Seorang warga menjerit, sewaktu Misnah perlahan duduk berbalut kafan. Rambutnya awut-awutan dan sorot matanya mengerikan.
"Allahu akbar…! Allahu akbar…!"
Pekik takbir bergema di dalam lumbung padi, tapi hantu Misnah tetap anteng dengan seringainya yang menakutkan. Semilir angin meniup kafannya, memperlihatkan bagian bahunya yang membusuk dan penuh belatung.
Pambakal Sarip kaget, lalu menggigil ketakutan dan wajahnya mendadak pucat. Ia terdiam mematung, seluruh otot tubuhnya seolah lepas dari badan. Ia ingin membaca doa pengusir setan, tapi lidahnya kelu dan suaranya tertahan.
"Hhhh… hhh…"
Hanya desah nafasnya yang terdengar tak beraturan, sementara jantungnya melompat-lompat tidak karuan. Kedua lutut pambakal Sarip semakin lemas, sewaktu Misnah menatap tajam ke arahnya.
Misnah tersenyum lebar. Matanya bolong, hitam sempurna. Ia menggoyangkan kepala ke kiri dan ke kanan, lantas mulai tertawa mengikik. Warga berteriak ketakutan, kemudian terbirit melarikan diri.
Mendadak pambakal Sarip terjengkang ke belakang, tubuhnya terseret di atas tanah. Rupanya, dua orang warga berhasil menarik tubuhnya, membawanya kabur dari tempat itu.
Orang-orang itu berlari sekencangnya melintasi malam, takut dengan hantu Misnah yang bergentayangan.
"Hantu…! Hantu sandah!!!"
Braak..!
Misnah mendadak melompat, menghancurkan atap lumbung padi yang terbuat dari sirap. Dari udara, tubuhnya melesat cepat bagai peluru. Seorang warga yang bernasib sial terpelanting ke dalam parit, lantas mengerang panjang.
Dengan beringas, hantu Misnah mencakar perut lelaki malang itu, laksana elang mencabik perut mangsa. Darah segar berceceran, isi perut berhamburan.
Pambakal Sarip terus berlari dan berlari di kegelapan malam.
Di belakang, jerit kematian satu-persatu terdengar lantang lalu menghilang dalam kesunyian, tertutup suara jangkrik dan binatang malam.
*****
Sewaktu membuka mata, letnan Johar terperangah bukan kepalang. Ia kini telah berada di atas salah batu ampar, dikeliling orang-orang cacat berpakaian serba putih. Tubuhnya tertelungkup, dengan kedua tangan terikat di belakang.
Ia mencoba berontak, tapi ikatan itu terasa amat kencang.
Polisi tua itu segera merasakan dinginnya batu menjalar di dadanya yang kurus, mengalir ke tengkuk hingga tapak kaki. Barulah ia tersadar bahwa kini ia tanpa busana.
Kecuali lilitan kain putih yang berbalut di selangkangan, tak ada sehelai benangpun yang menutupi tubuhnya.
Di tengah lingkaran batu ampar, ustad Gani menangis tersedu sambil memeluk lutut.
Keadaannya tak jauh berbeda dengan polisi Johar, hanya mengenakan balutan kain putih di selangkangan hingga pinggang. Bagian punggungnya penuh simbol cacak burung, sebuah tanda palang yang dibuat menggunakan kunyit. Entah apa maknanya, letnan Johar tidak mengerti.
Johar tersadar, ia dan ustad Gani akan jadi persembahan. Persembahan Nini Tuha untuk majikannya, untuk Dajjal. Johar gelisah, peluh keringat mulai membasahi wajah. Ia memeras otak, mencari cara untuk selamat.
Polisi tua itu tersentak, tatkala tangis bayi terdengar kencang dan menyayat hati.
Johar melirik, ternyata bayi malang itu adalah anaknya Atul. Tubuh mungilnya berusaha berontak dalam genggaman Nini Tuha, tapi tentu saja kalah tenaga.
Sepertinya, bayi yang belum genap dua bulan itu sadar nyawanya akan melayang. Jeritnya semakin kencang, karena hanya itu yang ia bisa.
Sedangkan si Atul, tubuhnya lunglai diseret paksa dua orang pengikut Nini Tuha.
Orang-orang cacat itu tampak kesusahan mengikat tangan dan kaki Atul di tiang pancang. Beberapa orang cacat lainnya menaruh kayu bakar di bawah tiang pancang, di antara kaki Atul.
Johar tersentak, mengetahui Atul akan dibunuh dengan cara keji. Ibu muda itu akan segera dibakar, menjadi persembahan Nini Tuha untuk Dajjal.
"Gaaanii…! Ustad Gaanii…! Sadar!"
Johar langsung menjerit, tapi ustad Gani tidak menggubris. Ustad muda itu justru ternggelam dalam sesenggukan, meratapi kesedihan yang mendalam. Entah apa yang oa sesali, apakah sesal karena telah membunuh sang ayah, atau sesal karena tak merasa bersalah.
"Gaaanii…! Pak ustad…! Bantu Atul..! Selamatkan Atul…!"
Ustad Gani hanya menoleh dengan air mata berlinang, sementara orang-orang cacat menatap Johar dengan sorot mata kosong.
"Tak perlu kau risau, Muhammad Jauhari. Sudah kusampaikan, aku hanyalah perantara.
Orang-orang ini, mereka telah menentukan pilihan," tutur Nini Tuha datar.
Nenek tua itu melangkah tertatih, lalu menyerahkan bayi mungil Atul kepada salah satu pengikutnya. Ia kemudian mendekati Atul, mengusap air mata si ibu muda,
"Kau akan menemui kekasihmu, cucuku," ucapnya datar.
Letnan Johar menjerit-jerit, bergerak-gerak di atas batu. Disaksikannya, Nini Tuha bersiap menyalakan api persembahan.
Braakk..
Si tua Johar hempas ke tanah, menggeliat bagai cacing. Sekuat tenaga ia bangkit, berusaha menyelematkan Atul dari kebengisan Nini Tuha. Namun sial, kakinya terantuk batu. Polisi tua itu terjerembab lalu merintih kesakitan. Bibirnya pecah dan hidungnya berdarah.
Letnan Johar terhenyak sewaktu api seketika membara. Tubuhnya gemetar dan air matanya mengalir, demi menyaksikan Atul menjerit kesakitan dilalap api.
Wanita muda itu merintih tatkala kulitnya melepuh, rambutnya terbakar dan dagingnya menyala merah.
"aarrrrrggghhhhhh…"
Jerit kematian Atul melengking, pertanda nyawanya telah lepas dari badan. Rintih kesakitannya membahana ke tiap jengkal hutan, menelusup di dahan-dahan pohon dan dedaunan.
Tersungkur di tanah, letnan Johar berteriak sekencang-kencangnya melihat Atul tewas mengenaskan. Gemuruh di dadanya menggelegak sejadinya, penuh rasa amarah dan dendam. Tubuhnya gemetaran di atas tanah dengan air mata bercucuran.
Letnan Johar berteriak-teriak bak orang gila hingga kerongkongannya sakit dan menusuk tenggorokan. Ia menangis tersedu sementara suaranya semakin hilang, berganti serak seperti suara babi.
Kini ia hanya bisa mencicit dengan tubuh semakin lunglai.
Ustad Gani tertunduk lesu, duduk pasrah di atas tanah. Ia memalingkan wajah, tak kuasa melihat apa yang terjadi. Ia juga tak bisa berbuat apa-apa, tubuhnya lemah karena terguncang.
Pikirannya pun kosong seperti orang hilang ingatan.
Sementara orang-orang aneh itu, wajah mereka datar tanpa ekpresi. Kengerian di depan mata seolah hal biasa bagi mereka. Api yg berkobar membuat tubuh mereka seolah tembus pandang, dan wajah albino mereka tampak semakin pucat.
Hutan di sekitar batu ampar yang tadinya gelap gulita, kini terang benderang lantaran api persembahan yang terus berkobar.
"Heekk..!"
Ustad Gani mendongak dan matanya melotot. Nini Tuha menjambak rambutnya, menyeret tubuhnya menuju api yang terus membara.
Dengan tenaga tersisa, si ringkih Johar bangkit berdiri. Bagai kesetanan, ia menghambur ke depan, berusaha menyelamatkan ustad Gani yang malang.
Usaha Johar tidak berjalan mulus, orang-orang cacat bergegas menghalangi.
Meski tangan terikat, orang-orang cacat itu tetaplah bukan lawan sepadan bagi Johar. Amarah telah memberinya kekuatan.
Satu-persatu pesuruh Nini Tuha tumbang, terbanting ke tanah. Hantaman bahu dan kepala dari Johar sudah cukup untuk membuat mereka terjatuh.
Orang-orang aneh itu merintih kesakitan, lantas memaki sejadinya.
Namun, usaha Johar seketika terhenti. Pukulan kayu di kepala membuatnya hempas. Kepalanya terasa amat sakit sementara pandangannya mengabur.
Darah segar langsung mengucur dari hidung dan pelipis, sedangkan wajahnya telah bonyok tidak karuan.
Seorang gadis remaja pesuruh Nini Tuha yang berbadan tinggi, menyeret lalu melempar letnan Johar yang malang.
Tubuh kurus Johar terbanting sangat keras, menggelepar tepat di depan Nini Tuha, hanya beberapa jengkal dari api yang menyala-nyala.
Nini Tuha menatap ke arah Johar yang tergeletak di tanah. Matanya yang juling ke kiri dan ke kanan, mendadak normal.
Sorotnya begitu tajam menusuk jantung, membuat Johar bergidik ketakutan.
"Johar yang malang. Sungguh kasihan, di hari tua, kau bukannya menimang cucu, malah menjemput ajal. Bukankah penduduk kampung sudah memperingatkan, tapi kau nekat melanggar larangan jumat keramat.
Terpaksa, kukirim kau ke neraka!" ujar Nini Tuha penuh amarah.
Sreeettt…
Letnan Johar merinding, sewaktu Nini Tuha mencabut pedang dari tongkatnya yang seperti tangkai payung.
Besi hitam yang sangat tajam itu berkilatan di terpa cahaya api, siap menusuk jantung tua si polisi Johar.
"A-a- Asyhadu an laa ilaha illalah… wa asyhadu anna Muhammadarasulullah…"
Mengucap dua kalimah syahadat, letnan Johar pasrah sewaktu Nini Tuha mengangkat pedangnya tinggi di udara. Menutup mata, si tua Johar telah lapang dada menjemput kematian yang kurang dari sejengkal.
Door..!
Nini Tuha terpental, pedangnya terlempar entah kemana. Sebuah peluru menembus dadanya. Darah segar segera mengalir, membasahi jubahnya yang berwarna putih lusuh.
Belum sadar apa yang terjadi, letusan demi letusan pistol menyalak tanpa henti. Letnan Johar membuka mata, semangatnya kembali menggelora. Dilihatnya pratu Berto berlari sembari menembakan senjata ke sana kemari.
Para pesuruh Nini Tuha berjatuhan, sebagian terbirit melarikan diri. Hutan belantara yang sepi mendadak riuh, penuh pekik ketakutan. Hewan-hewan malam berhamburan, letusan pistol menciutkan nyali mereka.
"Berto…!?" sahut Johar terbelalak. Ia tak percaya nyawanya belum tercabut dari badan.
"Letnan…kita harus pergi secepatnya."
Setelah melepas ikatan, polisi Berto memapah letnan Johar yang terpincang. Dibiarkannya ustad Gani yang masih ketakutan, tidak ia pedulikan.
Namun, langkah mereka seketika terhenti. Nini Tuha segera bangkit, dengan sorot mata mengerikan. Keadaan semakin mencekam, sewaktu pesuruh Nini Tuha juga satu-persatu bangkit.
Pratu Berto bergidik ngeri, bulu kuduknya merinding hebat. Nini Tuha dan pesuruhnya mendekat, persis barisan mayat hidup yang bangkit dari kubur. Berto menahan napas, berusaha tidak gugup. Namun, tak sanggup ia sembunyikan rasa gugup. Tubuhnya mulai gemetaran.
Ceklek… ceklek…
Keadaan semakin runyam, pistol yang dipegang Berto kehabisan peluru. Mereka semakin terpojok, tatkala Nini Tuha dan pengikutnya berkerubung, memamerkan senyum misterius.
Bruaak… sreet…sreet…
Berto dan Johar kaget, orang-orang aneh itu kembali limbung dengan darah bercecer. Ternyata, ustad Gani mengamuk sembari mengayunkan pedang Nini Tuha tadi. Layaknya anjing liar, ustad Gani menebas ke sana kemari, menerjang tanpa ampun.
Pergilah!" pekiknya.
Nini Tuha tercekat, tak menyangka si ustad muda bertindak brutal. Ia lupa, ustad Gani pernah membunuh ayahnya sendiri. Sekali terjang, Nini Tuha tumbang. Pedang tipis yang tajam menancap di jantungnya, tembus ke belakang.
Tanpa pikir panjang, Berto dan Johar melarikan diri. Tidak hanya itu, Berto juga berhasil merebut bayinya Atul yang sedari tadi menangisi kematian ibunya. Diraihnya si bayi yang tergeletak di atas tanah, dipeluknya dalam pangkuan.
Sembari menggendong bayi, Berto dan Johar memacu langkah cepat menembus pekatnya malam yang semakin dingin.
…berkentang…
Sampai jumpa bab terakhir di malam senin. Tabe 😀😇🙏
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Ustad Gani menunduk lesu, mengingat kejadian kelam sewaktu ia kecil hingga remaja. Ayahnya adalah seorang pemabuk yang gemar berjudi. Selain itu, sang ayah adalah maling kelas teri yang kerap bikin onar.
Hasil mencuri ia habiskan untuk mabuk dan berjudi, sedangkan kebutuhan rumah tangga ia tak peduli.
Demi menyambung hidup, sang ibu terpaksa berhutang kesana-kemari. Hasil jualan kue kerap diambil paksa sang ayah demi berjudi.
"Tak perlu heran, potongan tubuh itu adalah hadiah dari mendiang suamiku. Potongan tubuh para pengkhianat yang menjual jiwanya kepada penjajah," ungkap Nini Tuha pelan.
Penjelasan Nini Tuha tidak membuat Letnan Johar dan ustad Gani menjadi tenang.
Keduanya justru semakin resah, melihat tengkorak serta daun telinga digantung tepat di tengah ruang tamu. Tengkorak kepala manusia itu tersusun bertumpuk di dalam keranjang rotan, tergantung di beberapa titik.
"Duduklah, aku tahu apa yang kalian cari," lanjut Nini Tuha.
Selepas sholat Jumat, pencarian Enor kembali dilanjutkan. Setelah menggela doa bersama, kali ini pambakal Sarip mengajak lebih banyak warga. Ada lebih dari 50 warga yang memukul nyiru, membuat hutan menjadi gaduh. Area pencarian diperluas, kali ini lebih masuk ke dalam hutan.
Tiap celah pohon dan belukar, tak juga terlihat jejak si Enor. Semak belukar pun telah berantakan terkena tebasan parang dan serbuan kaki manusia.
Begitu menginjakkan kaki di rumah hajah Diana, sersan Budi dibuat terkagum-kagum dengan betapa mewahnya rumah itu. Meski berada di desa, rumah itu tidak kalah megah dengan rumah para saudagar intan di Martapura.
Polisi muda itu menimbang-nimbang, gajinya seumur hidup takkan sanggup punya rumah semewah itu.
Budi mengedarkan pandang, menatap barisan foto yang dipajang di ruang tamu. Ia terpaku sesaat, lalu bergidik sewaktu menatap foto Misnah yang sedang merangkul Jaya dengan mesra.
Ustad Gani tidak berani membantah, ia terus melangkah dengan wajah pucat. Berkali-kali ia mengipaskan wajah menggunakan peci hitam, berharap tubuhnya menjadi sejuk. Sedangkan letnan Johar, telah siap meletuskan pistolnya kapan saja.
Kreek… kreek…
Pistol di genggaman letnan Johar mengeluar bunyi bergemeretak, dicengkram sangat erat oleh jari-jari keriputnya yang gemetaran. Sesekali ia melirik ke arah barisan pohon di sebelah kanan, mencari kesempatan untuk melepaskan timah panas.
Suara julak terdengar berat, serak dan penuh ancaman. Utuh Buwak kembali merangsek, merangkul erat kaki julak Sarkani. Tak tahu malu, ia merengek bagai anak kecil.
"Pengampunanmu, julak. Apa pun yang keluar dari tanganmu, akan menyambung nyawaku. Itulah pesan Nini Tuha untuk disampaikan."
Utuh Buwak menengadah, menatap wajah julak dengan sorot mata memelas dan berkaca-kaca.