Beberapa saat sebelumnya Kenduri siap-siap pergi kuliah dan dia tidak menemukan sesuatu pun yang mengganjal di pikirannya.
Hingga pada saat bercermin, ia mendapati keadaan dirinya tampak memprihatinkan. Terutama badannya itu, badannya jadi ceking. Benar dia memang kurus, tetapi kurus dan ceking adalah dua hal yang berlainan.
Kenduri berlama-lama menatap bentuknya di cermin. Naik turun napasnya lantaran tak mengerti bagaimana perubahan itu datang. Didekatinya selangkah cermin lemari, diangkat tangannya, dan benaknya memekik nyaring.
"Astaga, mengapa begini! Semacam orang sakit imunitas. Bukan, semacam orang yang dikurung berhari-hari dan disiksa tanpa diberi makan."
Tidak semua kurus adalah penyakit, tetapi ini adalah ceking, dan ceking yang harus dipertanyakan karena dia berubah seperti itu hanya semalam.
Sebagai gambaran, terdapat kesamaaan, meski tidak serupa persis, antara cekingnya dan ceking yang dialami korban kekejaman Nazi di Auschwitz-Birkenau dan kamp-kamp lain.
Kalau pun dianggap berlebihan perbandingan ini, nyatanya tidak sama sekali. Namun begitu, walau bentuknya sama, tidaklah mungkin ini terjadi. Betapa tidak? Ya, seharusnya tidak.
Korban Nazi tidak mendadak ceking dalam semalam, melainkan mereka digempur fisiknya dan ditekan psikisnya sebegitu rupa selama bertahun-tahun sejak invasi Polandia.
Nazi perlu mengirim tahanan ke lokalisasi lalu mengirimnya lagi ke kamp kerja paksa, tanpa makanan yang memadai dan penyiksaan tak henti-henti.
Kenduri tidak mengalami itu. Ia hidup dan makan sewajarnya dan bapaknya tidak mengirim dia ke Jakarta untuk menjebloskannya ke kamp penyiksaan.
Lantas, apa gerangan yang membikin gadis itu jadi begini, menjadi pertanyaan yang jawabannya masih terselubung. Pastinya, dia tidak bisa keluar dengan wujud seperti itu.
Tangannya hanya sedikit lebar daripada penggaris dan ia dapat mendengarkan sendi-sendinya berbunyi saat digerakkan. Walau tidak ada rasa sakit, tetap saja itu sangat memalukan apabila diketahui orang lain.
Maka dari itu Kenduri segera mengganti pakaian. Namun setelah memerhatikan dirinya telanjang, dia malah semakin takut. Badannya tinggal setipis papan pintu, bahkan organ-organ dalamnya menonjol dan tampak berdenyut-denyut.
Semua itu harus diterimanya dengan pikiran dan perasaan tak menentu, di samping hal lain yang juga harus disembunyikan meski sulit, yaitu wajahnya yang hampir mirip tengkorak hidup, dan kantung matanya longsor membiru,
dan ia pun menyadari selanjutnya bahwa sejumlah bulu matanya rontok. Akan tetapi gadis itu tak menemukan alasan menghindari kuliah. Maka ia berangkat pagi hari apa pun keadaannya.
Sudah tentu penampakan mahasiswi semacam itu mengundang tatap dan tanya. Hampir sepanjang jalan orang-orang asing memandangnya heran, sebagiannya mungkin iba. Bagaimana dia dapat ditakdirkan seperti itu.
Apakah disiksa pacarnya, apa jangan-jangan dia pengidap AIDS yang harus dijauhi sejauhnya dari orang sehat. Dan semakin panjang langkah Kenduri, bertambah-tambahlah orang yang mengherani wujudnya.
Satu kelas serta merta menjauh karena mereka menduga Kenduri tertular penyakit AIDS dan itu dianggap tidak ada toleransi apa pun ceritanya. Sampai-sampai hal itu membuat dosen ilmu kenegaraan turun tangan. Berkatalah wanita tua itu dalam percakapan empat mata di luar kelas,
"Benar kamu seperti itu?"
Jawab Kenduri, "Apanya yang seperti itu?"
Dosen kemudian berkata dengan suara lebih pelan, "Aku sebetulnya tidak suka mengurusi apalagi menghakimi masalah orang lain, kecuali bahwa ini telah menyangkut kepentingan bersama dan juga harga dirimu."
"Ah, saya tidak mengerti, Bu."
"Periksakan dirimu, Nak."
"Ya?"
"Dengar-dengar dunia sudah menemukan teknologi pengobatan terbaru untuk masalah ini. Mereka yang terpapar penyakit tetap dapat hidup sampai umur panjang asalkan meminum obatnya setiap hari sesuai anjuran...
...Kamu tahu, Nak? ARV nama obatnya. Yang perlu kamu lakukan hanya memeriksakan dirimu. Jika hasilnya reaktif kamu dapat segera mendapatkan terapi itu."
Di balik pembicaraan itu, yang tidak diketahui Kenduri, ada Reby yang bukan kebetulan mengamati percakapan mereka dari sudut lain. Sementara Kenduri belakangan telah mengerti apa maksud dan tujuan sang dosen mengajaknya bicara.
Kenduri berkata, "Saya paham. Maksud Anda supaya saya segera mendeteksi apakah ada virus HIV di dalam tubuh saya."
Dosen tersenyum kikuk, "Ya, sebenarnya saya tidak ingin bicara seterus terang itu."
"Dengan itu saya bisa mendapatkan pengobatan yang tepat?"
"Syukurlah, kamu sudah mengerti."
"Bu," Kenduri menarik napas panjang lalu menghelanya pelan, "tahukah Ibu kebenaran sesungguhnya tentang ARV?"
"Begini, Nak, aku di sini tidak untuk membuat penghakiman. Aku sendiri seorang yang cukup liberal, bahkan asal kamu tahu, salah satu anakku adalah lesbian...
....Apa yang salah dengan itu? Kamu tidak akan menjadi jahat lantaran terpapar virus itu. Kamu masih muda, Nak, dan salah satu mahasiswi terpintar, bahkan mungkin yang terpintar di tingkatmu."
"Bu."
"Dengarkan saya, Nak."
"Kali ini mohon giliran Anda yang biarkan saya bicara."
"Baiklah."
"Bu, saya pun sudah membaca tentang terapi ARV itu, tetapi..."
"Katakan pikiranmu jika ada kendala, aku akan membantumu."
Kenduri meneruskan, "Kabarnya terapi itu hanya akan berdampak baik penderita di tahap awal, bukan stadium lanjut."
"Apa maksudmu, Nak?"
Kenduri menyeringai kesal sebelum hendak meneruskan perkataannya. Akan tetapi pikirannya berubah. Ia memilih jalan lain, yakni memeluk dosen tua itu tiba-tiba lalu menciumi wajah dan tangannya habis-habisan.
Dosen seketika berteriak, meronta agar Kenduri melepaskan dirinya. Singkat saja para mahasiswa pada berhamburan keluar kelas untuk menolong wanita itu yang tenaganya tidak lagi banyak.
Sementara di sudut lain Reby tetap mengamati kejadian itu semata.
"Kurang ajar kamu! Awas, kamu tidak akan lulus kuliahku dan bahkan semua mata kuliah yang ada!" ancam dosen tersebut.
Kenduri menyeringai lagi lalu bersiap pergi dari kerumunan itu seraya menunjuk dosen, "Bahkan terhadap sesuatu yang paling dasar pun Anda tidak tahu, tetapi masih berpura-pura adil. HIV tidak menular lewat liur, tetapi bahkan saya bukan pengidap HIV."
Kenduri meninggalkan tempat itu, tujuannya tak pasti, yang penting adalah pergi. Namun keriuhan itu cepat sekali tersebar, melebihi cepatnya langkah Kenduri. Dan orang-orang di sepanjang jalan yang dilewatinya sekarang kian menatapnya aneh.
Reby berusaha mengikuti gadis itu, menjaga jaraknya agar tidak terlihat. Di satu tempat yang agak sepi pemuda itu mempercepat langkahnya untuk melancarkan maksudnya terhadap Kenduri. Namun ia tertahan oleh Pipit yang datang lebih cepat dari arah berlawanan.
"Cepat sini, Kenduri, kamu harus ikut aku," seru Pipit.
Dua mahasiswi itu berjalan cepat beriringan sampai kemudian berhenti di sebuah gardu listrik. Pipit menggiring temannya ke sudut yang paling sepi, tertutup batang-batang bambu yang tumbuh rindang.
Pipit berbisik, "Kamu harus menjauhi Reby mulai sekarang. Cowok itu rupanya memang gila dan menyeramkan!"
"Apa yang membuatmu bilang begitu?" desak Kenduri.
"Kamu tahu aku juga tinggal di kos-kosan?"
"Ya."
"Kamu juga tahu kosku yang dekat rumah Panti Waras itu?"
"Aku pernah lewat Panti Waras tetapi tidak tahu tempatmu."
"Begini, tempat itu sangat berisik dan aku berencana pindah. Kemudian aku mencari tempat baru sampai dapat. Namun semalam aku melihat Reby menunggu di seberang kos...
...Aku mengawasinya dan ia bertahan di situ sekian lamanya. Meski kurasa aneh, aku berusaha tampak biasa saja. Aku keluar kos untuk membeli sesuatu tanpa menggubrisnya sedikit pun."
"Astaga! Lalu?"
"Dia rupanya menguntit di belakang. Kamu tahu jalan di sekitar situ amat sepi? Ya ampun! Aku begitu takut malam tadi, bahkan sampai sekarang!"
"Dia mau menyekapmu?"
"Kenduri, dengar! Dia pernah kena kasus yang sangat serius. Benar rupanya kata orang, dia predator! Seharusnya dia dihukum seberatnya kalau saja bajingan itu bukan anak polisi."
Kenduri jadi merasa takut yang teramat. Dia berjanji akan melindungi dirinya dari Reby.
"Aku akan pulang sementara waktu ke rumah orang tuaku di Bintaro. Bagaimana kamu?"
Kenduri menatap pasrah, "Entah. Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja."
Di saat itu Pipit baru menginsafi perubahan yang tampak pada Kenduri. Sontak ia memekik, "Kenduri, apa yang terjadi ini!? Mengapa kamu seperti..."
Namun suara itu tertahan. Risak daun kering terdengar berbunyi seperti diinjak seseorang. Kedua gadis itu terdiam sesaat. Pipit berisyarat bahwa pasti ada seseorang di dekat mereka.
Dan isyaratnya segera menjadi kenyataan. Reby muncul di hadapan mereka dengan tatap mata yang lebar dan tegang.
"Lari!" teriak Kenduri.
Dua perempuan melarikan diri ke arah yang saling berlawanan. Kenduri tidak tahu ke mana pergi kawannya, tetapi ia hanya punya satu tempat yang bisa dituju, yaitu rumah nomor 29.
Secepatnya Kenduri berlari agar segera tiba di kos. Sesekali menoleh ke belakang, dan rupanya Reby sedang mengejarnya dengan berjalan setengah berlari. Meski demikian Kenduri berhasil sampai lebih dulu. Pagar kos dibuka dan ia langsung memasuki rumah tanpa lupa mengunci pintu.
Hasana ada di ruang tengah bersama suami, sedang mengurusi pajangan kepala kambing yang mungkin perlu dibersihkan. Mengetahui Kenduri datang dengan wajah cemas, mereka berhenti untuk menanyakan apa yang telah menimpanya.
"Seseorang mengikutiku, sepertinya dengan maksud jahat. Dia ada di depan pagar," panik Kenduri.
"Lelaki itu lagi? Reby?" tebak Nasikhin.
***
Bersambung...
Untuk tampilan yang lebih nyaman silakan baca di sini. Cerita sudah tamat.
Keriangan pesta, kue perayaan, dan tiba-tiba semuanya berakhir oleh sebekas teriakan yang masih misterius. Kenduri yang sebelumnya terlanjur bergabung dalam acara itu juga ikut meninggalkan pesta bersama orang-orang.
Gadis kamar 20 telah pergi dengan meninggalkan kekesalan di benak Kenduri. Beberapa saat lamanya Kenduri mematung di ruang baca. Hanya dirinya seorang, namun ia tidak ambil pusing dengan kesendirian.
Akibat kejadian yang semalam Kenduri menunda pulang ke rumah setelah kuliah berakhir. Padahal waktu menuju malam masih cukup panjang. Matahari sedang bocor-bocornya siang itu, jadi, ia harus pintar-pintar menemukan cara agar menunggu tidak terlalu membosankan.
Kumandang azan isya menjadi penanda aktivitas terakhir Kenduri hari itu. Tidak ada lagi yang ingin dikerjakannya kecuali salat. Tanpa menunda-nunda, seusai azan ia cepat turun untuk mengambil air wudhu. Sejuk air membuatnya sedikit tenang.