Kumandang azan isya menjadi penanda aktivitas terakhir Kenduri hari itu. Tidak ada lagi yang ingin dikerjakannya kecuali salat. Tanpa menunda-nunda, seusai azan ia cepat turun untuk mengambil air wudhu. Sejuk air membuatnya sedikit tenang.
Ia sudahi salatnya tak lama kemudian. Sajadah dan mukena dilipat lalu ditaruh di gantungan. Lalu ia mengitari kamar bagian bawah. Kamarnya sudah rapi dan bersih tanpa cela, kecuali Kenduri berpikir bahwa menyapu lantai cukup efektif menghabiskan waktu, sehingga ia pun menyapu.
Sebelum berangkat ke Jakarta gadis itu diberi hadiah walkman oleh kakak pertamanya. Dulu semasa SMP hingga menjelang lulus SMA Kenduri senang memutar kaset.
Kesenangannya berkurang bersamaan beban pelajaran makin tidak terkira, dan setelah lulus sekolah ia tambah dibebani oleh kewajiban lulus UMPTN. Tidak ada waktu bersantai sesudah lulus, sebaliknya, otaknya malah tambah tegang.
Kenduri belajar tanpa lelah demi jurusan dan universitas yang diharapkannya. Singkat cerita, setelah belajar berminggu-minggu walhasil ia sama sekali gagal menembus kampus negeri.
Kenduri mengingat walkman pemberian kakaknya. Masih baru, bahkan belum sempat dibuka segelnya. Namun, ia tidak membawa kaset lagu. Bukan lupa, melainkan ia mengira tidak akan lagi menyukai musik.
Nyatanya malam ini amat merindukan musik. Untuk itu Kenduri segera ke atas untuk memeriksa hadiah walkman yang ditaruhnya di dalam lemari.
Walkman merek Aiwa. Masih kinclong, tentu saja karena masih baru. Kenduri tak dapat membendung perasaan senang sehingga ia berteriak. Yang lebih melegakan adalah benda itu punya fitur pemutar kaset dan radio, bukan pemutar kaset dan perekam suara.
Paling tidak ia bisa mendengarkan lagu dari radio—acara penyiar radio pun disukainya—dan syukur-syukur lagu-lagu itu nantinya dapat direkam dengan kaset kosong.
Jadilah Kenduri mendapatkan kesenangannya malam ini. Kakaknya telah melengkapi kemurahan hatinya dengan menambahkan banyak batu baterai merek berkualitas sehingga sang adik tidak usah memikirkan baterai sampai bulan-bulan berikutnya.
Kenduri putar-putar radio, atas bawah, bawah atas sampai mendapat frekuensi yang diinginkan. Adalah lagu pop sedang diputar. Namun ia cepat berubah mau lantaran tiba-tiba wajah bapaknya terkilas. Maka frekuensi pun berubah sampai ia berhenti di radio Suara Dangdut.
Lantunan tembang Evie Tamala meramaikan kamar itu. Kenduri memasang posisi paling asyik, duduk dengan kaki selonjoran, kepala menyandar bantal. Tidak lupa membuka jendela kecil di atas kepalanya. Dengan begitu semua kenangannya bermunculan satu persatu.
Ia hapal betul bapaknya. Si Syamsizar itu keterlaluan suka dengan Evie Tamala, begitu pun ibunya, tetapi kadar kesenangan bapaknya tiada yang dapat menandingi. Dan lelaki itu tak pernah melewatkan satu hari miliknya tanpa memutar Evie Tamala sejak biduan itu naik panggung hiburan
Lagu Evie Tamala selesai untuk disambung tembang dangdut lain. Kenduri masih mendengarkan. Perasaannya jadi hangat. Ia senyam-senyum seorang diri. Dulu anak ini menyepelekan dangdut, tetapi baru-baru ini agaknya ia telah mencintai musik itu atas dasar kenangan.
Satu lagu berakhir dilanjutkan lagu lain, dari macam-macam artis, yang dikenali Kenduri sampai yang masih asing namanya. Pelan tapi pasti kesenangan yang meluap digantikan oleh ketenangan.
Kenduri menurunkan kepala, sambil rebah menatap langit yang hanya kelihatan warnanya. Kemudian ia tak lagi sadar apa yang terjadi.
Akan tetapi lelap gadis itu hanya berlangsung sementara. Ia terbangun dengan pasti oleh karena keadaan di luar teramat gaduh. Teriakan para penghuni tidak henti-henti memekakkan telinga. Kenduri menangkap kepanikan dari suara-suara itu dan ia bergegas turun.
Pintu kamar Kenduri dibuka dan itu memperjelas apa yang tengah berlangsung. Beberapa orang dengan jelas memekik, "Kebakaran!" Itu bukan omong kosong. Kenduri melihat para penghuni lantai atas lari terkaing-kaing.
Gadis itu diam sejenak, tetapi alih-alih demikian, ia melihat kepulan asap bergulung pekat dari bawah. Maka ia juga ikut berlari menyelamatkan diri. Tiba di bawah keadaan rupanya lebih mengerikan.
Api berkobar dari sebuah kamar paling depan. Betapa Kenduri kini ditimpa cemas dan takut. Bagaimana ia dapat menyelamatkan diri, sedangkan belasan orang tertahan di lorong sempit dengan udara yang telah bercampur asap.
Akibat paling buruk telah menjejali pikiran Kenduri. Terus berada dalam keramaian kiranya hanya memperkecil peluang selamat.
Meskipun beberapa penghuni berjuang setengah mati memadamkan api, Kenduri merasa itu semua tak lebih dari memperlambat kematian yang menyakitkan. Untuk itu ia memutuskan berbalik arah. Setidak-tidaknya ada jendela kecil di kamarnya untuk menyelamatkan diri.
Sebagaimana manusia yang hendak mempertahankan hidup, Kenduri kabur dari keramaian dengan amat cepat. Diterjangnya pintu kamar yang tertutup. Namun, saat pintunya menganga, Kenduri malah menutupnya kembali dengan spontan.
Barusan gadis itu memergoki seseorang berada di kamarnya, berdiri di mezanin sambil menatapnya. Tak lain dialah wanita muda berambut ikal kucal yang dirundung semua orang beberapa waktu lalu.
Napas Kenduri terengah, kaget bukan kepalang, tetapi sesaat kemudian ia insaf bahwa keinginan bertahan hidup harus menjadi satu-satunya piliha yang pantas dipeerjuangkan. Dengan itu ia dorong lagi pintu kamar.
Sialnya, untuk kali ini pintu tak bergeming. Kenduri mencoba lagi, dan lagi setelah itu. Namun, pintunya sama sekali keras. Dengan terpaksa ia mengerahkan kekerasan, mendobraknya dengan tendangan dan sebagainya. Dan semua upayanya berujung percuma.
Kemudian perhatiannya dialihkan pada beberapa kamar yang terbuka. Sebab barangkali ada jalan keluar dari kamar-kamar tersebut. Namun ia juga tak mendapatkan apa-apa selain lubang-lubang udara kecil yang mustahil dapat dilewatinya.
Akhirnya perempuan itu menyerah, kembali ke kamarnya meski hanya sampai di depan. Pintu itu masih keras. Ia pun ambruk lantaran putus asa. Napasnya terbatuk di antara kepulan asap yang semakin pekat.
Seperempat jam telah dilewati Kenduri sendirian, sedangkan ia belum juga mati. Malahan baru disadarinya kalau asap tampak semakin tipis.
Tidak lama sesudah itu terdengar ramai langkah manusia, yang akhirnya diiringi pemandangan para penghuni berdatangan dari bawah. Mereka semua tidak saling berbicara, masuk ke kamarnya masing-masing seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Wanita kamar 20 menjadi orang terakhir yang terlihat masuk kamar. Kenduri sendiri lagi dengan kebingungan yang tidak terpecahkan. Ia pun bangkit akhirnya, membuka pintu kamarnya dengan mudah seperti biasanya.
***
-Bagian 16-
Padahal baru terjadi suatu peristiwa yang menyeramkan di rumah kos tersebut, tetapi semua orang pembawaannya malah begitu tenang. Benar bahwa mereka mulanya tampak cemas dan panik, namun sikap manusia lumrahnya tidak seperti itu.
Seharusnya semua orang itu masih berkumpul, membagikan perasaan takutnya satu sama lain, juga berjaga sepanjang malam karena waswas. Mereka semua agaknya memang benar-benar aneh bahkan gila, gila sungguhan karena ada penyakit mental, demikian pandangan Kenduri.
Lihat saja, hampir semua penghuni rumah ini nyaris tewas dilalap api. Kenduri masih ingat persis bagaimana amuk api berkobar amat hebat, sementara orang-orang terkepung di bawah dengan asap yang menyakitkan.
Kalau dipikir-pikir hanya keajaibanlah yang dapat menjinakkan api seukuran itu. Meskipun beberapa orang berusaha memadamkan, ditinjau dengan akal sehat mestinya itu tak mungkin berhasil.
Juga mengapa mereka tidak memanggil bantuan petugas damkar, menjadi kejanggalan yang ditanyakan Kenduri. Itulah yang dilihatnya tadi. Padahal tidak begitu seharusnya.
Kalau pun mobil pemadam datang terlambat, mereka akan mengevakuasi semua orang dan tentu tidak ada seorang pun yang boleh kembali ke kamarnya dengan santai. Sebab boleh jadi api masih tertinggal di titik kebakaran dan itu dapat menimbulkan masalah serius.
Kenduri ingat pula soal lain yang dialaminya menjadi kejanggalan yang lain, yakni perihal gadis misterius di dalam kamar.
Namun dia berusaha menyingkirkan lebih banyak prasangka. Menurutnya barangkali kesadarannya turun sehingga ia merasa melihat sosok lain di kamarnya.
Adapun soal pintu kamar yang tidak bisa dibuka, mungkin juga karena pikiran yang terlalu takut sehingga ia salah mendorong pintu, padahal sebenarnya pintu itu ditariknya.
Timbulnya macam-macam pertanyaan menyulut gairah Kenduri untuk mencari tahu lebih banyak. Tidak mudah menerima kenyataan-kenyataan aneh yang dialaminya malam itu tanpa suatu penjelasan.
penjelasan. Oleh karenanya perlu dilakukan semacam penyelidikan kecil guna menjawab fenomena muskil tersebut.
Kenduri turun hendak mengamati keadaan di bawah. Lantai satu rupanya juga sepi, hanya sisa aroma kebakaran yang masih menyengat.
Patut diduga semua penghuni berada di dalam kamar. Bukannya yang begini malah makin aneh? Dampak kebakaran pasti lebih besar di lantai satu. Apabila penghuni langsung masuk kamar, mereka dapat diserang pernapasannya. Ini tidak main-main
Semua pintu tertutup, bahkan terdengar napas terseok dan batuk berulang kali, akan tetapi mereka masih saja bertahan di dalam kamar. Lalu Kenduri menangkap musik diputar dari beberapa kamar.
"Gila! Semua orang ini pasti sudah gila! Bukannya takut dan panik malah mencari hiburan dengan musik." Kenduri merinding membayangkan apabila dugaannya benar—dan ia kian percaya bahwa itu benar.
Dia berhenti di kamar nomor 1 yang menurut kesaksiannya, kamar itulah yang menjadi sumber api. Rasa penasaran demikian tumbuh sehingga didekatinya kamar itu sedekatnya. Terlihat pintu maupun jendelanya gosong, juga semua kacanya pecah berpuing-puing. Kamar itu gelap.
Kenduri mendorong penasarannya makin jauh lagi dengan mengintip keadaan di dalam lewat jendela. Tidak ada seorang pun, semestinya memang kamar itu ditinggalkan saja. Sisa kebakaran terlihat juga di lantai, tembok, dan langit-langit. Semua menghitam.
Ia melanjutkan penyelidikannya ke ruang makan. Tempat itu kosong. Area tempat hunian pemilik kos juga gelap dan sunyi. Lalu ia berputar, kembali ke lorong lantai satu demi mengamati keadaan kamar satu persatu dari luar.
"Kamar ini sepertinya juga terbakar," gumam Kenduri di depan pintu kamar nomor 3. "Tetapi yang nomor 2 tidak seperti ini. Sebenarnya bagaimana dan kapan ini terjadi?"
Seakan-akan bahwa setiap pertanyaan tidak akan terjawab, melainkan justru melahirkan pertanyaan baru. Kenyataannya tepat seperti itu. Kenduri ingat betul di mana sumber apinya, yakni kamar pertama.
Ia juga belum lupa bahwa kamar nomor 3 tadinya tidak seperti itu. Adapun yang baru saja dilihatnya sungguh bertolak belakang. Seakan ada dua kamar yang terbakar di waktu bersamaan. Kamar nomor 3 pun kondisinya serupa dengan kamar nomor 1.
"Apa sebenaranya yang sedang kamu cari, Kenduri?" Alangkah baiknya seumpama kata-kata itu keluar dari mulutnya sendiri. Namun itu adalah suara lelaki yang telah dikenalinya.
Barry, yang dalam sekejap telah berdiri tepat di sampingnya, menenteng gelas berisi teh panas. Ia memasang pandangannya kepada Kenduri seraya menunggu jawaban.
Tak ayal, gadis itu karuan kaget di dalam hati. Tetapi ia tidak ingin menunjukkan dirinya terkejut. Sambil menyembunyikan perasaannya Kenduri berujar, "Itu kebakaran yang menakutkan. Aku sedang melihat-lihat, kalau-kalau semuanya memang sudah aman."
"Kamu benar. Kita semua takut. Bukankan kamu melihat sendiri betapa semua orang menjerit takut?"
"Ya. Aku tadi sudah yakin kalau aku tak mungkin bisa hidup lagi malam ini."
Barry tersenyum simpatik, "Lupakan saja. Semoga ini tidak terjadi lagi."
"Tapi aku penasaran dengan kamar ini," singgung Kenduri.
"Apa yang membuatmu ingin tahu?"
"Mestinya tidak begini, bukan?"
"Bagaimana maksudmu? Menurutku tidak ada yang perlu diherankan."
"Aku tak mengerti," timpal Kenduri. "Kulihat jelas cuma satu kamar yang terbakar."
Barry mengangkat gelas untuk sekadar menghirup aroma teh, lalu berkata, "Kamar itu juga terbakar...beberapa jam sebelumnya."
"Apa maksudmu?" Kenduri meninggikan suara lantaran kekagetannya makin menjadi-jadi.
Barry mengulum senyum tipis yang menggambarkan dirinya begitu tenang. "Telah terjadi dua kebakaran malam ini. Kamar di depanmu itu yang lebih dulu terbakar."
"Aku tidak tahu," geleng Kenduri. "Jam berapa kejadiannya?"
"Hmm, jam delapan atau lebih sedikit. Di mana kamu saat itu?"
Kenduri sungguh merasa seolah-olah tubuhnya dibanting keras. Pada waktu yang disebutkan itu ia kemungkinan baru saja tertidur.
Barry melanjutkan, "Kamu ada di kamar, benarkah?"
Dalam kebingungan dan kekagetan yang datang bersamaan Kenduri hanya dapat mengangguk lemah.
"Beberapa orang menggedor kamarmu tetapi kamu tidak menyahut. Semoga kamu hanya tidur."
"Aku memang tidur saat itu dan aku benar-benar tidak tahu."
Barry menghirup lagi aroma teh, kemudian pandangnya mengitari lorong itu. Tampaknya ia tidak akan buru-buru pergi.
Kenduri berkata, "Omong-omong, aku baru sadar, mengapa kita tidak memanggil petugas pemadam."
"Mengapa bilang begitu?"
"Bukan apa-apa, kurasa itu sangat membantu."
"Belum tentu seperti itu, tetapi...ya, aku hanya heran kenapa kamu bilang begitu."
"Eh?"
"Tentu saja kami memanggil damkar. Aku baru saja mengantar mereka pulang."
"Begitukah? Oh, maaf, rasanya aku tidak melihat mereka." Kenduri menggelengkan kepala seperti merasa malu. Bertepatan dengan itu terdengar keras raung sirene dari luar. Dengan cepat suara itu hilang di kejauhan.
"Kamu sepertinya panik sehingga merasa tidak melihat. Pikiran yang dipengaruhi sesuatu bisa membuatnya merasa melihat atau juga tidak melihat."
"Itu benar," sahut Kenduri. "Baiklah, kurasa kita aman malam ini. Sebaiknya aku kembali istirahat."
Keduanya pun berjalan beriringan. Barry berhenti di kamar 11, tetapi ia punya sedikit kata-kata yang mungkin baru diingatnya. Ujarnya, "Hey, benarkah kamu akan kembali ke kamarmu?"
"Tentu. Bukan seharusnya begitu?"
"Aku hanya khawatir. Ada yang mengatakan bajingan itu sembunyi di kamarmu."
"Bajingan siapa?"
"Dia yang sengaja membakar rumah ini. Gadis muda berwajah kumal yang rambutnya ikal."
Kenduri sekonyong-konyong hendak menuntut penjelasan atas ucapan tersebut. Akan tetapi Barry terburu-buru masuk ke kamarnya.
Wujud perempuan itu terus terbayang di pikiran Kenduri sepanjang malam.
***
Bersambung…
Silakan yg mmau baca lebih dulu. Sudah tamat di Karyakarsa.
Kenduri merasa sudah mengerjakan banyak hal, tetapi waktu belum sampai pukul 5 petang. Agar Sabtu dan Ahad lekas berlalu, ia mesti menemukan cara yang tidak membosankan.
Akhir pekan akan terasa lebih panjang bagi siapa yang tidak punya rencana cukup baik. Demikian yang dirasakan Kenduri. Dua hari tersebut selalu menyebalkan karena ia tidak pernah tahu cara melewatkannya dengan baik.
Rumah kos nomor 29 tak berbeda siang maupun malam. Sepi. Bahkan terasa lebih sepi dari lorong rumah sakit di malam hari. Hanya sewaktu-waktu terdengar siaran radio atau musik, dan musik yang diputar pun musik aneh, seperti lagu mengandung kepedihan juga keputusasaan.