Sementara Hasana menengok situasi di luar rumah, Nasikhin mendudukkan Kenduri di sebuah kursi kayu yang tampak lawas tetapi masih terawat. "Tak perlu cemas, Nak. Anak itu takkan berani mengganggumu lagi. Kamu aman di sini," ucap Nasikhin.
Lelaki tua itu kemudian mengambil tangan Kenduri untuk digenggam erat. Ujarnya lagi, "Kamu sudah kuanggap anakku sendiri. Sudahkah Syamsizar menceritakan bagaimana keadaanmu sewaktu kecil?"
Kenduri mengangguk sambil tersipu rikuh. "Bapak cerita kalau Anda adalah kawan lama yang sangat dekat."
Nasikhin gantian tersenyum usai melonggarkan tangannya, "Begitulah memang keadaannya. Kehadiranmu di rumah kami melebihi apa pun....
...Oo, aku salah, tak seharusnya aku menganggapmu jadi orang asing dengan mengatakan rumah kami. Mulai sekarang anggaplah rumah ini adalah rumahmu juga. Kamu keberatan dengan itu, Nak?"
Kenduri tersipu, "Ah, tidak, tidak apa-apa."
"Namun," kata Nasikhin, "apa gerangan sebenarnya yang menimpamu? Jangan tersinggung, Nak, aku melihatmu begini kurus dan kerempeng. Apakah kamu sakit tertentu atau, maaf, jangan tersinggung, maksudku, apakah kamu sedikit mengurangi makan?"
Bukan tersinggung kesal Kenduri mengenai ucapan tersebut, melainkan malu dan sedih hati. Namun ia memilih berbohong dengan beralasan bahwa dirinya punya masalah pencernaan sejak lama.
"Begitukah? Tapi ada benarnya juga. Saat aku merantau dari Solok, dulu sekali, rasanya makanan di Jakarta ini seperti sampah. Sering kutahan perut ini kosong berhari-hari, sampai aku menyerah dan akhirnya mulai membiasakan diri dengan makanan Jawa...
...Aku paham kesulitanmu. Ibumu pasti pintar sekali masak, sedangkan di sini orang-orang menjual sampah untuk dimakan. Dan ibumu Sunda, kan? Aku paham itu. Dari mana ibumu?"
"Cianjur," jawab Kenduri.
"Waah, apalagi Cianjur, biasanya wanita Cianjur pandai memasak, dan ini penting, walaupun Cianjur juga termasuk Jawa, tapi mereka Jawa yang lain, Jawa yang punya kualitas cita rasa lidah, bukan Jawa sembarang Jawa."
Kenduri tak punya komentar tentang itu, oleh karena pikirannya masih diliputi kecemasan serta kebingungan. Akan tetapi Nasikhin terus mengoceh, selanjutnya dia berkata,
"Dan bapakmu adalah orang Melayu Deli. Makanan orang Deli juga lezat-lezat. Aku kenal Syamsizar pandai memasak, seperti istrinya, tetapi dia lebih memilih nasibnya menjadi jaksa.
..Onde mandeeh! Sabar-sabarlah wahai anakku. Nanti pada waktunya kamu akan terbiasa dengan makanan di kota ini. Tetapi kalau mau, kami punya gulai ikan tuna tauco buatanku sendiri. Sebentar kuambilkan, ya."
Kenduri buru-buru menolak kebaiakan tersebut, tetapi sia-sia saja menghentikan Nasikhin. Lelaki itu melangkah pelan ke meja makan, mengangkat tudung saji,
lalu dituangnya banyak-banyak makanan dari pinggan besar ke mangkuk yang lebih kecil. Tak lama ia pun kembali bersama gulai, sayur lalapan, dan nasi sambal.
Berbarengan itu Hasana juga telah kembali dan langsung melaporkan situasi yang dijumpainya.
"Anak polisi itu sudah pergi, pasti ke rumah kosnya di seberang jalan besar. Tetapi sudah kuancam dia, kalau sampai masih berani-berani mengganggumu dan dekat-dekat ke rumah ini, akan habis dia satu keluarga."
Kenduri menyimak cermat kata-kata itu. Sedikit berkurang rasa takutnya kini, walau dia sendiri sadar untuk lebih waspada terhadap si pemuda pengganggu
"Makan dulu, Nak, jangan sungkan. Tidak bagus bersungkan-sungkan di rumah ini."
Akan tetapi pemberian itu ditolak lagi oleh Kenduri karena memang dirasa perutnya belum lapar. Namun Nasikhin tetap memaksa hingga istrinya datang dan langsung ikut campur, menyuruh Kenduri membawa makanan itu ke kamarnya.
"Tunggu dulu, Kenduri, aku perlu bicara sebentar," kata Hasana.
Kenduri tidak jadi pergi untuk mendengarkan Hasana bicara seperti yang berikut ini:
"Sudah pernah kuceritakan bahwa pemuda itu pernah ketahuan menyekap seorang mahasiswi berhari-hari di sebuah penginapan. Gadis polos yang tidak tahu apa-apa...
Tahu apa yang menimpa perempuan itu sekarang? Dia harus dirawat di Panti Waras bersama orang-orang gila. Memang lelaki itu adalah penyakit yang harus dibasmi sampai habis.
...Tetapi aparat hukum bahkan takut menangani kasus itu. Bapaknya bukan polisi sembarangan. Brigjen! Kampus bahkan tidak berbuat sama sekali sehingga ia bisa berkeliaran sebebas itu.
...Nama gadis malang itu Aryani. Benar, Aryani yang kau sudah kamu dengar namanya. Dia dibawa kabur dari rumah ini saat sepi. Tidak ada satu pun yang dapat mencegah kejadian itu.
...Aryani menjadi sakit mentalnya akibat perbuatan bajingan itu, tetapi semua yang mengikuti peristiwa itu paham bagaimana akhirnya. Bajingan itu tidak tersentuh.
...Kamu haruslah selalu waspada, Kenduri. Aku bisa menjagamu hanya selama kamu ada di sini. Berhati-hatilah di luar."
Setuntasnya Hasana bicara, barulah Kenduri bisa pamit diri membawa mangkuk gulai. Di dalam kamar kembali dia menelanjangi wujudnya di cermin. "Nauzubillah." Cemasnya meluap mengiringi air mata yang timbul dari rasa sedih terhadap nasibnya, dan itu tidaklah berlebihan.
Sebab bentuknya tetap sama seperti yang sudah dilihatnya tadi, karuan ceking kerempeng macam tengkorak hidup. Kenduri lalu amat meyakini bahwa yang menimpanya itu tidak perlu dicarikan penjelasan ilmiah, melainkan itu pasti suatu gejala paranormal.
Kemudian tertidur perempuan naas itu setelah berlama-lama meratapi keadaan. Dan pada saatnya bangun, hari hampir gelap, perutnya pun riuk-riuk.
Jadi bersyukur hatinya dikarenakan pemberikan makanan yang diterimanya. Maka bergegas Kenduri ke bawah, mengambil alat makan, selanjutnya bersiap makan.
Namun demikian, lain angan lain kenyataan. Kenduri berteriak senyaringnya tepat sebelum ia hendak menuang makanan.
Bukan gulai ikan yang tampak di depan mata, melainkan belatung-belatung busuk karuan banyak, menggeliat-geliut di dalam mangkuk.
***
Bersambung…
Bisa dibaca duluan di Karyakarsa dengan format lebih nyaman. Cerita ini sudah tamat.
Sebuah hotel Z di Kota Y, yang mana pernah terdampak gempa hebat hampir 17 tahun silam. Cerita ini berawal saat saya menginap di hotel tersebut. Lalu saya bertemu teman, dan teman itulah yang mengisahkan pengalaman temannya yang terjadi di hotel yang sama.
***
Namanya Philip. Satu hari di tahun 2012 ia menginap di hotel Z untuk urusan pekerjaan. Sebenarnya Philip bebas memilih hotel. Namun dikarenakan dia cukup fanatik dengan pilihan hotel keluarga, maka dipesanlah satu kamar di hotel tersebut.
Saya mendengar langsung kisah ini. Nama tokoh, tempat peristiwa, dan detail informasi disesuaikan dengan tujuan dramatisasi. Bagaimana pun, harap anggap cerita ini sebagai fiksi.
-TUMBAL KONTRAKAN-
Sebuah kontrakan tiga petak berdiri di tanah yang luas. Ada empat banjar, tiap-tiap banjar berupa 12 pintu. Semuanya 48 pintu. Kontrakan selalu penuh, meski semerawut dan berisik minta ampun lantaran dua penyewa membuka bengkel motor di depan rumahnya.
Keriangan pesta, kue perayaan, dan tiba-tiba semuanya berakhir oleh sebekas teriakan yang masih misterius. Kenduri yang sebelumnya terlanjur bergabung dalam acara itu juga ikut meninggalkan pesta bersama orang-orang.
Gadis kamar 20 telah pergi dengan meninggalkan kekesalan di benak Kenduri. Beberapa saat lamanya Kenduri mematung di ruang baca. Hanya dirinya seorang, namun ia tidak ambil pusing dengan kesendirian.
Akibat kejadian yang semalam Kenduri menunda pulang ke rumah setelah kuliah berakhir. Padahal waktu menuju malam masih cukup panjang. Matahari sedang bocor-bocornya siang itu, jadi, ia harus pintar-pintar menemukan cara agar menunggu tidak terlalu membosankan.