Sebuah hotel Z di Kota Y, yang mana pernah terdampak gempa hebat hampir 17 tahun silam. Cerita ini berawal saat saya menginap di hotel tersebut. Lalu saya bertemu teman, dan teman itulah yang mengisahkan pengalaman temannya yang terjadi di hotel yang sama.
***
Namanya Philip. Satu hari di tahun 2012 ia menginap di hotel Z untuk urusan pekerjaan. Sebenarnya Philip bebas memilih hotel. Namun dikarenakan dia cukup fanatik dengan pilihan hotel keluarga, maka dipesanlah satu kamar di hotel tersebut.
Ketika itu Philip menginap sendiri untuk tiga malam. Tiba di tempat sudah hampir tengah malam. Tetapi dia senang renang malam hari kalau sedang tugas luar. Oleh itu ia pun menyempatkan diri melakukan beberapa putaran.
Selesai renang karyawan BUMN itu kembali ke kamar. Lantai tiga. Ada balkon lengkap dengan kursi dan meja. Pemandangannya menghadap ke kolam renang.
Philip mencoba tidur. Tubuhnya terasa rileks sehabis berenang. Dan itu manjur untuk membuat tenang otot dan saraf. Sebentar saja berselimut ia langsung lelap.
Hanya saja, tidurnya terusik oleh sesuatu yang tidak terduga. Dalam lelapnya Philip merasakan pahanya dicakar dengan kasar. Sontak pikirannya terjaga. Matanya langsung membulat lalu memeriksa keadaan sekitar.
Tidak ada apa-apa. Semua tampak sama seperti sebelum ia memejamkan mata, kecuali satu hal, dan sialnya ini amat serius.
Tampak pahanya memar seperti habis dicakar.
Sekonyong-konyong suasana batin Philip berubah. Kantuknya lenyap seketika. Beringsut dia dari dalam selimut, menyalakan lampu kemudian memeriksa semua sisi kamar.
Tetap hanya dirinya seorang diri di kamar itu. "Tidak mungkin orang lain masuk. Barangkali aku yang menggaruk paha terlalu keras," pikirnya.
Philip mencoba memejamkan matanya lagi hingga ia benar-benar lelap. Sayangnya tidak lama. Untuk kali kedua dirinya kembali merasa terusik. Malah yang ini lebih parah.
Antara sadar dan lelap ia menyadari seperti ada kulit orang lain menyentuh kakinya. Hangat. Dan setelah itu ia jadi sadar sesadarnya lantaran tubuhnya terseret begitu saja. Hampir pula badannya terguling ke lantai.
Kemudian ia mengerti bahwa sebetulnya tidak ada yang menyeret kakinya. Namun ada yang menarik seprai dengan luar biasa kuat sampai tubuh pria itu bergeser.
"Ada jinkah di kamar ini," demikian curiga Philip. Sekilas ia pertimbangkan untuk meminta pindah kamar. Akan tetapi saat itu sudah pukul dua lewat. Pindah kamar hanya buang-buang waktu, sedangkan dua jam lagi ia akan bangun untuk mengerjakan subuh.
Kabar baiknya, Philip dapat sesumbar bahwa dirinya bukan orang yang takut terhadap jin. Kepercayaannya tentang adanya makhluk gaib tidak membuatnya jadi gentar. Baginya, jin dan manusia cuma berbeda unsur penciptaan dan dimensi. Selebihnya sama saja.
Menarik dilihat bagaimana Philip akan bersikap jika ia diganggu lebih jauh.
Dua jam cepat terlewati. Lelaki itu kembali terbangun karena amat gesit refleknya terhadap waktu subuh. Ia pun meninggalkan selimutnya untuk bersujud dua kali dengan tambahan dua sujud. Itu menjadi permulaan aktivitasnya.
Sesudah salat ia membuka laptop guna menyelesaikan satu pekerjaan yang tertunda. Cepatnya waktu makin tidak terkira. Tahu-tahu langit sudah terang. Dan kesibukan demi kesibukan menuntunnya hingga gelap mengganti terang.
Sampai di hotel belum terlalu malam. Sebetulnya ada rekannya yang menawarkan hiburan malam itu. Namun Philip tidak suka mencari hiburan di luar. Lagipula hiburan dalam konteks kolegial terkadang mengusik pandangan moralnya.
Sementara dia sendiri menganggap sudah punya hiburan yang paling menyenangkan, tidak lain yaitu Salma, perempuan yang dikawininya tiga tahun lalu, dan selalu saja membikin Philip ingin cepat-cepat pulang tiap kali berjauhan.
Maka setibanya di kamar ia telepon Salma sebelum mengerjakan yang lain. Panggilan itu pun segera terjawab.
"Ya Tuhan, kamu lagi."
Dalam perjalanan menuju hotel sebetulnya Philip sudah menelepon bininya hampir 30 menit.
"Salahmu sendiri jadi istriku," seloroh Philip.
"Sepertinya begitu."
"Bagaimana Philipito, dia sudah makan?"
"Siapa itu Philipito?"
"Tentu saja anak kita."
Philip menangkap Salma mengurai tawa. "Dia belum tentu laki-laki dan belum tentu perempuan, Pak. Baru lima pekan usia kandungannya."
"Umur sehari atau 50 tahun tetap saja makhluk hidup membutuhkan makanan."
"Itu benar, kecuali dia masih bergantung pada ususku sampai tujuh bulan ke depan."
"Kalau begitu, sudahkah kamu makan?"
Salma mendesis lalu berkata, "Kapan kamu menyerah bertanya sudah makan? Astaga! Kamu selalu lupa kalau aku si tukang makan."
Percakapan jadi berkepanjangan. Bagi Philip itulah sejati-jatinya hiburan! Dengan mengobrol bersama istri ia dapat ketawa guling-guling atau bahkan bisa menjadi pujangga dadakan.
"Kamu nggak bosan menelepon istrimu setiap saat? Sebentar, aaa! Sudah enam kali hari ini."
"Kamu bosan?" Philip mengembalikan pertanyaan Salma.
"Mana mungkin. Cuma aku kasihan saja pada teman menginapmu. Kedengarannya dia seperti kesepian kamu biarkan."
"Aku sendiri, Salma."
"Ohh..., kukira hari ini ada rekanmu."
"Aku hanya sendiri. Tadi siang pun kukatakan lagi kalau aku menginap sendiri."
"Ya, aku mengerti. Maaf, lupakan saja."
"Kamu kira aku berdua dengan perempuan lain di kamar hotel?"
"Itu mustahil, Philip. Aku kenal kamu sejak aku rangking 1 di SMP kelas 1 A dan kamu rangking buncit."
"Kamu bohong. Bukan karena kamu mengenalku, tapi karena dengar suara yang lain, kan?"
"Philip...."
"Ayolah, jujur saja. Apa yang kamu dengar?"
"Ya ampun!"
"Aku nggak yakin. Tadi kedengarannya ada pria lain mengajakmu bicara."
"Aku percaya kalau kamu bilang begitu. Tapi, Salma, aku sendiri."
"Oke! Kita bahas yang lain."
"Dia bicara apa?"
"Sayang...."
"Apa perlu kuulang bahwa aku nggak pernah khawatir dengan isu paranormal?"
"Astaga! Kamu belum menyerah juga."
"Kamu dengar apa?"
"Baiklah. Kedengarannya dia mengeluhkan AC."
"Memang AC di kamar ini sudah perlu dibersihkan."
"Apakah dia sedang kesal lalu membanting pintu?"
"Baiklah, sayang. Aku percaya itu..., kata-katamu itu. Cukup segitu ceritanya."
"Ya."
"Kadang-kadang hal seperti ini nggak bisa dihindari."
"Kamu nggak mendengar apa pun?"
"Aku hanya mendengar suaramu."
"Aaah, syukurlah. Kamu nggak takut?"
"Sebenarnya, entahlah..., mungkin sedikit."
"Kalau begitu lekas minta pindah kamar."
"Begini, sayang..."
"Begini, sayang..."
"Aku mohon, Philip. Jujur saja, hotel yang kamu tempati itu cukup terkenal seram. Pindahlah, bahkan kalau perlu pindah hotel saja."
"Benarkah?"
"Aku nggak main-main. Kamu harus pindah dari kamar itu."
"Katamu hotel ini seram."
"Maka lebih baik cari hotel lain."
"Seramnya seperti apa?"
"Bangunan itu pernah ambrol saat gempa 2006. Puluhan tamu dan staf hotel meninggal."
Philip mengangkat suaranya, "Ya Allah, kenapa aku nggak mencari tahu sebelumnya."
"Aku pun baru tahu siang tadi setelah nggak sengaja membaca sebuah blog yang membahas itu."
"Terus terang, Salma, ini membuatku jadi lebih takut..., eh, tunggu dulu. Sstttt, kamu dengar itu?"
"Apa maksud kamu?"
"Salma, kamu nggak mendengar seseorang merintih?"
"Philip, jangan main-main!"
"Aku serius."
Suara Salma makin panik saja. "Cepat pergi sekarang juga dari tempat itu!"
"Aku sedang pikir-pikir."
"Apa lagi yang perlu dipikir. Cari hotel lain sekarang!"
"Aku tahu."
"Kamu harus dengar saranku sekarang!"
"Salma...."
"Ya Tuhan Ya Rabbi....," wanita itu seperti putus asa.
"Salma, bukankah ini sudah sangat lama?"
"Hah?"
"Ini kan jokes jadul yang sering kamu perdengarkan waktu aku masih kuliah di Malang!"
Salma membisu beberapa saat lantaran kesal. Namun setelahnya ia meledakkan tawa, antara senang bercampur keki. Memang demikian nyatanya.
Dulu ia kerap mengerjai Philip lewat telepon dan merasa selalu berhasil membikin dia bergidik. Kecuali ketika ia tahu kalau lelaki itu sungguh cuek terhadap hal-hal berbau mistis.
"Maaf, kali ini gagal," sesal Salma.
"Kamu nggak pernah berhasil, Salma," ledek suaminya.
"Benarkah? Sekali pun?"
"Seingatku begitu."
"Ah, itu memalukan," Salma tambah menyesal.
"Kamu bisa mencobanya lain waktu," Philip menyemangati.
"Kamu bisa mencobanya lain waktu."
"Kalau begitu beri aku bocoran tentang hal yang kamu takutkan."
"Aku takut setiap kali mesti jauh darimu," Philip mencoba mendayu.
"Aku takut setiap kali mesti jauh darimu."
"Kamu hanya pergi sebentar, sayang," hibur Salma.
"Rasanya aku sudah bertahun-tahun di kamar hotel ini," ujar Philip dramatis.
"Rasanya aku sudah bertahun-tahun di kamar hotel ini."
Salma tertawa keras sebelum meledek suaminya dengan berkata, "Kamu selalu payah dalam dramatisasi."
...
......
.........
"Philip, kenapa diam saja?"
...
"Sayang?"
"Ada hal aneh yang kurasakan," desis lelaki itu.
"Ada hal aneh yang kurasakan."
Philip menutup telepon sepihak. Telinganya langsung dipasang untuk mendeteksi suara yang tertangkap sebelumnya. Ia yakin ada seseorang yang meniru ucapannya berulang-ulang, dan suara tersebut amatlah dekat.
"Hei, kenapa kau mengganggu obrolan kami?" Philip bertanya meski tidak terlihat lawan bicara.
Tidak terdengar tiruan kata-kata.
"Berhentilah menakutiku. Itu percuma, kawan. Kau bisa melakukannya lebih baik, tetapi bukan dengan orang sepertiku."
"Kenapa diam saja, padahal tadi mulutmu sangat rewel. Ingin teman bicara? Ayo bicara. Aku punya sedikit waktu sebelum berenang lalu tidur."
"Astaga, percuma saja aku bicara sendiri. Kalau kau tidak mau menjawab maka jangan lagi mencari-cari perhatian, mengerti?"
Philip tidak bersuara lagi setelah itu. Ia bermaksud pergi ke kolam. Kostum kerjanya segera dilepas untuk digantikan pakaian rumahan. Sebelum keluar ia padamkan beberapa lampu juga pendingin ruangan, sebab sistem kelistrikan di kamar hotel itu belum otomatis.
Adapun lampu tidur sengaja dibuat tetap menyala. Kamar itu jadi kuning temaram. Kemudian Philip duduk di kursi untuk membalas beberapa pesan Blackberry yang berhubungan dengan pekerjaan dan keluarga.
Lalu terlintas sekelibat suara. Srreeekk.
Reflek lelaki itu memalingkan pandang. Di seberang kursinya, persis di situ, gordyn kamar tersingkap sendirinya, sehingga pemandangan luar tampak lebar. Bukan pula angin yang menggesernya.
Philip sadar bahwa makhluk halus sedang mengganggunya lagi. Oleh itu ia bersiap-siap mengajaknya bicara sebagaimana sebelumnya. Akan tetapi maksud hatinya segera terkubur bersamaan munculnya sesosok asing di balkon kamar.
Wujud itu tidak teramat jelas, menyerupai bayangan karena hitamnya, tetapi juga dapat dipindai gambarannya. Mirip seorang pria, dan lama-lama makin nyata bahwa itu pria.
Tingginya sedang, kepalanya lonjong, sedangkan badannya agak buntal. Dia berdiri diam belaka dengan pandangan tertunduk.
Alih-alih mengajak bicara, Philip hanya menunggu apa yang bakal terjadi sesudahnya. Dan kemunculan makhluk itu tidak lama kemudian sirna.
***
Saya menyimak kawan saya menceritakan kawannya hingga sangat terpikat dengan kisah itu.
Ujar kawan saya, "Memang waktu gempa 2006 hotel itu termasuk yang rusaknya parah. Pokoknya, mulai dari selurusan Ambarukmo sampai Klaten itu bukan main hancur. Kampus UIN ya jangan ditanya, apalagi ke arah selatan.
...Nah, di hotel itu memang ada yang meninggal. Tapi sebenarnya, kata cerita temanku yang jadi room boy di sana, orang itu meninggal bunuh diri."
"Lompat?"
"Lompat. Konyol, kan!"
"Lho, bukan tertimpa puing?"
"Bukan! Pokoknya mirip-mirip pramugari Garuda yang terjun di Bengawan itulah."
Kisah itu masih disambung meski saya kira sebentar lagi akan tiba di ujung. Lebat hujan menggenangi Jalan Sangaji. Kedai kopi yang saya singgahi malam itu semarak oleh muda-mudi dengan keriangannya sendiri.
"Terus bagaimana nasib temanmu setelah itu?" saya penasaran.
"Dia minta pindah kamar lagi sambil marah-marah nggak karuan. Untungnya sudah ada kamar kosong. Apalagi si Philip itu, ha ha! Kamu pernah ketemu dia sekali, kan? Ha ha! Di rumahnya sendiri saja dia bisa ketakutan setengah mati kalau ditinggal istrinya pergi."
Keberanian Philip yang tidak tanggung-tanggung tentunya cuma ada dalam khayalan saya.
Sebelum dinihari saya berpisah dari kawan. Di dalam taksi terkilaslah cerita hotel tersebut, sementara itu menjadi tujuan saya.
"Kejadiannya itu di lantai tiga," ujar kawan saya, tak luput ia sebutkan nomor kamarnya. Nomor yang persis dengan kamar yang saya tempati sejak kemarin sore.
Selesai.
Cerita ini sudah tayang sebelumnya di Karyakarsa (unlocked). Silakan ikuti untuk membaca lebih banyak cerita.
Sementara Hasana menengok situasi di luar rumah, Nasikhin mendudukkan Kenduri di sebuah kursi kayu yang tampak lawas tetapi masih terawat. "Tak perlu cemas, Nak. Anak itu takkan berani mengganggumu lagi. Kamu aman di sini," ucap Nasikhin.
Saya mendengar langsung kisah ini. Nama tokoh, tempat peristiwa, dan detail informasi disesuaikan dengan tujuan dramatisasi. Bagaimana pun, harap anggap cerita ini sebagai fiksi.
-TUMBAL KONTRAKAN-
Sebuah kontrakan tiga petak berdiri di tanah yang luas. Ada empat banjar, tiap-tiap banjar berupa 12 pintu. Semuanya 48 pintu. Kontrakan selalu penuh, meski semerawut dan berisik minta ampun lantaran dua penyewa membuka bengkel motor di depan rumahnya.
Keriangan pesta, kue perayaan, dan tiba-tiba semuanya berakhir oleh sebekas teriakan yang masih misterius. Kenduri yang sebelumnya terlanjur bergabung dalam acara itu juga ikut meninggalkan pesta bersama orang-orang.
Gadis kamar 20 telah pergi dengan meninggalkan kekesalan di benak Kenduri. Beberapa saat lamanya Kenduri mematung di ruang baca. Hanya dirinya seorang, namun ia tidak ambil pusing dengan kesendirian.
Akibat kejadian yang semalam Kenduri menunda pulang ke rumah setelah kuliah berakhir. Padahal waktu menuju malam masih cukup panjang. Matahari sedang bocor-bocornya siang itu, jadi, ia harus pintar-pintar menemukan cara agar menunggu tidak terlalu membosankan.