Gadis kamar 20 telah pergi dengan meninggalkan kekesalan di benak Kenduri. Beberapa saat lamanya Kenduri mematung di ruang baca. Hanya dirinya seorang, namun ia tidak ambil pusing dengan kesendirian.
Sementara pengunjung-pengunjung lain pada lari ketakutan karena kemarahannya yang ia luapkan tidak pada tempatnya.
Kenduri melihat apa yang ditinggalkan perempuan itu di meja baca. Buku Pembunuh istri, dan ternyata bukan itu saja. Dia pun memeriksa sesuatu semacam berkas yang sudah dijilid yang tertindih novel itu.
Sehingga ia tahu ketika halaman sampulnya disingkap, bahwa itu adalah kliping koran dan majalah.
"Kuil Setan yang Menanti Korban Berikutnya"
Judul yang sepintas sukar dipahami tetapi punya daya tarik itu membawahi beberapa kolom artikel yang hurufnya kecil-kecil. Kenduri memasang kepalanya lebih rendah agar kliping itu dapat terbaca.
Terdapat sebuah foto yang sepertinya diambil di satu ruangan, foto minim cahaya, hitam putih belaka, dan, Kenduri berpikir cepat, ia mengenali foto tersebut. Itu adalah gambar tangga menuju rubanah yang dapat dijumpai di rumah Nasikhin.
Maka Kenduri serta merta menggeser kursi agar bisa membaca berkas tersebut. Jilidan itu tebalnya berpuluh-puluh halaman. Seumpama ada beberapa informasi yang terkait dengan rumah nomor 29 tentu akan berguna untuk Kenduri.
Namun demikian kliping itu akhirnya tidak pernah terbaca. Sebab datang seseorang dengan tiba-tiba menggasak berkas itu. Tidak lain dia si gadis kamar 20. Dan sekali lagi ia langsung pergi.
Untuk kali tersebut Kenduri tidak dapat menerima perlakuannya. Ia menyusul wanita itu guna membuat perhitungan. Namun sial, langkahnya lebih dulu dicegat seorang lelaki yang ia kenali sebagai salah satu penjaga perpustakaan.
"Sebentar, kita perlu bicara," ujar lelaki itu.
Kenduri tidak dapat menerima ada orang yang menghalangi langkahnya. Badannya yang kurus berkelit gesit, melanjutkan maksudnya mengejar wanita di depannya.
Rupanya Kenduri kalah cepat beberapa detik. Saat berbelok menuju tangga, gadis itu tidak terlihat lagi. Kenduri menuruni tangga, kemudian ia diterpa cahaya sore. Keadaan di luar betapa ramai. Dan seseorang yang dicarinya makin tidak terlihat.
Bagaimana pun petang itu, kuil setan adalah kata kunci yang mau tidak mau harus diperhitungkan. Gambar tak berdusta dan telah menjelaskan banyak perkara yang tidak dapat dijangkau kata-kata. Amat jelas di mata Kenduri di mana gambar itu diambil. Oleh karenanya ia segera pulang.
Kenduri tidak menginginkan yang lain kecuali berharap rumah Hasana dalam keadaan sepi sebagaimana hari-hari yang sudah. Emosi bercampur penasaran menjadikannya amat bersemangat. Ia yakin bakal memperoleh beberapa fakta penting dari ruangan bawah tanah itu.
Ia sampai di kos secepatnya. Dan, ya, rumah itu sepi. Akan tetapi keadaan itu tidak pasti hingga pintu rumah tersebut terbuka.
"Happy wedding anniversary, Om dan Tante!" Barry menyerukan ucapan selamat dengan riang gembira. Dan ucapan itu diterima dengan berbinar-binar oleh sepasang suami-istri yang sedang berbahagia.
Kemudian orang-orang ganti berganti menyalami Nasikhin dan Hasana. Tiada kikuk di antara mereka, melainkan keakraban yang tulus laiknya orang-orang yang hubungannya sangat dekat. Sungguh hari yang berbeda
Ini tidak benar, tidak seharusnya begini. Tetapi Kenduri tak punya banyak waktu untuk mendakwa situasi tersebut manakala Nasikhin memanggil namanya.
"Kemari, Nak, kemari. Jangan sungkan, mari bersuka cita."
Sebuah keceriaan di sore hari. Tiada seorang yang melewatkan momentum itu, tidak pula gadis dari kamar 20. Barangkali ia buru-buru pergi dari perpustakaan lantaran tak mau ketinggalan perayaan ini.
Kenduri bergabung dalam keramaian. Menyaksikan pasangan setengah abad potong kue, mula-mula keduanya saling berbagi, lalu gilirannya setiap orang di ruangan itu mendapatkan sepotong kue perayaan.
"Yang ini untuk kamu, Nak Ken," nyaring Nasikhin.
Kenduri menerima pemberian sambil berusaha tampak baik-baik saja. Sekarang kue perayaan yang bulat besar tinggal sisa seperempat. Semua telah mendapat bagiannya dan semua bersama-sama mencicipi manisnya sepotong kue.
Dan kue bukanlah satu-satunya makanan di ruangan itu, melainkan lebih banyak lagi yang berserak-serak di meja-meja.
"Mereka telah menikah 25 tahun," batin Kenduri saat melihat rangkaian pita tanggal perkawinan dalam sebuah parsel hadiah.
"Hai, Ken, ayo cicip semuanya," seru gadis kamar 20 tanpa disangka-sangka. Gadis itu tersenyum sambil mendekat, "Kamu suka siomay? Atau sate? Aah, jangan canggung begitu, tidak ada gunanya. Bukankah kita adalah keluarga, Tante?"
Hasana tersenyum lebar dari belakang, "Makanlah, aku memesan semua ini bukan untuk dilihat-lihat."
Selanjutnya makanan-makanan itu mendapat gilirannya untuk dihabiskan. Riang tawa dan percakapan diperdengarkan. Hanya saja, keceriaan suasana tahu-tahu berubah terbalik ketika terpekik suara yang amat nyaring.
Semua yang ada di situ terdiam semata. Dan Kenduri mendengar dengan pasti kalau jerit itu datangnya dari bawah.
Lantas ini yang terjadi setelahnya. Hasana meninggalkan keramaiaan untuk menghampiri asal suara itu. Sedangkan yang lain bertingkah bagai kerumunan semut yang membubarkan diri dari sepotong kue karena piringnya diketuk nyaring.
Itu juga yang dilakukan Kenduri, membubarkan diri bersama orang lain tanpa mengerti apa penyebab di balik fenomena itu.
Keriangan pesta, kue perayaan, dan tiba-tiba semuanya berakhir oleh sebekas teriakan yang masih misterius. Kenduri yang sebelumnya terlanjur bergabung dalam acara itu juga ikut meninggalkan pesta bersama orang-orang.
Akibat kejadian yang semalam Kenduri menunda pulang ke rumah setelah kuliah berakhir. Padahal waktu menuju malam masih cukup panjang. Matahari sedang bocor-bocornya siang itu, jadi, ia harus pintar-pintar menemukan cara agar menunggu tidak terlalu membosankan.
Kumandang azan isya menjadi penanda aktivitas terakhir Kenduri hari itu. Tidak ada lagi yang ingin dikerjakannya kecuali salat. Tanpa menunda-nunda, seusai azan ia cepat turun untuk mengambil air wudhu. Sejuk air membuatnya sedikit tenang.