing berkelahi. Jaya dan acil Lela bergegas menyelamatkan Atul dan si bayi, membawa mereka ke tampat aman.
Amang Husni dan amang Idar sekuat tenaga berusaha melepaskan cengkraman hajah Diana di leher julak Sarkani. Namun, upaya mereka sungguh sia-sia. Sangat diluar logika, tenaga kedua orang lelaki dewasa itu tidak apa-apanya dibandingkan tenaga hajah Diana,
seorang nenek-nenek yang bertubuh lemah.
Hajah Diana menggeram bagai anjing, matanya melotot penuh amarah dan giginya bergemelutuk. Jari-jarinya yang kurus begitu kokoh mencengkram batang leher julak Sarkani yang mulai lemas karena susah bernafas.
Wajah julak memerah, nafasnya tersengal-sengal tapi mulutnya terus berusaha membacakan doa. Kemudian terdengar suara teriakan lantang yang menggelegar. Ternyata Jaya telah kembali, berlari sembari mengangkat pot bunga di atas kepala.
Brruukk!
Sekali hempas, pot bunga itu hancur berkeping di kepala hajah Diana. Wanita tua itu terkapar bersimbah darah, wajahnya kotor penuh tanah dan bolang haji kesayangannya terlepas.
Jaya ternganga, tampak menyesal karena telah menyakiti ibu kandungnya sendiri.
Mendapat kesempatan, julak Sarkani merangkak menyelamatkan diri. Dalam keadaan panik, ia menjauh dari hajah Diana yang merintih penuh amarah. Hajah Diana kembali bangkit dengan wajah bermandikan darah.
Amang Husni dan amang Idar bergegas menahan hajah Diana, memegang lengannya sekuat tenaga.
Buuk… baak…
Nahas, kedua pria itu dengan mudah dilempar oleh hajah Diana hingga membentur dinding lalu hempas ke lantai.
Keduanya meringis, merasakan sakit di bagian pinggang dan kepala sedangkan jerit histeris acil Lela dan Ijum semakin menjadi-jadi. Keadaan di bagian belakang rumah mewah itu kacau balau, riuh dengan suara jerit ketakutan.
Dengan beringas, hajah Diana melompat kedepan, menerkam Jaya yang sedari tadi hanya mematung. Tanpa sempat mengelak, Jaya hempas ke lantai. Hajah Diana yang sedang kerasukan mencekik leher anaknya sekuat tenaga.
Dari arah belalang, julak Sarkani tiba-tiba datang dan langsung menekan pelipis kiri dan kanan hajah Diana menggunakan kedua tangan. Sembari membaca doa, jari-jemari julak terus menekan sangat kuat hingga hajah Diana menjerit kencang.
Wanita itu berteriak-teriak kesakitan dengan mata melotot dan mulut mengeluarkan liur. Sungguh mengerikan, keadaan wanita terhormat itu tak ubahnya orang gila. Ia mulai kejang-kejang hingga akhirnya perlahan-lahan terkulai lemas kehabisan tenaga.
Jaya dibantu acil Lela dan Ijum memapah hajah Diana ke dalam kamar. Setelah beberapa saat, julak Sarkani bersama amang Idar dan amang Husni segera menyusul. Ketiga orang itu tampak kelelahan dengan wajah memar.
Di ranjang, hajah Diana tergeletak tak berdaya. Acil Lela dengan telaten membersihkan lukanya, sedangkan acil Ijum telah pergi memangil mantri.
"Jaya, sejak kapan ibumu lamah buluan?" tanya julak.
Jaya yang duduk di samping ibunya hanya menggeleng.
"Entahlah," jawabnya lemah, baru setelah kematian Misnah, ia jadi gampang kesurupan seperti ini," lanjutnya.
"Minyak perunduk itu harus segera ditemukan sebelum keadaan bertambah gawat," terang julak.
Jaya mendongak, menatap julak Sarkani yang tengah merokok di depan jendela kamar.
"Julak…pian yakin kalau mendiang istriku menggunakan minyak perunduk? Lalu, untuk apa?" buru Jaya dengan nada bergetar. Sorot kesedihan dan putus asa terpancar jelas di matanya.
Julak Sarkani tidak langsung menjawab. Ia melemparkan pandang dari jendela, menatap ke bagian belakang rumah itu. Bagaimana pun juga, ia masih menduga-duga. Ia ragu bila tebakannya salah, malah menimbulkan fitnah pada mendiang Misnah.
"Dahulu, sewaktu aku kecil, juga ada kejadian serupa. Seorang wanita dari kampung seberang, bangkit dari kubur dan menjelma menjadi Sandah. Selama beberapa malam ia meneror penduduk kampung.
Setelah minyak perunduknya disatukan dengan jasadnya di dalam kubur, barulah arwahnya tenang," jelas Julak.
Jaya tertunduk lesu mendengar penuturan Julak Sarkani. Ada rasa sesal dan bersalah berkecamuk di dada.
Bisa jadi istri pertamanya itu nekat menggunakan minyak perunduk karena ulahnya yang kawin lagi dengan perempuan yang lebih muda.
"Baiklah julak, sebaiknya kita cari minyak perunduk itu. Setelah itu, baru kita temukan jasad istriku."
Jaya segera bangkit menuju rumah bagian belakang disusul julak Sarkani, amang Husni dan amang Idar. Sasaran mereka adalah kamar Atul, karena di situlah jejak langkah darah itu terakhir berhenti.
Belum juga kaki mereka melangkah ke bagian belakang rumah, terdengar ketukan pintu depan diiringi salam. Mereka terus melangkah sedangkan acil lela bergegas membuka pintu depan. Begitu pintu terbuka, ternyata rombongan pambakal Sarip bersama beberapa orang polisi.
"Jaya, ada?" tanya pambakal cemas.
*****
Menjelang sore, makam Misnah telah ramai warga yang berbondong-bondong ingin tahu apa yang terjadi. Tujuh orang polisi telah datang dari kecamatan, setelah menempuh perjalanan selama dua jam menggunakan speed boat.
Tadi pagi, sekdes langsung melaporkan perihal terbongkarnya makam Misnah setelah mendapat perintah dari pambakal.
Beberapa orang petugas tampak memasang garis polisi mengelilingi makam Misnah, sedangkan beberapa orang lainnya mengambil foto.
Dua orang petugas sibuk mencatat keterangan dari ustad Gani, pambakal, julak Sarkani dan Jaya bergantian.
Hati Jaya remuk redam, untuk kedua kalinya makam mendiang istri pertamanya membuat gempar seluruh desa.
Kerumunan warga yang datang juga terus bertambah, bagai ikan saluang berebut ludah. Gosip-gosip receh kembali beredar, menyebar dari mulut ke mulut.
Seorang petugas polisi yang paling tua, berjongkok di salah satu sudut kuburan.
Topi lancip mirip paruh bebek membuatnya tampak menonjol. Matanya yang tak lagi awas, menatap lekat-lekat jejak kaki yang samar-samar di hadapannya. Namanya Johar, seorang polisi berpangkat Letnan Dua.
Seharusnya, Letnan Johar hanya mengurus tetek bengek administrasi di polsek karena 8 bulan lagi ia akan pensiun.
Namun, Kapolsek yang baru menjabat 6 bulan punya pemikiran lain. Kapten Samsul yang baru lulus Akpol itu tentu haus prestasi.
Sudah 6 bulan ini, polseknya hanya menangani para pemuda mabuk atau mendamaikan tetangga yang ribut karena menyetel musik terlalu kencang. Pencurian mayat adalah kasus yang cukup besar, sedangkan Letnan Johar punya segudang pengalaman.
Bila berhasil mengungkap kasus ini, tentulah namanya akan naik.
"Bagaimana, Letnan. Apa yang kau temukan?" tanya Kapolsek yang telah berdiri di samping.
Mengetahui pimpinan ada di samping, Letnan Johar juga turut berdiri.
Ia menyeka keringat, karena sore itu hari terasa sangat panas. Topi yang ia kenakan sebenarnya untuk menutupi botak di tengah kepala.
"Kapten, apa kau percaya, ada mayat yang bangkit dari kubur?"
Bukannya menjawab, letnan dua Johar justru balik bertanya. Si Kapolsek yang usianya 32 tahun lebih muda, hanya menggeleng seraya mengernyitkan dahi.
"Kapten, tidak mungkin ada mayat bisa bangkit dari kubur. Mayat ini, pasti ada yang mencuri."
"Dicuri? Untuk apa?"
Letnan Johar menggeleng, membetulkan topi yang menutupi ubannya.
"Entah lah, Kap. Di daerah ini, masih banyak orang yang percaya hal mistis."
Johar lantas memanggil seorang polisi muda bagian forensik, memintanya untuk memotret jejak yang ia temukan.
"Apa yang aneh dengan jejak ini?" tanya Kapolsek.
Si tua Johar menarik nafas dalam-dalam, lalu menunjuk ke arah jejak kaki yang samar di depannya.
"Kapten, suaminya mendiang bilang, ia telah mengupah lima orang untuk menjaga makam istrinya. Tapi…"
"Tapi, apa?" buru kapolsek tak sabar.
Si letnan menghela napas, seolah bimbang. Setelah menimbang-nimbang, polisi senior itu kembali berucap.
"Di sini ada tujuh pasang jejak kaki. Artinya, ada tambahan dua orang lagi pada malam itu."
Kapten Samsul Bahri terhenyak, antara kagum sekaligus ragu dengan yang disampaikan Johar.
"Kamu yakin?" buru Kapolsek penasaran.
Letnan Johar lagi-lagi menghela nafas.
"Belum 100 persen. Namun, lima pasang jejak kaki, jelas sekali lari terburu dari tenda menuju hilir. Sepertinya mereka kabur dari sesuatu yang mengerikan. Lalu, ada dua pasang jejak kaki berikutnya melangkah ke arah berbeda."
Polisi Johar kembali berjongkok, memandang jejak-jejak misterius di tanah liat yang berwarna kuning pucat.
"Mungkin saja ini jejak pencurinya. Lihat, jejak langkah yang ini lebih dalam. Sepertinya ia menggotong sesuatu, bisa jadi mayat si Misnah.
Sayang sekali, jejaknya hilang sampai di sini. Tanah di depan lebih keras, jadi jejaknya menghilang, tertutup debu dan daun-daun kering. Sepertinya, ia melangkah ke arah hutan."
Kapten Samsul Bahri tercekat, lantas menyunggingkan senyum kepuasan. Batinnya, tidak salah ia memerintahkan pak tua ini turun tangan. Meski secara pangkat dan jabatan kapten Samsul Bahri jauh lebih tinggi, tapi secara pengalaman, kapolsek muda itu mengakui kehebatan Letnan Johar.
Meski begitu, tetap saja ia belum sepenuhnya mengerti arah jejak lainnya yang tampak berbeda. Jejak itu tampaknya tidak mengenakan alas kaki dan berbelok ke arah lain. Kapten Samsul Bahri pun turut berjongkok di samping Letnan Johar lalu menunjuk ke arah pagar pemakaman.
"Kalau yang ini, kenapa arahnya berbelok ke sana?"
Sepasang mata tua letnan Johar mengikuti arah telunjuk kapolsek, menatap lurus ke arah pagar kuburan yang terbuat dari kayu dan telah lapuk.
"Dugaanku, jejak yang ini mengikuti orang di depannya yang menggotong mayat. Entah kenapa, mereka sepertinya berpisah. Yang menggotong mayat, terus melangkah ke arah hutan. Satunya lagi, berbelok ke arah pagar menuju jalan desa," jelas letda Johar.
Kapolsek Samsul Bahari sumringah, lalu berdiri penuh kepuasan dan diikuti si tua Johar. Kapolsek muda itu kemudian menjabat erat bawahannya, pancar kekaguman jelas tersorot di matanya yang minim pengalaman.
"Pak Johar, kuserahkan kasus ini padamu. Anggap saja kado sebelum pensiun. Akan kusuruh Budi dan Berto mendampingi. Aku yakin, kurang dari seminggu, pencurinya akan tertangkap."
Letnan Dua Johar tak bisa mengelak. Bagaimana pun juga, kapolsek muda ini adalah pimpinannya. Ia terpaksa mengangguk walau hatinya sebenarnya enggan.
"Baiklah, kap. Tapi, aku minta carikan data orang-orang itu."
Johar mendelik, memberi kode dengan tatapan matanya. Samsul Bahri menoleh, mengikuti arah pandangan letnan Johar. Si Kapolsek cepat mengerti, yang dimaksud Johar adalah Jaya, pambakal Sarip, julak Sarkani, serta beberapa orang dekat Misnah lainnya yang sedang dimintai keterangan.
"Beres," sahut Kapten Samsul Bahri lirih, "selesaikan tugasmu dengan cara apapun. Akan kucarikan data yang kau perlukan."
Kapolsek yang baru menjabat itu lantas berlalu, memanggil dua orang polisi muda lainnya untuk mendampingi penyelidikan si tua Johar.
Letnan Johar kemudian membuang rokoknya yang telah habis ke tanah, lalu menginjaknya berkali-kali hingga hancur. Ia lantas mengedarkan pandang, mengawasi gerak-gerik kerumunan warga dan rombongan pambakal Sarip bergantian.
Instingnya mengatakan, bahwa salah satu di antara mereka adalah pencuri mayatnya Misnah.
… berkentang…
Sampai jumpa di malam Jumat. Tabe 😇🙏
Jika ingin sekedar mendukung atau ingin baca duluan, bab 7&8 sudah tersedia di @karyakarsa_id
Pambakal Sarip duduk termenung di halaman belakang rumahnya. Duduk di atas kursi rotan dan berteman segelas kopi, ia menatap sekumpulan ayam peliharaan yang tengah mematuk benih padi.
Meski tubuhnya ada di situ, pikirannya berada di tempat lain.
Jauh di lubuk hati, kepala desa itu merasa senang dengan kematian Apri. Setidaknya, pemuda tak jelas masa depan itu tidak lagi mengganggu anaknya yang telah bersuami. Sebenarnya, bukan kedudukan atau harta yang membuatnya tidak merestui hubungan Atul dan Apri.
Matahari belum terlalu tinggi, pagi-pagi sekali julak Sarkani sudah terlihat gelisah di depan rumah hajah Diana. Sejurus kemudian, orang yang ditunggunya telah berdiri di depan pintu.
Jaya terlihat kesal karena dibangunkan sepagi ini. Kejadian yang dialami si ibu dan istri kedua sungguh membuatnya pusing. Akan tetapi, rasa kesalnya pada julak Sarkani langsung sirna detik itu juga. Mendengar penuturan pak tua itu, amarah Jaya seketika menggelegak.
Bak wabah penyakit, kabar proses pemakaman Misnah yang ganjil langsung tersebar ke segala penjuru kampung. Baru tadi pagi ia dimakamkan, sore hari seluruh penduduk sudah tahu kabar tentang Jaya yang harus melangkahi mayat istri pertamanya.
Sudah tiga kali jasad Misnah dihadapkan ke arah kiblat, tapi lagi-lagi jasad itu kembali ke posisi semula, berbaring dalam kondisi terbujur kaku di liang lahat. Sungguh ganjil, baru kali ini ada mayat yang menolak dihadapkan ke arah kibla
Selamat pagi/ siang/ malam. Kali ini saya kembali lagi dengan kisah horor dari Kalimantan. Pada kisah kali ini, saya mengangkat cerita tentang hantu Sandah. Sandah adalah salah satu dari tujuh jenis Kuntilanak / Kangkamiyak.
Namun, yang membedakan dari Kuntilanak lainnya, Sandah memiliki wajah yang lebar, selebar nyiru penampi beras. Konon, wajah lebar itu adalah kutukan, sebagai penanda karena ia telah berbuat durhaka pada suami.
So...selamat menikmati kisah horor saya kali ini.
Tabe.
Rumah pak Gerson tiba-tiba gelap, hanya ada cahaya temaram lilin yang semakin pendek di dalam mangkok malawen. Aku berdiri mematung seraya mengucapkan dzikir dan shalawat. Suaraku putus-putus karena dicekam ketakutan.
Rumah pangggung itu sangat gaduh karena suara perkelahian. Jerit tangis istri dan mertua pak Gerson silih berganti dengan teriakan panik orang-orang di dalam rumah. Malam itu, rumah pak Gerson tak ubahnya ladang pembantaian.